Cahaya Putri, namaku.
Usia 23 tahun bulan juli
ini, terdampar pada sekolah negeri di Kabupaten yang baru mekar.
Seperti bunga saja mekar,
itulah tempat lahirku dan diumurku sekarang ini aku mekar bagaikan kabupatenku.
Melepas toga tanda aku
sudah lulus kuliah, jurusan ekonomi di jurusan pendidikan.
Belum genap satu tahun aku
mengabdi di SMA ini, rasa juangku untuk menjadikan mereka, peserta didikku
patner dalam pendidikan sangat tinggi.
Senyum terpaksa aku kembangkan ketika sudah lebih setengah jam muridku yang seharusnya duduk manis mendengarkan aku menjelaskan baru saja datang.
Menenteng surat dari guru
piket menandakan muridku sudah mendapatkan sejuta nasehat tentunya.
Senyum mengejek terlihat
jelas dibibirnya, biang kerok kami guru yang mengajar dikelasnya memberikan
julukan.
Ryan Saputra, murid kelas
X.8 yang seharusnya sudah duduk di kelas XI tapi kerana ulahnya sendiri dengan
amat terpaksa mengulang di kelas sama dengan tahun kemaren.
Rapat kenaikan kelas alot
katanya, karena nilainya bagus memenuhi syarat untuk kenaikan kelas hanya saja
absenya melebihi 30% tidak berada dikelas sementara syarat untuk kenaikan kelas
hanya 10% saja.
Masih dengan cerita dari
guru senior ketika di hari pertama mengajar aku sudah diwanti – wanti dengan
yang namanya Ryan Saputra.
Aku menelisik penampilan
Ryan yang rapi, hanya matanya bagaikan mata setan, ini perumpaan untuk mata
merahnya.
Menguap setiap saat kadang
menutup mulut kadang terbiar begitu saja.
“Mau kemana?” ucapku ketika
melihat Ryan berjalan menuju mejanya setelah menyerahkan kertas dari guru
piket.
“Duduk Bu.” Ucap Ryan
santai.
“Siapa yang menyuruh Kamu
duduk.” Ucapku geram
“Biasanya juga duduk Bu.”
Ucap Ryan santai dan terus melangkah.
“Berhenti dan kembali ke
sini.” Ucapku lantang.
Kelas menjadi hening, tak
ada yang berani menatapku.
Mereka menundukkan kepala
menatap buku latihan mereka.
“Dengar tidak ada apa yang
saya ucapkan.” Ulangku melihat Ryan diam ditempatnya berdiri.
Aku berdiri dari duduku,
menatap tajam ke arah Ryan yang juga sedang menatapku saat ini.
Hening, kami saling tatap.
“Kesepakatan kita masih
ingat Ryan, dua kali terlambat harus ada surat pernyataan orang tua.” Ucapku
mengingatkan Ryan kesepakatan kami.
“Orang tua saya tidak ada
rumah Bu, susah minta tanda tangan suratnya.” Ucap Ryan santai.
“Ini sudah yang ke empat
kali Ryan terlambat masuk dengan saya dan dua kali tidak ada berita.
Sudah cukup rasanya
toleransi Saya, hari ini saya bebaskan Ryan untuk tidak masuk pelajaran Saya.”
Ucapku tegas.
Tatapan membangkang
terlihat jelas dari mata Ryan, dengan langkah besar Ryan meninggalkan kelas.”
“Izin hanya pada pelajaran
saya, sebaiknya pelajaran lain Ryan tetap masuk.” Ucapku sebelum Ryan
melangkahkan kaki meninggalkan kelas.
Ah, helaan napas kuat
terdengar dari mulutku.
Mengimbas masa lalu, tidak
ada kesepakatan kelas hanya ada peraturan dan sanksi jika melanggar peraturan.
Nasib mendapatkan guru yang
keras bagai kayu, hanya sanksi yang diterima walaupun keterlambatan karena
hujan karena oplet tidak jalan karena orang lebih suka berkurung di rumah daripada
ke sekolah jika hujan lebat dan hukumya wajib diterima tapa alasan.
Ryan kesekolah dengan
menaiki motor ninja motor yang tidak semua anak memilikinya.
Kala hujan, Brio hijau
menjadi tunggangannya tidak seperti teman – temannya yang harus berbasah ria
walaupun sudah memakai mantel ataupun payung.
Otak encer dimiliki Ryan,
buktinya ulangan harian selalu mendapatkan nilai tertinggi di kelas.
Pernah sekali aku mengetes
dengan menyuruh Ryan duduk di meja guru sewaktu ulangan,
Dengan santai Ryan berjalan
menuju meja guru dengan membawa pena saja.
Selama mengerjakan tidak
ada pengulangan jawaban dan hanya butuh waktu 45 menit soal sebanyak 15 soal
objektif dan ditambah 5 soal essay dikerjakannya.
Dengan santai Ryan berkata
kalau itu jika sudah selesai mengerjakan apakah boleh ke kantin karena perutnya
lapar belum sarapan.
Ryan ada apa dengan
dirinya, sejak itu aku menyelisik keadaa Ryan.
Kesepian di rumah sebagai
anak tunggal, apakah hanya kerana itu Ryan berulah tentu saja tidak.
Terus mencari dan mencari kebenaran,
ternyata Ryan bagaikan robot yang sudah dibuat sedemikian rupa oleh orangtuanya
sejak dari SD.
Masa depan cerah secerah
matahari yang bersinar tepat jam 12 siang tidak lagi sulit digapai.
Segala fasilitas sudah ada
dari asuransi pendidikan sampaikan ke S3 ada.
Tapi satu kekurangannya,
Ryan tidak ingin menjadi dokter seperti kedua orangtuanya tapi lebih memilih
menjadi arsitek.
Pertama kali melihat buku
latihan Ryan aku kagum dengan tulisan seni menulis nama, kelas, mata pelajaran.
Tulisan yang rapi,
menyejukkan mata memadang.
Belum lagi ada gambar kecil
disetiap sudut bawah kiri yang menyita pandangan mata.
Bangunan 3 demensi seperti
hidup tergambar jelas di setiap lembar bukunya walaupun dalam bentuk minatur.
Setiap ada lomba mengambar
Ryan selalu menjadi pentolan kelasnya dan ya Ryan menjadi pemenang untuk
seluruh tingkatan tentunya.
Ryan juga menjadi andalan
sekolah jika ada lomba melukis tingkat kabupaten dan provinsi.
Netraku berkabut, mengingat
betapa murkanya orang tua Ryan ketika kami pihak sekolah meminta izin untuk
mengirim Ryan ke provinsi untuk mengikuti lomba melukis.
“Ryan hanya boleh ikut
olimpiade Biologi saja, tidak yang lain.” Ucup keras Papa Ryan kala itu.
Untung saja aku sebagai
wali kelas penganti karena wali kelas Ryan cuti melahirkan dengan gigih
membujuk orangtua Ryan dan berjanji akan mengikut sertakan dan membina Ryan
dalam olimpiade Biologi.
***
Sudah tiga hari sejak aku
melarang Ryan mengikuti pelajaranku Ryan tidak hadir kesekolah.
Ada perasaan bersalah
kepada Ryan, karena selama belajar denganku Ryan selalu antusias dan selalu
saja canva hasil desainya membuat aku kagum.
Langkahku menuju meja wali
kelas Ryan.
“Assalamualaikum Bu Salmah.”
Ucapku setelah berdiri depan meja Bu Salmah.
“Walaikumsalam Bu Cahaya,
duduk.” Senyum dan sapaan lembut aku dapat dari Bu Salmah.
“Maaf Bu, hanya mau
bertanya masalah Ryan.” Ucapku malu.
“Ah, Ryan kasihan sekali
nasib anak itu.” Suara Bu Salmah lemah.
“Ada apa dengan Ryan Bu.”
Ucapku antusias.
“Ryan kecelakan dua hari
yang lalu ketika hendak ke sekolah. Lumayan parah, salah satu kakinya tidak
bisa berfungsi dengan baik, untung saja tidak diamputasi.” Sedih terdengar
suara Bu Salmah ketika bercerita.
Airmataku sampai menitik
mendengar nasib Ryan, apalagi ketika Bu Salmah melanjutkan cerita Ryan
bertengkar dengan orangtuanya karena tanda tangan yang aku minta.
Ya Allah aku merasa
berdosa, ternyata Ryan harus bertengkar dengan orangtuanya karena permintaanku.
Ryan yang kesepian selama
ini akan menderita karena cacat yang dideritanya kelak.
Tekatku dalam hati, setelah
Ryan masuk aku akan membantu Ryan membangun rasa percaya diri dengan segala
kelebihan otaknya itu janjiku.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar