Bunyi sepatu pantofel terdengar jaring, hening tidak ada suara, juga tidak ada yang berani menoleh ke belakang.
Semakin dekat bunyi langkat
kaki, semakin kami meluruskan barisan.
“Siapkan barisan dan masuk
dengan teratur.” Nada tegas terdengar.
Jalan melewati dirinya
sebelum masuk kelas mencium takzim tangannya yang tidak muda lagi.
Semua kami duduk tenang di
kursi masing – masing dalam posisi siap.
“Berdoa mulai.” Suara ketua
kelas memandu kami berdoa.
Setelah itu aba – aba memberi salam terucap, koor kami mengema di penjuru kelas mengucapkan salam.
“Nama yang Ibu sebut hanya
perlu menjawab siap belajar atau tidak siap belajar.” Gema suara melengking
memecah keheningan kelas.
Kami serempak menjawab Iya,
aku melirik penampilannya hari ini.
Ada yang baru dari
penampilan guru dispilinku hari ini.
Kacamata dengan bingkai
maron menghiasi wajah tuanya yang masih terlihat manis.
Aku salah satu pengemarnya,
bagaimana tidak wajahnya selalu terlihat tegas dalam ketegasan kami selalu
merasa terayomi.
“Waktu tidak akan pernah
kembali, begitu juga ucapan yang keluar tidak akan ditarik kembali.
Jadi jangan membuang waktu
dan berucap tanpa dipikirkan, ingat itu baik – baik. Time’s is money jadi
pergunakan dengan baik, sebagaimana kita menggunakan uang sesuai dengan skala
priotas yang telah dibuat.
Ya, Bu Intan guru ekonomi
kami. Sudah satu semester kami bersamanya, semakin bertambahnya bulan aku
semakin mengangumi dirinya.
Orangnya bersahaja, setiap
hari vesva tua berwarna maron selalu setiap mendampinginya ke sekolah.
“Orang yang disiplin dan
loyal tidak datang tepat waktu, tapi datang sebelum waktu yang ditentukan jadi
anak – anak sekalian datangnya setengah jam sebelum waktu bel masuk
pembelajaran di mulai banyak hal yang bisa dilakukan.
Jangan mencontek, karena
itu akan membuat kalian menjadi Salwas, tapi datang pagi kerjakan tugas yang
diberikan bersama – sama itu lebih baik dari pada kalian mencotek. Kasihan
teman kalian yang sudah bersusah payah mengerjakannya kalian tinggal
menyalinnya saja.
Coba kalian balik
keadaanya, apakah kalian merasa senang kepada orang yang hanya menyalin
pekerjaan kalian?’ lantang suara Bu Intan ketika berucap.
Ya, selalu Bu Intan
memasukkan materi pembelajarannya dalam memberikan nasehat tapi yang namanya
siswa makin sering diingatkan makin banyak lupanya, kadang juga termasuk
diriku.
Tapi aku bersyukur
mempunyai guru yang selalu mengingatkan kewajiban kami, walaupun teman –
temanku memanggilkan nenek cerewet.
“Saya tahu kalian punya
gelar untuk saya, berarti kalian sayang sama saya sehingga memberikan gelar
itu. Silakan beri gelar apapun kepada saya tapi ingat setiap materi yang saya
ajarkan dan terapkan dalam kehidupan sehari – hari.
Selalu ingat tindakan
rasional dalam menghadapi persoalan hidup selalu membuat skala prioritas untuk
semua kebutuhan.
Jangan sekali – kali
bertindak irrasioanl dengan membedakan orang berdasarkan kebaikannya.
Karena dia selalu
memberikan jawaban atas tugas yang diberikan bukan berarti setiap saat kalian
memanfaatkan kebaikannya mungkin saja teman kalian itu Salwas untuk bermasalah.
Jika tugas kaliam meminta
bantuanya tapi jika waktu bersenang kalian melupanya.” Kalimat yang selalu
tergiang di teligaku.
***
Aku berjalan melintasi
ruang majelis guru, pendengaranku mendengar suara isak dari dalam majelis guru.
Jiwa meronta aku harus
mencari tahu apa yang terjadi, dijam segini biasanya hanya ada Bu Intan.
“Assalamualikum.” Ucapku
berdiri di depan majelis guru.
“Walaikumsalam.” Masuk
terdengar suara dari dalam.
Aku menekan panel pintu dan
mendorongya, melangkah masuk, melihat ke sudut ruangan tempat duduk Bu Intan
berada.
Aku berjalan menuju meja Bu
Intan, mata Bu Intan merah jelas tadi aku melihat Bu Intan menghapus
airmatanya.
“Ibu baik – baik saja.”
Ucapku setelah sampai di depan Bu Intan.
“Maaf jika saya terlalu
lancang bertanya, saya mendengar suara orang menangis tadi karena itu saya mengucapkan
salam, Ibu butuh bantuan saya.” Ucapku lagi memberanikan diri.
Senyum manis yang selalu
dilemparkan untuk kami semua, terlihat di sudut bibir Bu Intan, walaupun
pancaran matanya terlihat suram.
“Duduklah, mungkin Ibu
harus bercerita kepada Diah.” Ucap Bu Intan.
“Jawab pertanyaan Ibu
dengan jujur, apakah Ibu orang yang keras dan tidak baik dalam pertemanan.”
Tentu saja aku terkejut mendengar pernyataan Bu Intan.
Bu intan memang keras dan
displin kepada kami, dan juga aku selalu memperhatikan Bu Intan tidak segan
untuk mendisplinkan kami walaupun dirinya bukan wakil kesiswaan.
Ada beberapa hal yang aku
suka dari Bu Intan, dirinya tidak pernah merasa lebih dari orang lain selalu
bersifat membantu kepada sesama guru
Apalagi kepada kami siswa
yang notabene membutuhkan bantuannya.
“Ibu lelah menjadi orang
yang ditindas.” Lagi ucapan Bu Intan membuatku tercengang.
“Ternyata Ibu terlalu
berharap tinggi terhadap lingkungan ini, apa yang salah menjadi benar karena
kelompok yang salah lebih besar dari kelompok yang benar.” Ucapan Bu Intan yang
tidak aku mengerti maksudnya.
“Maaf Ibu pasti membuat
Diah bingung, terima kasih sudah mendengarkan keluh kesah Ibu. Karena itu Ibu
selalu mengingatkan untuk berubah sekeliling kita harus berubah dari diri kita
sendiri. Dan Ibu masih berharap sekolah kita akan menjadi lebih baik dengan Ibu
berbuat baik. Ibu pasti suatu hari nanti kita semua akan menjadi yang terbaik.
Pergilah ke kelas, jadilah
yang terbaik untuk diri sendiri.” Senyum terkembang dari bibir Bu Intan.
Aku mengangguk dan meraih
tangannya untukku cium takzim berlalu meninggalkan Bu Intan.
Sepanjang perjalan dari
majelis guru ke kelas aku terus berfikir.
Perkataan Bu Intan yang
mengatakan jumlah yang salah lebih banyak dari yang benar sehingga yang salah
menjadi benar.
Lihat saja teman – temanku
lebih memilih terlambat datang ke sekolah, dan memilih kena sanski yang membuat
mereka ketinggal 1 jam mata pelajaran karena sanksi yang diberikan.
Belum lagi mereka lebih
memilih mendengarkan guru – guru kami mengomel karena mereka terlambat
mengantar tugas dan mengharapkan nilai pas makan saja.
Kami selalu bangga dengan
segala kesalahan sehingga tidak ada yang dapat dibanggakan.
Aku juga pernah berfikir
mengapa mengerjakan tugas tepat waktu jika nilaiku sama dengan mereka yang
terlambat mengumpulkan.
Untung saja Bu Intan tidak
lelah mengingatkan kami setiap beliau mengajar mengambil waktu apresiasi dengan
contoh hidup dari pembelajaran yang berguna di kemudian hari.
Aku memandang sekeliling
kelas, hanya tinggal 2 menit lagi proses pembelajaran berlangsung belum
setengah dari jumlah kelasku yang hadir.
Ah, aku hampir lupa tadi
ada chat di WA grup mata pelajaran X dengan instruksi literasi materi karena
Ibunya terlambat datang setengah jam.
Menghela napas berat,
mungkin ini salah satu jawaban dari pernyataan yang katakan Bu Intan.
Tidak sekali dua ada
beberapa guru yang mengirim chat terlambat masuk dengan alasan, sehingga teman
– temanku yang tingkat kesadaran rendah belajar akan bersorak keriangan.
Bukan tugas yang dikerjakan
tapi bermain, karena tidak ada penekanan dalam instruksi yang diberikan
sehingga tugas literasi hanya angin lalu buat teman – temanku.
Ah aku jadi mengenang Bu
Intan, selama mengajar belum pernah beliau absen.
Suara bindeng bukan menjadi
halangan untuk mengajar, batuk yang tak kompromi pun sering terdengar kala dua
sakit itu menyerang dirinya.
Kadang aku merasa Bu Intan
tidak sayang dengan dirinya memaksakan untuk mengajar dengan kondisi yang
sakit.
Lagi – lagi Bu Intan
menguasai pikiranku, tatapan teduh yang selalu membuatku merasa diayomi.
Tapi entah mengapa teman-
temanku selalu mengatakan Bu intan sok baik.
Bu Intan memang baik,
nyatakan beliau selalu mengingatkan kepada kami muridnya untuk merasa rugi jika
datang ke sekolah tapi mendapatkan manfaaatnya.
“Tunjuk tangan yang
mengatakan belajar bahasa Indonesia tidak bermanfaat.” Pernah satu waktu Bu
Intan bertanya.
Kami taka da yang bisa
menjawabnya.
“Pernahkah anak – anak
berfikir, jika tidak ada bahasa Indonesia sebagai pemersatu bahasa orang dengan
suku yang banyak di Indonesia bisa berinteraksi satu dengan lainnya.
Mungkin tanpa kita sadari,
kita menggunakan ilmu matematika setiap saat, contohnya anak – anak pasti
menghitung waktu untuk cepat istirahat bukan. Bukankah itu tandanya kita
menggunakan rumus matematika dalam kehidupan kita.” Banyak lagi yang dikatakan
beliau yang sebenarnya benar tapi entahlah sebagain besar kami selalu
menafikannya.
Apa yang menyebabkan Bu
Intan menangis masih saja jadi pemikiranku.
Aku berusaha menjalankan
apa yang dinasehati Bu Intan datang ke sekolah aku usahakan 20 menit sebelum
bunyi bel mulai pembelajaran.
Memanfaatkan waktu untuk
belajar dan mengulang kaji materi.
Membuat pertanyaan jika
materi yang tidak aku fahami sehingga aku sekarang lebih aktif dalam proses
pembelajaran.
Suara gaduh sudah mulai
terdengar, suara teman –temanku mulai ramai, pertanda lonceng tanda masuk akan
berbunyi.
Waktu terus berlalu,
keningku berkerut bukannya pagi ini Bu Intan giliran mengajar di kelasku.
Suara gaduh sudah
terdengar, maklum sudah menjadi kebiasan kami jika ada guru yang terlambat
datang maka kelas bagaikan pasar saja.
Aku melirik jam yang
melingkar manis di tanganku, sudah lebih setengah jam Bu Intan tidak masuk ini
rekor baru bagi Bu Intan.
“Bayu, susul Bu Intan di
majelis guru.” Teriakku.
Sengaja aku berteriak
supaya ketua kelas kami mendengarkan suaraku.
“Bu Intan tadi pagi sudah
ada, mungki beliau ada urusan sehingga tidak masuk.” Jawab ketua kelas kami.
Aku menatap horror ketua
kelas kami, padahal Bu Intan sudah berulang kali mengingatkan ketua kelas kami
untuk memanggil guru yang terlambat masuk ke kelas.
Tapi yang namanya siswa
lebih memilih guru tidak masuk kelas daripada masuk kelas.
Aku merasa kesal, akhirnya
aku melangkahkan kaki menuju majelis guru untuk menjemput Bu Intan
Suara ribut – ribut masuk
dalam pendengaranku, semakin dekat dengan majelis guru semakin keras suaranya.
Niat untuk menjemput Bu
Intan terpaksa aku tangguhkan, aku mendekat dan mendengar suara Bu Intan yang
sedikit keras.
Tak lama berselang
terdengar suara yang dapat ku pastikan suara Ibu – Ibu yang sepertinya emosi
tingkat tinggi.
“Masuk kelas jangan berada
di area majelis guru.” Aku terkejut mendengar suara pesuruh sekolah yang
menegurku.
Dengan rasa penasaran aku
berlalu meninggalkan majelis guru.
Belum seberapa jauh aku
melangkah aku mendengar guru piket memanggilku.
“Ini ada tugas Bu Intan,
kerjakan setelah itu kumpulkan di meja piket saja.” Perintah dari guru piket.
Kepalaku mendadak penuh
dengan bermacam pertanyaan apa yang terjadi di majelis guru.
Percuma aku mempercepat
langkahku menuju kelas, teman – temanku sudah tidak ada.
Aku jadi mengingat apa yang
sering dikatakan Bu Intan
“Jangan hanya tahu tapi
harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari – hari setiap materi yang dipelajari.
Tidak dapat semua diambil manfaatnya tapi harus ada yang diambil walaupun
sedikit.”
Buktinya sekarang teman –
temanku mensia – siakan waktu 3 jam belajar bersama Bu Intan.
Napas beratku keluar dari
hidung, aku mencatat di chat grup mata pelajaran perintah dari guru piket.
Setelah mengirimnya aku
mengambil buku untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Bu Intan.
***
Sepekan sudah berlalu dari
kejadian itu aku selalu melihat Bu Intan bersedih hati.
Ingin rasanya aku
menghiburnya tapi aku tidak tahu caranya.
Dari bisik – bisik tetangga
aku mendengar bahwa ada orang tua murid yang salah faham dengan Bu Intan.
Ada juga yang kabar yang
mengatakan Bu Intan terpukul dengan ucapan orangtua murid yang mengatakan tidak
punya anak mana bisa mendidik anak orang lain.
Ya, Bu Intan memang tidak
punya anak tapi sifat ke Ibuannya jelas terlihat.
Marahnyapun penuh dengan
kelembutan., bagaimana tidak aku mengatakan marahnya penuh kelembutan
“Anakku pernah kalian
berfikir bagaimana orangtua kalian mencukupi kebutuhan kalian. Ayo kita hitung
pendapatan mereka dengan jumlah keluarga serta jumlah pengeluarannya. Ini
menjadi tugas kalian yang harus dikumpulkan secepatnya. Sesuai dengan
kesepakatan kita, yang mengumpulkan tercepat mendapatkan angka 100. Ok. Ucapnya
lembut.
Tapi tetap saja kami,
muridnya mengumpulkan tugas diakhir masa pengumpulan bahkan ada yang dengan
sengaja tidak mengerjakannya.
Pernah salah satu dari
teman kami ketahuan menggunakan uang komite untuk membeli paket untuk bermain
game.
Kalimat nasehat yang
terlontar dari mulut Bu Intan sungguh ajaib.
“Seberapa besar kemenangan
bermain game memberikan kebanggaan padanya.
Dan seberapa sedihnya
orangtua mendengar uang yang dengan susah payah dicari dibelikan pulsa untuk
bermain game.”
Tapi hari ini aku
kehilangan sosok yang sering mengeluarkan kalimat sakti bagi yang mau
mendengarkannya.
***
Waktu berlalu, sudah dua
kali pertemuan kami tidak mendapati sosok tegas nan lembut itu di dalam kelas.
Kami bertanya kepada guru
penganti yang ditunjuk sekolah tapi jawaban bahwa ada urusan yang tidak bisa
ditinggalkan sehingga selama sebulan kedepan guru penganti yang akan
mengantikan kehadiran Bu Intan di dalam kelas.
Aku memandang jendela,
setelah guru penganti memberikan tugas beliau meninggalkan kelas dengan alasan
yang tak jelas.
Ah, tidak mungkin sekolah
menunjukkan guru yang mengajar di kelas lain untuk mengantikan kehadirian Bu
Intan di dalam kelas kami.
Lebih baik kami melakukan
pembelajaran daring dengan menggunakan meet dengan Bu Intan daripada dikasih
tugas sehingga kelas bagaikan pasar karena tidak ada yang mengawasi.
Aku rindu dengan kehadiran perempuan
separuh baya itu.
“Saya cantik bukan.” Koor
terdengar ketika beliau mengatakan cantik untuk dirinya.
“Siapa yang mau mengatakan
saya cantik jika tidak saya. Apalagi saya perempuan tentu cantik tidak mungkin
tampan.” Kalimat yang selalu menjadi pengendor otot ketika kami sudah jenuh
belajar.
Banyak lagi kalimat –
kalimat motivasi yang terlontar darinya.
Dan sekarang aku merindukan
oceha beliau itu.
“Kalau bertemu Ibu harus
senyum biar terangkat segala kesedihan apalagi senyum adalah Ibadah.” Ucapnya
dilain waktu.
“Semoga hari ini aku
bertemu dengan Bu Intan.”Batinku.
Langkahku ringan menuju
sekolah, aku bersama teman – teman sudah
membawa beberapa bingkisan serta mengumpul uang untuk membeli tart, ya hari ini
Bu Intan bertambah umurnya.
Aku membuat bouqeut dari
jilbab berwarna maron dan pink khusus dari menabung dari uang jajanku setiap
hari.
Tersenyum aku memandang
bouquet yang sekarang berada di tanganku.
Langkahku terus melaju aku
harus sampai di sekolah sebelum Bu Intan.
Aku harus meletakkan
bouquet yang aku buat di atas meja Bu Intan.
Sebelumnya aku sudah
berpamitan dengan penjaga sekolah untuk meletakkan bouquetku diatas meja Bu
Intan.
***
Waktu berjalan dari
hitungan detik berganti menit dan sekarang jam 7, jam pelajaran akan segera di
mulai menunggu bel berbunyi saja.
Kami satu kelas sudah
bersiap – siap menanti kedatangan Bu Intan dengan kejutan yang sudah kami buat.
Langkah berat semakin
mendekat, pintu kelas yang sengaja kami tutup menanti kedatangan Bu intan.
Panel pintu di tekan, kami
siap menyuarakan nyanyian tapi terhenti ketika yang datang bukan Bu Intan.
“innalillahiwainnailaihirojiun.”
Ucap guru piket sambil memandang kami dengan rasa sedih.
“Bu Intan sudah
meninggalkan kita semua, bada’ subuh tadi.” Lanjut guru piket memberik kabar
yang membuat kami langsung menangis tersedu – sedu.
“Bersiaplah kita akan
kerumah duka.” Ucap guru piket.
Tubuhku bagaikan kehilangan
tulang, lemah lunglai menerima berita ini.
Bouguetku terhempas di
lantai, nanar aku menantapnya ada pilu yang terasa.
Satu persatu kami melangkah
menuju keluar kelas, kami akan menghantar Bu Intan diperistirahatannya yang
terakhir.
Kami sampai di rumah duka,
ternyata selama ini Bu Intan menyembunyikan sakitnya dengan senyum.
Pantas saja Bu Intan selalu
meminta kami tersenyum setiap berpas –pasan dengan.
“Diah, mana?” ucap suami Bu
Intan.
Aku berjalan mendekati
suami Bu Intan
“Ini buku karangan Bu
Intan, buat Diah tersayang.” Serak suara suami Bu Intan.
Aku menerima buku yang
sodorkannya kepadaku.
Ibu selalu bercerita jika
cita – citanya mengarang buku tentang suka dukanya menjadi guru.
Aku menatap haru buku Bu
Intan, ternyata diakhir hayatnya Bu Intan berhasil menulis buku.
Aku mendekap buku Bu Intan
dengan haru, Ya Allah semoga aku bisa seperti Bu Intan. batinku sedih.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar