Minggu, 24 Agustus 2025

Labirin Cinta

 


Suara azan menghentikan tanganku yang asyik dengan pekerjaan dapur.

Tugas wajib sebelum mengistirahatkan diri menjelang tidur nanti.

Setelah makan bersama keluarga besar kami menyebutnya.

Ada Ayah, Emak, Abang dan iparku serta adik bontotku.

Ya, kami hanya tiga bersaudara sementara Abangku baru sebulan menikah dan insyallah pekan depan akan pindah rumah.

“Sudah ada calon In.” terdengar suara iparku bertanya.

“”Masih abu – abu Kak.” Ucapku santai

“Abu – abu? Kenapa abu – abu, ada berapa yang naksir Intan.” suara terkejut iparku.

“Intan yang suka sama Dia, tapi dianya belum tahu>” ucapku dengan hati yang gamang.

“Ooooh.” Hening seketika.

“Waktu acara nikahan orangnya ada?” kepo iparku

Hanya senyum yang menjawab pertanyaan iparku.

Untung saja azan sholat isya menyelamatkanku dari rentetan pertanyaan iparku yang kepo.

***

Akhirnya aku bisa bernapas lega, terlepas dari pertanyaan yang membuat hatiku resah.

Memandang langit kamar, sepuluh menit lagi jam menunjukkan pukul 9 Salwam.

Aku terjebad di rasa hati yang seharusnya tidak terjadi.

Bagaimana tidak, orang yang aku suka menunjukkan ketertarikan dengan adikku Habibah.

Aku sudah mengusir rasa suka ini tapi seperti kata pepatah jika hati sudah terikat, sekuat apapun menolak rasanya percuma.

Senyum yang selalunya tertuju padaku tidak lagi, aku melihat bagaimana interaksi yang terjadi antara dia dan adikku Habibah.

Ah, Habibah memang supel siapa saja akan merasa nyaman dengan dirinya.

Sementara aku yang cendrung pendiam lebih sering dilupakan.

Interaksiku dengan Bang Ilham tidak sehangat interaksi Bang Ilham dengan Habibah.

Tapi hati siapa yang tahu, hatiku memilih Bang Ilham dan sekarang aku resah karenanya

***

Ah, sial. Motor ini mogok tidak tepat tempat dan waktu.

Aku melihat sekeliling yang sudah mulai gelap, azan magrib sudah berkumandang.

Sejak pulang kerja jam 5 sore tadi sudah dua kali motorku berulah, pertama kehabisan bensin dan sekarang tidak mau distater.

Keringat sudah membasahi wajah dan badanku.

Mengengkol cara lain yang aku pilih, setelah menstaternya tidak bisa tidak membuahkan hasil.

Tak kendaraan yang lewat jika magrib begini, jalanan sepi.

Kudukku mulai merinding, merapal doa dalam hati semoga aku dilindungi dari marabahaya. 

Sorotan dari lampu kendaran entah milik siapa membuatku bernapas lega, rumahku di daerah kecamatan yang masih legang penghuni.

Jarak dari satu rumah kerumah yang lain lumayan jauh, Abah memilih tinggal dipinggiran sejak pensiun.

Sebenarnya aku sudah memilih untuk mengkos rumah supaya dekat dengan tempat kerja, tapi tidak diizinkan walhasil aku dibelikan motor oleh Abah untuk memudahkan berangkat bekerja.

Semakin dekat kendaran yang lampunya aku harapkan sebagai penyelamatku, entah mengapa membuatku semakin takut.

Pikiran kalut tiba – tiba saja menyerang, jangan sampai yang aku harapkan penolongku tapi Salwah penjahat yang datang.

Hatiku semakin kuat berdoa semoga aku terlindung dari marabahaya.

Telepon Abah, maupun abangku aktif tapi tidak diangkat.

Aku mencoba menghubungi keluargaku lagi, berharap kali ini mereka mengangkatnya.

Masih gagal tersambung, dan kendaran yang lewat tadi berhenti.

Ah, aku bernapas lega ternyata Bang Ilham si pengendara mobil.

Bukan tanpa alasan aku takut, beberapa pekan yang lalu ada pengendara motor yang dibajak oleh pengedara mobil semua barang habis diambil termasuk motor yang digunakan.

Masih untung pemilik kendaraan tidak apa – apakan.

Tapi kerugian finasial yang melebih 100 juta dialami.

“Intan, motornya mogok.” Ucap Bang Ilham setelah berdiri didepanku.

Kepalaku mengangguk dan melempar senyum terbaikku untuk Bang Ilham.

“Sini biar Abang lihat sebentar motornya.” Lanjut Bang Ilham.

Aku memberikan akses kepada Bang Ilham untuk melihat kerusakan apa pada motorku.

“Ah businya kotor, sebaiknya besok dibawa ke bengkel sebelum dibawa untuk kerja. Untuk sekarang masih bisa digunakan.” Ucap Bang Ilham membuatku merasa lega.

“Intan bisa membawa mobil?” ucap Bang Ilham.

Aku menganggukkan kepalaku.

“Ok, Intan bawa mobil Abang. Biar Abang bawa motor Intan.,takut mogok lagi. Ucap Bang Ilham

Dengan malu aku menerima tawaran Bang Ilham.

Canggung sekali ketika menstater mobil Bang Ilham, merapal doa semoga aku sampai di rumah dengan selamat dan tidak merusak mobil Bang Ilham.

***

Alhamdulillah, akhirnya aku sampai rumah.

Sangking takutnya Aku tidak berani melihat Bang Ilham yang mengiringiku dari belang.

Aku harus fokus membawa mobil Bang Ilham jangan sampai aku merusaknya.

“Silakan diminum Bang.” Ucapku kepada Bang Ilham.

Rasanya tidak sopan jika aku tidak menawarkan Bang Ilham untuk mampir dan menyunguhkan secangkir kopi susu.

“Bang Ilham, mimpi apa Abang main kerumah?” suara Habibah memecah keheningan diantara kami.

Interaksi antara Bang Ilham dan Habibah hangat, ada rasa iri dihatiku.

“Maaf Intan permisi dulu, mau bersih – bersih.” Ucapku.

“Kalau begitu Abang juga permisi sudah Salwam.” Ucap Bang Ilham.

Aku memandang mobil Bang Ilham sampai dikejauhan baru aku masuk ke dalam rumah.

“Bibah suka dengan Bang Ilham.” Ucap Bibah adikku sebelum kami masuk mengantarkan Bang Ilham pulang.

Langkahku langsung melemah mendengar ucapan Adikku.

Tidak mungkin aku bersaing dengan Adikku, lihatlah bagaimana interaksi Bang Ilham dan Bibah, rasanya aku hanya pungguk yang merindukan bulan saja.

***

“Intan, sama siapa?” suara yang sudah  2 bulan aku rindu.

Walaupun Bang Ilham ada 2 kali datang kerumah untuk bertemu dengan Abangku.

Ya, Bang Ilham seangkatan dengan Abangku jarak kami 4 tahun sementera dengan Bibah jarak Bang Ilham 6 tahun.

Saat ini aku sedang makan di foodcourt melepas lelah badan dan hati.

Setelah dua pekan lalu, ketika pulang ke rumah aku mendapati Bangk Ilham lagi asyik berbual dengan Bibah di ruang tamu rumah kami.

Informasinya Bang Ilham mencari Abangku entah apa yang membuat akhirnya mereka hanya berdua di ruang tamu.

“Sendiri Bang, lagi menikmati hasil jerih payah bekerja.” Ucapku

Hari ini aku tanggal penerimaan jerih lelahku bekerja selama sebulan.

Setelah meletakkan 2 lembar uang berwarna biru pada tong infak masjid aku mengendarai motorku menuju tempat dimana sekarang aku duduk menikmati air kelapa dari buahnya dan semangkok lendot yang menjadi makan kegemaranku, tidak lupa dengan 10 buah otak – otak ikan.

Bang Ilham mengambil kursi diseberang tempat aku duduk.

“Abang duduk di sini saja, menemani Intan.” ucapnya sambil melempar senyum kepadaku.

Seandainya senyum itu khusus untukku tentu aku berasa bahagia, tapi biarlah sore ini aku egois menikmati kebersamaan dengan Bang Ilham yang tidak disengaja.

“Intan tidak punya kosa kata panjang untuk menjawab pertanyaan Abang.” Ucap Bang Ilham

Sejak tadi aku hanya menjawab sepatah dua kata setiap pertanyaan Bang Ilham.

Keningku berkerut mendengar pertanyaan Bang Ilham.

“Intan bukan lawan bicara yang enak di ajak berdiskusi, mungkin Bibah lebih cocok jika Abang ingin berdisikusi.” Entah dari mana keberanianku mengluarkan kalimat tersebut.

“Bibah?”

“Intan sepertinya menghindari Abang akhir – akhir ini, ada apa?” ucap Bang Ilham menatapku intens.

“Intan tidak mau ada salah faham dengan Bibah Bang.” Ucapku nelangsa.

“Hey salah faham apa, kenapa Intan berfikiran seperti itu. Abang menganggap Bibah adik tapi dengan Intan.” Bang Ilham menjeda kalimatnya. 

Aku mengangkat kepala melihat Bang Ilham, mata kami saling tatap.

Aku cepat memutus tatapan kami, debaran dihatiku menganas tapi aku tidak mau memupuk asa.

“Intan Abang in.” belum selesai ucapan Bang Ilham

“Abang dengan Kak Intan di sini rupanya, kenapa tidak mengajak Bibah.” Suara melengking Bibah terdengar.

Serentak aku dan Bang Ilham mengalihkan pandangan ke sumber suara.

Dengan gaya cerianya, Habibah menghampiri kami dan langsung mengambil tempat duduk di sebelah Bang Ilha.

Senyum terasa hambar, ketika Bang Ilham memandang ke arahku.

“Abang belum pesan makanan? Bibah mau makanan yang sama dengan Kak Intan.” ucap Bibah manja.

“Abang hanya memesan es cendol, Bah. Tidak memesan makanan.

Sebelum selesai ucapan Bang Ilham es cendol pesanan Bang Ilham sampai.

“Saya pesan, laksa kuah dengan es yang sama macam abang ni pesan.” Ucap Bibah kepada pengantar makan.

Aku hanya melihat gaya Bibah yang sedikit berlebihan tapi Bang Ilham sepertinya menikmati setiap pola tingkah Bibah adikku.

“Kak sudah selesai makan, tadi Bibah datang dengan siapa? Atau pulang minta antar Bang Ilham saja. Kakak masih ada urusan.” Ucapnku sambil berdiri dan bergegas meninggalkan Bang Ilham dan Bibah.

***

Selesai magrib di masjid baitulrahman yang berada di Kabuptenku aku melajukan motorku untuk pulang kerumah.

“Assalamualaikum.” Salamku sebelum melangkahkan kaki ke dalam rumah.

“Makan sekalian Intan.” suara Abah mengajak Aku makan Salwam bersama keluarga.

“Intan nak bersih – bersih dulu Bah, makan saja dulu. Intan makan kendian.” Jawabku kepada Abah.

Setelah mandi dan ganti pakaian, aku menuju meja makan.

Sengaja menghindari Bibah, bisa saja aku langsung makan ketika Abah mengajak tadi tapi aku lebih memilih untuk makan sendiri.

Baru beberapa suap nasi masuk ke mulutku, Bibah datang menyambangi.

“Menurut Kakak, Bang Ilham cocok tidak dengan Bibah.” Aku langsung tersedak mendengar penuturan Bibah.

Bibah dengan singap menyodorkan gelas air minum kepadaku. 

 Aku menyambut gelas dan meminumnya tandas.

Hilang sudah rasa laparku, helaan napas ingin melapangkan dada yang sesak dengan pertanyaan Bibah.

“Siapapun akan cocok dengan Bibah.” Ucapku asal.

“Bibah mau Bang Ilham bukan siapapun.” Ucap Bibah kesal mendengar jawabanku.

“Kak sama dengan Bang Ilham, ditanya bukannya jawab Salwah balik bertanya.” Lanjut Bibah lagi.

“Jangan – jangan Bang Ilham sudah ada pujaan hati.” Ucap Bibah kesal.

Ada yang mengusik hatiku dengan gelagat Bibah yang tak menentu ketika membicarakan Bang Ilham.

***

“Nanti Salwam ada tamu penting, Intan jangan pulang lama bantu Mak menyiapkan juadah untuk tamu.” Ucap Mak tadi pagi sebelum aku berangkat kerja.

Padahal sore ini aku ingin memanjakan diri setelah sebulan bekerja.

Notifikasi gaji membuatku bersemangat setelah lelah memikirkan jodoh yang belum jelas hilalnya.

Dengan lemah aku menungangi motorku menuju rumah, besok sore saja aku memanjakan diri dengan penghasilanku sambil menghibur diri yang belum juga belum datang jodohnya.

“Assalamualaikum,” ucapku sebelum masuk ke dalam rumah.

Suara senda gurau terdengar dari arah dapur.

“Intan pulang.” Ucapku untuk mendapatkan perhatian orang rumah.

“Cepat ganti baju Intan, bantu Mak dan Bibah tinggal sedikit lagi yang harus dikerjakan.” Teriak Mak dari arah dapur.

 Helaan napasku berat menuju kamar sebelum menyambangi Mak di dapur.

***

“Bada Isya tamunya datang.” Ucap Mak setelah kami siap dengan semua juadah menyambut tamu.

Pertanyaanku tidak dijawab Mak siapa yang akan bertandang ke rumah kami.

“Assalamualaikum.” Koor salam dari pintu depan rumah.

Aku bergegas menuju pintu untuk membukakan pintu.

Rombongan keluarga Bang Ilham di depan pintu.

“Jangan katakana rombongan ingih meminang Habibah untuk Bang Ilham.

“Silakan masuk, Intan akan panggilkan Ayah Mak sebentar.” Samibl tersenyum kecut aku  mempersilakan tamu masuk.

Langkah lebarku menuju ruang tengah, Ayah Mak sedang duduk dan bercakap – cakap dengan Habibah.

Aku sengaja menyembunyikan diri di kamar ketika Emak mengajakku untuk bergabung diruang tengah selesai sholat isya dengan alasan ada kerjaan yang harus aku selesaikan.

“Ayah Mak tamunya sudah datang.” Ucapku dengan suara lemah.

“Alhamdulillah tamu yang kita tunggu sudah datang, semoga acara lamaranya berjalan lancar,” ucapan Mak sampai kependeengaranku.

Hatiku terasa sakit mendengar ucapan Mak.

“Ya allah tenangkan hatiku.” Batinku sambil melangkah ke dapur.

Aku mengurung diriku di dapur, enggan untuk mendengar acara lamaran yang sedang berlangsung.

Gema suara tawa terdengar dari depan, di susul dengan langkah yang mendekat ke dapur.

“Kakak bawa minuman, Bibah bawa roti kirai dan kue ke depan.” Suara ceria Bibah terdengar.

Aku mendonggakkan kepala menatap wajah Bibah yang terlihat ceria.

“Kakak yang didepan, kan bawa minuman.” Perintah Bibah lagi.

Melangkah dengan lesu menuju ruang tamu, langkahku semakin pelan ketika memasuki ruang tamu, seakan nyawa lepas dari badan.

Rasanya tidak sanggup untuk menatap Bang Ilham saat ini.

“”Saya tidak menyangka ternyata Ilham sudah lama memendam perasaan dengan bunga di rumah ni. Pantas saja ketika mau dijodohkan Salwah mengajak kami meminang pujaan hatinya.” Suara Mak Bang Ilham mengiringi langkahku yang ingih menyajikan minuman di atas meja.

“Intan duduklah di samping Mak.” Titah Mak

Dengan separuh nyawa yang melayang aku mengikuti perintah Mak, tanpa berani mengangkat kepalaku.

Sebelum kita menyantap hidangan, rasanya kami sekeluarga ingin mendengar jawaban dari yang dilamar.

Walaupun keluarga sudah setuju rasanya tidak salah mendengar langsung dari yang empunya badan.” Lagi – lagi suara Mak Bang Ilham terdengar.

“Intan mau menerima lamaran Ilham untuk menjadi teman hidup sampai ajal menjemput.” Deg jantungku hampir berhenti.

Aku tidak salah dengarkan, kenapa namaku yang disebut Mak Bang Ilham.

Bukankah yang ingin dilambar Habibah kenapa namaku yang disebut.

Akhirnya aku mengangkat kepala, semua mata tertuju kepadaku.

“Jawab Intan, jangan buat kami menunggu atau Habibah saja yang dilamar Ilham jika Intan menolak.” Suara Bibah terdengar.

 Gelak tawa memenuhi ruang tamu yang tadi aku rasakan mendingin sedingin hatiku.

“Intan maukan menerima lamaran Bang Ilham.” Sekarang suara Bang Ilham yang terdengar.

“Belum Sah, jangan ditatap lama wajah Bang Ilham dosa.” Canda Habibah lagi.

“Izinkan kami bicara berdua sebentar di teras Pak Azhar Mak Salwa mungkin Intan masih ragu dengan kesungguhan Saya.” Bang Ilham berucap.

“Kami izinkan tapi tidak lama hanya dua menit.” Ucap Ayah bercanda.

Bagaikan di cucuk hidungku aku mengikuti langkah Bang Ilham menuju teras rumah yang tersedia kursi dan meja untuk santai di sore hari.

Keadaan kami dibatasi oleh meja.

 “Intan pandang mata Abang, perasaan Abang tidak pernah salah. Karena itu Abang berani masuk meminang Intan.

Abang harap Intan mau menerima Abang sebagai teman hidup dalam suka dan duka dengan ridho Allah.”

“Bagaimana dengan Habibah Bang.” Lancang mulutku bertanya.

“Habibah kenapa, bukannya Habibah akan dilamar Ihsan setelah kita menikah.” Ucap Bang Ilham.

Netraku langsung membesar, Ihsan bukanya teman Bang Ilham kenapa Bibah bersama dengan Ihsan.

Apa yang aku lewatkan, batinku.

“Hei kenapa menung, jawab abang Intan.” Ucap Bang Ilham.

Suara tawa terdengar dari pintu, Habibah dengan gayanya sudah melangkah mendekati kami.

“Bang, Kak Intan sengaja aku buat binggung, habis Kakak terlalu tertutup.

Ketika Abang menyuruh Bibah untuk merisik Kak Intan.

Bibah kesulitan mengorek hati isi kak Intan, jadi Bibah buat saja seolah – olah Bibah tertarik dengan Bang Ilham, tapi tetap saja Bibah tidak bisa membuat Kak Intan menujukkan isi hatinya. Salwah Kak Intan terlihat percaya kalau Bibah suka sama Abang.

Setiap Abang datang, kak Intan selalu menghindar. Seakan rela jika Abang untuk Bibah, padahal Abang datang untuk Kak Intan. Terima lamaran Bang Ilham Kak jangan sampai kakak menyesal ” Celoteh Bibah membuatku malu.

Setelah membuatku malu Bibah masuk dengan tawa puasnya, membuatku kesal.

“Intan bagaimana, apa jawaban lamaran Abang. Jangan biarkan Abang menyesal dengan nekat datang melamar Intan.” Deg, seakan berhenti jantungku mendengar ucapan Bang Ilham.

Tak sanggup untuk menjawab hanya anggukan kepala yang bisa aku berikan.

Terlalu malu untuk mengeluarkan suaraku dan kembali aku menundukkan kepalaku tak sanggup bertatap lama dengan mata Bang Ilham

“Alhamdulillah, Abah Mak Intan menerima lamaran Ilham.” Suara pekik riang Bang Ilham sambil berdiri berjalan lebar menuju ruang tamu tempat keluarga duduk menunggu kami.

Ya, Allah malu sekali rasanya Aku dibuat Bang Ilham.

Bagai dipaku saja badanku tak bisa bergerak untung saja Bibah datang dan menuntunku masuk dan diduduk sebelah Mak.

“Alhamdulillah, sekarang cincin ini sudah bertuan. Intan kemarikan jari manisnya biar cincin ini tersemat dijari manis Intan sebagai pemiliknya.***

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

BCKS Kepri 2025 (1)

  Sejak tanggal 21 sudah menginjakkan kaki di kota Tanjungpinang untuk mengikuti Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Bakal Calon Kepala Sekola...