Menatap nanar boneka pemberian Ayah yang setia menemani aku selama ini.
Lusuh tapi aku tidak pernah
berniat untuk mengantinya dengan boneka yang baru.
Lusuh tapi bersih, karena
aku rajin untuk mencucinya jika sudah mengeluarkan aroma yang tidak enak,
maklum selalu menjadi teman tidurku.
Ketukan di pintu membuatku
mengalihkan pandangan dari boneka kesayanganku ke arah pintu.
Membangunkan badan menuju pintu, panel pintu aku tekan untuk melihat siapa yang mengetuk pintuku.
Wajah yang aku rindu
berdiri tegak sambil merentangkan lebar tanganya.
“Ayah,” Rajukku masuk dalam
pelukan Ayahku
“Bagaimana kabar anak Ayah?”
suara yang jarang aku dengar bertanya.
“Baik – baik saja, nenek
tidak memberi tahu Zahra Ayah pulang hari ini.” Ucapku manja.
“Sengaja untuk kejutan.”
Ucap Ayah mengecup ubunku
Setelah melepas rindu, aku
mencium tangan Ayah ajaran yang selalu aku ingat dari Nenek.
“Ini ada penganti boneka
lusuh Zahra.” Ucap Ayah menyodorkan boneka beruang yang besarnya sebesar gulingku.
Mataku takjub melihat
boneka yang Ayah berikan.
“Kasihan Ayah lihat boneka
tua yang sudah banyak tempelannya.” Ucap Ayah
Aku terkekeh mendengar
ucapan Ayah, ya aku menempel boneka kesayanganku dengan gambar bunga untuk
menutupi lubangnya.
Pekerjaan Ayah yang
mengharuskan dirinya meninggalkan Aku, sementara menurut cerita Nenek Mak
meninggal setelah melahirkan aku ke dunia.
Hanya selalu memandang foto
Mak jika Aku rindu, sekarang umuruku sudah 16 tahun.
Sejak kecil aku tidak mendapatkan
kasih sayang seorang Ibu, hanya nenek yang mencurahkan kasih sayang kepadaku.
Sewaktu aku duduk di kelas
6 SD, ayah pernah mengenalkan seorang perempuan yang katanya akan menjadi Ibu
sambungku.
Tapi entah apa yang
terjadi, sejak kecelakanan yang menimpa aku ketika pergi berdua dengan calon
ibu sambungku perempuan itu tidak pernah lagi datang ke rumah.
Aku tidak keberatan jika perempuan
itu yang menjadi Ibu sambungku, tapi setiap aku bertanya kepada Nenek kenapa
Ibu Ita namanya tidak pernah datang lagi, Nenek hanya berkata Ibu Ita bukan
jodoh Ayah aku tidak pernah bertanya lagi.
Apalagi ketika aku bertanya
kepada Ayah, ekspresi Ayah menunjukkan wajah marah seakan ada yang
disembunyikan Ayah tentang Ibu Ita.
***
Sebentar lagi aku masuk
Sekolah Menengah Atas, karena masuk cepat dan umurku belum genap 16 belas
tahun.
Aku amat menyukai wali
kelasku, umurnya mungkin sudah seumur Ayah, tapi masih sendiri.
Ingin rasanya menyampaikan
hasratku kepada Ayah untuk menjadikan walikelasku sebagai Ibu sambungku tapi
aku ragu.
Sementara nenek sudah
memberikan lampu hijau kepada walikelasku Bu Zahwa.
Tatapah teduh selalu
menatap kami siswanya.
Dalam keadaan marah tidak
pernah meluap – luap selalu kata nasehat yang membuat kami amat menyayanginya.
Aku ingat betul ketika aku
terkena campak sewaktu awal semester tujuh, dengan telaten Bu Zahwa merawatku.
Nenek yang kala itu juga
jatuh sakit membuat Bu zahwa terpaksa menginap selama seminggu di rumah.
Bu zahwa sebatang kara setelah
Ayah dan Maknya mengalami kecelakaan kapal pancung yang karam bersama adik
lelakinya.
Pernah gagal menikah tapi
tidak membuat Bu Zahwa menjadi pribadi yang terpuruk.
“Jadi perempuan itu harus
kuat, kita pondasi dalam keluarga ibarat sekolah guru adalah pondasi untuk
menciptakan generasi yang tangguh. Begitu juga dengan perempuan akan menjadi
pondasi dalam rumah tangganya.
Perempuan guru pertama di
rumahnya, jadi jangan sedih hanya karena tidak jadi menikah.” Ucapnya kali itu.
Aku mengumpat dalam hati ketika
salah satu temanku yang usil bertanya kepada Bu Zahwa bagaimana perasaannya
tidak jadi menikah.
Senyum menghiasi wajah Bu
Zahwa ketika begitu banyak hujatan menimpanya kerena gagal menikah.
“Lelaki tidak tahu diri,
hanya karena BU Zahwa yatim piatu dan belum pegawai dengan seenaknya mengagalkan
pernikahan.” Umpatku kala itu ketika tahu alasan Bu Zahwa tidak jadi menikah.
Berjalannya waktu aku
semakin mengagumi Bu Zahwa, bagaimana tidak walaupun pegawai honor Bu Zahwa
bisa mencicil rumah dan mobil dari penghasilannya memberikan les privat kepada
beberapa anak yang orangtuanya mampu.
Honor yang diterima Bu
Zahwa lebih besar dari gaji honornya jika dihitung perjam.
Aku terkekeh mengingat
bagaimana aku mengali informasi mengenai Bu Zahwa.
Berharap lebih ketika Ayah
pulang, aku akan mendekatkan mereka.
Dengan bantuan nenek aku
seolah – olah sakit, suara batukku mengema ruang kamarku.
Ayah bergegas datang, Ya
Ayah akan sangat khawatir jika aku sakit.
Memantau diriku walau hanya
lewat video call jika nenek berkabar aku sakit.
Dan, tara. Tak lama aku
mendapat chat dari Bu Zahwa menanyakan aku sakit apa dan berjanji setelah
pulang sekolah akan singgah ke rumah untuk melihat kondisiku.
Senyumku mengembang,
setelah membalas chat Bu Zahwa dengan tulisan akan menunggu ke datangnya
kerumah.
Ayah memujukku untuk
periksa ke dokter, untung saja nenek bisa menyakinkan Ayah untuk hanya meminum
obat saja.
Setelah berhasil
menyakinkan Ayah dengan sakit palsuku.
Aku dan Nenek bertos ria
ketika Ayah keluar mengatakan untuk mencari air kelapa muda dan telur ayam
kampung yang kata nenek ramuan manjur untuk sakitku.
Waktu berjalan lambat, aku
menanti dengan debaran yang tidak biasa, sementara nenek sibuk mengatur makan Salwam
romantis untuk Ayah dan Bu Zahwa.
“Harum sekali masakan Mak,
ada tamu yang akan datang?” Suara Ayah terdengar dari ruang dapur
Ternyata Ayah sudah pulang
dari membeli kelapa dan telur ayam kampung.
***
Akhirnya aku bernapas lega
ketika mendengar suara mobil Bu Zahra.
Saking sayangnya aku dengan
Bu Zahwa aku bisa mengenali kendaran yang dinaikinya.
“satu, dua, tiga.” Aku
menghitung angka
“Assalamualaikum.” Suara Bu
Zahwa terdengar.
Suara ceria Nenek terdengar
ceria ketika menjawab salam.
Langkah mendekati kamarku
semakin dekat, senyumku berganti wajah memelas untuk menghilangkan curiga Bu Zahwa.
Panel pintu terbuka, wajah
teduh Bu Zahwa terlihat melepar senyumnya kepadaku.
“Ibu sudah datang.” Suaraku
ku buat lemah.
“Apa yang terjadi, bukankah
kemarin Zahra baik – baik saja Nek.” Suara cemas Bu Zahwa terdengar.
Bu Zahwa menghampiriku,
tangan lembutnya memegang keningku.
“Tidak panas,.” Ucapnya
lagi.
“Badanya tidak panas, Zahwa
tapi muntah – muntah dari pagi.” Suara nenek terdengar.
Nenek tidak menggunakan
embel – embel Ibu kepada Bu Zahwa.
“Masuk angina ya Nek.” Ucap
Bu Zahwa lagi
“Kebanyakan makan,
bagaimana masuk angin.” Ucap Nenek lagi.
“Mak, ini Zayn bawakan obat
untuk Zahra.” Suara Ayah terdengar.
Kami yang berada di kamar
ku, spontan melihat kearah suara yang bergema.
“Zahwa, betulkan ini
Zahwa.” Suara Ayah terdengar terkejut menyebut nama Bu Zahwa.
Tentu saja Aku dan Nenek
menatap lekat Ayah dan Bu Zahwa bergantian.
“Bang Zayn, kenapa ada di
sini.” Suara Bu Zahwa tidak kalah terkejutnya.
“Ini rumah Abang, itu Mak
dan Anak Abang.”Ucap Ayah.
“Zayn kenal dengan Zahwa.”
Suara Nenek terdengar.
“Ini yang Zayn ceritakan
dulu, Mak ingat 3 tahun yang lalu sewaktu kecelakan kapal yang Zayn menjadi
kaptenya. Tunangan Zahwa meninggal karena kecelakaan itu.” Cerita Ayah lagi.
Rona sedih terlihat dari wajah Bu Zahwa, secepat kilat
Nenek merangkul Bu Zahwa.
Lumayan lama kami
bersembang, menjelang magrib Bu Zahwa pamit pulang.(Bersambung)
***
Setelah makan Salwam, kami
berkumpul di ruang tengah.
“Zayn, Mak ingin bertanya
sesuatu. Mak harap zayn tak marah dengan pertanyaan Mak.
Sudah 16 tahun, Zaimah
meninggal tidakkah berfikir untuk mencari pengantinya.” Ucap nenek berhati –
hati.
Aku menahan napas ketika
Nenek bertanya kepada Ayah.
Aku berdoa dalam hati, Ayah
mengatakan jika Aku setuju mempunyai Ibu Sambung aku akan menjawab ya dan
menyodorkan Bu Zahwa sebagai Ibu Sambungku.
“Mak ingin menjodoh Zayn
dengan siapa?” bukannya menjawab pertanyaan Nenek, Ayah Salwah balik bertanya.
“Mak berkenan sangat dengan
Zahwa, bagaimana pendapat Zayn mengenai Zahwa.” Aku tersenyum senang.
Nenek langsung menembak
Ayah, Ayah terlihat sedikit gugup.
Aku yakin Ayah tidak akan
menolak permintaan nenek.
“Zahra sudah terlalu besar
untuk mendapat Ibu Baru Mak.” Ucapan Ayah membuatku menghela napas berat.
“Tanyakan dulu sama Zahra,
jangan main ambil keputusan sendiri Zayn.” Ucap Nenek tegas.
Aku menatap lekat Ayah,
berharap Ayah langsung bertanya kepadaku.
Tapi detik berlalu, menit
meninggalkan waktu sudah sejam berlalu, Ayah masih diam.
Suasana sunyi, hanya suara
TV yang bergema tapi kami tidak menontonnya.
“Sudah jam 9, sebaiknya
kita tidur. Zayn penat nak istirahat sekarang.
“Selamat tidur Mak, Zahra.”
Ucap Ayah
Ayah meninggalkan Aku dan
Nenek yang saling tatap melihat Ayah meninggalkan kami di ruang tengah.
***
Salwam tadi tidurku
gelisah, pagi ini dengan tidak bersemangat Aku memulai hari.
Berdoa dengan khusuk subuh
tadi, berharap Ayah mengubah pernyataannya kemaren Salwam.
Dan pagi ini Ayah
menanyakan kepadaku tentang ingin mempunyai Ibu Sambung.
Sampai dengan waktunya aku
berangkat sekolah, Ayah tidak muncul dari kamarnya.
Aku pamit berangkat sekolah
dengan Nenek, bas jemputan sekolah sudah sampai di depan rumah.
Perasaan kecewa menyelimuti
pagiku, meninggalkan sejuta tanya dengan perubahan sikap Ayah sejak Salwam
tadi.
Hariku di sekolah abu –
abu, waktu istirahat aku menyendiri di perpustakaan sekolah.
“Zahra di cari Bu Zahwa di
ruang UKS.” Inah dengan napas ngos – ngoson memberitahuku.
Keningku berkerut, ada apa
Bu Zahwa mencariku, apakah Ayah menelepon Bu Zahwa mengatakan sesuatu yang
menyakiti hatinya.
Ayah, apa yang Ayah lakukan
jangan sampai kasih sayang Bu Zahwa berubah menjadi benci.
Pikiranku berkecamuk,
perkataan nenek yang sudah kami susun serapi mungkin, tidak berhasil dengan
Ayah.
Jangan sampai Ayah berpikir
Bu Zahwalah yang tergila – gila dengan Ayah.
Dengan hati gundah aku
berlalu meninggalkan Inah di perpustakaan, berjalan cepat mencari keberadaan Bu
Zahwa di majelis guru.
“Assalamualaikum.” Ucapku
“Masuk Zahra.” Terdengar
suara Bu Zahwa
Bu zahwa duduk manis di
sofa yang berada di ruang BP.
Senyum Bu Zahwa membuat
hatiku terhibur, berusah mengimbangi senyum Bu Zahwa akupun memberikan
tersenyum terbaikku untuk Bu Zahwa.
Semoga Bu Zahwa tidak
membaca kegundahan hatiku.
“Duduk di sini.” Bu Zahwa
menepuk tempat yang harus aku duduki.
“Ada apa, masih sakit?”
suara lembut Bu Zahwa merasuki pendengaranku.
“Pak Amir mengatakan, Zahra
tidak focus pada mata pelajaranya. Karena kemaren Zahra sakit, Pak Amir menduga
Zahra masih sakit.
Hatiku terenyuh dengan
perhatian Bu Zahwa, lihat saja saat ini saja Bu Zahwa mengajakku untuk
beristirahat di ruang UKS Sekolah.
Aku memilin ujung jilbabku,
bingung mau menjawab apa.
Kemaren aku berdrama
tentang sakitku kepada Bu Zahwa, sekarang jika aku mengakui ingin menjodohkan
Bu Zahwa dengan Ayah, bagaimana bu Zahwa
nantinya.
“Ayah marah Bu.” Ucapku
sedih.
“Ayah marah, memangnya ada
kejadian apa sampai Ayah marah?” tanya Bu Zahwa
“Nenek mengusulkan Ayah
untuk menikah lagi. Tapi sepertinya Ayah tidak setuju.” Ucapku lemah.
‘Mungkin Ayah punya
pemikiran sendiri untuk masalah jodoh. Ayah tidak marah, mungkin cara Ayah
menyikapi permintaan nenek dengan berdiam diri. “ jelas Bu Zahwa panjang lebar.
Aku membenarkan perkataan Bu
Zahwa, ada lega di dada.
“Jam istirahat hampir
habis, sudah ngemil.” Ucapan BU Zahwa membuatku tersenyum tipis.
Masalah Ayah membuatku
melupakan perutku yang seharusnya di isi dengan makanan kecil untuk penguat
stamina belajar.
“Ini ada roti isi,
makanlah. Biar focus belajarnya.” Ucap Bu Zahwa sambil menyodorkan roti isi
kepadaku.
***
Langkahku melemah setelah
Bas sekolah yang mengantarku sampai di depan rumah.
Rasanya enggan untuk
pulang, tapi hanya rumah ini tempatku pulang.
Sambil menenangkan hati aku
melangkah mengucapkan salam dan menekan panel pintu depan.
Sunyi, tidak ada yang
menjawab salamku, pasti nenek sibuk dengan peliharaanya di belakang.
Ayah, kemana Ayah tidak
mungkin Ayah sudah berangkat lagi.
Baru 3 hari Ayah berada di
rumah, tapi bisa saja Ayah senganja untuk menghindar jadi berangkat lagi.
Aku melangkah lemah menuju
kamarku untuk berganti pakaian rumah dan menyusul Nenek di belakang.
Mataku melirik kanan kiri
mencari keberadaan Nenek, setelah berganti baju aku langsung menuju belakang
rumah.
Tidak aku lihat batang
hidung Nenek dibelakang rumah, keningku berkerut.
Nenek tidak berada di
belakang, kemana gerangan perginya Nenek.
Tanpa aku sadari kaki
melangkah menuju kamar Ayah.
Mengetuk pintu, tapi tidak
ada jawaban dari dalam kamar Ayah.
Rasa penasaran membuatk aku
menekan panel pintu kamar Ayah.
Perlahan aku menengok ke
dalam dari balik pintu kamar Ayah yang sudah aku buka.
Rapi, itu tampilan tempat
tidur yang tertangkap mataku.
Tidak ada tanda – tanda
keberadaan Ayah, kemana Ayah berada saat ini.
Ayah dan Nenek tidak ada di
rumah, kemana mereka pergi.
Aku menepuk keningku, sejak
pagi aku mencuekin HP – ku karena gelisah dengan tingkah laku Ayah.
Aku berlari menuju kamarku untuk mendapatkan HP – Ku yang
berada di dalam tas sekolahku.
“Ini dia.” Seruku ketika
melihat HP – Ku.
Hatiku bertambh kesal,
ketika aku butuh tapi HP – ku tidak bisa dinyalakan.
Sekali lagi aku memukul
keningku, sejak seSalwam bateriku sudah low.
Pantas saja sekarang HP –
Ku mati, dengan tergesa aku mengambil chager dan mengisi daya bateriku.
Sabar, sabar aku harus
menunggu beberapa menit untuk menyalakan HP – Ku.
Aku abaikan untuk saat ini
menggunakan HP saat di cas.
Aku sangat ingin melihat
apakah ada pesan dari Nenek atau Ayah untuk mengetahui keberadaan mereka.
“Alhamdulillah.” Batinku
ketika melihat ada Chat dari Nenek.
“Nenek ada keperluan di
luar, mungin magrib baru kembali kerumah. Ayah Sahra pamit mungkin 2 hari lagi
pulang ke rumah.” Ada rasa lega setelah membaca chat Nenek, tapi aku kecewaku
lebih besar mengetahui Ayah tidak pamit kepadaku.
***
Rumah terasa sunyi, ingin
rasanya aku menjerit mengatakan kepada dunia aku ingin memiliki seorang Ibu
tempat untuk bermanja.
Melihat teman – temanku
bermanja dengan Ibu mereka aku merasa tersisihkan.
Untung saja nenek selalu
mengatakan aku anak kuat sehingga Allah memberikan ujian dengan mengambil Ibuku
lebih cepat.
Nenek selalu menguatku tapi
nenek bukan sosok Ibu yang aku inginkan,
aku menginginkan seorang Ibu.
Ayah, apakah aku harus
mengatakan semua materi yang engkau berikan tidak sebanding dengan sosok Ibu
yang aku inginkan.
Aku ingin menangis dalam
dekapan seorang Ibu, walaupun Ayah mengatakan dekapan Nenek sama dengan dekapan
Ibu tapi sejak aku merasakan dekapan hangat Bu Zahwa aku mengingikan seorang
Ibu.
Menatap langit dari jendela
kamarku, HP ku bergetar tanda ada chat masuk, aku membiarkannya pasti Ayah.
Tadi setelah setengah jam
aku berada di rumah, telepon dari Ayah masuk tapi aku mengabaikannya.
Ada rasa kecewa yang dalam aku
rasakan terhadap Ayah.
Tak terasa air bening
menetes dari sudut mataku, cepat aku menghapusnya.
Aku tidak ingin terlihat
lemah, walaupun aku sendiri saat ini di rumah.
***
“Assalamualaikum.” Suara
nenek terdengar seiring suara azan bergema dari corong masjid.
Aku sudah siap dengan
mukena dan sajadah di tangan.
“Nenek magrib ini Zahra
ingin berjamah di masjid. Izin sampai sholat isya baru kembali kerumah.” Ucpaku
sambil mengambil tangan Nenek untuk pamit.
Aku melihat kerutan di
kening Nenek, tidak biasanya aku meminta izin untuk sholat di masjid.
Tapi aku tidak menunggu
larangan dari Nenek, Aku terus melangkah besar untuk keluar rumah.
Sesampainya di masjid aku
memilih duduk dipojokan masjid.
Tidak banyak jamah
perempuan, maklum ini bukan bulan puasa.
Aku ingin menenangkan
pikiranku, rasa kecewa dalam dada menyesakkan dadaku.
Ingin pergi ke rumah Bu
Zahwa tapi aku tidak ingin memancing rasa curiga Bu Zahwa.
Lebih baik aku mengadu
kepada kekasih rasulullah saja.
Mendengarkan suara yang
menyejukkan dari imam masjid membuat hatiku menjadi lapang.
Dari magrib sampaikan ke
sholat isya aku menyejukkan diri di masjid.
Berusaha berfikir positif
tentang semua hal.
Ayah, menduda sekian lama
hanya karena mencintai Ibuku saja.
Tapi banyak cerita diluaran
sana, jika pelaut dimana singgah pasti ada istrinya.
Apakah Ayah, sama dengan
pelaut lainya sehingga Ayah tidak payah berfikir aku mempunyai Ibu sambung yang
penting Ayah sudah punya mendamping.
Selama ini aku berfikir aku
anak tunggal, kenyataanya aku mempunyai saudara diluaran sana.
Ah, kenapa pikiranku
bertambah kacau.
Akhirnya aku pasrah, jika
memang Ayah sudah mempunyai keluarga lain selain Aku dan Nenek, Aku harus
ikhlas.
Dengan perasaan yang
tadinya kacau aku berusaha tetap tenang, jangan bertambah kacau.
Langkah kecil yang tidak
tenang aku bawa melangkah menuju rumah.
Ucapan salam aku berikan
setelah sampai di rumah, tak berharap lebih hanya jawaban salam dari Nenek yang
selama ini Aku miliki.
Suara berat milik Ayah yang
menjawab salamku, langkahku ragu ketika melihat Ayah duduk dengan gagah di
ruang tamu milik kami.
Meraih tangan Ayah, ciumnya takzim.
Salwas untuk berkata –
kata, aku hanya berharap masuk ke dalam kamarku.
“Kita makam Salwam bersama.”
Ucap Ayah tegas.
Langkahku terhenti,
memandang sekilas kearah Ayah, ingin berkata aku sudah kenyang.
Ekspresi wajah Ayah tidak
ingin di bantah, akhirnya aku melangkahkan kami menuju kamar untuk meletakkan
mukenaku dan kembali keluar kamar menuju ruang tengah tempat kami selalu makan
bersama.
Nenek sudah memasak semua
makanan ke sukaanku, pasti seperti itu Nenek bukanya memasak makanan ke sukaan
Ayah jika Ayah ada di rumah tapi aku yang dimanjakan.
“Ayah Zahra sudah makan
enak di luar, jadi Nenek lebih memasak makanan ke sukaan Zahra supaya lahap
makan sehingga Ayah bahagia.” Ucapan Nenek yang tidak masuk akalku.
Aku menantap satu persatu
masakan Nenek, dari mulai sayur kankung belacan, asam pedas udang campur nanas,
tahu tempe tepung serta dadar telur dan kerupuk ikan moro tersedia di meja
makan.
Ada satu hidangan yang
berbeda hari ini, ada gulai ayam sepertinya gulai ayam kampung.
Kening berkerut, bukankah
ini masakan kesukaan Ayah.
Aku memandang ke arah
Nenek, seakan membaca pikiranku Nenek berkata.
“Ayah Zahra yang bawa gulai
tu, mungkin Ayah Zahwa beli di luar.
“Bu Zahwa yang kasih.” Ucap Ayah.
Aku dan Nenek serempak
menatap wajah Ayah terkejut.
“Makan tidak boleh bersuara.”
Lanjut Ayah.
Membuat mulut Nenek yang
sudah terbuka tertutup kembali.
Petuah Nenek yang diucap
Ayah tidak akan di langgar Ayah.
Hatiku mengumpat Ayah yang
mengunakan petuah Nenek sehingga Nenek tidak dapat bertanya kapan Ayah berjumpa
dengan Ibu Zahwa.
Ayah menyudahi makananya
sebelum Aku dan Nenek.
Aku berusaha mengimbangi
makan Ayah yang cepat, tapi tetap saya Aku kalah cepat dengan Ayah.
Ayah meninggalkan meja
makan dengan sejuta pertanyaan di kepalaku.
Setelah makan aku membantu
Nenek membersihkan peralatan makan Salwam kami sebelum aku menyusul Ayah yang
telah duduk manis diruang TV.
Suara TV terdengar sampai
ke dapur, aku mengambil inisiatip membuatkan Ayah kopi, mudah – mudahan ada
kesempatan untuk bertanya tentang gulai ayam dari Bu Zahwa.
Sesampainya di ruang TV aku
melihat sekeliling taka da penampakan Ayah disana.
TV main sendiri, tidak ada
yang menonton. Setelah meletakkan kopi pada meja yang ada aku mencari Ayah
sampai ke kamar Ayah.
“Ayah, di dalam? Zahra
sudah membuatkan kopi untuk Ayah.” Ucapku di depan pintu kamar Ayah.
Tidak ada sahutan dari
dalam kamar Ayah, berulang kali Aku mengetuk dan memanggil nama Ayah, tapi
tidak ada yang menjawab.
“Ayah Zahra sudah keluar.”
Ucap Nenek sambil mengusap pundakku.
Entah sejak kapan Nenek
sudah berdiri di belakang diriku.
Nenek menunjukkan chat dari
Ayah kepadaku.
Helaan napas kasar
terdengar dari mulutku, Ayah seperti main kucing – kucingan dengan Aku dan
Nenek.
“Zahra masuk kamar belajar
Nek.” Ucapku dengan nada kecewa.
Sampai pukul 10 aku menunggu
Ayah, tapi batang hidung Ayah tidak datang.
Aku menyerah, menutup semua
buku pelajaran yang dari tadi melihatku bukan aku yang melihat dan
mengamatinya.
Merebahkan diri di kasur,
menarik selimut dan membaca doa sebelum memejamkan mata.
Rasa lelah di hati dan
badan membuatku terlelap dengan cepat.
***
Suara azan subuh terdengar,
aku mengerjapkan mata tidurku tidak lelap, banyak pertanyaan yang mengantung di
hati.
Setelah berdoa bangun tidur
seperti ajaran Nenek, aku melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk berwudhu.
Doaku panjang salah satunya
berharap Ayah akan menjawab mistiri gulai ayam pemberian Bu Zahwa.
Harapanku penuh Bu Zahwa
akan menjadi Ibu sambungku.
Melipat mukena, bersiap
menuju dapur untuk membantu Nenek menyiapkan sarapan pagi.
Memandang pintu kamar Ayah,
lampunya mati.
“Ayah tidak pulang tadi Salwam.”
Batinku
“Buat telur separuh masak
untuk Ayah Zahra dua butir. Nenek mau telur mata sapi.” Ucap Nenek
Jika Nenek berkata demikian
berarti aku hanya tinggal membuat toping untuk nasi goreng saja.
Untukku aku membuat telur
mata sapi dengan banyak daun bawang dan juga ada sedikit irisan cabe rawit.
Setelah selesai mengerjakan
apa yang Nenek suruh, aku berlalu menuju kamar untuk mandi dan bersiap untuk
berangkat sekolah.
“Assalamualaikum.”Suara Ayah terdengar dari pintu depan rumah.
Bergegas aku mempercepat
berdandan, pagi ini aku harus mengetahui cerita disebalik gulai ayam dari BU
Zahwa.
“walaikumsalam.” Ucapku
sambil mengambil tangan Ayah untuk dicium.
“Ayah jumpa Ibu Zahwa
dimana, sampai diberi gulai ayam.” Ucapku tidak mau berbasa – basi.
“Ayah jumpa Bu Zahwa di
teras rumah, katanya gulai itu untuk mengusir kesedihan di hati Zahra. Ayah
ajak masuk ke rumah kata Bu Zahwa tidak usah. Cukup Ayah sampaikan saja gulai
untuk Zahra.” Cerita Ayah panjang lebar.
Lagi – lagi aku kecewa,
ternyata Ibu Zahwa yang mengantar untukku bukan bertemu dimana dengan Ayah.
Harapanku terlalu tinggi,
lagian tidak mungkin Ayah akan mencari Bu Zahwa begitu pula sebaliknya.
“Apa yang Zahra sedihkan?”
tanya Ayah
“Tidak ada.” Aku hanya
memandang Ayah sekilas, tersenyum kejut sambil menjawab pertanyaan Ayah.
“Apa setelah Ayah tahu
Zahra sedih karena apa, Ayah akan mengabulkan permintaan Zahra. Tidakkan?”
ucapku.
“Zahra izin ke kamar, mau
belajar.” Tanpa menunggu jawaban dari Nenek dan Ayah aku melenggang menuju
kamar.
Ingin rasanya aku
membanting pintu, menumpakah segala kesal di dada.
Tapi ajaran Nenek selalu
bergiang di kepala, segala sesuatu pasti ada hikmahnya.
“Tidak semua keinginan akan
terwujud, Allah memberikan apa menurutnya baik untuk kita, ingat itu baik
–baik,” nasehat Nenek kepadaku.
Semoga lelahku menjadi
lillah, aku tersenyum menyemangati diriku sendiri.
Belum juga aku membuka
buku, ketukan di pintu membuatku berfikir Ayah atau Nenek yang mengetuk pintu.
Salwas untuk menebak aku
melangkahkan kaki menuju pintu kamar, menekan panel pintu kamarku.
Sosok menjulang Ayah
berdiri tegap di depan pintu kamarku.
“Boleh Ayah masuk?” ucap
Ayah sambil mengumbar senyumnya.
Aku hanya memberi celah
untuk Ayah masuk, Ayah duduk di tepi ranjangku, semantara aku duduk di kursi
belajarku berhadapan dengan Ayah.
“Zahra sangat ingin
mempunyai Ibu, bukankah selama ini Zahra bahagia.
Jangan sampai setelah punya
Ibu, Zahra Salwah tidak bahagia.
Apa yakin Bu Zahwa akan
baik dan sayang setelah menjadi Ibu Zahra.” Ucap Ayah panjang lebar.
Aku terkejut dengan
pernyataan Ayah tidak bisa mencerna apa yang Ayah ucapkan dengan sempurna.
Selama ini aku tidak pernah
bertanya apakah Ibu Zahwa mau menjadi Ibuku, apa yang diucapkan Ayah sekarang
menjadi bertanya yang sulit aku pikirkan.
Aku hanya memikirkan jika
seandainya Bu Zahwa yang menjadi Ibuku akan menyenangkan.
“Bicaralah dengan Bu Zahwa
jika beliu mau menjadi Ibu Zahra, Ayah akan meminangnya untuk menjadi Ibu
Zahra.
Tapi ingat, tidak ada
pemaksaan ya.” Ucapan Ayah membuat senyumku terbit.
“Belajarlah, pukul 9.30
tidur. Biar besok sekolahnya segar.” Lalu Ayah mengusap kepalaku lembut dan
meninggalkan kamarku.
Hatiku bersorak ria, segalanya
seperti air mengalir. Buku yang aku baca sepertinya masuk semua ke dalam
kepalaku.
Semoga Bu Zahwa mau menjadi
Ibuku, doaku setelah membaca doa sebelum tidur.
***
Setelah mencium tangan Ayah
dan Nenek aku berangkat sekolah dengan semangat 45.
Hari ini aku harus
berbicara dengan Bu Zahwa, lucu rasanya aku yang akan meminang Ibu Sambungku, semoga
saja Bu Zahwa mau menjadi Ibu Sambungku.
Aku bergegas menuju ruang
majelis guru setelah bunyi tanda istirahat berbunyi.
Mengucapkan salam dan masuk
ke dalam ruangan majelis guru setelah ada yang menjawab salamku.
Aku memandang keseluruh
penjuru majelis guru, tapi tidak ada penampakan Bu Zahwa.
“Bu Zahwa izin tidak masuk
sekolah, karena ada urusan keluarga.” Terdengar suara Bu Ina dari pokok
ruangan.
Semua guru tahu, aku pasti
mencari Bu Zahwa jika datang kemajelis guru.
Selain guru, Bu Zahwa juga
walikelas yang selalu memanggilku karena aku sekretaris kelas.
Aku menghela napas kasar,
hari ini aku tidak bisa menjalankan misiku.
Dengan langkah gontai aku
keluar dari ruang majelis guru.
Rasanya hari ini aku tidak
punyak semangat untuk belajar dan sekolah.
***
Sudah 2 hari Bu Zahwa tidak
masuk sekolah, sepertinya ada masalah berat sehingga tidak seperti biasanya Bu
Zahwa yang selalu hadir di sekolah walaupun flu dan batuk ringan.
Semoga hari ini Bu zahwa
hadir, dan aku bisa melaksanakan misiku untuk menjadikan Bu Zahwa Ibu
Sambungku.
Langkahku ku percepat
setelah melihat kendaraan Bu Zahwa terpakir cantik di tempat parkir yang biasa
digunakannya.
Masih ada waktu 20 menit,
sudah menjadi kebiasan Bu Zahwa untuk hadir setengah jam sebelum jam lonceng
tanda proses pembelajaran di mulai.
Langkah ringanku menuju
majelis guru, tidak ingin singgah dulu ke kelas.
“Assalamualaikum.” Ucapku
sesampai di pintu majelis guru.
Suara lembut menjawab
salamku dan menyuruh Aku masuk.
Dengan langkah pasti aku
melangkah masuk, senyum Bu Zahwa menyambutku.
Perasaan tenang langsung
menjalar melihat senyum itu.
Aku meraih tangannya dan
mencium takzim.
“Ada Zahra, ada masalah
pagi sudah mencari Ibu?” suara lembut Bu Zahwa berucap.
“Zahra ingin meminta
sesuatu kepada Ibu, sebelum itu Zahra minta maaf jika apa yang akan Zahra
katakan tidak berkenan di hati Ibu.” Ucapku mantap.
“Asalkan permintaannya
tidak berlebihan akan Ibu pertimbangkan.” Lagi – lagi senyum manis Ibu Zahwa
berikan kepadaku.
“Ibu mau menjadi pendamping
Ayah dan menjadi Ibu Zahra.” Ucapku berhati – hati.
Mata Bu Zahwa langsung
berkaca – kaca, aku langsung takut melihat reaksi Bu Zahwa.
Bu Zahwa meraih tanganku
yang saat ini sedang duduk berdepan dengannya.
“Yakin mau Ibu menjadi
pendamping Ayah, tidak menyesal setelah menjadi Ibu Zahra ibu berubah
bagaimana?” aku menatap wajah Bu Zahwa dengan senyum termanisku.
“Insyaallah Ibu akan
menjadi yang terbaik untuk Ayah dan Zahra.” Ucapku lembut.
Mengangkat tangan Bu Zahra
yang berada dalam genggamanku dan menciumnya takzim.
“Ayah Zahra sudah melamar
Ibu 3 hari lalu.” Senyum Bu Zahwa mengembang.
Ternyata 3 hari lalu
ketidak hadiran Bu Zahra karena Ayah.
Aku bersyukur ternyata Ayah
mewujudkan keingananku.
Doaku diijabah Allah,
mungkin ini yang dikatakan Nenek.
Allah lebih tahu mana yang
terbaik untuk umatnya, jika Ia mengatakan kun maka terjadilah.
Aku tidak tahu rahasia apa
dibalik penerimaan Bu Zahra, yang aku tahu aku bersyukur kepada Allah dengan
diterimanya pinangan Ayah dan menjadikan Bu Zahwa sebagai pendamping Ayah dan
Ibu untuk diriku.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar