Sabtu, 05 April 2025

IBM (Ini Bukan Mimpi)

 


Bunyi sepatu pantofel terdengar jaring, hening tidak ada suara, juga tidak ada yang berani menoleh ke belakang.

Semakin dekat bunyi langkat kaki, semakin kami meluruskan barisan.

“Siapkan barisan dan masuk dengan teratur.” Nada tegas terdengar.

Jalan melewati dirinya sebelum masuk kelas mencium takzim tangannya yang tidak muda lagi.

Semua kami duduk tenang di kursi masing – masing dalam posisi siap.

“Berdoa mulai.” Suara ketua kelas memandu kami berdoa.

Setelah itu aba – aba memberi salam terucap, koor kami mengema di penjuru kelas mengucapkan salam.

“Nama yang Ibu sebut hanya perlu menjawab siap belajar atau tidak siap belajar.” Gema suara melengking memecah keheningan kelas.

Kami serempak menjawab Iya, aku melirik penampilannya hari ini.

Ada yang baru dari penampilan guru dispilinku hari ini.

Kacamata dengan bingkai maron menghiasi wajah tuanya yang masih terlihat manis.

Aku salah satu pengemarnya, bagaimana tidak wajahnya selalu terlihat tegas dalam ketegasan kami selalu merasa terayomi.

“Waktu tidak akan pernah kembali, begitu juga ucapan yang keluar tidak akan ditarik kembali.

Jadi jangan membuang waktu dan berucap tanpa dipikirkan, ingat itu baik – baik. Time’s is money jadi pergunakan dengan baik, sebagaimana kita menggunakan uang sesuai dengan skala priotas yang telah dibuat.

Ya, Bu Intan guru ekonomi kami. Sudah satu semester kami bersamanya, semakin bertambahnya bulan aku semakin mengangumi dirinya.

Orangnya bersahaja, setiap hari vesva tua berwarna maron selalu setiap mendampinginya ke sekolah.

“Orang yang disiplin dan loyal tidak datang tepat waktu, tapi datang sebelum waktu yang ditentukan jadi anak – anak sekalian datangnya setengah jam sebelum waktu bel masuk pembelajaran di mulai banyak hal yang bisa dilakukan.

Jangan mencontek, karena itu akan membuat kalian menjadi Salwas, tapi datang pagi kerjakan tugas yang diberikan bersama – sama itu lebih baik dari pada kalian mencotek. Kasihan teman kalian yang sudah bersusah payah mengerjakannya kalian tinggal menyalinnya saja.

Coba kalian balik keadaanya, apakah kalian merasa senang kepada orang yang hanya menyalin pekerjaan kalian?’ lantang suara Bu Intan ketika berucap.

Ya, selalu Bu Intan memasukkan materi pembelajarannya dalam memberikan nasehat tapi yang namanya siswa makin sering diingatkan makin banyak lupanya, kadang juga termasuk diriku.

Tapi aku bersyukur mempunyai guru yang selalu mengingatkan kewajiban kami, walaupun teman – temanku memanggilkan nenek cerewet.

“Saya tahu kalian punya gelar untuk saya, berarti kalian sayang sama saya sehingga memberikan gelar itu. Silakan beri gelar apapun kepada saya tapi ingat setiap materi yang saya ajarkan dan terapkan dalam kehidupan sehari – hari.

Selalu ingat tindakan rasional dalam menghadapi persoalan hidup selalu membuat skala prioritas untuk semua kebutuhan.

Jangan sekali – kali bertindak irrasioanl dengan membedakan orang berdasarkan kebaikannya.

Karena dia selalu memberikan jawaban atas tugas yang diberikan bukan berarti setiap saat kalian memanfaatkan kebaikannya mungkin saja teman kalian itu Salwas untuk bermasalah.

Jika tugas kaliam meminta bantuanya tapi jika waktu bersenang kalian melupanya.” Kalimat yang selalu tergiang di teligaku.

***

Aku berjalan melintasi ruang majelis guru, pendengaranku mendengar suara isak dari dalam majelis guru.

Jiwa meronta aku harus mencari tahu apa yang terjadi, dijam segini biasanya hanya ada Bu Intan.

“Assalamualikum.” Ucapku berdiri di depan majelis guru.

“Walaikumsalam.” Masuk terdengar suara dari dalam.

Aku menekan panel pintu dan mendorongya, melangkah masuk, melihat ke sudut ruangan tempat duduk Bu Intan berada.

Aku berjalan menuju meja Bu Intan, mata Bu Intan merah jelas tadi aku melihat Bu Intan menghapus airmatanya.

“Ibu baik – baik saja.” Ucapku setelah sampai di depan Bu Intan.

“Maaf jika saya terlalu lancang bertanya, saya mendengar suara orang menangis tadi karena itu saya mengucapkan salam, Ibu butuh bantuan saya.” Ucapku lagi memberanikan diri.

Senyum manis yang selalu dilemparkan untuk kami semua, terlihat di sudut bibir Bu Intan, walaupun pancaran matanya terlihat suram.

“Duduklah, mungkin Ibu harus bercerita kepada Diah.” Ucap Bu Intan.

“Jawab pertanyaan Ibu dengan jujur, apakah Ibu orang yang keras dan tidak baik dalam pertemanan.” Tentu saja aku terkejut mendengar pernyataan Bu Intan.

Bu intan memang keras dan displin kepada kami, dan juga aku selalu memperhatikan Bu Intan tidak segan untuk mendisplinkan kami walaupun dirinya bukan wakil kesiswaan.

Ada beberapa hal yang aku suka dari Bu Intan, dirinya tidak pernah merasa lebih dari orang lain selalu bersifat membantu kepada sesama guru

Apalagi kepada kami siswa yang notabene membutuhkan bantuannya.

“Ibu lelah menjadi orang yang ditindas.” Lagi ucapan Bu Intan membuatku tercengang.

“Ternyata Ibu terlalu berharap tinggi terhadap lingkungan ini, apa yang salah menjadi benar karena kelompok yang salah lebih besar dari kelompok yang benar.” Ucapan Bu Intan yang tidak aku mengerti maksudnya.

“Maaf Ibu pasti membuat Diah bingung, terima kasih sudah mendengarkan keluh kesah Ibu. Karena itu Ibu selalu mengingatkan untuk berubah sekeliling kita harus berubah dari diri kita sendiri. Dan Ibu masih berharap sekolah kita akan menjadi lebih baik dengan Ibu berbuat baik. Ibu pasti suatu hari nanti kita semua akan menjadi yang terbaik.

Pergilah ke kelas, jadilah yang terbaik untuk diri sendiri.” Senyum terkembang dari bibir Bu Intan.

Aku mengangguk dan meraih tangannya untukku cium takzim berlalu meninggalkan Bu Intan.

Sepanjang perjalan dari majelis guru ke kelas aku terus berfikir.

Perkataan Bu Intan yang mengatakan jumlah yang salah lebih banyak dari yang benar sehingga yang salah menjadi benar.

Lihat saja teman – temanku lebih memilih terlambat datang ke sekolah, dan memilih kena sanski yang membuat mereka ketinggal 1 jam mata pelajaran karena sanksi yang diberikan.

Belum lagi mereka lebih memilih mendengarkan guru – guru kami mengomel karena mereka terlambat mengantar tugas dan mengharapkan nilai pas makan saja.

Kami selalu bangga dengan segala kesalahan sehingga tidak ada yang dapat dibanggakan.

Aku juga pernah berfikir mengapa mengerjakan tugas tepat waktu jika nilaiku sama dengan mereka yang terlambat mengumpulkan.

Untung saja Bu Intan tidak lelah mengingatkan kami setiap beliau mengajar mengambil waktu apresiasi dengan contoh hidup dari pembelajaran yang berguna di kemudian hari.

Aku memandang sekeliling kelas, hanya tinggal 2 menit lagi proses pembelajaran berlangsung belum setengah dari jumlah kelasku yang hadir.

Ah, aku hampir lupa tadi ada chat di WA grup mata pelajaran X dengan instruksi literasi materi karena Ibunya terlambat datang setengah jam.

Menghela napas berat, mungkin ini salah satu jawaban dari pernyataan yang katakan Bu Intan.

Tidak sekali dua ada beberapa guru yang mengirim chat terlambat masuk dengan alasan, sehingga teman – temanku yang tingkat kesadaran rendah belajar akan bersorak keriangan.

Bukan tugas yang dikerjakan tapi bermain, karena tidak ada penekanan dalam instruksi yang diberikan sehingga tugas literasi hanya angin lalu buat teman – temanku.

Ah aku jadi mengenang Bu Intan, selama mengajar belum pernah beliau absen.

Suara bindeng bukan menjadi halangan untuk mengajar, batuk yang tak kompromi pun sering terdengar kala dua sakit itu menyerang dirinya.

Kadang aku merasa Bu Intan tidak sayang dengan dirinya memaksakan untuk mengajar dengan kondisi yang sakit.

Lagi – lagi Bu Intan menguasai pikiranku, tatapan teduh yang selalu membuatku merasa diayomi.

Tapi entah mengapa teman- temanku selalu mengatakan Bu intan sok baik.

Bu Intan memang baik, nyatakan beliau selalu mengingatkan kepada kami muridnya untuk merasa rugi jika datang ke sekolah tapi mendapatkan manfaaatnya.

“Tunjuk tangan yang mengatakan belajar bahasa Indonesia tidak bermanfaat.” Pernah satu waktu Bu Intan bertanya.

Kami taka da yang bisa menjawabnya.

“Pernahkah anak – anak berfikir, jika tidak ada bahasa Indonesia sebagai pemersatu bahasa orang dengan suku yang banyak di Indonesia bisa berinteraksi satu dengan lainnya.

Mungkin tanpa kita sadari, kita menggunakan ilmu matematika setiap saat, contohnya anak – anak pasti menghitung waktu untuk cepat istirahat bukan. Bukankah itu tandanya kita menggunakan rumus matematika dalam kehidupan kita.” Banyak lagi yang dikatakan beliau yang sebenarnya benar tapi entahlah sebagain besar kami selalu menafikannya.

Apa yang menyebabkan Bu Intan menangis masih saja jadi pemikiranku.

Aku berusaha menjalankan apa yang dinasehati Bu Intan datang ke sekolah aku usahakan 20 menit sebelum bunyi bel mulai pembelajaran.

Memanfaatkan waktu untuk belajar dan mengulang kaji materi.

Membuat pertanyaan jika materi yang tidak aku fahami sehingga aku sekarang lebih aktif dalam proses pembelajaran.

Suara gaduh sudah mulai terdengar, suara teman –temanku mulai ramai, pertanda lonceng tanda masuk akan berbunyi.

Waktu terus berlalu, keningku berkerut bukannya pagi ini Bu Intan giliran mengajar di kelasku.

Suara gaduh sudah terdengar, maklum sudah menjadi kebiasan kami jika ada guru yang terlambat datang maka kelas bagaikan pasar saja.

Aku melirik jam yang melingkar manis di tanganku, sudah lebih setengah jam Bu Intan tidak masuk ini rekor baru bagi Bu Intan.

“Bayu, susul Bu Intan di majelis guru.” Teriakku.

Sengaja aku berteriak supaya ketua kelas kami mendengarkan suaraku.

“Bu Intan tadi pagi sudah ada, mungki beliau ada urusan sehingga tidak masuk.” Jawab ketua kelas kami.

Aku menatap horror ketua kelas kami, padahal Bu Intan sudah berulang kali mengingatkan ketua kelas kami untuk memanggil guru yang terlambat masuk ke kelas.

Tapi yang namanya siswa lebih memilih guru tidak masuk kelas daripada masuk kelas.

Aku merasa kesal, akhirnya aku melangkahkan kaki menuju majelis guru untuk menjemput Bu Intan

Suara ribut – ribut masuk dalam pendengaranku, semakin dekat dengan majelis guru semakin keras suaranya.

Niat untuk menjemput Bu Intan terpaksa aku tangguhkan, aku mendekat dan mendengar suara Bu Intan yang sedikit keras.

Tak lama berselang terdengar suara yang dapat ku pastikan suara Ibu – Ibu yang sepertinya emosi tingkat tinggi.

“Masuk kelas jangan berada di area majelis guru.” Aku terkejut mendengar suara pesuruh sekolah yang menegurku.

Dengan rasa penasaran aku berlalu meninggalkan majelis guru.

Belum seberapa jauh aku melangkah aku mendengar guru piket memanggilku.

“Ini ada tugas Bu Intan, kerjakan setelah itu kumpulkan di meja piket saja.” Perintah dari guru piket.

Kepalaku mendadak penuh dengan bermacam pertanyaan apa yang terjadi di majelis guru.

Percuma aku mempercepat langkahku menuju kelas, teman – temanku sudah tidak ada.

Aku jadi mengingat apa yang sering dikatakan Bu Intan

“Jangan hanya tahu tapi harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari – hari setiap materi yang dipelajari. Tidak dapat semua diambil manfaatnya tapi harus ada yang diambil walaupun sedikit.”

Buktinya sekarang teman – temanku mensia – siakan waktu 3 jam belajar bersama Bu Intan.

Napas beratku keluar dari hidung, aku mencatat di chat grup mata pelajaran perintah dari guru piket.

Setelah mengirimnya aku mengambil buku untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Bu Intan.

***

Sepekan sudah berlalu dari kejadian itu aku selalu melihat Bu Intan bersedih hati.

Ingin rasanya aku menghiburnya tapi aku tidak tahu caranya.

Dari bisik – bisik tetangga aku mendengar bahwa ada orang tua murid yang salah faham dengan Bu Intan.

Ada juga yang kabar yang mengatakan Bu Intan terpukul dengan ucapan orangtua murid yang mengatakan tidak punya anak mana bisa mendidik anak orang lain.

Ya, Bu Intan memang tidak punya anak tapi sifat ke Ibuannya jelas terlihat.

Marahnyapun penuh dengan kelembutan., bagaimana tidak aku mengatakan marahnya penuh kelembutan

“Anakku pernah kalian berfikir bagaimana orangtua kalian mencukupi kebutuhan kalian. Ayo kita hitung pendapatan mereka dengan jumlah keluarga serta jumlah pengeluarannya. Ini menjadi tugas kalian yang harus dikumpulkan secepatnya. Sesuai dengan kesepakatan kita, yang mengumpulkan tercepat mendapatkan angka 100. Ok. Ucapnya lembut.

Tapi tetap saja kami, muridnya mengumpulkan tugas diakhir masa pengumpulan bahkan ada yang dengan sengaja tidak mengerjakannya.

Pernah salah satu dari teman kami ketahuan menggunakan uang komite untuk membeli paket untuk bermain game.

Kalimat nasehat yang terlontar dari mulut Bu Intan sungguh ajaib.

“Seberapa besar kemenangan bermain game memberikan kebanggaan padanya.

Dan seberapa sedihnya orangtua mendengar uang yang dengan susah payah dicari dibelikan pulsa untuk bermain game.”

Tapi hari ini aku kehilangan sosok yang sering mengeluarkan kalimat sakti bagi yang mau mendengarkannya.

***

Waktu berlalu, sudah dua kali pertemuan kami tidak mendapati sosok tegas nan lembut itu di dalam kelas.

Kami bertanya kepada guru penganti yang ditunjuk sekolah tapi jawaban bahwa ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan sehingga selama sebulan kedepan guru penganti yang akan mengantikan kehadiran Bu Intan di dalam kelas.

Aku memandang jendela, setelah guru penganti memberikan tugas beliau meninggalkan kelas dengan alasan yang tak jelas.

Ah, tidak mungkin sekolah menunjukkan guru yang mengajar di kelas lain untuk mengantikan kehadirian Bu Intan di dalam kelas kami.

Lebih baik kami melakukan pembelajaran daring dengan menggunakan meet dengan Bu Intan daripada dikasih tugas sehingga kelas bagaikan pasar karena tidak ada yang mengawasi.

Aku rindu dengan kehadiran perempuan separuh baya itu.

“Saya cantik bukan.” Koor terdengar ketika beliau mengatakan cantik untuk dirinya.

“Siapa yang mau mengatakan saya cantik jika tidak saya. Apalagi saya perempuan tentu cantik tidak mungkin tampan.” Kalimat yang selalu menjadi pengendor otot ketika kami sudah jenuh belajar.

Banyak lagi kalimat – kalimat motivasi yang terlontar darinya.

Dan sekarang aku merindukan oceha beliau itu.

“Kalau bertemu Ibu harus senyum biar terangkat segala kesedihan apalagi senyum adalah Ibadah.” Ucapnya dilain waktu.

“Semoga hari ini aku bertemu dengan Bu Intan.”Batinku.

Langkahku ringan menuju sekolah, aku bersama  teman – teman sudah membawa beberapa bingkisan serta mengumpul uang untuk membeli tart, ya hari ini Bu Intan bertambah umurnya.

Aku membuat bouqeut dari jilbab berwarna maron dan pink khusus dari menabung dari uang jajanku setiap hari.

Tersenyum aku memandang bouquet yang sekarang berada di tanganku.

Langkahku terus melaju aku harus sampai di sekolah sebelum Bu Intan.

Aku harus meletakkan bouquet yang aku buat di atas meja Bu Intan.

Sebelumnya aku sudah berpamitan dengan penjaga sekolah untuk meletakkan bouquetku diatas meja Bu Intan.

***

Waktu berjalan dari hitungan detik berganti menit dan sekarang jam 7, jam pelajaran akan segera di mulai menunggu bel berbunyi saja.

Kami satu kelas sudah bersiap – siap menanti kedatangan Bu Intan dengan kejutan yang sudah kami buat.

Langkah berat semakin mendekat, pintu kelas yang sengaja kami tutup menanti kedatangan Bu intan.

Panel pintu di tekan, kami siap menyuarakan nyanyian tapi terhenti ketika yang datang bukan Bu Intan.

“innalillahiwainnailaihirojiun.” Ucap guru piket sambil memandang kami dengan rasa sedih.

“Bu Intan sudah meninggalkan kita semua, bada’ subuh tadi.” Lanjut guru piket memberik kabar yang membuat kami langsung menangis tersedu – sedu.

“Bersiaplah kita akan kerumah duka.” Ucap guru piket.

Tubuhku bagaikan kehilangan tulang, lemah lunglai menerima berita ini.

Bouguetku terhempas di lantai, nanar aku menantapnya ada pilu yang terasa.

Satu persatu kami melangkah menuju keluar kelas, kami akan menghantar Bu Intan diperistirahatannya yang terakhir.

Kami sampai di rumah duka, ternyata selama ini Bu Intan menyembunyikan sakitnya dengan senyum.

Pantas saja Bu Intan selalu meminta kami tersenyum setiap berpas –pasan dengan.

“Diah, mana?” ucap suami Bu Intan.

Aku berjalan mendekati suami Bu Intan

“Ini buku karangan Bu Intan, buat Diah tersayang.” Serak suara suami Bu Intan.

Aku menerima buku yang sodorkannya kepadaku.

Ibu selalu bercerita jika cita – citanya mengarang buku tentang suka dukanya menjadi guru.

Aku menatap haru buku Bu Intan, ternyata diakhir hayatnya Bu Intan berhasil menulis buku.

Aku mendekap buku Bu Intan dengan haru, Ya Allah semoga aku bisa seperti Bu Intan. batinku sedih.***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Kasihan Wali Kelasku

  Beberapa hari ini, kembali aku melihat raut wajah lelah wali kelasku. Wajah tua tapi setiap hari selalu menebar senyum sambil berkata ka...