Senin, 07 April 2025

Dilangit Mu

 

Gema suara takbir mulai terdengar sejak sholat magrib tadi.

Tidak menunggu pengumuman hilal seperti lebaran idul Fitri hanya penentuan 1 Zulhijah saja sehingga lebaran Idul Adha jatuh pada 10 Zulhijah.

Seksi sibuk menyibuk di rumah tentu menjadi lahanku saja, bagaimana tidak aku ratu dan sekaligus dayang yang harus menyiapkan semuanya.

Rasa pegal di puggung dan pinggang terpaksa aku telan sendiri.

Setelah berkutat dari kemaren mengolah nilai untuk dikumpulkan sehingga mempermudah kerja wali kelas.

Senyumku mengembang jika mengingat bagaimana kesalnya wali kelas jika ada guru yang terlambat mengouplod nilai maka kerja wali kelas akan terhambat.

Seperti menjadi tradisi saja, panitia akan memberikan akomodasi bagi guru – guru yang lama mengolah nilai di hari pertama sampai dengan ketika hari ujian.

Sementara aku selalu kebagaian ujian pada hari ke empat atau kelima sehingga membutuhkan ekstra kerja untuk menyelesaikan pengolahan nilai sehingga tidak memperlambat tugas wali kelas.

Aku menatap langit, jadi teringat ketika bertamu ke rumah – Nya.

Kami tamu Allah tidak sedikitpun membuang waktu.

Sekali lagi aku menatap langit, langit yang sama tapi cara berpikirnya berbeda.

Ketika merasa ada kepentingan semua dikerjakan tepat waktu, langit tidak berubah tapi pikiran manusia yang berubah.

Aku terus berkata – kata ketika melihat langit di Salwam ini.

Ada rasa haru ketika mengingat betapa kita manusia selalu lupa bahwa langit di atas kita sama yang membuatnya berbeda adalah kita manusia.

Langit selalu tinggi, tapi manusia yang membuatnya menjadi rendah ketika berada di atas angina.

Langit akan terasa tinggi jika kita ditimpa masalah, itulah manusia.

“Anak saya sakit, lebih penting anak saya daripada nilai – nilai itu.” Kata seorang guru.

“Saya sudah tua, tidak bisa mengoreksi banyak – banyak. Pusing.” Kata yang lainnya.

“Pasti siap, tahun – tahun sebelumnya juga begitu.” Tambah yang lainnya.

Aku terus memikirkan kata mereka, diberi waktu ujian di hari pertama atau hari terakhir tetap saja menyusahkan sesame.

Ingat betul aku ketika harus berperang mulut karena nilai tidak masuk – masuk kerana guru itu diberikan jadwal di hari kedua sebelum berakhirnya ujian.

“Siapa suruh ujian saya di hari akhir, Bu Indah.” Ucapnya sambil berkacak pingang.

Unik bukan, teman – teman sejawat yang sudah bertahun menjadi guru tapi lalai akan tugasnya.

Aku memandang langit di atasku, rasa pegal dipunggung dan pinggang masih terasa, double capek karena harus menyelesaikan proses nilai dan menyediakan juadah untuk lebaran besok.

Langit Mu dengan beragam cerita, dan hari ini menceritkan kepada Mu lelahku semoga menjadi lillah, amin.***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Kasihan Wali Kelasku

  Beberapa hari ini, kembali aku melihat raut wajah lelah wali kelasku. Wajah tua tapi setiap hari selalu menebar senyum sambil berkata ka...