Suara berisik dari tadi sudah terdengar, jeritan suara wakil kesiswaan dipengeras suarapun tidak kami hiraukan.
Bagaikan lebah yang sedang
terbang, kami sibuk dengan pemikiran kami siapa yang akan mendapatkan juara
umum untuk tahun ini.
Lututku terasa lemah,
semester ganjil kemaren aku mendapatkan rangking ke dua juara umum sekolah
kalah dengan Raihan Putra teman satu kelasku.
Sudah dua tahun ini kami
selalu berpacu dalam meraih juara kelas maupun juara umum sekolah.
Aku tidak mau kalah dengan Raihan yang memiliki fasilitas cukup sementara aku anak salah satu penjual di kantin sekolah.
Jika Raihan selalu tidak
didampingi orangtuanya saat pengambilan rapot sementara aku dengan bangga
mendapatkan piala piagam dari tangan Makku.
“Insyallah Intan sudah
berusaha keras, apapun hasilnya syukuri dan nikmati.” Ucap Mak seakan tahu
kegundahan hatiku saat ini.
Sementara Raihan berdiri
sendiri seperti biasanya.
“Juara umum untuk sementer
genap ini, diraih oleh Raihan Saputra.” Gema suara wakil kesiswaan membuatku
menghela napas berat.
Ternyata aku masih saja
kalah dengan Raihan.
“Maaf seharusnya Ibu
mengumumkan juara umum dua bukan juara umum satu,” terdengar kasak kusuk dari
kami semua siswa yang saat ini berkumpul di halaman sekolah.
“Raihan sebagai juara umum
dua, dan sekarang saya umumkan juara umum satu. Selamat dan tahniah kepada
Intan Sahara.” Ucap wakil kesiswaan.
Aku berlonjak girang,
sambil melirik Raihan yang memandang diriku dengan senyum tipisnya.
Kami berjalan bersamaan
menuju mimbar yang sudah di sediakan.
“Bu, izinkan saya menerima
piala dan piagam dari Maknya Intan.”
Tentu saja ucapan Raihan membuat Aku dan Mak
terkejut dan memandang dalam kearah Raihan.
“Ibu bersedia memberikan
piala dan piagam ini kepada Raihan.” Tanya wakil kesiswaan kepada Mak.
Mak tersenyum manis
menganggukan kepala.
“Semoga tetap menjadi anak
sholeh.” Ucap Mak sambil menyerahkan piala dan piagam kepada Raihan.
“Terima kasih Mak, Rai akan
bangga jika Mak yang menjadi Mak Raihan.” Ucapan Raihan membuat aku dan Mak
saling pandang.
Raihan meraih tangan Mak, dan menciumnya takzim setelah itu memeluk
tubuh Mak seakan Mak ada Ibunya sendiri.
Aku melihat kilatan air di
mata Raihan, tapi secepat kilat di ucap Raihan.
***
Aku bertambah heran, ketika
setelah turun dari menerima penghargaan kami, Raihan masih saja menempel dengan
Mak.
Aku merasa risih karena
banyak pasang mata yang menatap heran kepada Raihan.
Tatapan seakan menguliti
Aku dan Mak, bagaimana tidak Raihan anak orang terpandang di kota tempat kami
tinggal.
Sementara Aku dan keluarga
bisa dibilangkan dari golongan bawah.
Bagaimana mendapatkan
durian runtuh, aku sekeluarga diantar dengan kendaraan roda empat milik
keluarga Raihan.
Kijang inova keluaran terbaru,
bukan hal biasa buat keluarga Raihan tapi buat kami sesuatu yang super mewah.
Alasan yang di luar nalar,
katanya hari Raihan berbahagia bisa diberikan piala dan piagam dari orang tuaku
kalau tidak Raihan akan malu karena orangtuanya tidak bisa hadir pada moment
bersejarah.
Bukankan semester satu
kemaren orangtua Raihan juga tidak hadir, batinku.
Setelah mengantar kami
Raihan tidak langsung pulang, kasih berbasa basi dengan kedua orangtuaku.
Raihan entah sejak kapan
sudah berganti kostum kaos dongker dan celana jin setulut dengan santai
membantu Abah dibelakang rumah.
Memanfaatkan lahan yang
sekakang kera milik kami dengan memamaninya dengan berbagai toga hidup dan
sayur untuk membantu perekonomian yang selalu kekurangan.
Tangan Raihan sudah penuh
dengan timun yang dipetiknya bersama Abah.
Sementara tangan Abah penuh
dengan terong bulat untuk lalapan.
Aku membawakan dua
keranjang untuk timun dan terong.
Mataku berbinar melihat
hasil lahan kecil dibelakang rumah.
Salwam ini kami akan
membuat lalapan dengan sambal belacan cabe kutu kata kami sementara orang
Jakarta mengatakan cabe rawit.
Setelah meletakkan timun
dan terong sekucupnya untuk makan Salwam, Abah juga menyisihkan sedikit untuk
dibawa pulang Raihan.
Selebihnya kami letakkan
dimeja kecil yang biasa kami gunakan untuk menjualnya kepada tetangan yang
berminat.
Alhamdulillah setiap kali
memetik hasil lahan kecil kami pasti akan laku terjual, karena harga yang
bersahabat.
“Abah Mak bolehkan Salwa
mini Raihan makan bersama di sini.” Ucap Raihan
Tentu saja ucapan Raihan
mendapatkan respon yang berbeda dari yang mendengarkan.
Abah Mak terlihat senang
dengan permintaan Raihan, sementara Aku merasa heran dengan Raihan.
Seharusnya Raihan merayakan
kesuksesannya walaupu berada di bawahku tapi kerja keras kami melampaui delapan
ratus delapan tiga siswa yang berada pada sekolah kami.
“Maaf jangan tersinggung
Rai, terlalu lama Rai berada diluar rumah apakah orangtua Rai tidak keberatan.”
Ucapku mengalahakan kekhawatiran Emak – emak yang menunggu anaknya pulang
terlambat.
Senyum tipis dengan sorat
mata yang sulit untuk diungkapkan terpancar dari mata Raihan.
“Orangtua Raihan berada di
Jakarta, lusa baru pulang. Tidak ada perayaan untuk nomor dua.” Kalimat singkat
dengan seribu makna bagi pendengarnya.
“Sudah izin dengan orangtua
pulang terlambat.” Ucap Abah melihat ke arah Raihan.
Hanya anggukkan kepala Rai
yang menjawab pertanyaaan Abah, tapi aku yakin Rai tidak meminta izin dari
orangtuanya.
***
Abah dan Raihan sholat berjamah di masjid
dekat rumah, sementara Aku dan Mak menunaikan sholat berjamah di rumah.
Menatap hidangan sederhana
tapi mewah untuk kami sekeluarga bagi merayakan keberhasilanku menjadi nomor
satu.
Kalio ayam kampung, lalapan
timun, terong bulat hampir lupa ada daun kemanggi serta bunda dan daun papaya
yang menjadi pembuka selera.
Tak lupa telor dadar
sungguh istimewa, tak sabar rasanya menunggu Abah dan Rai pulang dari masjid.
Aku dan Mak sudah bersila rapat
diatas tikar plastic yang kami bentang untuk santap Salwam.
“Assalamualikum.” Gema
suara dari pintu depan yang membuatku cepat menjawab salam
“Waliakumsallam.” Ceria
suaraku
Abah dan Rai melangkah dan
mendudukkan bada di atas tikar plastic.
“Raihan bisa membaca doa
makan.” Ucap Abah sambil melihat ke arah raihan.
“Bismillaahirrahmaanirrahiim Allaahumma baarik
lanaa fiima rozaqtanaa wa qinaa 'adzaaban nar.” Aku Abah Mak memandang Raihan.
Suara yang merdu walaupun hanya sepenggal doa pendek yang dibacakan.
“Sudah juz berapa mengajinya?” suara Abah terdengar.
“Sudah Bah kita makan dulu, Intan sudah tidak sabar sejak
menunggu sudah keluar air liur Intan.” ucapan Mak memotong ucapan Abah yang
jika dibiarkan kami tidak akan jadi makan.
Menatap langit, merenung
membayangkan ekspresi Rai waktu memeluk Abah sewaktu pamit pulang.
“Terima kasih Abah, Intan
beruntung mempunyai orangtua yang selalu ada untuk Intan. jika bisa memilih Rai
akan memilih Abah Mak menjadi orangtua Rai.” Ucap Rai sewaktu pamit tadi.
Raihan serba berkecukupan
memilih menjadi anak Abah Mak ada yang tidak beres dengan otak Raihan.
Bukannya Aku tidak
bersyukur dengan memiliki Abah Mak tapi untuk memiliki fasilitas belajar yang
sekarang menggunakan laptop dan Android dengan bersusah payah Abah mencukupi.
Baru setelah setengah tahun
lalu aku memiliki android seken kami menyebut untuk barang baru beli tapi tidak
baru dalam pemakaian.
Sementara untuk laptop
untung saja aku masih bisa memakain fasilitas sekolah yang berada di labor
multimedia.
Dan untuk memakainya aku
harus izin dan meluangkan waktu istirahat jika tidak aku tidak akan dapat
menyelesaikan tugas tetap waktu.
Ada apa dengan Rai,
pikiranku terus saja berputar dengan Raihan dan Raihan.
Akhirnya aku tertidur
dengan memikir masalah Raihan.
***
Libur tlah tiba, libur tlah
tiba hore hore hore hatiku gembira.
Tahun ini seperti tahun
sebelumunya libur di isi dengan berkebun.
Hanya saja tahun ini aku bersama
Abah ingin memanfaatk polybag ilmu yang di dapat dari pelajaran wirausaha di
sekolah.
Setelah beberapa bulan lalu
diajarkan membuat pupuk dari daun dan sayur yang tidak terpakai lagi alias
busuk sekarang masanya memanfaatkannya untuk pupuk dari beberapa sayur yang aku
tanam bersama Abah.
“Assalamu’alaikum.” Nyanyianku
terhenti ketika mendengar ucapan salam dari seseorang.
Siapa yang datang sampai
masuk ke belakang rumah batinku, sambil memalingkan wajah mencari arah suara.
Keningku berkerut, sepagi
ini Rai berada di rumahku.
Walaupun orangtuanya tidak
ada, untuk apa juga Raihan berada di rumahku sepagi ini.
“Abah, Rai ingin mencoba
berkebun boleh?’ ucapan Rai yang membuatku geli.
Bukankah kami di sekolah
diajarkan berkebun, batinku menelisik apa yang terjadi dengan Rai sebenarnya.
Setengah sepuluh Aku, Abah
dan Rai selesai menanam sebanyak 10 benih cabe rawit, 10 benih tomat, sepuluh
benih terong bulat, 10 benih kecipir, dan 10 benih cabe merah tidak lupa sawi
dan pokcoy sebanyak 20 dalam polybag.
Abah sudah membuat para –
para untuk meletakkan semua benih yang kami masukkan dalam polybag bertanah
bakar.
Mak menyediakan pisang
gerong dan ubi rebus bersama kelapa parut campur gula untuk kami makan.
Abah disediakan kopi campur
gula merah sementara untuk Mak, Aku dan Rai disediakan teh.
Kami makan dengan lahap
seperti biasa, aku memerhatikan Rai yang juga lahap memakan apa yang disajikan
Mak.
“Makanannya enak sekali
Mak, besok masih bisakah Rai menumpang makan?” ucapan Rai mendapat jawaban Iya
dari Abah dan Mak.
Aku semakin mengkerutkan
kening, melihat Rai dan kedua orangtuaku.
“Bukankah besok orangtuaku
pulang, sebaiknya Rai besok menunggu kepulangan orangtuanya dirumah mereka.”
Spontan aku mengucapkan kata.
Wajah Rai berubah dari
mimik yang bahagia menjadi mimik yang sungguh siapapun melihatnya akan turut
sedih.
Aku tidak bermaksud membuat
Rai bersedih tapi bukankah anak akan bahagia menunggu kepulangan orangtuanya
dari berpergian, batinku.
Banyak oleh – oleh yang
akan dibawa mereka, lagi – lagi aku membantin.
Tak terasa hari sudah Salwam,
dan Salwam ini sekali lagi Rai makan Salwam bersama kami.
Ikan asin dan sayur asam
bersama sambal belacan dilahapnya seperti makan yang sudah biasa dimakan.
Berulang kali Rai
mengucapkan kata enak untuk masakan Mak yang sudah setiap hari kami santap.
Sebelum pulang Rai meminta
Mak memasak ikan seleko sumbat sambal kecap, tahu tempe goreng dan sayur lodeh.
Mak menyanggupinya, membuat
aku tidak habis fikir sampai kapan Rai akan makan bersama kami.
Bunyi kendaraan roda empat
semakin menjauh, aku melangkahkan kaki menuju keluar kamar.
Ya sehabis makan aku
langsung masuk ke kamar setelah mencuci semua peralatan yang kami gunakan untuk
makan Salwam.
Tidak aku pedulikan
panggilan Mak menemani Rai diruang tamu yang sedang asyik bermain catur dengan
Abah.
“Sudah pulang tamu tak
diundangnya Mak.” Ucapku ketus.
Langkahku menuju dapur
terhenti ketika berpas – pasan dengan Mak yang tersenyum seperti mengantar tamu
agung saja.
“Intan, jaga bicaranya.
Kalau di dengar Rai, kecik hati Rain anti.” Ucap Mak tak kalah ketusnya.
“Intan lupa kalau Rai
sekarang sudah menjadi anak Mak.” Ucapku kesal dan berlalu meninggalkan Mak
yang mengurut dadanya.
Aku menunggu Mak masuk
kamar baru aku kembali ke kamarku.
Salwas untuk beradu cakap
dengan Mak saat ini, entah angin apa yang membuat Mak sangat menyukai Rai.
***
Menatap langit kamarku,
baru dua hari aku sangat terganggu dengan kehadiran Rai di rumah.
Rai menguasai Abah Mak, aku
seperti di anak tirikan.
Aku merasa Abah Mak lebih
mengharapkan anak laki – laki daripada anak perempuan.
Sekuat tenaga aku berusaha
membuat Abah Mak bangga akan diriku tapi kehadiran Rai, entahlah.
Sedari sekolah dasar sampai
dengan sekarang aku belajar mati – matian untuk mendapatkan rangking pertama di
kelas bahkan rangking umum untuk semua tingkatan di sekolahku.
Tapi aku merasa itu masih
kurang, ada apakah karena aku perempuan.
Makan Salwam tadi saja, Mak
sudah heboh dengan makanan yang akan dimasak besok tidak seperti biasanya..
Makan siang dengan ala
kadarnya tidak pernah memikirkan apa yang akan dimasak besok.
Aku menghela napas keras,
ada yang menghimpit dadaku.
Tak terasa, mimpi
menjemputku.
Tidurku gelisih, mataku
terbuka dengan sendirinya menatap jam beker hasil hadiah dari walikelasku
karena aku berhasil mempertahankan nilai walaupun rangking kelas aku masih
kalah dengan Raihan pada semester ganjil di kelas satu lalu.
Mengosok mataku merasa ada
yang salah dengan angka yang ditera.
Masih pukul dua pagi, ada
apa dengan diriku kenapa terbangun terlalu pagi.
Akhirnya aku menyeret kaki
menuju kamar mandi, lebih baik aku mengadu pada kekasih-Nya rasulullah segaa
bimbang dan resahku.
***
Ketukan kencang di pintu
kamarku membangunkan diriku.
Melihat sekeliling, terang
benderang.
Ya Allah aku melewati
sholat subuhku, percuma aku sholat sunat
jika melewati sholat wajig.
Menitik airmataku melihat
angka di jam beker di kamarku.
Pukul setengah tujuh,
bergegas menuju pintu kamarku berlari menuju kamar mandi.
Tidak memperdulikan
pandangan orang yang berdiri di depan pintuku.
Setelah menyelesaikan
hutang sholatku, aku mengambil handuk dan membawa baju ganti untuk mandi.
Sosok yang tadi berdiri di
depan kamarku tidak terlihat.
“Anak gadis bangun
terlambat, buat malu saja,” suara Mak terdengar ketika aku melewati dapur untuk
ke kamar mandi.
Hanya melihat sekilas,
melihat Mak menyiapkan sarapan.
Sosok yang berdiri di depan
kamarku tadi, sekarang duduk manis di meja makan sambil menatap lekat makanan
yang ada diatasnya. .
Sekali lagi aku melewati
Mak dan Rai yang sedang bercengkrama di meja makan dan sekarang ada sosok Abah
diantara mereka.
“Jemur handuk di luar saja,
setelah itu bergabunglah untuk sarapan.” Ujar Abah.
“Intan nanti saja
sarapanya, ada janji dengan Ira.” Ucapku santai.
Setelah menjemur handuk
seperti insturksi Abah, aku melenggankan badan menuju samping rumah menaiki
sepeda ontel milik Abah.
Tasku punggungku berisi
botol minuman, dan handuk kecil.
Aku ingin mendinginkan
kepala dengan menaiki sepeda keliling komplek.
***
Keringat sudah membasahi
bajuku, 1 jam aku mengelilingi komplek.
Tersenyum mengatakan
komplek, tapi entah sejak kapan tempat tinggal kami selalu mengatakan komplek.
Mungkin pengaruh tontonan
sehingga kami terikut – ikut mengatakan komplek untuk tempat tinggal kami.
Memandang pedangan keliling
yang entah berapa pendapatannya sama dengan Abah yang setia dengan pekerjaannya
tapi pendapatan tak menentu.
Rai, aku jadi teringat
kepadanya.
Apakah Rai sudah tiba di
rumahku?
Rai punya segalanya tapi
kelihatan tidak bahagia, selama kami berteman, mungkin aku boleh mengatakan
berteman walaupun selama ini Rai selalu asik dengan dunianya saja.
Ya, Rai terlalu pendiam
walaupun segudang kegiatan yang diikutinya tapi mulut Rai jarang terdengar
mengeluarkan kalimat sampah.
Jika ditanya baru bicara,
seakan tidak ada kata yang tepat untuk menceritakan tentang kehidupannya.
Sehingga kami hanya menduga
Rai bahagia dengan segala kemewahannya.
Kesekolah diantar mobil,
kadang naik moge yang harga selangit.
Uangnya selalu baru dan wangi,
tidak ada lembaran oren hanya ada warna biru dan merah.
Pernah sekali, entah
sengaja atau tidak dompet Rai ditemukan oleh salah satu teman kelas.
Untuk mengetahui milik
siapa tentu dengan membukanya disitulah kami tahu isi dompet Rai.
Tapi aneh Rai tidak pernah
Nampak berbelanja di kantin.
Selalu memakan bekal yang
mengiurkan buat kami tapi Rai tidak berselera memakannya.
Terlihat terpaksa ketika
memakannya, apakah Rai menjaga pola makannya sehingga makan bukanlah kebutuhan
yang membuatnya harus melahap makakan seperti kami.
Jika bisa memilih aku akan
memakan semua bawaan makanan rumahan Rai daripada memakan makanan yang
disediakan di kantin sekolah.
Ada apa dengan pikiranku,
jika semua memakan bekal bawaan mereka siapa yang akan membeli dagangan kantin.
Sementara Mak dan Abah
mendapatkan rezeki dari berjualan di kantin.
Panas sudah mulai menguliti
kulitku, dengan rasa Salwas aku terpaksa pulang apalagi keringat membuat
tubuhku menjadi gerah.
***
“Assalamualaikum.” Desahku
ketika sampai di depan rumah.
Menekan panel pintu,
berjalan pelan Salwas jika sampai Abah Mak mengetahui kepulanganku.
Pasti mereka sedang
bercengkrama seperti dua hari lalu.
Melangkah menuju kamar,
setelah membuka kunci kamar aku meletakkan sling bagku dan mengambil handuk
untuk mengelap badan.
Jika mandi pasti semua
orang yang berada di rumah mengetahui kepulanganku.
Aku lebih memilih untuk
berdiam diri saja hari ini.
Aku sudah menyiapkan makanan
yang aku beli di luar tadi untuk amunisiku seharian di kamar.
Sementara untuk air aku
sudah biasa menyediakan botol air 2 liter untuk kebutuhanku.
Setelah berganti pakaian
aku mengambil buku kumpulan cerita pendek yang berhalaman 200-an yang aku
pinjam pada perpustakaan sekolah.
cerpenl salah satu guru
sekolahku yang menjadi penulisnya.
Cerpen yang memuat cerita
motivasi tentang perjalanan siswa berprestasi dari keluarga sederhana sampai
siswa bermasalah menjadi tulisan apik yang enak di baca.
Aku memulai membaca cerpen
dengan judul Mengapai Cita dalam Duka.
Bu Siti Nurbaya, bukan guru
bahasa tapi ceritanya diramu dengan bahasa yang membuatku ketagihan membaca
karyanya.
Buku pertamanya bercerita
tentang bagaimana dirinya yang lulusan Sarjana Ekonomi berjuang menjadi seorang
pendidik telah siap aku baca.
Sejak itu aku ketagihan
membaca karya beliau yang tersedia di perpustakaan sekolah kami.
Ketukan di pintu membuatku menghentikan
aktivitas membacaku.
Melirik sebentar pada jam
beker, pukul 12 siang sebentar lagi azan sholat zuhur berkumandang.
Pasti Mak yang mengedor
pintu kamarku, dengan Salwas aku membuka pintu.
Betapa terkejutnya aku
melihat sosok Rai yang menjulang di depanku.
“Maaf, Intan ganggu dengan
kehadiran Rai di rumah Intan?’ tanpa berdosa Rai bertanya kepadaku.
“Kalau merasa,baguslah.”
Ucapku
Mengibaskan tanganku untuk
meminta Rai memberi jalan kepadaku.
Langkahku menuju kamar
mandi untuk mengambil wudhu.
“Intan mengapa berkurung
dalam kamar, Rai sejak tadi membantu Mak memasak di dapur.” Lantang suara Mak
terdengar.
“Alhamdulillah sudah ada
yang membantu Mak, dapat Intan beristirahat sehari selama libur ni.” Ucapku
santai.
“Bagus betul kelakuan anak
gadis Abah ni, bukannya merasa bersalah tidak membantu Mak di dapur Salwah
bangga.” Ucapnya sarkas.
“Jangan bilang lapar habis
sholat zuhur nanti.” Ucap Mak pedas.
Salwas menjawab perkataan
Mak, aku berlalu menuju kamar setelah mengambil wudhu di kamar mandi.
***
Ketukan di depan kamar
tidak aku pedulikan, Rai beberapa kali memanggil namaku untuk megajak makan.
Kata singkat terucap dari
mulutku mengatakan aku sudah kenyang.
Mungkin bosan setelah
mengajakkku makan tidak aku gubriskan.
Akhirnya aku mendengar
suara canda dari ruang makan terdengar suara Abah, Mak, dan Rai bersenda gurau.
Menjelang bada azar,
perutku tidak bisa diajak kompromi.
Aku melangkahkan kaki untuk
memasak indomie.
Suasana dapur yang lengang
membuatku leluasa memasak indomie dengan campuran sawi, daun bawang serta
irisan cabe rawit.
Sebelum itu aku menumis
bawang merah yang sudah ku iris tipis.
Setelah bangkit aromanya
aku masukkan air untuk merebus sawi cabe, menunggu kuahnya mengelegak untuk
memasukkan telor ayam.
Sementara itu aku sudah
merebus mie, yang kata orang untuk membuat lilin pada mienya.
Entah iya atau tidak, sudah
menjadi kebiasaan membuat mie rebus aku merebus mienya dulu.
Baru membuat kuah mie
dengan air rebusan lain.
Alhamdulillah, mie ku sudah
matang aku memasukan dalam mangkok tidak lupa mengambil sedikit nasi untuk
membuatku kenyang.
Setelah semua aku letakkan
dalam talam, kakiku melangkah menuju kamar.
Aku memilih makan siang
yang terlambat di dalam kamar saja.
Belum juga aku sampai di
depan pintu kamar, suara Mak mengelegar membahan di tengah rumah.
“Bagus betul kelakuan anak
gadis, makan dalam kamar macam tak ada dapur saja.” Wajah Mak terlihat tidak
bersahabat.
“Bah, tengok anak gadis awak ni, semakin besar semakin menjadi kelakuan tak
betulnya.” Pekik Mak membuatku menghentikan langkah ke kamar.
Jika aku teruskan langkah
ke kamar tentu perang antara aku dan Mak akan menjadi.
“Dah kena sampok apa si
Intan ni Pak, memuliakan tamu akan mendatangkan rezeki Intan tahu itu tapi tamu
dari pagi tak ditegurnya.” Suara Mak emosi.
“Tamu datang sebentar Mak,
bukan bertemu tangga tiap hari.” ucapku pelan jangan sampai memancing emosi
Mak.
Mak mengurut dada mendengar
ucapanku, dan berlalu meninggalkan aku dengan Abah yang selalu menjadi penengah
jika Aku dan Mak bertegang urat alias emosi.
“Baca surat ini, masuklah
kekamar.” Ucap Abah sambil mengulurkan secari kertas yang cukup panjag kalimat
di dalamnya.
Aku menuruti cakap Abah,
melangkah menuju kamar untuk mengisi kampung tengah alias perutku yang sudah
menjerit minta di isi.
Setelah selesai makan, aku
mengatur duduk di tempat tidur untuk membaca kertas yang Abah berikan tadi.
“Rai tidak bahagia di
rumahnya, Papa Mama Rai sering keluarg kota karena urusan pekerjaan.
Rai di tuntut untuk menjadi
yang terbaik karena disiapkan untuk menjadi dokter, Rai tidak merasa seperti
anak lain yang mendapatkan kasih sayang dari Papa Mamanya.
Rangking menjadi proritas
utama Papa Mamanya, belum lagi jika rangkingnya turun Rai akan mendapatkan
petuah panjang lebar yang intinya Rai tidak bersyukur dengan semua yang
didapatnya hanya rangking saja tidak bisa.
Rai mengatakan di rumah
kita dirinya merasanya keakraban keluarga yang tidak ada pada keluarganya.
Semua masakan Mak yang
dibuat dengan tangan penuh cinta rasanya berbeda dengan semua makanan yang ada
di rumahnya.
Makan sendiri dengan laui
melimpah tidak membuat Rai bahagia.
Sementara di rumah kita Rai
bisa makan dengan kehangatan keluarga dengan canda dan tawa.
Rai hanya meminta waktu
selama orangtua berada di luar kota untuk merasakan hidup seperti anak normal
lainnya.
Rai meminta kepada Abah Mak
untuk merasakan kehangatan keluarga selama 4 hari ini saja.
Setelah itu Rai akan pergi,
untuk melanjutkan sekolahnya di Jakarta bagi memudahkan memasuki UI jurusan
kedokteran seperti keinginian Papa Mamanya.
Intan anak Abah yang baik,
maaf sebetulnya Abah ingin membicarakan ini dengan Intan tapi belum ada waktu
yang tepat, karena Rai selalu ada di antara kita.
Salwam ini, makan bersama
buat suasana seperti selalu kita lakukan.
Anggap Rai bagian dari
keluarga kita, menyenangkan hati orang pahala imbalannya.
Abah tahu Intan pasti bisa,
sudut mataku membasah
Bagaikan mimpi di zaman
yang sudah maju masih ada pemaksaan dalam mendidik anak.
Pantas saja Rai selalu
terlihat tertekan di sekolah.
Setiap ulangan walaupun
mendapat nilai 100 tidak ada senyum bahagia di bibirnya.
Setiap mendapatkan pujian
dari setiap guru karena nilainya yang nyaris sempurna setiap ada tes, hanya
senyum segaris yang ditampaknya.
Mimpiku untuk menjadi
seperti Rai, yang segala fasilitasnya mudah di dapat setelah membaca tulisan
Abah lenyap seketika.
Melihat wajah Rai selama
dua hari ini aku seperti melihat Rai yang selama ini di dalam kelas.
Rasa bahagia yang meluap,
seakan wajahnya tidak mampu untuk mengambarkan kegembiraan di wajanya.
Peluh yang mengalir ketika
berusaha membantu Abah mengali dan memanaman semua benih.
Mengambil telur di kandang
yang baunya tidak tertolong bagi yang belum pernah melakukannya tentu tidak
mudah.
Memakan ikan asin dan sayur
asam serta sambal belacan yang asing di lidahnya terlihat nikmat semantara aku
sudah terlalu lelah memakannya karena terlalu sering menjadi santapan keluarga
kami.
Ah, semua bukan mimpi tapi
ada yang ingin merasakan kehangatan keluarga di segala mewahnya fasilitas hidup
yang dimilikinya sementara aku ingin, Ya Allah maafkan hambamu ini yang tidak
mensyukuri nikmat.
Allah tidak akan memberi
sesuatu yang kita inginkan tapi memberikan apa yang kita butuhkan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar