Sabtu, 31 Mei 2025

Berjibaku Dengan Diriku

 

Dua puluh sembilan tahun, jika melangkah sudah sejauh mana aku sampai.

Naisah Bint Usman anak melayu, Umurku tidak lagi muda mencecah 55 tahun juli nanti.

Kurikulum terus berganti, tapi aku masih tetap di sini mengajar mereka yang bergelar peserta didik.

“Alhamdulillah Ibu masih Sehat.” Pekan lalu ketika main ke Batam saat liburan sekolah.

“Masih mengajar di sekolah X Bu, tidak bosan di sekolah yang sama. Bagaimana dengan sekolah saya dengar kemanjuannya pesat, mudah – mudahan bukan hanya pencitraan saja seperti terlihat di media sosial milik sekolah.” Serentetan basa basi terucap dari alumni sekolahku ketika bertemu.

Aku menatap nanar laptop yang sedari tadi hidup di depanku.

Menelisik buku guru yang menjadi pedoman untuk membuat capaian tujuan.

Sehari setelah liburan ada chat di grup sekolah untuk membuat perangkat mengajar harus perpedoman pada CP yang terbaru.

Semakin aku menelisik buku guru semakin aku pusing dibuatnya.

Dari pertama mengajar sampai dengan sekarang menginjak dua puluh Sembilan tahun mengabdi di dunia pendidikan rasanya untuk materi aku ajarkan hanya terjadi penurunan atau penaikan materi dari jenjang kelas terbawah sampai ke atas.

Penyerhadaan materi katanya, tapi dalam praktek mengajar jika ada satu mata rantai terputus maka para siswa tidak akan mengerti.

Merdeka belajar dan belajar merdeka tapi hatiku tidak merdeka.

Mengutak – atik aplikasi yang katanya membantu tapi Salwah tidak terbantu karena umur sudah kepalang tua.

Mudah, tapi tidak mudah apalagi sinyal selalu menghalangi pembelajaran.

Belajar sampai ke tua, rasanya memang untuk guru sementara mereka peserta didik setelah mendapat jabatan akan tertawa renyah melihat guru mereka masih menjadi guru.

Guru digugu dan ditiru, tapi keteladanan mereka seakan tidak tersangkut bagi alumni yang selalu mempertanyakan tidak bosan b uterus mengajar.

Hatiku seakan menjerit ketika melihat yang guru muda dengan segudang kemudahan menyepelekan dunia pendidikan.

Seenaknya tidak masuk kelas hanya mengirim tugas lewat classroom yang dipakai waktu covid – 19 dulu.

Menanyangkan slide – slide tanpa makna karena hanya satu dua peserta didik yang memperhatikan selainnya sibuk dengan game yang dimainkan di bawah meja.

Ah, apakah aku yang berlebihan ketika bertanya kepada siswa berapa hasil pembagian 100 dibagi 3 mereka membutuhkan waktu lebih dari 10 menit untuk menjawab, apalagi jika pertanyaan aku balik menjadi 3 dibagi 100 dengan santai ada siswa yang menjadi mana bisa.

Merdeka sekali mereka menjawab tak ada beban di dada.

Apakah aku terlalu muluk, ketika berangan ada mereka siswa yang menjawab pertanyaan dengan konteksnya seperti ketika zaman aku sekolah dulu.

Mereka, merdeka belajar katanya, tapi merdeka pula melupakan apa yang sudah diajarkan.

Siapa bapak pendidikan kita, pertanyaan yang terlontar ketika clasmeeting dalam lomba siapa juara.

Hening, bukan hanya untuk pertanyaan itu saja tapi banyak pertanyaan lain yang mungkin alpa oleh mereka siswa.

Asah, asuh terasa kurang di dalam kelas, ketika guru sibuk menanyangkan hasil ciptaan aplikasi yang bisa diambil sana sini dimedia tersedia.

Dulu ketika baru pertama mengajar, membuat media dengan usaha sendiri mengajari kita untuk dapat menghafalnya tapi sekarang tinggal copas saja.

Jadi teringat ketika didapuk untuk menjadi tim penilai PKG ada guru yang entah sengaja atau tidak mengumpulkan perangkatnya tapi dengan nama sekolah yang beda dengan sekolah induk.

Belum lagi ketika ditanya tentang kehadiranya yang sering terlambat, dengan santai menjawab apa relevan kehadiran dengan tugas mengajar.

Intinya nilai yang diberikan kepada siswa tidak mengecewakan siswa.

Aku terus mengurut dada, dan akhirnya cukup 5 tahun menjadi tim penilai PGK, mengundurkan diri rasanya menghilangkan sebak di dada.

Tinggal setahun lagi, bukan setahun hanya hitungan bulan sebelum masa purnabaktiku tiba.

Ingin rasanya meninggalkan perangkat mengajar yang bisa dipakai oleh penerus tapi aku jadi teringat dengan pesan salah satu pengawasku dulu ketika di suvervisi.

“Ingat seni mengajar adalah tanggung jawab guru, sebagus apapun perangkat mengajar tapi tidak sampai intinya kepada siswa percuma.” Katanya kala itu.

Sebegitunya tanggung jawab seorang guru, harus seperti bunglon yang cepat beradaptasi.

Jika proses pembelajaran dengan materi yang sama dikelas satu tidak berhasil jangan diulang dikelas yang lainnya.

Akhirnya aku mencopas salah satu perangkat mengajar yang ada, tinggal beberapa bulan lagi semoga semangatku masih ada.

Anganku terbang melayang kejauh ke belakang, saat muda dengan gelora mengajar yang mengebu.

Alumni dulu ketika bertemu selalu mengucapkan terima kasih karena bimbingan Ibu kami sekarang sukses.

Impian yang kadang ingin aku ulang kembali, guru tanpa tanda jasa melekat abadi jangan berharap lebih ketika yang diharapkan tidak sesuai ekspetasi.

Terlintas wajah siswa sekarang menjadi teman sejawat, bukan minta dihormat tapi ketika terucap dulu Ibu boleh marah karena saya siswa tapi sekarang kita sama.

Salah satu kekecewaan mendalam ketika menengur untuk kebaikan ternyata tidak diterima.

Aku terus berjibaku dengan anganku, mengingat dan mengenang bagaimana pesan salah satu kepala sekolah.

“orang yang loyal dan professional dengan pekerjaan bukan orang yang datang tepat waktu tapi datang sebelum waktu kerja dimulai. Berada di sekolah bukan hanya pas jam mengajar tapi dari waktu bermulanya proses pembelajaran sampai proses pembelajaran berakhir apalagi Pegawai Negeri wajib 8 jam berada di sekolah.”

“Ma, sudah Salwam istirahat dulu.” Jibaku terhenti ketika senyum suamiku terlihat.

Senyum yang selalu menyejukkan hatiku.

Jika tidak karena dirinya mungkin aku sudah lama mengundurkan diri menjadi guru.

Terima kasih suamiku, dirimu guruku dalam kehidupan selalu mengajarkan teladan.

Suamiku pensiunan guru yang tidak pernah mengeluh.

“Guru mengeluh, bagaimana siswanya. Guru pemberi teladan bagi siswanya. Guru selangkah lebih maju dari siswa. Kita terus belajar sementara siswa belajar ketika di dalam kesal saja atau di sekolah. Jangan memaksa mereka karena paksaan tidak berujung baik. Ajak mereka untuk belajar sama seperti kita yang terus belajar” Nasehat terindah dari suamiku.

Akhirnya aku mematikan laptop yang dari tadi hanya jadi tontonku saja, berharap sisa liburan mengajar bukan libur belajar menyisakan waktu untuk belajar membuat perangkat pembelajaran yang sempurna paling tidak sempurna untuk diriku dan siswaku, amin.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Labirin Asa

  Bunyi suara HP yang melengking memekakkan teliga, menghentikan tanganku yang menari lincah diatas tuts laptopku. Sejak selesai melaksana...