"Adi, kerjakan soal ini!“ Perintah seorang
guru kepada seorang muridnya, di suatu siang untuk mengevaluasi materi fungsi
permintaan dari 50 buah menjadi 60 buah, dengan harga yang disepakati
dari Rp 150.000 menjadi Rp 100.000 yang baru saja diajarkan. Adi dengan
cermat menyelesaikan soal Mata Pelajaran (MP) Ekonomi tersebut dalam beberapa
menit. Guru puas, muridnya
senang.
"Ana, kerjakan soal ini!“ Ini perintah
lainnya oleh guru yang sama kepada siswa lainnya, di hari yang sama dan kelas
yang sama. Siswa kedua ini mendapat tugas menyelesaikan fungsi
penawaran dari 40 buah menjadi 50 buah dengan harga yang disepakati
dari Rp 150.000 menjadi Rp 200.000. Ana tampak berpikir keras untuk
menyelesaikan soal ini. Dan walau waktu sudah berlalu cukup lama tapi Ana tidak
bisa juga menyelesaikan soal ini. Ternyata Ana belum mengerti rumus
fungsi penawaran walau rumus tersebut sudah diajarkan oleh guru beberapa menit
sebelumnya.
Realita ini pasti dan sering dijumpai guru yang
mengajar dalam kelas. Tentu saja itu hal biasa dalam PBM (Proses
Belajar-Mengajar) yang dilalui. Dari sekolah favorit dan unggul hingga sekolah
sederhana dan 'tertinggal' kasus itu sering ditemukan. Tidak mudah melakukan
PBM yang post testnya lasung berdaya serap 100 persen.
Dengan bahasa lain, 'kasus belum mengerti' dalam
suatu PBM' ini merupakan masalah yang harus dan sering dihadapi oleh guru,
sekolah dan dunia pendidikan itu sendiri. Jika dianggap itu suatu kesalahan,
siapa yang harus disalahkan? Lalu bagaimana pendekatan yang tepat untuk realita
itu, menyalahkan siswa atau guru atau menempuh pendekatan lain sehingga materi
itu tetap bisa dipahami? Beberapa pertanyaan yang mesti dijawab guru.
Menurut saya, kenyataan seperti itu tidak cukup
dihadapi dengan pendekatan 'mengajar' saja tapi harus melangkah lebih jauh,
dengan menempuh pendekatan 'mendidik'. Antara mengajar dan mendidik mestinya
disejalankan. Dan walaupun anggapan sebagian guru bahwa pengertian mengajar dan
mendidik itu sama, tapi sesungguhnya tidaklah sama.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesi (KBBI)
terbitan Balai Pustaka, mengajar berasal dari kata ajar yang
berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui/dituruti;sedangkan mengajar berarti memberi
pelajaran.(1997:14-15). Sementara kata mendidikberasal dari
kata didik yang berarti memelihara, merawat dan
memberi latiahan agar seseorang memiliki ilmu pengetahuan seperti yang
diharapkan (tentang sopan santun, akal budi, akhlak, dan sebagainya).
Kata mendidik berarti memelihara dan memberi latihan.(1997:232)
Jika guru memang harus mendidik di samping
mengajar, itu berarti guru tidak cukup sekedar memberi petunjuk sekedar memberi
pemahaman saja. Lebih dari itu, guru wajib memelihara, merawat dan memberi lagi
latihan-latihan tambahan agar petunjuk itu benar-benar dipahami siswa. Seperti
mengajarkan sopan-santun karakter budi luhur, di sini tidak cukup ditunjukkan
saja. Harus dicontohkan. Itulah yang disebut mendidik.
Yang harus kita garis bawahi adalah dalam
mendidik anak penekanan memberi pelatihanharus dibarangi dengan displin dan
pemberian sanksi jika tidak/ belum juga dapat menangkap dan atau
memahami apa yang diajarkan. Sanksi yang bersifat mendidik ini mutlak
diperlukan.
Hal inilah yang tampaknya belum bisa dilaksanakan,
karena yang terjadi di lapangan adalah guru hanya mengajar saja. Untuk melatih
menjadi bisa, kadang-kadang tidak bisa dan tidak mau melaksanakannya. Boleh
jadi karena masih ada beberapa pihak yang tidak dapat menerima dalam pemberian
sanksi jika anak-anak tidak dapat dilatih menjadi bisa dan bertanggungjawab.
Sebagai seorang guru kadang-kadang kita lupa
apakah kita mengajar atau mendidik, ataupun kita mengajar dan sekaligus
mendidik. Pertanyaan ini hendaknya menjadi suatu pertanyaan besar yang harus
dijawab oleh semua guru. Bahkan bukan hanya guru tapi pertanyaan tadi juga
harus dijawab oleh orang tua, ataupun semua unsur yang bersinggungan dengan
dunia pendidikan.
Banyak sekali contoh dari kejadian di masyarakat
dewasa ini, betapa tidak berjalannya fungsi mendidik. Misalnya masalah seorang
siswa yang tidak mau memberikan contekan kepada anak lain sewaktu ujian,
justeru mendapat teguran dan perlakuan yang tidak menyenangkan dari guru serta
orang tua siswa yang tidak diberikan contekan. Padahal sudah jelas bahwa
mencontek daloam ujian itu adalah tindakan tak bermoral. Tapi yang tidak
memberi contekan justeru dimarah. Apakah hal ini tidak menjadi pelajaran bagi
kita bahwa mana yang lebih penting mengajar atau mendidik atau mengajar
sekaligus mendidik. Seharusnya anak dididik untuk tidak mencontek.
Jangan-jangan guru mengajar hanya untuk
mendapatkan fulus alias duit belaka. Mengajar hanya untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehingga arti mengajar dan mendidik bukan seperti yang diharapkan. Malah
mengajar menjadi ajang datang ke sekolah, duduk dan duit. Sehabis mengajar
merasa tiada beban apapun dalam usaha mengubah anak-didik dari tak bisa menjadi
bisa; dari tak bermoral menjadi bermoral. Begitukah? Tepuk dada, tanya selera
wahai sahabat guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar