Minggu, 09 November 2025

Titik Nolku.


Mataku terasa perih, lelah mengelayut aku hanyut  dalam tangis panjangku yang memilu. Terpaksa aku membuka mata yang masih lengket akibat semalaman menangis, panas sontak menerpa wajahku. Sinar matahari tidak mau kompromi dengan lelah badan serta jiwaku, dengan garang panasnya menusuk badanku yang memang terlelap di balkon kamar ku. Mengerakkan badan yang terasa sakit akibat tidur di kursi, badanku yang meringkuk saat tidur sungguh menyiksaku.

Aku berjalan masuk ke kamar, rapi masih rapi ranjangku. Aku memandang sekilas kearah  androidku yang tergeletak mengenaskan dimeja hias, mengingat chat  terakhir dari nomor yang tidak dikenal.

" Kita berbagi Suami, malam ini Dia bersamaku. " bukan hanya chat tapi juga nomor itu mengirim gambar yang jelas menunjukkan wajah suamiku terlelap dalam lelahnya di samping perempuan yang tidak aku kenal.

Aku menuju kamar mandi, mandi dan mengambil wudhu untuk sholat subuh ku yang terletak sedikit dari waktunya.

Aku melewati sarapanku, rasa sakit melilit membuat keringat dingin keluar dengan kurang ajarnya sehingga pusing menyerang dan akhirnya aku hilang kesadaranku.

***
"Hana. " suara lembut itu, menusuk melukaiku aku menatap tajam kearah suamiku yang entah sejak kapan  berada di sampingku. Aku memandang sekitar, sejak kapan aku berada dikamar. Aku mengingat-ingat apa yang terjadi dengan diriku, akhirnya aku hanya mengeluh sesak. Aku pingsan di Sekolah tempatku mengajar.

"Apa yang terjadi sayang. "Sekali lagi suaranya membuatku muak. Aku memalingkan wajahku memandang kearah balkon kamarku.

"Kenapa menatap suamimu begitu, tidak ada yang berubah dari suamimu ini sayang. " Ya Allah kemana urat dosa suamiku tanpa dosa, apakah dia melupakan perempuan yang bersamanya malam tadi. Tangannya mencoba meraih wajahku yang berpaling darinya. Aku tetap memalingkan wajahku, sehingga tangan suamiku pasrah tidak lagi berusaha lagi untuk memaksa wajahku melihat kepadanya.

"Ada apa Hana, kenapa tidak mau melihat suamimu ini. " ucapnya sedih.
"Tinggalkan Hana sendiri Bang, Hani mau tidur" Ucapku lemah dan memejamkan mataku.
" Makan dulu, sudah telat waktu makan makan siangnya. " Ucap suamiku lagi berusaha membujukku untuk makan.

"Hana tidak akan mati jika tidak makan sehari saja Bang. " ucap ku kesal.
"Pergilah, Hana tidak butuh Abang. " setetes air mataku disudut mata keluar.
"Hana, jaga bicaramu. " cengkraman di lenganku terasa menyakitkan.

"Lepaskan, Abang menyakiti Hana. " akhirnya tangisku pecah.
"Hana ada apa? Jangan buat Abang bingung. " cengkraman di lenganku lepas, suamiku memilih duduk di ranjang sambil menatapku menangis.

Aku berdiri mencari tasku, setelah menemukan androidku, membuka aplikasi chat menyodorkan pesan yang aku terima kemarin malam, menyodorkannya pada suamiku.

Matanya membulat, aku melihat kegusaran tingkat dewa. Aku menatap wajah suamiku, menuntut jawaban darinya. Lama aku menunggu tapi hanya keheningan.
"Pergilah jika Abang tidak mau menjawab. Atau Hana yang harus keluar dari rumah ini. " tegasku kesal.

Langkah kaki suamiku lemas meninggalku, sungguh aku kesal dengan sikapnya. Tapi saat ini aku butuh istirahat, pusing kepalaku terasa lagi. Aku membaringkan tubuhku dengan lelah jiwa dan raga.

***

Sudah sebulan aku berada di titik  nol kehidupanku, aku berusaha bangkit dari ketepurukan.  Memulai dari awal menata hatiku yang hancur lebur, tak pernah membayangkan bahwa aku yang selalu merasa baik – baik saja dalam rumah tanggaku, bagaikan sekam yang pelan – pelan memberi bara yang panas.

Flashback

 “Hana, kita perlu bicara” dua hari sudah berlalu, foto itu masih ada di androidku

“Apa masih ada yang perlu kita bicarakan Bang.” Ucapku tak bermaya, sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi batinku menjerit, tapi aku masih menatap suamiku yang penuh dusta dengan rasa tak percaya.

“Abang salah, Abang tidak mau lagi berselindung. Sudah setahun ini abang menikah lagi.” ucapnya dengan penyesalan yang entahlah menurutku bukan penyesalan tapi sandiwara karena aku mengetahui kedoknya memberikan aku madu yang pahit.

Ingin sekali aku bertanya kepada suamiku, apa kekuranganku tapi semua itu aku pendam, percuma bertanya kepadanya pasti jawaban yang aku terima pasti akan menyakitkan hatiku saja.

“Abang yang salah tidak cukup satu, tidak ada yang kurang dari Hana.” Ucapan suamiku seperti bisa membaca isi hatiku, tapi itu tidak membuatku bahagia.

“aku tidak punya kekurangan saja Abang menikah, bagaimana jika aku punya kekurangan tentu bukan setahun yang lalu mungkin baru seminggu kita menikah aku sudah mendapatkan madu.” Batinku terlalu sakit.

“Hana bicaralah, jangan hanya diam, Abang mohon.” Ucapnya dengan raut wajah memohon

“Kita pisah saja Bang.” Hanya itu kalimat yang spontan keluar dari bibirku yang kering karena dua hari ini aku tidak ada nafsu untuk makan dan minum.

“Istifar Hana, ucapan adalah doa jangan diucapkan lagi.” seperti putus asa suamiku mengatakannya.

“Pantas saja, setiap kita bergurau Abang selalu menyanyikan lagu senangnya dalam hati jika beristri dua.” Kesalku

“Bukan itu maksud Abang Ha.”

 Belum tuntas ucapan suamiku, aku berlalu meninggalkan dia sendiri keluar kamar langkahku terhenti, ketika pegangan erat di tangan menghentikanku.

“Jangan seperti ini Hani,  Tuhan saja memaafkan umatnya han.”

“Tuhan tidak suka sama orang yang berbohong Bang.” Ucapku sambil berusaha melepas pegangannya

“Hana, apa yang mesti Abang lakukan.”

“Tak ada pilihan Buat Abang, ingat sekarang dia hamil tak mungkin abang menceraikannya. Jadi hana saja yang pergi.” Ucapku mantap walaupun ada yang hilang dari ruang hatiku.

Masih banyak yang kalimat yang diucapkan suamiku, tapi tak satupun lagi jelas dipendengaranku. Kosong hanya itu yang aku rasakan.

***

Memulai dari awal tidak sama ketika aku masih muda, sekarang umurku di ambang senja tapi aku harus memulai dari nol dengan predikat janda yang tentunya menjadi titik awal sesuatu yang penuh perjuangan. Tidak guna menghela napas berat, walau berat dengan status baru yang selalu menjadi momok buat yang bergelar wanita tapi lebih berat jika berada dalam dusta dan membagi cinta tentunya. Titik nolku bermula, hanya doa teriring serta memohon doaku diijabah semoga ini keputusan yang membuat aku tidak terus berada di titik nol dengan duka mengangga.***

 

 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Sampai Waktunya

Seperti biasa dini hari aku sudah terbangun, rasa lelah tidak membuatku bermalas – malasan. Sebelum aku beranjak meninggalkan ranjang meli...