Kamis, 03 April 2025

Syukur

 

Menatap nanar boneka pemberian Ayah yang setia menemani aku selama ini.

Lusuh tapi aku tidak pernah berniat untuk mengantinya dengan boneka yang baru.

Lusuh tapi bersih, karena aku rajin untuk mencucinya jika sudah mengeluarkan aroma yang tidak enak, maklum selalu menjadi teman tidurku.

Ketukan di pintu membuatku mengalihkan pandangan dari boneka kesayanganku ke arah pintu.

Membangunkan badan menuju pintu, panel pintu aku tekan untuk melihat siapa yang mengetuk pintuku.

Wajah yang aku rindu berdiri tegak sambil merentangkan lebar tanganya.

“Ayah,” Rajukku masuk dalam pelukan Ayahku

“Bagaimana kabar anak Ayah?” suara yang jarang aku dengar bertanya.

“Baik – baik saja, nenek tidak memberi tahu Zahra Ayah pulang hari ini.” Ucapku manja.

“Sengaja untuk kejutan.” Ucap Ayah mengecup ubunku

Setelah melepas rindu, aku mencium tangan Ayah ajaran yang selalu aku ingat dari Nenek.

“Ini ada penganti boneka lusuh Zahra.” Ucap Ayah menyodorkan boneka beruang yang besarnya sebesar gulingku.

Mataku takjub melihat boneka yang Ayah berikan.

“Kasihan Ayah lihat boneka tua yang sudah banyak tempelannya.” Ucap Ayah

Aku terkekeh mendengar ucapan Ayah, ya aku menempel boneka kesayanganku dengan gambar bunga untuk menutupi lubangnya.

Pekerjaan Ayah yang mengharuskan dirinya meninggalkan Aku, sementara menurut cerita Nenek Mak meninggal setelah melahirkan aku ke dunia.

Hanya selalu memandang foto Mak jika Aku rindu, sekarang umuruku sudah 16 tahun.

Sejak kecil aku tidak mendapatkan kasih sayang seorang Ibu, hanya nenek yang mencurahkan kasih sayang kepadaku.

Sewaktu aku duduk di kelas 6 SD, ayah pernah mengenalkan seorang perempuan yang katanya akan menjadi Ibu sambungku.

Tapi entah apa yang terjadi, sejak kecelakanan yang menimpa aku ketika pergi berdua dengan calon ibu sambungku perempuan itu tidak pernah lagi datang ke rumah.

Aku tidak keberatan jika perempuan itu yang menjadi Ibu sambungku, tapi setiap aku bertanya kepada Nenek kenapa Ibu Ita namanya tidak pernah datang lagi, Nenek hanya berkata Ibu Ita bukan jodoh Ayah aku tidak pernah bertanya lagi.

Apalagi ketika aku bertanya kepada Ayah, ekspresi Ayah menunjukkan wajah marah seakan ada yang disembunyikan Ayah tentang Ibu Ita.

***

Sebentar lagi aku masuk Sekolah Menengah Atas, karena masuk cepat dan umurku belum genap 16 belas tahun.

Aku amat menyukai wali kelasku, umurnya mungkin sudah seumur Ayah, tapi masih sendiri.

Ingin rasanya menyampaikan hasratku kepada Ayah untuk menjadikan walikelasku sebagai Ibu sambungku tapi aku ragu.

Sementara nenek sudah memberikan lampu hijau kepada walikelasku Bu Zahwa.

Tatapah teduh selalu menatap kami siswanya.

Dalam keadaan marah tidak pernah meluap – luap selalu kata nasehat yang membuat kami amat menyayanginya.

Aku ingat betul ketika aku terkena campak sewaktu awal semester tujuh, dengan telaten Bu Zahwa merawatku.

Nenek yang kala itu juga jatuh sakit membuat Bu zahwa terpaksa menginap selama seminggu di rumah.

Bu zahwa sebatang kara setelah Ayah dan Maknya mengalami kecelakaan kapal pancung yang karam bersama adik lelakinya.

Pernah gagal menikah tapi tidak membuat Bu Zahwa menjadi pribadi yang terpuruk.

“Jadi perempuan itu harus kuat, kita pondasi dalam keluarga ibarat sekolah guru adalah pondasi untuk menciptakan generasi yang tangguh. Begitu juga dengan perempuan akan menjadi pondasi dalam rumah tangganya.

Perempuan guru pertama di rumahnya, jadi jangan sedih hanya karena tidak jadi menikah.” Ucapnya kali itu.

Aku mengumpat dalam hati ketika salah satu temanku yang usil bertanya kepada Bu Zahwa bagaimana perasaannya tidak jadi menikah.

Senyum menghiasi wajah Bu Zahwa ketika begitu banyak hujatan menimpanya kerena gagal menikah.

“Lelaki tidak tahu diri, hanya karena BU Zahwa yatim piatu dan belum pegawai dengan seenaknya mengagalkan pernikahan.” Umpatku kala itu ketika tahu alasan Bu Zahwa tidak jadi menikah.

Berjalannya waktu aku semakin mengagumi Bu Zahwa, bagaimana tidak walaupun pegawai honor Bu Zahwa bisa mencicil rumah dan mobil dari penghasilannya memberikan les privat kepada beberapa anak yang orangtuanya mampu.

Honor yang diterima Bu Zahwa lebih besar dari gaji honornya jika dihitung perjam.

Aku terkekeh mengingat bagaimana aku mengali informasi mengenai Bu Zahwa.

Berharap lebih ketika Ayah pulang, aku akan mendekatkan mereka.

Dengan bantuan nenek aku seolah – olah sakit, suara batukku mengema ruang kamarku.

Ayah bergegas datang, Ya Ayah akan sangat khawatir jika aku sakit.

Memantau diriku walau hanya lewat video call jika nenek berkabar aku sakit.

Dan, tara. Tak lama aku mendapat chat dari Bu Zahwa menanyakan aku sakit apa dan berjanji setelah pulang sekolah akan singgah ke rumah untuk melihat kondisiku.

Senyumku mengembang, setelah membalas chat Bu Zahwa dengan tulisan akan menunggu ke datangnya kerumah.

Ayah memujukku untuk periksa ke dokter, untung saja nenek bisa menyakinkan Ayah untuk hanya meminum obat saja.

Setelah berhasil menyakinkan Ayah dengan sakit palsuku.

Aku dan Nenek bertos ria ketika Ayah keluar mengatakan untuk mencari air kelapa muda dan telur ayam kampung yang kata nenek ramuan manjur untuk sakitku.

Waktu berjalan lambat, aku menanti dengan debaran yang tidak biasa, sementara nenek sibuk mengatur makan Salwam romantis untuk Ayah dan Bu Zahwa.

“Harum sekali masakan Mak, ada tamu yang akan datang?” Suara Ayah terdengar dari ruang dapur

Ternyata Ayah sudah pulang dari membeli kelapa dan telur ayam kampung.

***

Akhirnya aku bernapas lega ketika mendengar suara mobil Bu Zahra.

Saking sayangnya aku dengan Bu Zahwa aku bisa mengenali kendaran yang dinaikinya.

“satu, dua, tiga.” Aku menghitung angka

“Assalamualaikum.” Suara Bu Zahwa terdengar.

Suara ceria Nenek terdengar ceria ketika menjawab salam.

Langkah mendekati kamarku semakin dekat, senyumku berganti wajah memelas untuk menghilangkan curiga Bu Zahwa.

Panel pintu terbuka, wajah teduh Bu Zahwa terlihat melepar senyumnya kepadaku.

“Ibu sudah datang.” Suaraku ku buat lemah.

“Apa yang terjadi, bukankah kemarin Zahra baik – baik saja Nek.” Suara cemas Bu Zahwa terdengar.

Bu Zahwa menghampiriku, tangan lembutnya memegang keningku.

“Tidak panas,.” Ucapnya lagi.

“Badanya tidak panas, Zahwa tapi muntah – muntah dari pagi.” Suara nenek terdengar.

Nenek tidak menggunakan embel – embel Ibu kepada Bu Zahwa.

“Masuk angina ya Nek.” Ucap Bu Zahwa lagi

“Kebanyakan makan, bagaimana masuk angin.” Ucap Nenek lagi.

“Mak, ini Zayn bawakan obat untuk Zahra.” Suara Ayah terdengar.

Kami yang berada di kamar ku, spontan melihat kearah suara yang bergema.

“Zahwa, betulkan ini Zahwa.” Suara Ayah terdengar terkejut menyebut nama Bu Zahwa.

Tentu saja Aku dan Nenek menatap lekat Ayah dan Bu Zahwa bergantian.

“Bang Zayn, kenapa ada di sini.” Suara Bu Zahwa tidak kalah terkejutnya.

“Ini rumah Abang, itu Mak dan Anak Abang.”Ucap Ayah.

“Zayn kenal dengan Zahwa.” Suara Nenek terdengar.

“Ini yang Zayn ceritakan dulu, Mak ingat 3 tahun yang lalu sewaktu kecelakan kapal yang Zayn menjadi kaptenya. Tunangan Zahwa meninggal karena kecelakaan itu.” Cerita Ayah lagi.

Rona  sedih terlihat dari wajah Bu Zahwa, secepat kilat Nenek merangkul Bu Zahwa.

Lumayan lama kami bersembang, menjelang magrib Bu Zahwa pamit pulang.(Bersambung)

***

Setelah makan Salwam, kami berkumpul di ruang tengah.

“Zayn, Mak ingin bertanya sesuatu. Mak harap zayn tak marah dengan pertanyaan Mak.

Sudah 16 tahun, Zaimah meninggal tidakkah berfikir untuk mencari pengantinya.” Ucap nenek berhati – hati.

Aku menahan napas ketika Nenek bertanya kepada Ayah.

Aku berdoa dalam hati, Ayah mengatakan jika Aku setuju mempunyai Ibu Sambung aku akan menjawab ya dan menyodorkan Bu Zahwa sebagai Ibu Sambungku.

“Mak ingin menjodoh Zayn dengan siapa?” bukannya menjawab pertanyaan Nenek, Ayah Salwah balik bertanya.

“Mak berkenan sangat dengan Zahwa, bagaimana pendapat Zayn mengenai Zahwa.” Aku tersenyum senang.

Nenek langsung menembak Ayah, Ayah terlihat sedikit gugup.

Aku yakin Ayah tidak akan menolak permintaan nenek.

“Zahra sudah terlalu besar untuk mendapat Ibu Baru Mak.” Ucapan Ayah membuatku menghela napas berat.

“Tanyakan dulu sama Zahra, jangan main ambil keputusan sendiri Zayn.” Ucap Nenek tegas.

Aku menatap lekat Ayah, berharap Ayah langsung bertanya kepadaku.

Tapi detik berlalu, menit meninggalkan waktu sudah sejam berlalu, Ayah masih diam.

Suasana sunyi, hanya suara TV yang bergema tapi kami tidak menontonnya.

“Sudah jam 9, sebaiknya kita tidur. Zayn penat nak istirahat sekarang.

“Selamat tidur Mak, Zahra.” Ucap Ayah

Ayah meninggalkan Aku dan Nenek yang saling tatap melihat Ayah meninggalkan kami di ruang tengah.

***

Salwam tadi tidurku gelisah, pagi ini dengan tidak bersemangat Aku memulai hari.

Berdoa dengan khusuk subuh tadi, berharap Ayah mengubah pernyataannya kemaren Salwam.

Dan pagi ini Ayah menanyakan kepadaku tentang ingin mempunyai Ibu Sambung.

Sampai dengan waktunya aku berangkat sekolah, Ayah tidak muncul dari kamarnya.

Aku pamit berangkat sekolah dengan Nenek, bas jemputan sekolah sudah sampai di depan rumah.

Perasaan kecewa menyelimuti pagiku, meninggalkan sejuta tanya dengan perubahan sikap Ayah sejak Salwam tadi.

Hariku di sekolah abu – abu, waktu istirahat aku menyendiri di perpustakaan sekolah.

“Zahra di cari Bu Zahwa di ruang UKS.” Inah dengan napas ngos – ngoson memberitahuku.

Keningku berkerut, ada apa Bu Zahwa mencariku, apakah Ayah menelepon Bu Zahwa mengatakan sesuatu yang menyakiti hatinya.

Ayah, apa yang Ayah lakukan jangan sampai kasih sayang Bu Zahwa berubah menjadi benci.

Pikiranku berkecamuk, perkataan nenek yang sudah kami susun serapi mungkin, tidak berhasil dengan Ayah.

Jangan sampai Ayah berpikir Bu Zahwalah yang tergila – gila dengan Ayah.

Dengan hati gundah aku berlalu meninggalkan Inah di perpustakaan, berjalan cepat mencari keberadaan Bu Zahwa di majelis guru.

“Assalamualaikum.” Ucapku

“Masuk Zahra.” Terdengar suara Bu Zahwa

Bu zahwa duduk manis di sofa yang berada di ruang BP.

Senyum Bu Zahwa membuat hatiku terhibur, berusah mengimbangi senyum Bu Zahwa akupun memberikan tersenyum terbaikku untuk Bu Zahwa.

Semoga Bu Zahwa tidak membaca kegundahan hatiku.

“Duduk di sini.” Bu Zahwa menepuk tempat yang harus aku duduki.

“Ada apa, masih sakit?” suara lembut Bu Zahwa merasuki pendengaranku.

“Pak Amir mengatakan, Zahra tidak focus pada mata pelajaranya. Karena kemaren Zahra sakit, Pak Amir menduga Zahra masih sakit.

Hatiku terenyuh dengan perhatian Bu Zahwa, lihat saja saat ini saja Bu Zahwa mengajakku untuk beristirahat di ruang UKS Sekolah.

Aku memilin ujung jilbabku, bingung mau menjawab apa.

Kemaren aku berdrama tentang sakitku kepada Bu Zahwa, sekarang jika aku mengakui ingin menjodohkan Bu Zahwa dengan Ayah, bagaimana  bu Zahwa nantinya.

“Ayah marah Bu.” Ucapku sedih.

“Ayah marah, memangnya ada kejadian apa sampai Ayah marah?” tanya Bu Zahwa

“Nenek mengusulkan Ayah untuk menikah lagi. Tapi sepertinya Ayah tidak setuju.” Ucapku lemah.

‘Mungkin Ayah punya pemikiran sendiri untuk masalah jodoh. Ayah tidak marah, mungkin cara Ayah menyikapi permintaan nenek dengan berdiam diri. “ jelas Bu Zahwa panjang lebar.

Aku membenarkan perkataan Bu Zahwa, ada lega di dada.

“Jam istirahat hampir habis, sudah ngemil.” Ucapan BU Zahwa membuatku tersenyum tipis.

Masalah Ayah membuatku melupakan perutku yang seharusnya di isi dengan makanan kecil untuk penguat stamina belajar.

“Ini ada roti isi, makanlah. Biar focus belajarnya.” Ucap Bu Zahwa sambil menyodorkan roti isi kepadaku.

***

Langkahku melemah setelah Bas sekolah yang mengantarku sampai di depan rumah.

Rasanya enggan untuk pulang, tapi hanya rumah ini tempatku pulang.

Sambil menenangkan hati aku melangkah mengucapkan salam dan menekan panel pintu depan.

Sunyi, tidak ada yang menjawab salamku, pasti nenek sibuk dengan peliharaanya di belakang.

Ayah, kemana Ayah tidak mungkin Ayah sudah berangkat lagi.

Baru 3 hari Ayah berada di rumah, tapi bisa saja Ayah senganja untuk menghindar jadi berangkat lagi.

Aku melangkah lemah menuju kamarku untuk berganti pakaian rumah dan menyusul Nenek di belakang.

Mataku melirik kanan kiri mencari keberadaan Nenek, setelah berganti baju aku langsung menuju belakang rumah.

Tidak aku lihat batang hidung Nenek dibelakang rumah, keningku berkerut.

Nenek tidak berada di belakang, kemana gerangan perginya Nenek.

Tanpa aku sadari kaki melangkah menuju kamar Ayah.

Mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban dari dalam kamar Ayah.

Rasa penasaran membuatk aku menekan panel pintu kamar Ayah.

Perlahan aku menengok ke dalam dari balik pintu kamar Ayah yang sudah aku buka.

Rapi, itu tampilan tempat tidur yang tertangkap mataku.

Tidak ada tanda – tanda keberadaan Ayah, kemana Ayah berada saat ini.

Ayah dan Nenek tidak ada di rumah, kemana mereka pergi.

Aku menepuk keningku, sejak pagi aku mencuekin HP – ku karena gelisah dengan tingkah laku Ayah.

Aku berlari  menuju kamarku untuk mendapatkan HP – Ku yang berada di dalam tas sekolahku.

“Ini dia.” Seruku ketika melihat HP – Ku.

Hatiku bertambh kesal, ketika aku butuh tapi HP – ku tidak bisa dinyalakan.

Sekali lagi aku memukul keningku, sejak seSalwam bateriku sudah low.

Pantas saja sekarang HP – Ku mati, dengan tergesa aku mengambil chager dan mengisi daya bateriku.

Sabar, sabar aku harus menunggu beberapa menit untuk menyalakan HP – Ku.

Aku abaikan untuk saat ini menggunakan HP saat di cas.

Aku sangat ingin melihat apakah ada pesan dari Nenek atau Ayah untuk mengetahui keberadaan mereka.

“Alhamdulillah.” Batinku ketika melihat ada Chat dari Nenek.

“Nenek ada keperluan di luar, mungin magrib baru kembali kerumah. Ayah Sahra pamit mungkin 2 hari lagi pulang ke rumah.” Ada rasa lega setelah membaca chat Nenek, tapi aku kecewaku lebih besar mengetahui Ayah tidak pamit kepadaku.

***

Rumah terasa sunyi, ingin rasanya aku menjerit mengatakan kepada dunia aku ingin memiliki seorang Ibu tempat untuk bermanja.

Melihat teman – temanku bermanja dengan Ibu mereka aku merasa tersisihkan.

Untung saja nenek selalu mengatakan aku anak kuat sehingga Allah memberikan ujian dengan mengambil Ibuku lebih cepat.

Nenek selalu menguatku tapi nenek bukan sosok Ibu yang aku inginkan,  aku menginginkan seorang Ibu.

Ayah, apakah aku harus mengatakan semua materi yang engkau berikan tidak sebanding dengan sosok Ibu yang aku inginkan.

Aku ingin menangis dalam dekapan seorang Ibu, walaupun Ayah mengatakan dekapan Nenek sama dengan dekapan Ibu tapi sejak aku merasakan dekapan hangat Bu Zahwa aku mengingikan seorang Ibu.

Menatap langit dari jendela kamarku, HP ku bergetar tanda ada chat masuk, aku membiarkannya pasti Ayah.

Tadi setelah setengah jam aku berada di rumah, telepon dari Ayah masuk tapi aku mengabaikannya.

Ada rasa kecewa yang dalam aku rasakan terhadap Ayah.

Tak terasa air bening menetes dari sudut mataku, cepat aku menghapusnya.

Aku tidak ingin terlihat lemah, walaupun aku sendiri saat ini di rumah.

***

“Assalamualaikum.” Suara nenek terdengar seiring suara azan bergema dari corong masjid.

Aku sudah siap dengan mukena dan sajadah di tangan.

“Nenek magrib ini Zahra ingin berjamah di masjid. Izin sampai sholat isya baru kembali kerumah.” Ucpaku sambil mengambil tangan Nenek untuk pamit.

Aku melihat kerutan di kening Nenek, tidak biasanya aku meminta izin untuk sholat di masjid.

Tapi aku tidak menunggu larangan dari Nenek, Aku terus melangkah besar untuk keluar rumah.

Sesampainya di masjid aku memilih duduk dipojokan masjid.

Tidak banyak jamah perempuan, maklum ini bukan bulan puasa.

Aku ingin menenangkan pikiranku, rasa kecewa dalam dada menyesakkan dadaku.

Ingin pergi ke rumah Bu Zahwa tapi aku tidak ingin memancing rasa curiga Bu Zahwa.

Lebih baik aku mengadu kepada kekasih rasulullah saja.

Mendengarkan suara yang menyejukkan dari imam masjid membuat hatiku menjadi lapang.

Dari magrib sampaikan ke sholat isya aku menyejukkan diri di masjid.

Berusaha berfikir positif tentang semua hal.

Ayah, menduda sekian lama hanya karena mencintai Ibuku saja.

Tapi banyak cerita diluaran sana, jika pelaut dimana singgah pasti ada istrinya.

Apakah Ayah, sama dengan pelaut lainya sehingga Ayah tidak payah berfikir aku mempunyai Ibu sambung yang penting Ayah sudah punya mendamping.

Selama ini aku berfikir aku anak tunggal, kenyataanya aku mempunyai saudara diluaran sana.

Ah, kenapa pikiranku bertambah kacau.

Akhirnya aku pasrah, jika memang Ayah sudah mempunyai keluarga lain selain Aku dan Nenek, Aku harus ikhlas.

Dengan perasaan yang tadinya kacau aku berusaha tetap tenang, jangan bertambah kacau.

Langkah kecil yang tidak tenang aku bawa melangkah menuju rumah.

Ucapan salam aku berikan setelah sampai di rumah, tak berharap lebih hanya jawaban salam dari Nenek yang selama ini Aku miliki.

Suara berat milik Ayah yang menjawab salamku, langkahku ragu ketika melihat Ayah duduk dengan gagah di ruang tamu milik kami.

 Meraih tangan Ayah, ciumnya takzim.

Salwas untuk berkata – kata, aku hanya berharap masuk ke dalam kamarku.

“Kita makam Salwam bersama.” Ucap Ayah tegas.

Langkahku terhenti, memandang sekilas kearah Ayah, ingin berkata aku sudah kenyang.

Ekspresi wajah Ayah tidak ingin di bantah, akhirnya aku melangkahkan kami menuju kamar untuk meletakkan mukenaku dan kembali keluar kamar menuju ruang tengah tempat kami selalu makan bersama.

Nenek sudah memasak semua makanan ke sukaanku, pasti seperti itu Nenek bukanya memasak makanan ke sukaan Ayah jika Ayah ada di rumah tapi aku yang dimanjakan.

“Ayah Zahra sudah makan enak di luar, jadi Nenek lebih memasak makanan ke sukaan Zahra supaya lahap makan sehingga Ayah bahagia.” Ucapan Nenek yang tidak masuk akalku.

Aku menantap satu persatu masakan Nenek, dari mulai sayur kankung belacan, asam pedas udang campur nanas, tahu tempe tepung serta dadar telur dan kerupuk ikan moro tersedia di meja makan.

Ada satu hidangan yang berbeda hari ini, ada gulai ayam sepertinya gulai ayam kampung.

Kening berkerut, bukankah ini masakan kesukaan Ayah.

Aku memandang ke arah Nenek, seakan membaca pikiranku Nenek berkata.

“Ayah Zahra yang bawa gulai tu, mungkin Ayah Zahwa beli di luar.

“Bu Zahwa yang kasih.”  Ucap Ayah.

Aku dan Nenek serempak menatap wajah Ayah terkejut.

“Makan tidak boleh bersuara.” Lanjut Ayah.

Membuat mulut Nenek yang sudah terbuka tertutup kembali.

Petuah Nenek yang diucap Ayah tidak akan di langgar Ayah.

Hatiku mengumpat Ayah yang mengunakan petuah Nenek sehingga Nenek tidak dapat bertanya kapan Ayah berjumpa dengan Ibu Zahwa.

Ayah menyudahi makananya sebelum Aku dan Nenek.

Aku berusaha mengimbangi makan Ayah yang cepat, tapi tetap saya Aku kalah cepat dengan Ayah.

Ayah meninggalkan meja makan dengan sejuta pertanyaan di kepalaku.

Setelah makan aku membantu Nenek membersihkan peralatan makan Salwam kami sebelum aku menyusul Ayah yang telah duduk manis diruang TV.

Suara TV terdengar sampai ke dapur, aku mengambil inisiatip membuatkan Ayah kopi, mudah – mudahan ada kesempatan untuk bertanya tentang gulai ayam dari Bu Zahwa.

Sesampainya di ruang TV aku melihat sekeliling taka da penampakan Ayah disana.

TV main sendiri, tidak ada yang menonton. Setelah meletakkan kopi pada meja yang ada aku mencari Ayah sampai ke kamar Ayah.

“Ayah, di dalam? Zahra sudah membuatkan kopi untuk Ayah.” Ucapku di depan pintu kamar Ayah.

Tidak ada sahutan dari dalam kamar Ayah, berulang kali Aku mengetuk dan memanggil nama Ayah, tapi tidak ada yang menjawab.

“Ayah Zahra sudah keluar.” Ucap Nenek sambil mengusap pundakku.

Entah sejak kapan Nenek sudah berdiri di belakang diriku.

Nenek menunjukkan chat dari Ayah kepadaku.

Helaan napas kasar terdengar dari mulutku, Ayah seperti main kucing – kucingan dengan Aku dan Nenek.

“Zahra masuk kamar belajar Nek.” Ucapku dengan nada kecewa.

Sampai pukul 10 aku menunggu Ayah, tapi batang hidung Ayah tidak datang.

Aku menyerah, menutup semua buku pelajaran yang dari tadi melihatku bukan aku yang melihat dan mengamatinya.

Merebahkan diri di kasur, menarik selimut dan membaca doa sebelum memejamkan mata.

Rasa lelah di hati dan badan membuatku terlelap dengan cepat.

***

Suara azan subuh terdengar, aku mengerjapkan mata tidurku tidak lelap, banyak pertanyaan yang mengantung di hati.

Setelah berdoa bangun tidur seperti ajaran Nenek, aku melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk berwudhu.

Doaku panjang salah satunya berharap Ayah akan menjawab mistiri gulai ayam pemberian Bu Zahwa.

Harapanku penuh Bu Zahwa akan menjadi Ibu sambungku.

Melipat mukena, bersiap menuju dapur untuk membantu Nenek menyiapkan sarapan pagi.

Memandang pintu kamar Ayah, lampunya mati.

“Ayah tidak pulang tadi Salwam.” Batinku

“Buat telur separuh masak untuk Ayah Zahra dua butir. Nenek mau telur mata sapi.” Ucap Nenek

Jika Nenek berkata demikian berarti aku hanya tinggal membuat toping untuk nasi goreng saja.

Untukku aku membuat telur mata sapi dengan banyak daun bawang dan juga ada sedikit irisan cabe rawit.

Setelah selesai mengerjakan apa yang Nenek suruh, aku berlalu menuju kamar untuk mandi dan bersiap untuk berangkat sekolah.


“Assalamualaikum.”Suara Ayah terdengar dari pintu depan rumah.

Bergegas aku mempercepat berdandan, pagi ini aku harus mengetahui cerita disebalik gulai ayam dari BU Zahwa.

“walaikumsalam.” Ucapku sambil mengambil tangan Ayah untuk dicium.

“Ayah jumpa Ibu Zahwa dimana, sampai diberi gulai ayam.” Ucapku tidak mau berbasa – basi.

“Ayah jumpa Bu Zahwa di teras rumah, katanya gulai itu untuk mengusir kesedihan di hati Zahra. Ayah ajak masuk ke rumah kata Bu Zahwa tidak usah. Cukup Ayah sampaikan saja gulai untuk Zahra.” Cerita Ayah panjang lebar.

Lagi – lagi aku kecewa, ternyata Ibu Zahwa yang mengantar untukku bukan bertemu dimana dengan Ayah.

Harapanku terlalu tinggi, lagian tidak mungkin Ayah akan mencari Bu Zahwa begitu pula sebaliknya.

“Apa yang Zahra sedihkan?” tanya Ayah

“Tidak ada.” Aku hanya memandang Ayah sekilas, tersenyum kejut sambil menjawab pertanyaan Ayah.

“Apa setelah Ayah tahu Zahra sedih karena apa, Ayah akan mengabulkan permintaan Zahra. Tidakkan?” ucapku.

“Zahra izin ke kamar, mau belajar.” Tanpa menunggu jawaban dari Nenek dan Ayah aku melenggang menuju kamar.

Ingin rasanya aku membanting pintu, menumpakah segala kesal di dada.

Tapi ajaran Nenek selalu bergiang di kepala, segala sesuatu pasti ada hikmahnya.

“Tidak semua keinginan akan terwujud, Allah memberikan apa menurutnya baik untuk kita, ingat itu baik –baik,” nasehat Nenek kepadaku.

Semoga lelahku menjadi lillah, aku tersenyum menyemangati diriku sendiri.

Belum juga aku membuka buku, ketukan di pintu membuatku berfikir Ayah atau Nenek yang mengetuk pintu.

Salwas untuk menebak aku melangkahkan kaki menuju pintu kamar, menekan panel pintu kamarku.

Sosok menjulang Ayah berdiri tegap di depan pintu kamarku.

“Boleh Ayah masuk?” ucap Ayah sambil mengumbar senyumnya.

Aku hanya memberi celah untuk Ayah masuk, Ayah duduk di tepi ranjangku, semantara aku duduk di kursi belajarku berhadapan dengan Ayah.

“Zahra sangat ingin mempunyai Ibu, bukankah selama ini Zahra bahagia.

Jangan sampai setelah punya Ibu, Zahra Salwah tidak bahagia.

Apa yakin Bu Zahwa akan baik dan sayang setelah menjadi Ibu Zahra.” Ucap Ayah panjang lebar.

Aku terkejut dengan pernyataan Ayah tidak bisa mencerna apa yang Ayah ucapkan dengan sempurna.

Selama ini aku tidak pernah bertanya apakah Ibu Zahwa mau menjadi Ibuku, apa yang diucapkan Ayah sekarang menjadi bertanya yang sulit aku pikirkan.

Aku hanya memikirkan jika seandainya Bu Zahwa yang menjadi Ibuku akan menyenangkan.

“Bicaralah dengan Bu Zahwa jika beliu mau menjadi Ibu Zahra, Ayah akan meminangnya untuk menjadi Ibu Zahra.

Tapi ingat, tidak ada pemaksaan ya.” Ucapan Ayah membuat senyumku terbit.

“Belajarlah, pukul 9.30 tidur. Biar besok sekolahnya segar.” Lalu Ayah mengusap kepalaku lembut dan meninggalkan kamarku.

Hatiku bersorak ria, segalanya seperti air mengalir. Buku yang aku baca sepertinya masuk semua ke dalam kepalaku.

Semoga Bu Zahwa mau menjadi Ibuku, doaku setelah membaca doa sebelum tidur.

***

Setelah mencium tangan Ayah dan Nenek aku berangkat sekolah dengan semangat 45.

Hari ini aku harus berbicara dengan Bu Zahwa, lucu rasanya aku yang akan meminang Ibu Sambungku, semoga saja Bu Zahwa mau menjadi Ibu Sambungku.

Aku bergegas menuju ruang majelis guru setelah bunyi tanda istirahat berbunyi.

Mengucapkan salam dan masuk ke dalam ruangan majelis guru setelah ada yang menjawab salamku.

Aku memandang keseluruh penjuru majelis guru, tapi tidak ada penampakan Bu Zahwa.

“Bu Zahwa izin tidak masuk sekolah, karena ada urusan keluarga.” Terdengar suara Bu Ina dari pokok ruangan.

Semua guru tahu, aku pasti mencari Bu Zahwa jika datang kemajelis guru.

Selain guru, Bu Zahwa juga walikelas yang selalu memanggilku karena aku sekretaris kelas.

Aku menghela napas kasar, hari ini aku tidak bisa menjalankan misiku.

Dengan langkah gontai aku keluar dari ruang majelis guru.

Rasanya hari ini aku tidak punyak semangat untuk belajar dan sekolah.

***

Sudah 2 hari Bu Zahwa tidak masuk sekolah, sepertinya ada masalah berat sehingga tidak seperti biasanya Bu Zahwa yang selalu hadir di sekolah walaupun flu dan batuk ringan.

Semoga hari ini Bu zahwa hadir, dan aku bisa melaksanakan misiku untuk menjadikan Bu Zahwa Ibu Sambungku.

Langkahku ku percepat setelah melihat kendaraan Bu Zahwa terpakir cantik di tempat parkir yang biasa digunakannya.

Masih ada waktu 20 menit, sudah menjadi kebiasan Bu Zahwa untuk hadir setengah jam sebelum jam lonceng tanda proses pembelajaran di mulai.

Langkah ringanku menuju majelis guru, tidak ingin singgah dulu ke kelas.

“Assalamualaikum.” Ucapku sesampai di pintu majelis guru.

Suara lembut menjawab salamku dan menyuruh Aku masuk.

Dengan langkah pasti aku melangkah masuk, senyum Bu Zahwa menyambutku.

Perasaan tenang langsung menjalar melihat senyum itu.

Aku meraih tangannya dan mencium takzim.

“Ada Zahra, ada masalah pagi sudah mencari Ibu?” suara lembut Bu Zahwa berucap.

“Zahra ingin meminta sesuatu kepada Ibu, sebelum itu Zahra minta maaf jika apa yang akan Zahra katakan tidak berkenan di hati Ibu.” Ucapku mantap.

“Asalkan permintaannya tidak berlebihan akan Ibu pertimbangkan.” Lagi – lagi senyum manis Ibu Zahwa berikan kepadaku.

“Ibu mau menjadi pendamping Ayah dan menjadi Ibu Zahra.” Ucapku berhati – hati.

Mata Bu Zahwa langsung berkaca – kaca, aku langsung takut melihat reaksi Bu Zahwa.

Bu Zahwa meraih tanganku yang saat ini sedang duduk berdepan dengannya.

“Yakin mau Ibu menjadi pendamping Ayah, tidak menyesal setelah menjadi Ibu Zahra ibu berubah bagaimana?” aku menatap wajah Bu Zahwa dengan senyum termanisku.

“Insyaallah Ibu akan menjadi yang terbaik untuk Ayah dan Zahra.” Ucapku lembut.

Mengangkat tangan Bu Zahra yang berada dalam genggamanku dan menciumnya takzim.

“Ayah Zahra sudah melamar Ibu 3 hari lalu.” Senyum Bu Zahwa mengembang.

Ternyata 3 hari lalu ketidak hadiran Bu Zahra karena Ayah.

Aku bersyukur ternyata Ayah mewujudkan keingananku.

Doaku diijabah Allah, mungkin ini yang dikatakan Nenek.

Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk umatnya, jika Ia mengatakan kun maka terjadilah.

Aku tidak tahu rahasia apa dibalik penerimaan Bu Zahra, yang aku tahu aku bersyukur kepada Allah dengan diterimanya pinangan Ayah dan menjadikan Bu Zahwa sebagai pendamping Ayah dan Ibu untuk diriku.***

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Kasihan Wali Kelasku

  Beberapa hari ini, kembali aku melihat raut wajah lelah wali kelasku. Wajah tua tapi setiap hari selalu menebar senyum sambil berkata ka...