Rabu, 02 April 2025

Bukan Sekadar Mimpi

 

Suara berisik dari tadi sudah terdengar, jeritan suara wakil kesiswaan dipengeras suarapun tidak kami hiraukan.

Bagaikan lebah yang sedang terbang, kami sibuk dengan pemikiran kami siapa yang akan mendapatkan juara umum untuk tahun ini.

Lututku terasa lemah, semester ganjil kemaren aku mendapatkan rangking ke dua juara umum sekolah kalah dengan Raihan Putra teman satu kelasku.

Sudah dua tahun ini kami selalu berpacu dalam meraih juara kelas maupun juara umum sekolah.

Aku tidak mau kalah dengan Raihan yang memiliki fasilitas cukup sementara aku anak salah satu penjual di kantin sekolah.

Jika Raihan selalu tidak didampingi orangtuanya saat pengambilan rapot sementara aku dengan bangga mendapatkan piala piagam dari tangan Makku.

“Insyallah Intan sudah berusaha keras, apapun hasilnya syukuri dan nikmati.” Ucap Mak seakan tahu kegundahan hatiku saat ini.

Sementara Raihan berdiri sendiri seperti biasanya.

“Juara umum untuk sementer genap ini, diraih oleh Raihan Saputra.” Gema suara wakil kesiswaan membuatku menghela napas berat.

Ternyata aku masih saja kalah dengan Raihan.

“Maaf seharusnya Ibu mengumumkan juara umum dua bukan juara umum satu,” terdengar kasak kusuk dari kami semua siswa yang saat ini berkumpul di halaman sekolah.

“Raihan sebagai juara umum dua, dan sekarang saya umumkan juara umum satu. Selamat dan tahniah kepada Intan Sahara.” Ucap wakil kesiswaan.

Aku berlonjak girang, sambil melirik Raihan yang memandang diriku dengan senyum tipisnya.

Kami berjalan bersamaan menuju mimbar yang sudah di sediakan.

“Bu, izinkan saya menerima piala dan piagam dari Maknya Intan.”

Tentu  saja ucapan Raihan membuat Aku dan Mak terkejut dan memandang dalam kearah Raihan.

“Ibu bersedia memberikan piala dan piagam ini kepada Raihan.” Tanya wakil kesiswaan kepada Mak.

Mak tersenyum manis menganggukan kepala.

“Semoga tetap menjadi anak sholeh.” Ucap Mak sambil menyerahkan piala dan piagam kepada Raihan.

“Terima kasih Mak, Rai akan bangga jika Mak yang menjadi Mak Raihan.” Ucapan Raihan membuat aku dan Mak saling pandang.

Raihan meraih tangan Mak,  dan menciumnya takzim setelah itu memeluk tubuh Mak seakan Mak ada Ibunya sendiri.

Aku melihat kilatan air di mata Raihan, tapi secepat kilat di ucap Raihan.

***

Aku bertambah heran, ketika setelah turun dari menerima penghargaan kami, Raihan masih saja menempel dengan Mak.

Aku merasa risih karena banyak pasang mata yang menatap heran kepada Raihan.

Tatapan seakan menguliti Aku dan Mak, bagaimana tidak Raihan anak orang terpandang di kota tempat kami tinggal.

Sementara Aku dan keluarga bisa dibilangkan dari golongan bawah.

Bagaimana mendapatkan durian runtuh, aku sekeluarga diantar dengan kendaraan roda empat milik keluarga Raihan.

Kijang inova keluaran terbaru, bukan hal biasa buat keluarga Raihan tapi buat kami sesuatu yang super mewah.

Alasan yang di luar nalar, katanya hari Raihan berbahagia bisa diberikan piala dan piagam dari orang tuaku kalau tidak Raihan akan malu karena orangtuanya tidak bisa hadir pada moment bersejarah.

Bukankan semester satu kemaren orangtua Raihan juga tidak hadir, batinku.

Setelah mengantar kami Raihan tidak langsung pulang, kasih berbasa basi dengan kedua orangtuaku.

Raihan entah sejak kapan sudah berganti kostum kaos dongker dan celana jin setulut dengan santai membantu Abah dibelakang rumah.

Memanfaatkan lahan yang sekakang kera milik kami dengan memamaninya dengan berbagai toga hidup dan sayur untuk membantu perekonomian yang selalu kekurangan.

Tangan Raihan sudah penuh dengan timun yang dipetiknya bersama Abah.

Sementara tangan Abah penuh dengan terong bulat untuk lalapan.

Aku membawakan dua keranjang untuk timun dan terong.

Mataku berbinar melihat hasil lahan kecil dibelakang rumah.

Salwam ini kami akan membuat lalapan dengan sambal belacan cabe kutu kata kami sementara orang Jakarta mengatakan cabe rawit.

Setelah meletakkan timun dan terong sekucupnya untuk makan Salwam, Abah juga menyisihkan sedikit untuk dibawa pulang Raihan.

Selebihnya kami letakkan dimeja kecil yang biasa kami gunakan untuk menjualnya kepada tetangan yang berminat.

Alhamdulillah setiap kali memetik hasil lahan kecil kami pasti akan laku terjual, karena harga yang bersahabat.

“Abah Mak bolehkan Salwa mini Raihan makan bersama di sini.” Ucap Raihan

Tentu saja ucapan Raihan mendapatkan respon yang berbeda dari yang mendengarkan.

Abah Mak terlihat senang dengan permintaan Raihan, sementara Aku merasa heran dengan Raihan.

Seharusnya Raihan merayakan kesuksesannya walaupu berada di bawahku tapi kerja keras kami melampaui delapan ratus delapan tiga siswa yang berada pada sekolah kami.

“Maaf jangan tersinggung Rai, terlalu lama Rai berada diluar rumah apakah orangtua Rai tidak keberatan.” Ucapku mengalahakan kekhawatiran Emak – emak yang menunggu anaknya pulang terlambat.

Senyum tipis dengan sorat mata yang sulit untuk diungkapkan terpancar dari mata Raihan.

“Orangtua Raihan berada di Jakarta, lusa baru pulang. Tidak ada perayaan untuk nomor dua.” Kalimat singkat dengan seribu makna bagi pendengarnya.

“Sudah izin dengan orangtua pulang terlambat.” Ucap Abah melihat ke arah Raihan.

Hanya anggukkan kepala Rai yang menjawab pertanyaaan Abah, tapi aku yakin Rai tidak meminta izin dari orangtuanya.

***

 Abah dan Raihan sholat berjamah di masjid dekat rumah, sementara Aku dan Mak menunaikan sholat berjamah di rumah.

Menatap hidangan sederhana tapi mewah untuk kami sekeluarga bagi merayakan keberhasilanku menjadi nomor satu.

Kalio ayam kampung, lalapan timun, terong bulat hampir lupa ada daun kemanggi serta bunda dan daun papaya yang menjadi pembuka selera.

Tak lupa telor dadar sungguh istimewa, tak sabar rasanya menunggu Abah dan Rai pulang dari masjid.

Aku dan Mak sudah bersila rapat diatas tikar plastic yang kami bentang untuk santap Salwam.

“Assalamualikum.” Gema suara dari pintu depan yang membuatku cepat menjawab salam

“Waliakumsallam.” Ceria suaraku

Abah dan Rai melangkah dan mendudukkan bada di atas tikar plastic.

“Raihan bisa membaca doa makan.” Ucap Abah sambil melihat ke arah raihan.

Bismillaahirrahmaanirrahiim Allaahumma baarik lanaa fiima rozaqtanaa wa qinaa 'adzaaban nar.” Aku Abah Mak memandang Raihan.

Suara yang merdu walaupun hanya sepenggal doa pendek yang dibacakan.

“Sudah juz berapa mengajinya?” suara Abah terdengar.

“Sudah Bah kita makan dulu, Intan sudah tidak sabar sejak menunggu sudah keluar air liur Intan.” ucapan Mak memotong ucapan Abah yang jika dibiarkan kami tidak akan jadi makan.

Menatap langit, merenung membayangkan ekspresi Rai waktu memeluk Abah sewaktu pamit pulang.

“Terima kasih Abah, Intan beruntung mempunyai orangtua yang selalu ada untuk Intan. jika bisa memilih Rai akan memilih Abah Mak menjadi orangtua Rai.” Ucap Rai sewaktu pamit tadi.

Raihan serba berkecukupan memilih menjadi anak Abah Mak ada yang tidak beres dengan otak Raihan.

Bukannya Aku tidak bersyukur dengan memiliki Abah Mak tapi untuk memiliki fasilitas belajar yang sekarang menggunakan laptop dan Android dengan bersusah payah Abah mencukupi.

Baru setelah setengah tahun lalu aku memiliki android seken kami menyebut untuk barang baru beli tapi tidak baru dalam pemakaian.

Sementara untuk laptop untung saja aku masih bisa memakain fasilitas sekolah yang berada di labor multimedia.

Dan untuk memakainya aku harus izin dan meluangkan waktu istirahat jika tidak aku tidak akan dapat menyelesaikan tugas tetap waktu.

Ada apa dengan Rai, pikiranku terus saja berputar dengan Raihan dan Raihan.

Akhirnya aku tertidur dengan memikir masalah Raihan.

***

Libur tlah tiba, libur tlah tiba hore hore hore hatiku gembira.

Tahun ini seperti tahun sebelumunya libur di isi dengan berkebun.

Hanya saja tahun ini aku bersama Abah ingin memanfaatk polybag ilmu yang di dapat dari pelajaran wirausaha di sekolah.

Setelah beberapa bulan lalu diajarkan membuat pupuk dari daun dan sayur yang tidak terpakai lagi alias busuk sekarang masanya memanfaatkannya untuk pupuk dari beberapa sayur yang aku tanam bersama Abah.

“Assalamu’alaikum.” Nyanyianku terhenti ketika mendengar ucapan salam dari seseorang.

Siapa yang datang sampai masuk ke belakang rumah batinku, sambil memalingkan wajah mencari arah suara.

Keningku berkerut, sepagi ini Rai berada di rumahku.

Walaupun orangtuanya tidak ada, untuk apa juga Raihan berada di rumahku sepagi ini.

“Abah, Rai ingin mencoba berkebun boleh?’ ucapan Rai yang membuatku geli.

Bukankah kami di sekolah diajarkan berkebun, batinku menelisik apa yang terjadi dengan Rai sebenarnya.

Setengah sepuluh Aku, Abah dan Rai selesai menanam sebanyak 10 benih cabe rawit, 10 benih tomat, sepuluh benih terong bulat, 10 benih kecipir, dan 10 benih cabe merah tidak lupa sawi dan pokcoy sebanyak 20 dalam polybag.

Abah sudah membuat para – para untuk meletakkan semua benih yang kami masukkan dalam polybag bertanah bakar.

Mak menyediakan pisang gerong dan ubi rebus bersama kelapa parut campur gula untuk kami makan.

Abah disediakan kopi campur gula merah sementara untuk Mak, Aku dan Rai disediakan teh.

Kami makan dengan lahap seperti biasa, aku memerhatikan Rai yang juga lahap memakan apa yang disajikan Mak.

“Makanannya enak sekali Mak, besok masih bisakah Rai menumpang makan?” ucapan Rai mendapat jawaban Iya dari Abah dan Mak.

Aku semakin mengkerutkan kening, melihat Rai dan kedua orangtuaku.

“Bukankah besok orangtuaku pulang, sebaiknya Rai besok menunggu kepulangan orangtuanya dirumah mereka.” Spontan aku mengucapkan kata.

Wajah Rai berubah dari mimik yang bahagia menjadi mimik yang sungguh siapapun melihatnya akan turut sedih.

Aku tidak bermaksud membuat Rai bersedih tapi bukankah anak akan bahagia menunggu kepulangan orangtuanya dari berpergian, batinku.

Banyak oleh – oleh yang akan dibawa mereka, lagi – lagi aku membantin.

Tak terasa hari sudah Salwam, dan Salwam ini sekali lagi Rai makan Salwam bersama kami.

Ikan asin dan sayur asam bersama sambal belacan dilahapnya seperti makan yang sudah biasa dimakan.

Berulang kali Rai mengucapkan kata enak untuk masakan Mak yang sudah setiap hari kami santap.

Sebelum pulang Rai meminta Mak memasak ikan seleko sumbat sambal kecap, tahu tempe goreng dan sayur lodeh.

Mak menyanggupinya, membuat aku tidak habis fikir sampai kapan Rai akan makan bersama kami.

Bunyi kendaraan roda empat semakin menjauh, aku melangkahkan kaki menuju keluar kamar.

Ya sehabis makan aku langsung masuk ke kamar setelah mencuci semua peralatan yang kami gunakan untuk makan Salwam.

Tidak aku pedulikan panggilan Mak menemani Rai diruang tamu yang sedang asyik bermain catur dengan Abah.

“Sudah pulang tamu tak diundangnya Mak.” Ucapku ketus.

Langkahku menuju dapur terhenti ketika berpas – pasan dengan Mak yang tersenyum seperti mengantar tamu agung saja.

“Intan, jaga bicaranya. Kalau di dengar Rai, kecik hati Rain anti.” Ucap Mak tak kalah ketusnya.

“Intan lupa kalau Rai sekarang sudah menjadi anak Mak.” Ucapku kesal dan berlalu meninggalkan Mak yang mengurut dadanya.

Aku menunggu Mak masuk kamar baru aku kembali ke kamarku.

Salwas untuk beradu cakap dengan Mak saat ini, entah angin apa yang membuat Mak sangat menyukai Rai.

***

Menatap langit kamarku, baru dua hari aku sangat terganggu dengan kehadiran Rai di rumah.

Rai menguasai Abah Mak, aku seperti di anak tirikan.

Aku merasa Abah Mak lebih mengharapkan anak laki – laki daripada anak perempuan.

Sekuat tenaga aku berusaha membuat Abah Mak bangga akan diriku tapi kehadiran Rai, entahlah.

Sedari sekolah dasar sampai dengan sekarang aku belajar mati – matian untuk mendapatkan rangking pertama di kelas bahkan rangking umum untuk semua tingkatan di sekolahku.

Tapi aku merasa itu masih kurang, ada apakah karena aku perempuan.

Makan Salwam tadi saja, Mak sudah heboh dengan makanan yang akan dimasak besok tidak seperti biasanya..

Makan siang dengan ala kadarnya tidak pernah memikirkan apa yang akan dimasak besok.

Aku menghela napas keras, ada yang menghimpit dadaku.

Tak terasa, mimpi menjemputku.

Tidurku gelisih, mataku terbuka dengan sendirinya menatap jam beker hasil hadiah dari walikelasku karena aku berhasil mempertahankan nilai walaupun rangking kelas aku masih kalah dengan Raihan pada semester ganjil di kelas satu lalu.

Mengosok mataku merasa ada yang salah dengan angka yang ditera.

Masih pukul dua pagi, ada apa dengan diriku kenapa terbangun terlalu pagi.

Akhirnya aku menyeret kaki menuju kamar mandi, lebih baik aku mengadu pada kekasih-Nya rasulullah segaa bimbang dan resahku.

***

Ketukan kencang di pintu kamarku membangunkan diriku.

Melihat sekeliling, terang benderang.

Ya Allah aku melewati sholat subuhku, percuma aku sholat sunat  jika melewati sholat wajig.

Menitik airmataku melihat angka di jam beker di kamarku.

Pukul setengah tujuh, bergegas menuju pintu kamarku berlari menuju kamar mandi.

Tidak memperdulikan pandangan orang yang berdiri di depan pintuku.

Setelah menyelesaikan hutang sholatku, aku mengambil handuk dan membawa baju ganti untuk mandi.

Sosok yang tadi berdiri di depan kamarku tidak terlihat.

“Anak gadis bangun terlambat, buat malu saja,” suara Mak terdengar ketika aku melewati dapur untuk ke kamar mandi.

Hanya melihat sekilas, melihat Mak menyiapkan sarapan.

Sosok yang berdiri di depan kamarku tadi, sekarang duduk manis di meja makan sambil menatap lekat makanan yang ada diatasnya. .

Sekali lagi aku melewati Mak dan Rai yang sedang bercengkrama di meja makan dan sekarang ada sosok Abah diantara mereka.

“Jemur handuk di luar saja, setelah itu bergabunglah untuk sarapan.” Ujar Abah.

“Intan nanti saja sarapanya, ada janji dengan Ira.” Ucapku santai.

Setelah menjemur handuk seperti insturksi Abah, aku melenggankan badan menuju samping rumah menaiki sepeda ontel milik Abah.

Tasku punggungku berisi botol minuman, dan handuk kecil.

Aku ingin mendinginkan kepala dengan menaiki sepeda keliling komplek.

***

Keringat sudah membasahi bajuku, 1 jam aku mengelilingi komplek.

Tersenyum mengatakan komplek, tapi entah sejak kapan tempat tinggal kami selalu mengatakan komplek.

Mungkin pengaruh tontonan sehingga kami terikut – ikut mengatakan komplek untuk tempat tinggal kami.

Memandang pedangan keliling yang entah berapa pendapatannya sama dengan Abah yang setia dengan pekerjaannya tapi pendapatan tak menentu.

Rai, aku jadi teringat kepadanya.

Apakah Rai sudah tiba di rumahku?

Rai punya segalanya tapi kelihatan tidak bahagia, selama kami berteman, mungkin aku boleh mengatakan berteman walaupun selama ini Rai selalu asik dengan dunianya saja.

Ya, Rai terlalu pendiam walaupun segudang kegiatan yang diikutinya tapi mulut Rai jarang terdengar mengeluarkan kalimat sampah.

Jika ditanya baru bicara, seakan tidak ada kata yang tepat untuk menceritakan tentang kehidupannya.

Sehingga kami hanya menduga Rai bahagia dengan segala kemewahannya.

Kesekolah diantar mobil, kadang naik moge yang harga selangit.

Uangnya selalu baru dan wangi, tidak ada lembaran oren hanya ada warna biru dan merah.

Pernah sekali, entah sengaja atau tidak dompet Rai ditemukan oleh salah satu teman kelas.

Untuk mengetahui milik siapa tentu dengan membukanya disitulah kami tahu isi dompet Rai.

Tapi aneh Rai tidak pernah Nampak berbelanja di kantin.

Selalu memakan bekal yang mengiurkan buat kami tapi Rai tidak berselera memakannya.

Terlihat terpaksa ketika memakannya, apakah Rai menjaga pola makannya sehingga makan bukanlah kebutuhan yang membuatnya harus melahap makakan seperti kami.

Jika bisa memilih aku akan memakan semua bawaan makanan rumahan Rai daripada memakan makanan yang disediakan di kantin sekolah.

Ada apa dengan pikiranku, jika semua memakan bekal bawaan mereka siapa yang akan membeli dagangan kantin.

Sementara Mak dan Abah mendapatkan rezeki dari berjualan di kantin.

Panas sudah mulai menguliti kulitku, dengan rasa Salwas aku terpaksa pulang apalagi keringat membuat tubuhku menjadi gerah.

***

“Assalamualaikum.” Desahku ketika sampai di depan rumah.

Menekan panel pintu, berjalan pelan Salwas jika sampai Abah Mak mengetahui kepulanganku.

Pasti mereka sedang bercengkrama seperti dua hari lalu.

Melangkah menuju kamar, setelah membuka kunci kamar aku meletakkan sling bagku dan mengambil handuk untuk mengelap badan.

Jika mandi pasti semua orang yang berada di rumah mengetahui kepulanganku.

Aku lebih memilih untuk berdiam diri saja hari ini.

Aku sudah menyiapkan makanan yang aku beli di luar tadi untuk amunisiku seharian di kamar.

Sementara untuk air aku sudah biasa menyediakan botol air 2 liter untuk kebutuhanku.

Setelah berganti pakaian aku mengambil buku kumpulan cerita pendek yang berhalaman 200-an yang aku pinjam pada perpustakaan sekolah.

cerpenl salah satu guru sekolahku yang menjadi penulisnya.

Cerpen yang memuat cerita motivasi tentang perjalanan siswa berprestasi dari keluarga sederhana sampai siswa bermasalah menjadi tulisan apik yang enak di baca.

Aku memulai membaca cerpen dengan judul Mengapai Cita dalam Duka.

Bu Siti Nurbaya, bukan guru bahasa tapi ceritanya diramu dengan bahasa yang membuatku ketagihan membaca karyanya.

Buku pertamanya bercerita tentang bagaimana dirinya yang lulusan Sarjana Ekonomi berjuang menjadi seorang pendidik telah siap aku baca.

Sejak itu aku ketagihan membaca karya beliau yang tersedia di perpustakaan sekolah kami.

Ketukan di pintu membuatku menghentikan aktivitas membacaku.

Melirik sebentar pada jam beker, pukul 12 siang sebentar lagi azan sholat zuhur berkumandang.

Pasti Mak yang mengedor pintu kamarku, dengan Salwas aku membuka pintu.

Betapa terkejutnya aku melihat sosok Rai yang menjulang di depanku.

“Maaf, Intan ganggu dengan kehadiran Rai di rumah Intan?’ tanpa berdosa Rai bertanya kepadaku.

“Kalau merasa,baguslah.” Ucapku

Mengibaskan tanganku untuk meminta Rai memberi jalan kepadaku.

Langkahku menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.

“Intan mengapa berkurung dalam kamar, Rai sejak tadi membantu Mak memasak di dapur.” Lantang suara Mak terdengar.

“Alhamdulillah sudah ada yang membantu Mak, dapat Intan beristirahat sehari selama libur ni.” Ucapku santai.

“Bagus betul kelakuan anak gadis Abah ni, bukannya merasa bersalah tidak membantu Mak di dapur Salwah bangga.” Ucapnya sarkas.

“Jangan bilang lapar habis sholat zuhur nanti.” Ucap Mak pedas.

Salwas menjawab perkataan Mak, aku berlalu menuju kamar setelah mengambil wudhu di kamar mandi.

***

Ketukan di depan kamar tidak aku pedulikan, Rai beberapa kali memanggil namaku untuk megajak makan.

Kata singkat terucap dari mulutku mengatakan aku sudah kenyang.

Mungkin bosan setelah mengajakkku makan tidak aku gubriskan.

Akhirnya aku mendengar suara canda dari ruang makan terdengar suara Abah, Mak, dan Rai bersenda gurau.

Menjelang bada azar, perutku tidak bisa diajak kompromi.

Aku melangkahkan kaki untuk memasak indomie.

Suasana dapur yang lengang membuatku leluasa memasak indomie dengan campuran sawi, daun bawang serta irisan cabe rawit.

Sebelum itu aku menumis bawang merah yang sudah ku iris tipis.

Setelah bangkit aromanya aku masukkan air untuk merebus sawi cabe, menunggu kuahnya mengelegak untuk memasukkan telor ayam.

Sementara itu aku sudah merebus mie, yang kata orang untuk membuat lilin pada mienya.

Entah iya atau tidak, sudah menjadi kebiasaan membuat mie rebus aku merebus mienya dulu.

Baru membuat kuah mie dengan air rebusan lain.

Alhamdulillah, mie ku sudah matang aku memasukan dalam mangkok tidak lupa mengambil sedikit nasi untuk membuatku kenyang.

Setelah semua aku letakkan dalam talam, kakiku melangkah menuju kamar.

Aku memilih makan siang yang terlambat di dalam kamar saja.

Belum juga aku sampai di depan pintu kamar, suara Mak mengelegar membahan di tengah rumah.

“Bagus betul kelakuan anak gadis, makan dalam kamar macam tak ada dapur saja.” Wajah Mak terlihat tidak bersahabat.


“Bah, tengok anak gadis awak ni, semakin besar semakin menjadi kelakuan tak betulnya.” Pekik Mak membuatku menghentikan langkah ke kamar.

Jika aku teruskan langkah ke kamar tentu perang antara aku dan Mak akan menjadi.

“Dah kena sampok apa si Intan ni Pak, memuliakan tamu akan mendatangkan rezeki Intan tahu itu tapi tamu dari pagi tak ditegurnya.” Suara Mak emosi.

“Tamu datang sebentar Mak, bukan bertemu tangga tiap hari.” ucapku pelan jangan sampai memancing emosi Mak.

Mak mengurut dada mendengar ucapanku, dan berlalu meninggalkan aku dengan Abah yang selalu menjadi penengah jika Aku dan Mak bertegang urat alias emosi.

“Baca surat ini, masuklah kekamar.” Ucap Abah sambil mengulurkan secari kertas yang cukup panjag kalimat di dalamnya.

Aku menuruti cakap Abah, melangkah menuju kamar untuk mengisi kampung tengah alias perutku yang sudah menjerit minta di isi.

Setelah selesai makan, aku mengatur duduk di tempat tidur untuk membaca kertas yang Abah berikan tadi.

“Rai tidak bahagia di rumahnya, Papa Mama Rai sering keluarg kota karena urusan pekerjaan.

Rai di tuntut untuk menjadi yang terbaik karena disiapkan untuk menjadi dokter, Rai tidak merasa seperti anak lain yang mendapatkan kasih sayang dari Papa Mamanya.

Rangking menjadi proritas utama Papa Mamanya, belum lagi jika rangkingnya turun Rai akan mendapatkan petuah panjang lebar yang intinya Rai tidak bersyukur dengan semua yang didapatnya hanya rangking saja tidak bisa.

Rai mengatakan di rumah kita dirinya merasanya keakraban keluarga yang tidak ada pada keluarganya.

Semua masakan Mak yang dibuat dengan tangan penuh cinta rasanya berbeda dengan semua makanan yang ada di rumahnya.

Makan sendiri dengan laui melimpah tidak membuat  Rai bahagia.

Sementara di rumah kita Rai bisa makan dengan kehangatan keluarga dengan canda dan tawa.

Rai hanya meminta waktu selama orangtua berada di luar kota untuk merasakan hidup seperti anak normal lainnya.

Rai meminta kepada Abah Mak untuk merasakan kehangatan keluarga selama 4 hari ini saja.

Setelah itu Rai akan pergi, untuk melanjutkan sekolahnya di Jakarta bagi memudahkan memasuki UI jurusan kedokteran seperti keinginian Papa Mamanya.

Intan anak Abah yang baik, maaf sebetulnya Abah ingin membicarakan ini dengan Intan tapi belum ada waktu yang tepat, karena Rai selalu ada di antara kita.

Salwam ini, makan bersama buat suasana seperti selalu kita lakukan.

Anggap Rai bagian dari keluarga kita, menyenangkan hati orang pahala imbalannya.

Abah tahu Intan pasti bisa, sudut mataku membasah

Bagaikan mimpi di zaman yang sudah maju masih ada pemaksaan dalam mendidik anak.

Pantas saja Rai selalu terlihat tertekan di sekolah.

Setiap ulangan walaupun mendapat nilai 100 tidak ada senyum bahagia di bibirnya.

Setiap mendapatkan pujian dari setiap guru karena nilainya yang nyaris sempurna setiap ada tes, hanya senyum segaris yang ditampaknya.

Mimpiku untuk menjadi seperti Rai, yang segala fasilitasnya mudah di dapat setelah membaca tulisan Abah lenyap seketika.

Melihat wajah Rai selama dua hari ini aku seperti melihat Rai yang selama ini di dalam kelas.

Rasa bahagia yang meluap, seakan wajahnya tidak mampu untuk mengambarkan kegembiraan di wajanya.

Peluh yang mengalir ketika berusaha membantu Abah mengali dan memanaman semua benih.

Mengambil telur di kandang yang baunya tidak tertolong bagi yang belum pernah melakukannya tentu tidak mudah.

Memakan ikan asin dan sayur asam serta sambal belacan yang asing di lidahnya terlihat nikmat semantara aku sudah terlalu lelah memakannya karena terlalu sering menjadi santapan keluarga kami.

Ah, semua bukan mimpi tapi ada yang ingin merasakan kehangatan keluarga di segala mewahnya fasilitas hidup yang dimilikinya sementara aku ingin, Ya Allah maafkan hambamu ini yang tidak mensyukuri nikmat.

Allah tidak akan memberi sesuatu yang kita inginkan tapi memberikan apa yang kita butuhkan.***

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Dilangit Mu

  Gema suara takbir mulai terdengar sejak sholat magrib tadi. Tidak menunggu pengumuman hilal seperti lebaran idul Fitri hanya penentuan 1...