Bunyi suara HP yang melengking memekakkan teliga, menghentikan tanganku yang menari lincah diatas tuts laptopku.
Sejak selesai melaksanakan
tugas sebagai Ibu Negara aku mematut diri di depan laptop untuk membuat
perangkat pembelajaran.
Sudah tiga hari liburan
sekolah bermula, aku memilih untuk tidak pulang kampung.
Sementara untuk berjalan ke
Negara tetangga terpaksa dipending karena pasporku sudah mendekati batas tidak
bisa berkunjung karena tiga bulan lagi habis masa aktifnya.
“Assalammualaikum.” Suaraku
menjawab telepon masuk.
Ah aku lupa melihat siapa
yang menelepon, sedang asyik bekerja di telepon menganggu saja.
Terlanjut menekan tombol
hijau terpaksa aku memberikan salam.
Hening tidak ada yang
menyawab, jeda beberapa menit.
Keningku berkerut, punya niat tidak menelepon setelah diberi salam hanya diam saja.
“Siang Bu.” Sedetik sebelum
aku menekan tombol merah untuk mengakhiri panggilan.
“Siang dengan siapa ini.”
Ucapku tegas.
“Maaf sebelumnya saya
mendapatkan nomor Ibu dari salah satu orang tua siswa yang anaknya Ibu ajar.”
Jeda suara terdengar.
Aku masih mendengarkan apa
yang ingin disampaikannya.
“Saya Sita Mauli, jika
berkenan Ibu berkenan Saya ingin meminta bantuan Ibu.” Ucapnya santun.
“Apa yang bisa saya bantu,
dan tidak melanggar kode etik akan saya bantu.” Ucapku.
“Anak saya, dihari ketiga
namanya sudah tidak ada didaftar nama yang dipertimbangkan masuk di sekolah Ibu.
“Ah.” Hatiku menjerit
Hal ini selalu terjadi
diawal masuk sekolah.
Sebelumnya aku disibukkan
dengan orang yang sebelumnya acuh dan cuek kepadaku sekarang sok kenal dan
meminta bantuan.
Untung saja aku tidak
pernah kebagian jatah menjadi panitia, maklum sudah tua.
Masa – masa menjadi panitia
sudah lama aku dilupakan, sudah ada regenerasi untuk itu.
Tapi masih saja aku dibuat
pusing tujuh keliling dengan oknum yang sok kenal dan sok akrab jika sudah masa
– masa panen PPDB.
Masalah pendaftaran dengan
aplikasi mungkin untuk sebagian umum masyarakat masih menyisihkan rasa kesal
dan bigung.
Walaupun kemajuan teknologi
sudah masuk desa belum tentu semua orang bisa memanfaatkannya dengan baik dan
cerdas.
Ada beberapa hal mungkin
membuat mereka butuh bantuan dan tentu saja mereka akan menuju guru – guru yang
dekat dengan rumah mereka.
Rasa malu mungkin
terlupakan jika sudah ada kebutuhan yang mendesak.
Seperti saat ini sebenarnya
aku masih kesal dengan orang yang sedang meneleponku.
Bagaimana tidak lima tahun
yang lalu anaknya aku yang menjadi wali kelasnya.
Lumayan merepotkan dan
akhirnya adu argumentasi tidak bisa dihindar.
Home visit menjadi langkah
yang diambil oleh wali kelas jika proses awal sudah dilakukan.
Sambutan yang aku terima
waktu itu sungguh membuat hatiku menjadi miris.
Bukannya di suruh masuk,
aku bersama guru BP hanya berdiri di depan rumah dengan alasan dirinya ada
kerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.
Sementara untuk ketidak
hadirian anaknya beberapa hari sebelumnya dikatakan karena sakit dan tidak
sempat untuk mengirim surat.
Meminta kami pulang saja,
karena saat ini anaknya masih tertidur di kamar karena masih kurang sehat.
Di lain waktu, ketika surat
aku layangkan karena anaknya membuat masalah, jawaban tidak mengenakkan aku
terima lagi.
“sekolah saja yang tidak
bisa membuat anak saya ingin belajar.” Sungguh emosiku dipermainkan olehnya.
Dan akhirnya aku yang
disalahkan karena terlalu keras sehingga anaknya memilih untuk pindah sekolah
pada semester genap tahun pelajaran itu.
Sejak itu, aku seakan
mendapat musuh tersembunyi sering bertemu karena masih satu kampung tapi setiap
sapaanku tidak pernah dijawab.
Waktu berlalu, aku tidak
berharap akan ada permasalah yang
melibatkan kami.
Dan zona akhirnya
mempertemukan kami, karena anaknya yang berjumlah empat orang sekolah di sekolah
yang lain.
Nasib akhirnya
mempertemukan kami karena zona dengan anaknya yang terakhir.
Zona, oh zona mau tidak mau
ada benang yang mempertemukan kami.
Anak perempuan tidak
mungkin sekolah di sekolah kejuruan.
Rangkaian kata tidak bisa
aku susun, untuk menghadapinya.
Ingin menolong tapi aku
tidak punya kekuasaan untuk itu.
Tapi jika ini aku katakana
terus terang aku yakin wataknya yang keras, pasti berpikir aku tidak ingin
membantunya.
Bunyi ketukan dipintu
rumah, membuyarkan lamunanku.
Melangkah dengan sigap ke
depan rumah, menekan panel pintu untuk melihat siapa gerangan tamu yang
bertandang.
Senyum terpaksa aku
berikan, benar saja tidak menunggu lama setelah aku mengizinkan dirinya untuk
datang sekarang orangnya sudah berada didepanku.
“Sebentar Saya ambil kunci
motor, sebaiknya kita langsung ke sekolah. Ibu saya pertemukan dengan panitia
penerimaan siswa baru.” Ucapku tanpa menunggu jawaban darinya.
Aku tahu dirinya terpaksa
mengikuti langkahku yang sengaja aku buat tergesa – gesa.
Tidak sampai 15 menit motor
kami sampai dipekarangan sekolah.
“Assalamualaikum.” Sapaku
kepada paniatia
Semua panitia yang jenior
kepadaku menjawab salamku.
Aku mengacungkan bawaanku
kepada mereka.
“Bawa tu Bu, rezeki anak
sholeh/sholelah.” Jawab serempak.
Setelah menyerahkan
bawaanku kepada salah satu guru, aku menuju ketua panitia.
“Maaf menganggu, ada
masyarakat yang ingin bertemu. Tolong dibantu.” Ucapku kepada ketua panitia.
Mereka yang menjadi panitia
sudah tahu bagaimana diriku.
Aku tidak pernah
memposisikan sebagai guru senior yang seenaknya memaksakan kehendak.
Bukan lagi rahasia umum,
ada guru senior yang meminta jatah untuk memasukkan anak atau ponaan tapi itu
tidak berlaku dengan diriku.
Zaman waktu aku menjadi
panitiapun aku tidak pernah menyalahkan tanggung jawab yang diberikan.
Bukan aku tidak tahu banyak
dari mereka yang mengatakan aku terlalu sombong, bukan sombong tapi aku
berusaha tidak menyalahi peraturan yang berlaku.
Berbincang dengan ketua
panitia, menyampaikan apa maksud kedatanganku ke sekolah.
Setelah itu aku
mempersilakan orang yang datang bersamaku untuk berbicara langsung dengan ketua
panitia.
Berdebatan akhirnya
terdengar, aku hanya bisa mengelus dada.
Sudah menduga hal ini pasti
akan terjadi, belum masuk saja anaknya sudah membuat masalah apalagi setelah
masuk nanti.
Aku jadi mengenang masa
lalu ketika itu juga dia datang dengan segala keluh kesah tidak punya dana jika
harus memasukkan anaknya ke sekolah kejuruan.
Setelah diterima masalah
lain terjadi tidak sampai tiga bulan terpaksa memindahkan anaknya ke sekolah
yang menjadi tuntutan anaknya.
Aku hanya mengeleng kepada
jika menghadapi orangtua yang seperti ini.
Salwas untuk mendengarkan
perdebatan mereka aku berbincang dengan panita SPMB yang lain.
Mendengar suara motor
meninggalkan sekolah membuatku memalingkan muka melihat siapa yang meninggalkan
sekolah.
Dari tadi tidak ada yang
datang, jangan katakana orang yang datang denganku tadi pergi tanpa pamit.
Selalu saja kami pihak
sekolah menghadapi masyarakat yang kadang memaksakan kehendak.
Rasanya ada jalan yang
berliku dalam menjalankan tugas kami dalam mendidik.
Bukan hanya peserta didik
tapi juga orangtua mereka yang meletakkan beban dipundak kami.
Terus berjalan lurus,
semoga tetap diberikan kesabaran seluas lautan untuk tetap berjalan pada jalan
yang benar.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar