Gema suara takbir mulai terdengar sejak sholat magrib tadi.
Tidak menunggu pengumuman
hilal seperti lebaran idul Fitri hanya penentuan 1 Zulhijah saja sehingga
lebaran Idul Adha jatuh pada 10 Zulhijah.
Seksi sibuk menyibuk di
rumah tentu menjadi lahanku saja, bagaimana tidak aku ratu dan sekaligus dayang
yang harus menyiapkan semuanya.
Rasa pegal di puggung dan
pinggang terpaksa aku telan sendiri.
Setelah berkutat dari
kemaren mengolah nilai untuk dikumpulkan sehingga mempermudah kerja wali kelas.
Senyumku mengembang jika mengingat bagaimana kesalnya wali kelas jika ada guru yang terlambat mengouplod nilai maka kerja wali kelas akan terhambat.
Seperti menjadi tradisi
saja, panitia akan memberikan akomodasi bagi guru – guru yang lama mengolah
nilai di hari pertama sampai dengan ketika hari ujian.
Sementara aku selalu
kebagaian ujian pada hari ke empat atau kelima sehingga membutuhkan ekstra
kerja untuk menyelesaikan pengolahan nilai sehingga tidak memperlambat tugas
wali kelas.
Aku menatap langit, jadi
teringat ketika bertamu ke rumah – Nya.
Kami tamu Allah tidak
sedikitpun membuang waktu.
Sekali lagi aku menatap
langit, langit yang sama tapi cara berpikirnya berbeda.
Ketika merasa ada
kepentingan semua dikerjakan tepat waktu, langit tidak berubah tapi pikiran
manusia yang berubah.
Aku terus berkata – kata
ketika melihat langit di Salwam ini.
Ada rasa haru ketika
mengingat betapa kita manusia selalu lupa bahwa langit di atas kita sama yang
membuatnya berbeda adalah kita manusia.
Langit selalu tinggi, tapi
manusia yang membuatnya menjadi rendah ketika berada di atas angina.
Langit akan terasa tinggi
jika kita ditimpa masalah, itulah manusia.
“Anak saya sakit, lebih
penting anak saya daripada nilai – nilai itu.” Kata seorang guru.
“Saya sudah tua, tidak bisa
mengoreksi banyak – banyak. Pusing.” Kata yang lainnya.
“Pasti siap, tahun – tahun
sebelumnya juga begitu.” Tambah yang lainnya.
Aku terus memikirkan kata
mereka, diberi waktu ujian di hari pertama atau hari terakhir tetap saja
menyusahkan sesame.
Ingat betul aku ketika
harus berperang mulut karena nilai tidak masuk – masuk kerana guru itu
diberikan jadwal di hari kedua sebelum berakhirnya ujian.
“Siapa suruh ujian saya di
hari akhir, Bu Indah.” Ucapnya sambil berkacak pingang.
Unik bukan, teman – teman
sejawat yang sudah bertahun menjadi guru tapi lalai akan tugasnya.
Aku memandang langit di
atasku, rasa pegal dipunggung dan pinggang masih terasa, double capek karena
harus menyelesaikan proses nilai dan menyediakan juadah untuk lebaran besok.
Langit Mu dengan beragam
cerita, dan hari ini menceritkan kepada Mu lelahku semoga menjadi lillah,
amin.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar