Dua puluh sembilan tahun, jika melangkah sudah sejauh mana aku sampai.
Naisah Bint Usman anak
melayu, Umurku tidak lagi muda mencecah 55 tahun juli nanti.
Kurikulum terus berganti,
tapi aku masih tetap di sini mengajar mereka yang bergelar peserta didik.
“Alhamdulillah Ibu masih
Sehat.” Pekan lalu ketika main ke Batam saat liburan sekolah.
“Masih mengajar di sekolah X Bu, tidak bosan di sekolah yang sama. Bagaimana dengan sekolah saya dengar kemanjuannya pesat, mudah – mudahan bukan hanya pencitraan saja seperti terlihat di media sosial milik sekolah.” Serentetan basa basi terucap dari alumni sekolahku ketika bertemu.
Aku menatap nanar laptop
yang sedari tadi hidup di depanku.
Menelisik buku guru yang
menjadi pedoman untuk membuat capaian tujuan.
Sehari setelah liburan ada
chat di grup sekolah untuk membuat perangkat mengajar harus perpedoman pada CP
yang terbaru.
Semakin aku menelisik buku
guru semakin aku pusing dibuatnya.
Dari pertama mengajar
sampai dengan sekarang menginjak dua puluh Sembilan tahun mengabdi di dunia
pendidikan rasanya untuk materi aku ajarkan hanya terjadi penurunan atau
penaikan materi dari jenjang kelas terbawah sampai ke atas.
Penyerhadaan materi
katanya, tapi dalam praktek mengajar jika ada satu mata rantai terputus maka
para siswa tidak akan mengerti.
Merdeka belajar dan belajar
merdeka tapi hatiku tidak merdeka.
Mengutak – atik aplikasi
yang katanya membantu tapi Salwah tidak terbantu karena umur sudah kepalang
tua.
Mudah, tapi tidak mudah
apalagi sinyal selalu menghalangi pembelajaran.
Belajar sampai ke tua,
rasanya memang untuk guru sementara mereka peserta didik setelah mendapat
jabatan akan tertawa renyah melihat guru mereka masih menjadi guru.
Guru digugu dan ditiru,
tapi keteladanan mereka seakan tidak tersangkut bagi alumni yang selalu
mempertanyakan tidak bosan b uterus mengajar.
Hatiku seakan menjerit
ketika melihat yang guru muda dengan segudang kemudahan menyepelekan dunia
pendidikan.
Seenaknya tidak masuk kelas
hanya mengirim tugas lewat classroom yang dipakai waktu covid – 19 dulu.
Menanyangkan slide – slide
tanpa makna karena hanya satu dua peserta didik yang memperhatikan selainnya
sibuk dengan game yang dimainkan di bawah meja.
Ah, apakah aku yang
berlebihan ketika bertanya kepada siswa berapa hasil pembagian 100 dibagi 3
mereka membutuhkan waktu lebih dari 10 menit untuk menjawab, apalagi jika
pertanyaan aku balik menjadi 3 dibagi 100 dengan santai ada siswa yang menjadi
mana bisa.
Merdeka sekali mereka
menjawab tak ada beban di dada.
Apakah aku terlalu muluk,
ketika berangan ada mereka siswa yang menjawab pertanyaan dengan konteksnya
seperti ketika zaman aku sekolah dulu.
Mereka, merdeka belajar
katanya, tapi merdeka pula melupakan apa yang sudah diajarkan.
Siapa bapak pendidikan
kita, pertanyaan yang terlontar ketika clasmeeting dalam lomba siapa juara.
Hening, bukan hanya untuk
pertanyaan itu saja tapi banyak pertanyaan lain yang mungkin alpa oleh mereka
siswa.
Asah, asuh terasa kurang di
dalam kelas, ketika guru sibuk menanyangkan hasil ciptaan aplikasi yang bisa
diambil sana sini dimedia tersedia.
Dulu ketika baru pertama
mengajar, membuat media dengan usaha sendiri mengajari kita untuk dapat
menghafalnya tapi sekarang tinggal copas saja.
Jadi teringat ketika
didapuk untuk menjadi tim penilai PKG ada guru yang entah sengaja atau tidak
mengumpulkan perangkatnya tapi dengan nama sekolah yang beda dengan sekolah
induk.
Belum lagi ketika ditanya
tentang kehadiranya yang sering terlambat, dengan santai menjawab apa relevan
kehadiran dengan tugas mengajar.
Intinya nilai yang
diberikan kepada siswa tidak mengecewakan siswa.
Aku terus mengurut dada,
dan akhirnya cukup 5 tahun menjadi tim penilai PGK, mengundurkan diri rasanya
menghilangkan sebak di dada.
Tinggal setahun lagi, bukan
setahun hanya hitungan bulan sebelum masa purnabaktiku tiba.
Ingin rasanya meninggalkan
perangkat mengajar yang bisa dipakai oleh penerus tapi aku jadi teringat dengan
pesan salah satu pengawasku dulu ketika di suvervisi.
“Ingat seni mengajar adalah
tanggung jawab guru, sebagus apapun perangkat mengajar tapi tidak sampai
intinya kepada siswa percuma.” Katanya kala itu.
Sebegitunya tanggung jawab
seorang guru, harus seperti bunglon yang cepat beradaptasi.
Jika proses pembelajaran dengan
materi yang sama dikelas satu tidak berhasil jangan diulang dikelas yang
lainnya.
Akhirnya aku mencopas salah
satu perangkat mengajar yang ada, tinggal beberapa bulan lagi semoga semangatku
masih ada.
Anganku terbang melayang
kejauh ke belakang, saat muda dengan gelora mengajar yang mengebu.
Alumni dulu ketika bertemu
selalu mengucapkan terima kasih karena bimbingan Ibu kami sekarang sukses.
Impian yang kadang ingin
aku ulang kembali, guru tanpa tanda jasa melekat abadi jangan berharap lebih
ketika yang diharapkan tidak sesuai ekspetasi.
Terlintas wajah siswa
sekarang menjadi teman sejawat, bukan minta dihormat tapi ketika terucap dulu
Ibu boleh marah karena saya siswa tapi sekarang kita sama.
Salah satu kekecewaan
mendalam ketika menengur untuk kebaikan ternyata tidak diterima.
Aku terus berjibaku dengan
anganku, mengingat dan mengenang bagaimana pesan salah satu kepala sekolah.
“orang yang loyal dan
professional dengan pekerjaan bukan orang yang datang tepat waktu tapi datang
sebelum waktu kerja dimulai. Berada di sekolah bukan hanya pas jam mengajar
tapi dari waktu bermulanya proses pembelajaran sampai proses pembelajaran berakhir
apalagi Pegawai Negeri wajib 8 jam berada di sekolah.”
“Ma, sudah Salwam istirahat
dulu.” Jibaku terhenti ketika senyum suamiku terlihat.
Senyum yang selalu menyejukkan
hatiku.
Jika tidak karena dirinya
mungkin aku sudah lama mengundurkan diri menjadi guru.
Terima kasih suamiku,
dirimu guruku dalam kehidupan selalu mengajarkan teladan.
Suamiku pensiunan guru yang
tidak pernah mengeluh.
“Guru mengeluh, bagaimana
siswanya. Guru pemberi teladan bagi siswanya. Guru selangkah lebih maju dari
siswa. Kita terus belajar sementara siswa belajar ketika di dalam kesal saja
atau di sekolah. Jangan memaksa mereka karena paksaan tidak berujung baik. Ajak
mereka untuk belajar sama seperti kita yang terus belajar” Nasehat terindah
dari suamiku.
Akhirnya aku mematikan
laptop yang dari tadi hanya jadi tontonku saja, berharap sisa liburan mengajar
bukan libur belajar menyisakan waktu untuk belajar membuat perangkat
pembelajaran yang sempurna paling tidak sempurna untuk diriku dan siswaku,
amin.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar