Mataku terasa perih, lelah mengelayut aku hanyut dalam tangis panjangku yang memilu. Terpaksa aku membuka mata yang masih lengket akibat semalaman menangis, panas sontak menerpa wajahku. Sinar matahari tidak mau kompromi dengan lelah badan serta jiwaku, dengan garang panasnya menusuk badanku yang memang terlelap di balkon kamar ku. Mengerakkan badan yang terasa sakit akibat tidur di kursi, badanku yang meringkuk saat tidur sungguh menyiksaku.
Aku berjalan masuk ke kamar, rapi masih rapi ranjangku. Aku memandang sekilas kearah androidku yang tergeletak mengenaskan dimeja hias, mengingat chat terakhir dari nomor yang tidak dikenal.
" Kita berbagi Suami, malam ini Dia
bersamaku. " bukan hanya chat tapi juga nomor itu mengirim gambar yang
jelas menunjukkan wajah suamiku terlelap dalam lelahnya di samping perempuan
yang tidak aku kenal.
Aku menuju kamar mandi, mandi dan mengambil
wudhu untuk sholat subuh ku yang terletak sedikit dari waktunya.
Aku melewati sarapanku, rasa sakit melilit
membuat keringat dingin keluar dengan kurang ajarnya sehingga pusing menyerang
dan akhirnya aku hilang kesadaranku.
***
"Hana. " suara lembut itu, menusuk melukaiku aku menatap tajam kearah
suamiku yang entah sejak kapan berada di sampingku. Aku memandang
sekitar, sejak kapan aku berada dikamar. Aku mengingat-ingat apa yang terjadi
dengan diriku, akhirnya aku hanya mengeluh sesak. Aku pingsan di Sekolah
tempatku mengajar.
"Apa yang terjadi sayang. "Sekali
lagi suaranya membuatku muak. Aku memalingkan wajahku memandang kearah balkon
kamarku.
"Kenapa menatap suamimu begitu, tidak ada
yang berubah dari suamimu ini sayang. " Ya Allah kemana urat dosa suamiku
tanpa dosa, apakah dia melupakan perempuan yang bersamanya malam tadi.
Tangannya mencoba meraih wajahku yang berpaling darinya. Aku tetap memalingkan
wajahku, sehingga tangan suamiku pasrah tidak lagi berusaha lagi untuk memaksa
wajahku melihat kepadanya.
"Ada apa Hana, kenapa tidak mau melihat
suamimu ini. " ucapnya sedih.
"Tinggalkan Hana sendiri Bang, Hani mau tidur" Ucapku lemah dan
memejamkan mataku.
" Makan dulu, sudah telat waktu makan makan siangnya. " Ucap suamiku
lagi berusaha membujukku untuk makan.
"Hana tidak akan mati jika tidak makan
sehari saja Bang. " ucap ku kesal.
"Pergilah, Hana tidak butuh Abang. " setetes air mataku disudut mata
keluar.
"Hana, jaga bicaramu. " cengkraman di lenganku terasa menyakitkan.
"Lepaskan, Abang menyakiti Hana. "
akhirnya tangisku pecah.
"Hana ada apa? Jangan buat Abang bingung. " cengkraman di lenganku
lepas, suamiku memilih duduk di ranjang sambil menatapku menangis.
Aku berdiri mencari tasku, setelah menemukan
androidku, membuka aplikasi chat menyodorkan pesan yang aku terima kemarin
malam, menyodorkannya pada suamiku.
Matanya membulat, aku melihat kegusaran
tingkat dewa. Aku menatap wajah suamiku, menuntut jawaban darinya. Lama aku
menunggu tapi hanya keheningan.
"Pergilah jika Abang tidak mau menjawab. Atau Hana yang harus keluar dari
rumah ini. " tegasku kesal.
Langkah kaki suamiku lemas meninggalku,
sungguh aku kesal dengan sikapnya. Tapi saat ini aku butuh istirahat, pusing
kepalaku terasa lagi. Aku membaringkan tubuhku dengan lelah jiwa dan raga.
***
Sudah sebulan aku berada di titik nol
kehidupanku, aku berusaha bangkit dari ketepurukan. Memulai dari awal menata hatiku yang hancur
lebur, tak pernah membayangkan bahwa aku yang selalu merasa baik – baik saja
dalam rumah tanggaku, bagaikan sekam yang pelan – pelan memberi bara yang
panas.
Flashback
“Hana, kita perlu bicara” dua hari sudah
berlalu, foto itu masih ada di androidku
“Apa masih ada yang
perlu kita bicarakan Bang.” Ucapku tak bermaya, sudah tidak ada yang perlu
dibicarakan lagi batinku menjerit, tapi aku masih menatap suamiku yang penuh
dusta dengan rasa tak percaya.
“Abang salah, Abang
tidak mau lagi berselindung. Sudah setahun ini abang menikah lagi.” ucapnya
dengan penyesalan yang entahlah menurutku bukan penyesalan tapi sandiwara
karena aku mengetahui kedoknya memberikan aku madu yang pahit.
Ingin sekali aku
bertanya kepada suamiku, apa kekuranganku tapi semua itu aku pendam, percuma
bertanya kepadanya pasti jawaban yang aku terima pasti akan menyakitkan hatiku
saja.
“Abang yang salah
tidak cukup satu, tidak ada yang kurang dari Hana.” Ucapan suamiku seperti bisa
membaca isi hatiku, tapi itu tidak membuatku bahagia.
“aku tidak punya
kekurangan saja Abang menikah, bagaimana jika aku punya kekurangan tentu bukan
setahun yang lalu mungkin baru seminggu kita menikah aku sudah mendapatkan
madu.” Batinku terlalu sakit.
“Hana bicaralah,
jangan hanya diam, Abang mohon.” Ucapnya dengan raut wajah memohon
“Kita pisah saja
Bang.” Hanya itu kalimat yang spontan keluar dari bibirku yang kering karena
dua hari ini aku tidak ada nafsu untuk makan dan minum.
“Istifar Hana, ucapan
adalah doa jangan diucapkan lagi.” seperti putus asa suamiku mengatakannya.
“Pantas saja, setiap
kita bergurau Abang selalu menyanyikan lagu senangnya dalam hati jika beristri
dua.” Kesalku
“Bukan itu maksud
Abang Ha.”
Belum tuntas ucapan suamiku, aku berlalu
meninggalkan dia sendiri keluar kamar langkahku terhenti, ketika pegangan erat
di tangan menghentikanku.
“Jangan seperti ini
Hani, Tuhan saja memaafkan umatnya han.”
“Tuhan tidak suka sama
orang yang berbohong Bang.” Ucapku sambil berusaha melepas pegangannya
“Hana, apa yang mesti
Abang lakukan.”
“Tak ada pilihan Buat
Abang, ingat sekarang dia hamil tak mungkin abang menceraikannya. Jadi hana
saja yang pergi.” Ucapku mantap walaupun ada yang hilang dari ruang hatiku.
Masih banyak yang
kalimat yang diucapkan suamiku, tapi tak satupun lagi jelas dipendengaranku.
Kosong hanya itu yang aku rasakan.
***
Memulai dari awal tidak sama ketika aku masih
muda, sekarang umurku di ambang senja tapi aku harus memulai dari nol dengan
predikat janda yang tentunya menjadi titik awal sesuatu yang penuh perjuangan.
Tidak guna menghela napas berat, walau berat dengan status baru yang selalu
menjadi momok buat yang bergelar wanita tapi lebih berat jika berada dalam
dusta dan membagi cinta tentunya. Titik nolku bermula, hanya doa teriring serta
memohon doaku diijabah semoga ini keputusan yang membuat aku tidak terus berada
di titik nol dengan duka mengangga.***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar