Minggu, 01 Juni 2025

Wali Kelas Ku

 

“Bu Siti menangis.” Ucap salah satu temanku.

Siti Zulaiha nama wali kelasku, sejak juli tahun lalu kami menjadi asuhan Bu Siti kami memanggilnya.

Umurnya sudah menginjak kaki lima dengan kerudung (kami orang melayu menyebut jilbab penutup kepala) jumbo yang selalu menghiasi kepalanya.

Senyum selalu tersunging di bibir tuanya, tidak lupa kacamata menambah cantik penampilannya.

Umur boleh tua, tapi kacanya selalu menarik perhatian kami selain cara mengajarnya yang juga menarik.

Kacanya lebih dari satu, ada yang berwarna maron, coklat dan unggu bingkainya.

Warna warni seperti cara mengajarnya saja.

Aku masih ingat ketika kami diajak berdiri melihat bangunan yang berseberangan dengan sekolah kami tapi tampak jelas di mata.

“Lihat bangunan itu, sesuai dengan materi yang baru saja Ibu terangkan. Bangunan itu termasuk pasti ada kegiatan ekonominya, siapa tahu kegiatan apa saja yang terjadi di sana?” ucapnya lantang.

“Kegiatan konsumsi Bu.” Ucap indah setelah diberikan kesempatan untuk menjawab oleh Bu Siti.

“Kegiatan produksi Bu.” Jawab Tono

Itulah wali kelas kami, selalu memberikan contoh di sekitar kami, alasannya jika memberikan contoh jauh dimana kami tidak pernah ke sana maka kami akan melupakan materi yang diajarkan.

Aku takjub dengan pemikiran wali kelasku, tapi tidak dipungkiri beliau banyak membantu kami sekelas.

Masih ingat segar dalam ingatan ketika kami satu kelas dimarahi oleh guru mata pelajaran matematika karena tidak membuat tugas.

Kami bukanya dibela di depan Pak Supra Salwah beliau mengompor – ngompori Pak Supra untuk memberikan nilai di bawah KKTP untuk kami.

Segala umpatan tentu kami ucapkan sambil berbisik – bisik.

Setelah Pak Supra pergi, hanya tinggal kami dan Bu Siti.

Netra beliau teduh memandang kami semua satu persatu.

Aku berpikir beliau akan melempar pandangan berapi tapi tidak.

“Marah sama Ibu, bukankan pernah ibu katakan buat tugas jangan pikirkan salah atau benar, karena kita belajar.

Angka 100 bukan penentu kita pintar apalagi hasil mencotek pekerjaan kawan itu tidak berarti.

Kalian melupakan kata – kata Ibu, mengumpulkan tepat waktu merupakan penghargaan bagi guru yang mengajar bukan nilai tertinggi hasil contekan.

“ kami menunduk sedih mendengar kalimat nasehat yang keluar dari mulut Bu Siti.

“Ah, Ibu lupa kalian sudah besar sudah bisa menentukan mana yang benar dan salah. Kenapa Ibu susah – susah mengingatkan kalian buang waktu dan tenaga.

Maaf jika Ibu membuat kalian merasa tidak nyaman.” Setelah mengatakan itu Bu Siti meninggalkan kelas dengan kami.

kami  terdiam mencerna ucapannya, entahlah dengan teman – temanku.

Yang pasti aku merasa bersalah karena sudah mengikuti ajakan temanku untuk tidak membuat tugas Pak Supra, padahal matematika adalah pelajaran favoritku

Akhirnya kami sepakat meminta maaf kepada Pak Supra dan Bu Siti.

***

Sepekan sudah kami kehilangan sosok yang sentiasa cerewet dengan keadaan kami.

Beberapa orang guru tidak masuk hanya mengirim tugas lewat aplikasi yang sudah biasa digunakan.

“Pasti senangkan gurunya tidak masuk, percuma orangtua bayar uang komite tapi anak – anak lebih suka guru mengirim tugas daripada bertukar pikiran dengan guru mengenai materi.” Aku rindu dengan kalimat Bu Siti sepekan ini.

“Bu Siti sakit, katanya covid.” Ucap salah satu temanku.

“Covid, bukankah sudah diberantas tuntas oleh pemerintah. Apalagi guru – guru sudah sampai dengan suntik booster.” Batinku.

“akhirnya tidak ada yang membuat kita pusing dengan celoteh bak tong kosong nyaring bunyinya.” Intan berkata.

Intan temanku yang paling Salwas belajar, kesekolah hanya untuk cari perhatian dan pamer.

Aku mendengkus kesal, siapa gerangan yang akan mengantikan posisi Bu Siti.

Tidak mungkin kami tidak ada yang mengawasi, jika benar Bu Siti terkena Covid bukan.

Langkah mendekat ruang kelas kami, tapi temanku masih sibuk dengan kegiatannya sendiri.

Kelas ribut dengan suara – suara mereka yang tidak jelas.

Belum lagi teman – teman cowokku yang dengan santai berbaring dipojok baca bermain game online berjamah.

“Selamat Padi.” Suara berat terdengar.

Kami semua bergegas mengambil tempat.

Tatapan horror menatap kami, ya kepada sekolah yang galak berada di depan kami saat ini.

“Ketua kelas mana, kenapa kelas dibiarkan kosong. Sudah dipanggil guru yang mengajar.” Gema suara yang menakutkan.

“Bu Siti sakit Pak.” Lapor ketua kelas.

Kening Kepala Sekolah berkerut.

“Bu Diah sementara ini yang akan menjadi wali kelas kalian dan mengantikan mengajar ekonomi.” Suara berat itu terdengar lagi.

“Panggil Ibunya, suara kalian sampai ke ruangan Saya.” Ucap Kepala Sekolah.

Kasak – kusuk bergema ketika Kepala Sekolah meninggalkan kelas kami.

“Ah, Bu Diah yang sering mengirim tugas mengantikan posisi Bu Siti.” Batinku memelas.

***

“Semua peserta didik berkumpul di lapangan upacara, upacara akan segera dimulai.” Bergema suara piket setelah Bel berbunyi.

Tersenyumku terbit, diantara barisan guru dan TU aku melihat Bu Siti ada diantara mereka.

Hari ini Pembina upacara adalah Kepala Sekolah.

“Selamat kembali mengajar Bu Siti, semoga kesehatan Ibu sudah pulih benar.” Di sela Pembina ucapan selamat mengajar kembali diucapkan oleh Kepala Sekolah.

Kami sudah memegang bouquet bunga untuk Bu Siti, satu setengah bulan sungguh waktu yang lama buat kami.

Kami rindu dengan cerewetnya Bu Siti, kami berhamburan berlari ke arah Bu Siti begitu upacara selesai.

Satu persatu kami merasa lega Bu Siti berada di tengah – tengah kami.

Khususnya aku merasa lega, apalagi ada bebarapa kejadian setelah Bu Siti Absen.

Teman – temanku merasa terpojokkan karena tinggkah mereka, apalagi Bu Diah yang tidak peduli dengan kondisi kami.

Bukannya aku membela teman – temanku, yang pasti kesalahan dua terakhir bukan kesalahan teman – temanku.

Kucing yang mengobok – obok tong sampah yang lupa dibuang akhirnya kami yang kena masalah.

Belum lagi kasus hilangnya kipas angin kelas tapi kami disalahkan karena tidak mengunci pintu.

Ah, jika ada Bu Siti pasti beliau mengingatkan kami.

Bagaikan pesakitan kami selalu dijengguk tiga kali dalam satu hari.

Akhirnya aku berterima kasih dalam hati, karena selama ini Bu Siti membimbing kami menjadi orang yang bertanggung jawab.

Walaupun teman – teman merasa jenggah dengan selalu di kontrol oleh Bu Siti.

“Selamat kembali Bu, kami rindu Ibu.” Koor kami terdengar mengema di lapangan upacara.***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Labirin Asa

  Bunyi suara HP yang melengking memekakkan teliga, menghentikan tanganku yang menari lincah diatas tuts laptopku. Sejak selesai melaksana...