Selasa, 03 Juni 2025

Menyelisik Hatimu

 


Cahaya Putri, namaku.

Usia 23 tahun bulan juli ini, terdampar pada sekolah negeri di Kabupaten yang baru mekar.

Seperti bunga saja mekar, itulah tempat lahirku dan diumurku sekarang ini aku mekar bagaikan kabupatenku.

Melepas toga tanda aku sudah lulus kuliah, jurusan ekonomi di jurusan pendidikan.

Belum genap satu tahun aku mengabdi di SMA ini, rasa juangku untuk menjadikan mereka, peserta didikku patner dalam pendidikan sangat tinggi.

Senyum terpaksa aku kembangkan ketika sudah lebih setengah jam muridku yang seharusnya duduk manis mendengarkan aku menjelaskan baru saja datang.

Menenteng surat dari guru piket menandakan muridku sudah mendapatkan sejuta nasehat tentunya.

Senyum mengejek terlihat jelas dibibirnya, biang kerok kami guru yang mengajar dikelasnya memberikan julukan.

Ryan Saputra, murid kelas X.8 yang seharusnya sudah duduk di kelas XI tapi kerana ulahnya sendiri dengan amat terpaksa mengulang di kelas sama dengan tahun kemaren.

Rapat kenaikan kelas alot katanya, karena nilainya bagus memenuhi syarat untuk kenaikan kelas hanya saja absenya melebihi 30% tidak berada dikelas sementara syarat untuk kenaikan kelas hanya 10% saja.

Masih dengan cerita dari guru senior ketika di hari pertama mengajar aku sudah diwanti – wanti dengan yang namanya Ryan Saputra.

Aku menelisik penampilan Ryan yang rapi, hanya matanya bagaikan mata setan, ini perumpaan untuk mata merahnya.

Menguap setiap saat kadang menutup mulut kadang terbiar begitu saja.

“Mau kemana?” ucapku ketika melihat Ryan berjalan menuju mejanya setelah menyerahkan kertas dari guru piket.

“Duduk Bu.” Ucap Ryan santai.

“Siapa yang menyuruh Kamu duduk.” Ucapku geram

“Biasanya juga duduk Bu.” Ucap Ryan santai dan terus melangkah.

“Berhenti dan kembali ke sini.” Ucapku lantang.

Kelas menjadi hening, tak ada yang berani menatapku.

Mereka menundukkan kepala menatap buku latihan mereka.

“Dengar tidak ada apa yang saya ucapkan.” Ulangku melihat Ryan diam ditempatnya berdiri.

Aku berdiri dari duduku, menatap tajam ke arah Ryan yang juga sedang menatapku saat ini.

Hening, kami saling tatap.

“Kesepakatan kita masih ingat Ryan, dua kali terlambat harus ada surat pernyataan orang tua.” Ucapku mengingatkan Ryan kesepakatan kami.

“Orang tua saya tidak ada rumah Bu, susah minta tanda tangan suratnya.” Ucap Ryan santai.

“Ini sudah yang ke empat kali Ryan terlambat masuk dengan saya dan dua kali tidak ada berita.

Sudah cukup rasanya toleransi Saya, hari ini saya bebaskan Ryan untuk tidak masuk pelajaran Saya.” Ucapku tegas.

Tatapan membangkang terlihat jelas dari mata Ryan, dengan langkah besar Ryan meninggalkan kelas.”

“Izin hanya pada pelajaran saya, sebaiknya pelajaran lain Ryan tetap masuk.” Ucapku sebelum Ryan melangkahkan kaki meninggalkan kelas.

Ah, helaan napas kuat terdengar dari mulutku.

Mengimbas masa lalu, tidak ada kesepakatan kelas hanya ada peraturan dan sanksi jika melanggar peraturan.

Nasib mendapatkan guru yang keras bagai kayu, hanya sanksi yang diterima walaupun keterlambatan karena hujan karena oplet tidak jalan karena orang lebih suka berkurung di rumah daripada ke sekolah jika hujan lebat dan hukumya wajib diterima tapa alasan.

Ryan kesekolah dengan menaiki motor ninja motor yang tidak semua anak memilikinya.

Kala hujan, Brio hijau menjadi tunggangannya tidak seperti teman – temannya yang harus berbasah ria walaupun sudah memakai mantel ataupun payung.

Otak encer dimiliki Ryan, buktinya ulangan harian selalu mendapatkan nilai tertinggi di kelas.

Pernah sekali aku mengetes dengan menyuruh Ryan duduk di meja guru sewaktu ulangan,

Dengan santai Ryan berjalan menuju meja guru dengan membawa pena saja.

Selama mengerjakan tidak ada pengulangan jawaban dan hanya butuh waktu 45 menit soal sebanyak 15 soal objektif dan ditambah 5 soal essay dikerjakannya.

Dengan santai Ryan berkata kalau itu jika sudah selesai mengerjakan apakah boleh ke kantin karena perutnya lapar belum sarapan.

Ryan ada apa dengan dirinya, sejak itu aku menyelisik keadaa Ryan.

Kesepian di rumah sebagai anak tunggal, apakah hanya kerana itu Ryan berulah tentu saja tidak.

Terus mencari dan mencari kebenaran, ternyata Ryan bagaikan robot yang sudah dibuat sedemikian rupa oleh orangtuanya sejak dari SD.

Masa depan cerah secerah matahari yang bersinar tepat jam 12 siang tidak lagi sulit digapai.

Segala fasilitas sudah ada dari asuransi pendidikan sampaikan ke S3 ada.

Tapi satu kekurangannya, Ryan tidak ingin menjadi dokter seperti kedua orangtuanya tapi lebih memilih menjadi arsitek.

Pertama kali melihat buku latihan Ryan aku kagum dengan tulisan seni menulis nama, kelas, mata pelajaran.

Tulisan yang rapi, menyejukkan mata memadang.

Belum lagi ada gambar kecil disetiap sudut bawah kiri yang menyita pandangan mata.

Bangunan 3 demensi seperti hidup tergambar jelas di setiap lembar bukunya walaupun dalam bentuk minatur.

Setiap ada lomba mengambar Ryan selalu menjadi pentolan kelasnya dan ya Ryan menjadi pemenang untuk seluruh tingkatan tentunya.

Ryan juga menjadi andalan sekolah jika ada lomba melukis tingkat kabupaten dan provinsi.

Netraku berkabut, mengingat betapa murkanya orang tua Ryan ketika kami pihak sekolah meminta izin untuk mengirim Ryan ke provinsi untuk mengikuti lomba melukis.

“Ryan hanya boleh ikut olimpiade Biologi saja, tidak yang lain.” Ucup keras Papa Ryan kala itu.

Untung saja aku sebagai wali kelas penganti karena wali kelas Ryan cuti melahirkan dengan gigih membujuk orangtua Ryan dan berjanji akan mengikut sertakan dan membina Ryan dalam olimpiade Biologi.

***

Sudah tiga hari sejak aku melarang Ryan mengikuti pelajaranku Ryan tidak hadir kesekolah.

Ada perasaan bersalah kepada Ryan, karena selama belajar denganku Ryan selalu antusias dan selalu saja canva hasil desainya membuat aku kagum.

Langkahku menuju meja wali kelas Ryan.

“Assalamualaikum Bu Salmah.” Ucapku setelah berdiri depan meja Bu Salmah.

“Walaikumsalam Bu Cahaya, duduk.” Senyum dan sapaan lembut aku dapat dari Bu Salmah.

“Maaf Bu, hanya mau bertanya masalah Ryan.” Ucapku malu.

“Ah, Ryan kasihan sekali nasib anak itu.” Suara Bu Salmah lemah.

“Ada apa dengan Ryan Bu.” Ucapku antusias.

“Ryan kecelakan dua hari yang lalu ketika hendak ke sekolah. Lumayan parah, salah satu kakinya tidak bisa berfungsi dengan baik, untung saja tidak diamputasi.” Sedih terdengar suara Bu Salmah ketika bercerita.

Airmataku sampai menitik mendengar nasib Ryan, apalagi ketika Bu Salmah melanjutkan cerita Ryan bertengkar dengan orangtuanya karena tanda tangan yang aku minta.

Ya Allah aku merasa berdosa, ternyata Ryan harus bertengkar dengan orangtuanya karena permintaanku.

Ryan yang kesepian selama ini akan menderita karena cacat yang dideritanya kelak.

Tekatku dalam hati, setelah Ryan masuk aku akan membantu Ryan membangun rasa percaya diri dengan segala kelebihan otaknya itu janjiku.***

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Labirin Cinta

  Suara azan menghentikan tanganku yang asyik dengan pekerjaan dapur. Tugas wajib sebelum mengistirahatkan diri menjelang tidur nanti. S...