“Bu Siti menangis.” Ucap salah satu temanku.
Siti Zulaiha nama wali
kelasku, sejak juli tahun lalu kami menjadi asuhan Bu Siti kami memanggilnya.
Umurnya sudah menginjak
kaki lima dengan kerudung (kami orang melayu menyebut jilbab penutup kepala)
jumbo yang selalu menghiasi kepalanya.
Senyum selalu tersunging di
bibir tuanya, tidak lupa kacamata menambah cantik penampilannya.
Umur boleh tua, tapi
kacanya selalu menarik perhatian kami selain cara mengajarnya yang juga
menarik.
Kacanya lebih dari satu,
ada yang berwarna maron, coklat dan unggu bingkainya.
Warna warni seperti cara
mengajarnya saja.
Aku masih ingat ketika kami diajak berdiri melihat bangunan yang berseberangan dengan sekolah kami tapi tampak jelas di mata.
“Lihat bangunan itu, sesuai
dengan materi yang baru saja Ibu terangkan. Bangunan itu termasuk pasti ada
kegiatan ekonominya, siapa tahu kegiatan apa saja yang terjadi di sana?”
ucapnya lantang.
“Kegiatan konsumsi Bu.”
Ucap indah setelah diberikan kesempatan untuk menjawab oleh Bu Siti.
“Kegiatan produksi Bu.”
Jawab Tono
Itulah wali kelas kami,
selalu memberikan contoh di sekitar kami, alasannya jika memberikan contoh jauh
dimana kami tidak pernah ke sana maka kami akan melupakan materi yang
diajarkan.
Aku takjub dengan pemikiran
wali kelasku, tapi tidak dipungkiri beliau banyak membantu kami sekelas.
Masih ingat segar dalam
ingatan ketika kami satu kelas dimarahi oleh guru mata pelajaran matematika
karena tidak membuat tugas.
Kami bukanya dibela di
depan Pak Supra Salwah beliau mengompor – ngompori Pak Supra untuk memberikan
nilai di bawah KKTP untuk kami.
Segala umpatan tentu kami
ucapkan sambil berbisik – bisik.
Setelah Pak Supra pergi,
hanya tinggal kami dan Bu Siti.
Netra beliau teduh memandang
kami semua satu persatu.
Aku berpikir beliau akan
melempar pandangan berapi tapi tidak.
“Marah sama Ibu, bukankan
pernah ibu katakan buat tugas jangan pikirkan salah atau benar, karena kita
belajar.
Angka 100 bukan penentu
kita pintar apalagi hasil mencotek pekerjaan kawan itu tidak berarti.
Kalian melupakan kata –
kata Ibu, mengumpulkan tepat waktu merupakan penghargaan bagi guru yang
mengajar bukan nilai tertinggi hasil contekan.
“ kami menunduk sedih
mendengar kalimat nasehat yang keluar dari mulut Bu Siti.
“Ah, Ibu lupa kalian sudah
besar sudah bisa menentukan mana yang benar dan salah. Kenapa Ibu susah – susah
mengingatkan kalian buang waktu dan tenaga.
Maaf jika Ibu membuat
kalian merasa tidak nyaman.” Setelah mengatakan itu Bu Siti meninggalkan kelas
dengan kami.
kami terdiam mencerna ucapannya, entahlah dengan
teman – temanku.
Yang pasti aku merasa
bersalah karena sudah mengikuti ajakan temanku untuk tidak membuat tugas Pak
Supra, padahal matematika adalah pelajaran favoritku
Akhirnya kami sepakat
meminta maaf kepada Pak Supra dan Bu Siti.
***
Sepekan sudah kami
kehilangan sosok yang sentiasa cerewet dengan keadaan kami.
Beberapa orang guru tidak
masuk hanya mengirim tugas lewat aplikasi yang sudah biasa digunakan.
“Pasti senangkan gurunya
tidak masuk, percuma orangtua bayar uang komite tapi anak – anak lebih suka
guru mengirim tugas daripada bertukar pikiran dengan guru mengenai materi.” Aku
rindu dengan kalimat Bu Siti sepekan ini.
“Bu Siti sakit, katanya
covid.” Ucap salah satu temanku.
“Covid, bukankah sudah
diberantas tuntas oleh pemerintah. Apalagi guru – guru sudah sampai dengan
suntik booster.” Batinku.
“akhirnya tidak ada yang
membuat kita pusing dengan celoteh bak tong kosong nyaring bunyinya.” Intan
berkata.
Intan temanku yang paling Salwas
belajar, kesekolah hanya untuk cari perhatian dan pamer.
Aku mendengkus kesal, siapa
gerangan yang akan mengantikan posisi Bu Siti.
Tidak mungkin kami tidak
ada yang mengawasi, jika benar Bu Siti terkena Covid bukan.
Langkah mendekat ruang
kelas kami, tapi temanku masih sibuk dengan kegiatannya sendiri.
Kelas ribut dengan suara –
suara mereka yang tidak jelas.
Belum lagi teman – teman
cowokku yang dengan santai berbaring dipojok baca bermain game online berjamah.
“Selamat Padi.” Suara berat
terdengar.
Kami semua bergegas
mengambil tempat.
Tatapan horror menatap
kami, ya kepada sekolah yang galak berada di depan kami saat ini.
“Ketua kelas mana, kenapa
kelas dibiarkan kosong. Sudah dipanggil guru yang mengajar.” Gema suara yang
menakutkan.
“Bu Siti sakit Pak.” Lapor
ketua kelas.
Kening Kepala Sekolah
berkerut.
“Bu Diah sementara ini yang
akan menjadi wali kelas kalian dan mengantikan mengajar ekonomi.” Suara berat
itu terdengar lagi.
“Panggil Ibunya, suara
kalian sampai ke ruangan Saya.” Ucap Kepala Sekolah.
Kasak – kusuk bergema
ketika Kepala Sekolah meninggalkan kelas kami.
“Ah, Bu Diah yang sering
mengirim tugas mengantikan posisi Bu Siti.” Batinku memelas.
***
“Semua peserta didik
berkumpul di lapangan upacara, upacara akan segera dimulai.” Bergema suara
piket setelah Bel berbunyi.
Tersenyumku terbit,
diantara barisan guru dan TU aku melihat Bu Siti ada diantara mereka.
Hari ini Pembina upacara
adalah Kepala Sekolah.
“Selamat kembali mengajar
Bu Siti, semoga kesehatan Ibu sudah pulih benar.” Di sela Pembina ucapan
selamat mengajar kembali diucapkan oleh Kepala Sekolah.
Kami sudah memegang bouquet
bunga untuk Bu Siti, satu setengah bulan sungguh waktu yang lama buat kami.
Kami rindu dengan
cerewetnya Bu Siti, kami berhamburan berlari ke arah Bu Siti begitu upacara
selesai.
Satu persatu kami merasa
lega Bu Siti berada di tengah – tengah kami.
Khususnya aku merasa lega,
apalagi ada bebarapa kejadian setelah Bu Siti Absen.
Teman – temanku merasa
terpojokkan karena tinggkah mereka, apalagi Bu Diah yang tidak peduli dengan
kondisi kami.
Bukannya aku membela teman
– temanku, yang pasti kesalahan dua terakhir bukan kesalahan teman – temanku.
Kucing yang mengobok – obok
tong sampah yang lupa dibuang akhirnya kami yang kena masalah.
Belum lagi kasus hilangnya
kipas angin kelas tapi kami disalahkan karena tidak mengunci pintu.
Ah, jika ada Bu Siti pasti
beliau mengingatkan kami.
Bagaikan pesakitan kami
selalu dijengguk tiga kali dalam satu hari.
Akhirnya aku berterima
kasih dalam hati, karena selama ini Bu Siti membimbing kami menjadi orang yang
bertanggung jawab.
Walaupun teman – teman
merasa jenggah dengan selalu di kontrol oleh Bu Siti.
“Selamat kembali Bu, kami
rindu Ibu.” Koor kami terdengar mengema di lapangan upacara.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar