Minggu, 15 Juni 2025

Labirin Asa

 

Bunyi suara HP yang melengking memekakkan teliga, menghentikan tanganku yang menari lincah diatas tuts laptopku.

Sejak selesai melaksanakan tugas sebagai Ibu Negara aku mematut diri di depan laptop untuk membuat perangkat pembelajaran.

Sudah tiga hari liburan sekolah bermula, aku memilih untuk tidak pulang kampung.

Sementara untuk berjalan ke Negara tetangga terpaksa dipending karena pasporku sudah mendekati batas tidak bisa berkunjung karena tiga bulan lagi habis masa aktifnya.

“Assalammualaikum.” Suaraku menjawab telepon masuk.

Ah aku lupa melihat siapa yang menelepon, sedang asyik bekerja di telepon menganggu saja.

Terlanjut menekan tombol hijau terpaksa aku memberikan salam.

Hening tidak ada yang menyawab, jeda beberapa menit.

Keningku berkerut, punya niat tidak menelepon setelah diberi salam hanya diam saja.

“Siang Bu.” Sedetik sebelum aku menekan tombol merah untuk mengakhiri panggilan.

“Siang dengan siapa ini.” Ucapku tegas.

“Maaf sebelumnya saya mendapatkan nomor Ibu dari salah satu orang tua siswa yang anaknya Ibu ajar.” Jeda suara terdengar.

Aku masih mendengarkan apa yang ingin disampaikannya.

“Saya Sita Mauli, jika berkenan Ibu berkenan Saya ingin meminta bantuan Ibu.” Ucapnya santun.

“Apa yang bisa saya bantu, dan tidak melanggar kode etik akan saya bantu.” Ucapku.

“Anak saya, dihari ketiga namanya sudah tidak ada didaftar nama yang dipertimbangkan masuk di sekolah Ibu.

“Ah.” Hatiku menjerit

Hal ini selalu terjadi diawal masuk sekolah.

Sebelumnya aku disibukkan dengan orang yang sebelumnya acuh dan cuek kepadaku sekarang sok kenal dan meminta bantuan.

Untung saja aku tidak pernah kebagian jatah menjadi panitia, maklum sudah tua.

Masa – masa menjadi panitia sudah lama aku dilupakan, sudah ada regenerasi untuk itu.

Tapi masih saja aku dibuat pusing tujuh keliling dengan oknum yang sok kenal dan sok akrab jika sudah masa – masa panen PPDB.

Masalah pendaftaran dengan aplikasi mungkin untuk sebagian umum masyarakat masih menyisihkan rasa kesal dan bigung.

Walaupun kemajuan teknologi sudah masuk desa belum tentu semua orang bisa memanfaatkannya dengan baik dan cerdas.

Ada beberapa hal mungkin membuat mereka butuh bantuan dan tentu saja mereka akan menuju guru – guru yang dekat dengan rumah mereka.

Rasa malu mungkin terlupakan jika sudah ada kebutuhan yang mendesak.

Seperti saat ini sebenarnya aku masih kesal dengan orang yang sedang meneleponku.

Bagaimana tidak lima tahun yang lalu anaknya aku yang menjadi wali kelasnya.

Lumayan merepotkan dan akhirnya adu argumentasi tidak bisa dihindar.

Home visit menjadi langkah yang diambil oleh wali kelas jika proses awal sudah dilakukan.

Sambutan yang aku terima waktu itu sungguh membuat hatiku menjadi miris.

Bukannya di suruh masuk, aku bersama guru BP hanya berdiri di depan rumah dengan alasan dirinya ada kerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.

Sementara untuk ketidak hadirian anaknya beberapa hari sebelumnya dikatakan karena sakit dan tidak sempat untuk mengirim surat.

Meminta kami pulang saja, karena saat ini anaknya masih tertidur di kamar karena masih kurang sehat.

Di lain waktu, ketika surat aku layangkan karena anaknya membuat masalah, jawaban tidak mengenakkan aku terima lagi.

“sekolah saja yang tidak bisa membuat anak saya ingin belajar.” Sungguh emosiku dipermainkan olehnya.

Dan akhirnya aku yang disalahkan karena terlalu keras sehingga anaknya memilih untuk pindah sekolah pada semester genap tahun pelajaran itu.

Sejak itu, aku seakan mendapat musuh tersembunyi sering bertemu karena masih satu kampung tapi setiap sapaanku tidak pernah dijawab.

Waktu berlalu, aku tidak berharap akan ada permasalah yang  melibatkan kami.

Dan zona akhirnya mempertemukan kami, karena anaknya yang berjumlah empat orang sekolah di sekolah yang lain.

Nasib akhirnya mempertemukan kami karena zona dengan anaknya yang terakhir.

Zona, oh zona mau tidak mau ada benang yang mempertemukan kami.

Anak perempuan tidak mungkin sekolah di sekolah kejuruan.

Rangkaian kata tidak bisa aku susun, untuk menghadapinya.

Ingin menolong tapi aku tidak punya kekuasaan untuk itu.

Tapi jika ini aku katakana terus terang aku yakin wataknya yang keras, pasti berpikir aku tidak ingin membantunya.

Bunyi ketukan dipintu rumah, membuyarkan lamunanku.

Melangkah dengan sigap ke depan rumah, menekan panel pintu untuk melihat siapa gerangan tamu yang bertandang.

Senyum terpaksa aku berikan, benar saja tidak menunggu lama setelah aku mengizinkan dirinya untuk datang sekarang orangnya sudah berada didepanku.

“Sebentar Saya ambil kunci motor, sebaiknya kita langsung ke sekolah. Ibu saya pertemukan dengan panitia penerimaan siswa baru.” Ucapku tanpa menunggu jawaban darinya.

Aku tahu dirinya terpaksa mengikuti langkahku yang sengaja aku buat tergesa – gesa.

Tidak sampai 15 menit motor kami sampai dipekarangan sekolah.

“Assalamualaikum.” Sapaku kepada paniatia

Semua panitia yang jenior kepadaku menjawab salamku.

Aku mengacungkan bawaanku kepada mereka.

“Bawa tu Bu, rezeki anak sholeh/sholelah.” Jawab serempak.

Setelah menyerahkan bawaanku kepada salah satu guru, aku menuju ketua panitia.

“Maaf menganggu, ada masyarakat yang ingin bertemu. Tolong dibantu.” Ucapku kepada ketua panitia.

Mereka yang menjadi panitia sudah tahu bagaimana diriku.

Aku tidak pernah memposisikan sebagai guru senior yang seenaknya memaksakan kehendak.

Bukan lagi rahasia umum, ada guru senior yang meminta jatah untuk memasukkan anak atau ponaan tapi itu tidak berlaku dengan diriku.

Zaman waktu aku menjadi panitiapun aku tidak pernah menyalahkan tanggung jawab yang diberikan.

Bukan aku tidak tahu banyak dari mereka yang mengatakan aku terlalu sombong, bukan sombong tapi aku berusaha tidak menyalahi peraturan yang berlaku.

Berbincang dengan ketua panitia, menyampaikan apa maksud kedatanganku ke sekolah.

Setelah itu aku mempersilakan orang yang datang bersamaku untuk berbicara langsung dengan ketua panitia.

Berdebatan akhirnya terdengar, aku hanya bisa mengelus dada.

Sudah menduga hal ini pasti akan terjadi, belum masuk saja anaknya sudah membuat masalah apalagi setelah masuk nanti.

Aku jadi mengenang masa lalu ketika itu juga dia datang dengan segala keluh kesah tidak punya dana jika harus memasukkan anaknya ke sekolah kejuruan.

Setelah diterima masalah lain terjadi tidak sampai tiga bulan terpaksa memindahkan anaknya ke sekolah yang menjadi tuntutan anaknya.

Aku hanya mengeleng kepada jika menghadapi orangtua yang seperti ini.

Salwas untuk mendengarkan perdebatan mereka aku berbincang dengan panita SPMB yang lain.

Mendengar suara motor meninggalkan sekolah membuatku memalingkan muka melihat siapa yang meninggalkan sekolah.

Dari tadi tidak ada yang datang, jangan katakana orang yang datang denganku tadi pergi tanpa pamit.

Selalu saja kami pihak sekolah menghadapi masyarakat yang kadang memaksakan kehendak.

Rasanya ada jalan yang berliku dalam menjalankan tugas kami dalam mendidik.

Bukan hanya peserta didik tapi juga orangtua mereka yang meletakkan beban dipundak kami.

Terus berjalan lurus, semoga tetap diberikan kesabaran seluas lautan untuk tetap berjalan pada jalan yang benar.***

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Labirin Asa

  Bunyi suara HP yang melengking memekakkan teliga, menghentikan tanganku yang menari lincah diatas tuts laptopku. Sejak selesai melaksana...