Minggu, 19 Mei 2024

BUNGA

 


Menatap nanar Bu Cahaya yang komat kamit di depan kelas.

Pikiranku bercabang, siapa yang akan Mak minta tolong jika sakit menyerangya.

Abah sudah sepekan berangkat ke Negara jiran untuk mengkais rezeki.

Negera sendiri seperti tidak memberikan celah untuk Abah meminta sedikit uang untuk sekadar mengisi tabung tengah keluarga kami.

“Bunga, apa ada yang aneh dengan pertanyaan saya.” Deg jantungku seakan berhenti mendengar suara Bu Cahaya yang mengelegar memenuhi ruang kelas.

Matilah aku saat ini, Bu Cahaya paling tidak suka siswi yang tidak memperhatikan pelajaranya.

Menepis keringat dingin yang meluncur bebas di keningku.

Berusaha mengingat apa pertanyaan Bu Cahaya.

“Contoh dari BUMC yang ada di Karimun.” Suara Indra berbisik dari arah belakang.

“SPBU yang di poros Bu.” Jawabku cepat setelah mendapatkan bisikan dari Indra.

“Terima kasih jawabanya Bunga, applus untuk Bunga.” Suara Ibu Cahaya bergema seiring tepuk tangan untukku.

“Sekarang anak – anak silakan ambil kertas yang sudah Ibu buat. Membuat kelompok dengan nama materi yang berada pada Bab yang sama.

Bu Cahaya guru memotivisiku belajar, dalam kesulitan hidup aku berusaha menjadi tegar seperti contoh hidup yang selalu Bu Cahaya selipkan dalam pembelajarannya.

Aku mendapatkan kertas yang bertulisan kebutuha menurut sifat berarti aku harus mencari teman yang mendapatkan contoh materi yang sama.

“Bunga waktu istriahat sempatkan untuk bertemu dengan Saya di majelis guru.” Titah Bu Cahaya aku hanya menganggukan kepala menjawabnya.

Hal biasa jika Bu Cahaya memanggil kami untuk bertemu dengan, tapi aku seyakin – yakinnya pasti Bu Cahaya memanggilku karena aku tidak focus dengan pembelajarannya.

***

Aku melangkah dengan terburu menuju ruang majelis guru, akhirnya aku tidak menjumpai Bu Cahaya pada jam istirahat karena Bu Cahaya ada tamu, ingin pulang cepat tapi aku tersandra diruang majelis guru.

Mengetuk pintu ruang majelis guru, setelah ada suara dari dalam mengizinkan masuk aku melangkah menuju tempat Bu Cahaya Berada.

“Sore Bu.” Ucapku setelah  berada di depan Bu Cahaya.

“Sore, duduk Bunga.” Suara lembut Bu Cayaha terdengar.

“Bu, jika masalah Bunga tidak focus pada pelajaran Ibu, Bunga minta maaf. Bunga janji tidak akan mengulanginya lagi. Izinkan Bunga pulang Bu, Mak lagi sakit di rumah tidak ada yang menjaga.” Ucapku cepat.

Berharap Bu Cahaya memberikanku izin untuk pulang, setelah mendengar ucapanku.

“Kalau begitu pulanglah, ini ada sedikit Buat beli obat untuk Mak. Kita akan bicara setelah Mak Bunga sehat. Berusaha focus untuk belajar ya.” Lega hatiku mendengar ucapan Bu Cahaya.

Bergegas aku berdiri dari duduk, meraih tangan BU Cahaya untuk salam dan mencium tangannya.

***

 “Assalamualaikum.” Suaraku bergema.

Melesat menuju kamar Mak, sambil menenteng nasi bungkus.

Tidak lupa aku singgah ke apotik untuk membeli antagin untuk Mak.

Lega rasanya melihat Mak sudah duduk, tidak terbaring lagi seperti tadi pagi sewaktu aku berangkat sekolah.

Ternyata ramuan herbal kunyit campur jahe bisa membuat masuk angina Mak berkurang.

Menjadi buruh cuci dan gosok  membuat Mak selalu masuk angina, jika sudah begitu Aku akan mengambil alih tugas Mak mencuci dan mengosok.

“Mak kita makan dulu, habis tu Bunga harus kerumah Bu Indah untuk mencuci baju.” Ucapku duduk disamping ranjang Mak.

Kami menikmati makan siang yang sudah kesorean setelah aku terlebih dahulu mengambil piring, sendok serta air putih di dalam gelas untuk aku dan mak.

Setelah memastikan Mak memakan obat, dan tertidur lagi aku berlalu meninggalkan kamar Mak menuju rumah Bu Indah yang berada di depan rumah.

“Asslamualaikum Bu.” Ucapku memberi salam

“Walaikumsalam, Masuk Bunga. Langsung ke kemar mandi saja.” Suara terdengar dari dalam rumah Bu Indah.

Bergegas aku berjalan menuju kamar mandi, setelah sampai di kamar mandi aku memisahkan baju dan celana/rok merendam mereka pada tempat terpisah membiarkannya selama 15 menit belum aku mulai membrosnya dengan berus baju.

Setelah semua baju ku berus baru aku mengerjakan hal yang sama dengan celana/rok.

Membilaskan dengan bersih baru menghangernya, menjemur dibawah kanopi yang sudah tersedia di rumah Bu Indah.

Bu Indah tidak mau baju kerja suaminya terkena langsung dengan sinar matahari, katanya akan merusak warna.

Untung saja ada mesin pengering baju sehingga baju yang tidak terkena sinar matahari bisa kering karena ada angina yang membuatnya menjadi kering.

Setelah selesai dengan menjemur kain, aku beralih keruang pengosok baju, menyalakan seterikaan dan mulai mengosok baju.

Sebelum azan magrib aku sudah menyelesaikan pekerjaan di rumah Bu Indah.

“Bunga ini ada sedikit makanan untuk Bunga dan Mak.” Ucap Bu Indah sebelum aku meninggalkan rumah Bu Indah.

Senyumku terkembang, berarti malam ini aku bisa menghemat pengeluaran kami untuk makan.

Langkah ringan menuju rumah, membuka pintu rumah sambil mengucapkan salam.

Aku melihat Mak duduk sofa usang diruang tamu yang sempit.

“Mak ada rezeki makanan dari Bu Indah.” Ucapku sambil menjatuhakan badan pada sofa yang Mak duduki.

Meriah tangan Mak untuk disalami dan cium.

Meletakan dua buah kotak makanan pemberian Bu Indah.

“Makan sekarang kita Mak.?” Ucapku sambil tersenyum ke arah Mak.

“Bunga sudah lapar sangat, kalau tak lapar kita makan habis sholat magrib saja.” Ucap Mak

“Kalau gitu, Bunga mandi siap – siap untuk sholat magrib.” Ucapku sambil berdiri dan meninggalkan Mak.

***

 “Ayah belum kasih kabar? Bunga” tanya Mak setelah kami selesai makan malam.

Saat ini aku menemani Mak di kamarnya kami duduk di atas ranjang yang beralas tilam tipis.

Sejak Mak sakit aku selalu meminta Mak untuk banyak istirahat. Menjelang isya aku akan berbual mesra dengan Mak setelah itu aku akan belajar sampai pukul setengah sepuluh.

Sudah sepekan Ayah tidak memberi kabar, tapi untuk menyenangkan hati Mak aku mengatakan dua hari yang lalu ketika Mak tertidur setelah memakan Obah Abah menelepon.

Saat ini aku sedang duduk dimeja kayu yang menjadi tempatku mengulang kaji pelajaran sekolah.

Sebentar lagi ujian kelulusan, rasanya aku patah arang untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.

Aku sudah mengatakan pada guru BP tapi pihak sekolah berkeras mendaftarkan aku mengikuti progam untuk keperguruan tinggi melalui jalur sekolah.

Entahlah, aku berdoa semoga aku tidak diterima jika keterima aku tidak tahu nasib adik kelasku pasti sekolah kena penalty karena ada peserta yang mengundurkan diri setelah keterima.

Orang selalu mendoakan yang terbaik untuk dirinya, tapi aku tahu sampai dimana kemampuan ekonomi orangtua, untuk makan saja kami senin kamis apalagi untuk menunjang sekolahku yang mengharuskan merantau.

Lamunanku terhalang hujan petir yang mengakibatkan pemandaman lampu.

Aku bergegas mengambil senter yang selalu tersedia dimeja kayu tempat aku belajar.

Menyuluhkan lampu senter untuk keluar kamar menuju kamar Mak, untuk memasangkan lampu darurat kami menyebutnya.

Lampu seken pemberian Bu Indah karena dirinya membali lampu darurat yang baru.

Alhmadulillah selalu saja ada tetangga yang membantu kami tapi untuk kuliah rasanya terlalu berat kalau mengharapkan tetangga.

Melihat Mak nyenyak dalam tidurnya aku merasa lega, tidak sedikitpun Mak terganggu dengan hujan petir serta pemadaman lampu.

Setelah yakin Mak tidak terganggu tidurnya, aku kembali kekamar mematikan lampu senter. Penerangan kamarku dengan lampu darurat.

Meluruskan badan di ranjang berlapis tilam tipis, aku mengambil selimut untuk menutupi badanku yang mulai terasa dingin akibat hujan deras.

Merapal doa berusaha untuk tidur, dan akhirnya hitungan domba sampai dengan angak seratus berapa aku tidak ingat lagi, mimpi sudah menjemputku.
***

Suara azan subuh membuat aku terjaga, meregangkan badan dan berdiri menuju luar kamar. Sebelum menyambangi kamar mandi aku menyempatkan diri menjengah kamar Mak.

“Sudah bangan Bunga.” Suara Mak menyambutku di kamarnya

Aku tersenyum manis sambil menganggukkan kepala menjawab soalan Mak.

“Bunga ke kamar mandi dulu mak untuk berwudhu.” Ucapku sambil menutup pintu kamar Mak.

Jam berapa Mak bangun, melihat Mak duduk di depan sejadah berarti sudah lama Mak terbangun.

Air dingin membuatku menyegerakan mengambil wudhu.

Sungguh menusuk dinginnya, sampai bergemerutuk gigiku menahan dingin ketika berwudhu untung saja hari ahad jika tidak aku terpaksa memasak air untuk mandi.

***

“Masak apa Bunga?” Aku lagi menumis bumbu nasi goreng, ketika Mak bertanya

“Nasi goreng Mak, Bunga buat sedang saja pedasnya pasti Mak suka.” Ucapku sambil tersenyum kearah Mak.

Aku sibuk dengan nasi dan membuat teh dari jerangan air yang sudah masak.

Mak dengan setia menunggui aku menyiapkan sarapan sederhana untuk kami.

***

 “Siap, kita makan Mak.” Ucapku riang.

Kami makan dalam keheningan, satu ajaran yang selalu aku ingat jika kami memakan dengan sendok tentu suara senduk beradu dengan piring yang terdengar.

“Alhamadulillah.” Suara Mak terdengar.

Aku melihat ke arah Mak, mengernyitkan kening.

“Sekit na MakMakan?” ucapku menatap lekat wajah Mak.

“Mak dah nambah, Bunga yang dari tadi Mak lihat hanya melamun. Apa yang Bunga fikirkan.” Ucap Mak menatapku lekat.

“Sudah siap untuk ujian, Mak minta maaf karena Mak sering sakit Bunga tergangu waktu belajarnya.” Suara Mak sendu ketika mengucapkan kata membuat hatiku terenyuh mendengarnya.

“Insyallah Bunga siap untuk ujian Mak, Mak tenang saja.” Ucapku dengan memasang wajah ceria, walaupun hatiku remuk mendengar ucapan Mak.

“Mudah – mudahan Ayah ada rezeki lebih, Bunga bisa ambil kursus komputer biar senang dapat kerja.

Mak dengar zaman sekarang, ilmu komputer sangat dibutuhkan." aku ”ersenyum mendengar kata Mak.

“Insyallah Mak.” Ucapku sambil tersenyum.

***

Aku menatap langit – langit kamar, ucapan Mak tentang komputer membuat hatiku miris, entah informasi dari mana Mak dengar tentang komputer.

Mungkin sepuluh tahun yang lalu tahu word dan exel mungkin memudahkan cari kerja tapi sekarang tahun 2024 ilmu komputer sudah banyak perkembangannya, hanya word dan exel yang dikuasai susah juga nak cari kerja.

Pikiranku berkutat dengan bagaimana membantu Ayah menafkahi keluarga kami, kuliah aku buang jauh – jauh dari pemikiran.

Keadaan Mak yang semakin menurun membuatku tidak tenang.

Sakit Mak sengaja kami sembunyikan dari pengetahuan Mak.

Alasan kenapa Ayah sampai merantau meninggalkan kampung halaman untuk mencari uang lebih untuk pengobatan Mak.

Kerusakan paru – paru Mak sudah terlalu parah, hasil kerja mencuci bertahun – tahun menetes air mataku ketika Ayah menceritakan kondisi Mak sebelum Ayah berangkat ke Negera jiran untuk mengkais rezeki.

 

Malam ini tak sempat untuk aku menghitung domba untuk menjemput mimpi, ternyata memikirkan masa depan membuatku tertidur dalam kegelisahan.

***

Gelisah, membuat Bunga terbangun lebih cepat dari biasanya.

Melirik jam baker yang setia berada dimeja belajar kayu dikamarnya.

Baru pukul 3 tiga pagi, merenggangkan otot sebentar sebelum bangun dari ranjang dengan tilam tipis yang menemani tidurnya.

Berjalan menuju keluar kamar, sebelum singgah ke kamar mandi Bunga menyempatkan diri untuk menjengah kamar Mak.

Mendorong pintu kamar yang tidak pernah terkunci jika Ayah tidak berada di rumah.

Mak masih tertidur dengan pulas, semoga besok Mak lebih sehat dari hari kemaren, batin Bunga.

Meninggalkan kamar Mak menuju kamar mandi mengambil wudhu untuk mengadu pada sang Khalid untuk kesembuhan Mak dan keselamatan Ayah yang merantau.

Setelahselesai dengan mengadu pada cinta yang Abadi, Bunga melanjutkan langkah menuju dapur untuk menyediakan sarapan ala kadarnya untuk Mak dan dirinya.

Waktu masih terlalu pagi, akhirnya bukan nasi goreng yang termasak, malah bihun goreng yang terlalu banyak untuk sarapan mereka.

Bunga mengambil lima wadah plastic dan memasukkan bihun goren yang dibuatnya.

“Bismillah, semoga ada yang mau membelinya.” Batin Bunga

Entah ide darimana Bunga berharap bihun goreng yang hanya lima porsi ini ada peminatnya.

Jika laris berarti lima puluh ribu diperoleh bisa untuk menambah asap dapur milik mereka.

Setelah selesai dengan pekerjaan dapur, Bunga melanjutkan dengan mencuci pakaian dirinya dan Mak.

Jam menujukkan pukul enam ketika siap berpakaian untuk menuju sekolah.

Dengan wajah penuh senyum berharap bihunnya laku terjual, Bunga menuju kamar Mak untuk mengajak Mak sarapan bersama.

Mendorong pintu dengan pelan, kening Bunga mengkerut posisi tidur Mak masih seperti tadi.

Apakah mak tidak sholat subuh, batin Bunga.

Asyik dengan pikiranya sendiri sehingga sejak menginjakkan kaki di dapur Bunga tidak perasaan apakah Mak sudah sholat subuh.

Perlahan Bunga mendekati Mak, memegang bahu Mak terasa dingin.

Perasan was menyelimuti Bunga seketika, menelentangkan badan Mak, senyum terukir di bibir Mak tapi tak ada respon sepertinya Mak terlalu lelap dalam tidurnya.

“Mak, sudah pagi. Mak lupa untuk sholat subuh.” Suara Bunga lirih membangunkan Mak.

Berulang kali Bunga membangunkan Mak tapi tidak ada respon.

Dengan perasaan takut, akhirnya apa yang sudah terpikir dari tadi dilakukan Bunga.

Meletakkan jarinya pada hidung Mak, tidak ada hembusan napas,

Setetes demi setetes air bening keluar dari mulut Bunga.

Menolak kenyataan di depan mata, masih bisa berharap Mak hanya lupa bernapas seketika.

Dengan langkah lebar dari berjalan menjadi berlari, Bunga meninggalkan kamar Mak menuju rumah depan untuk meminta pertolongan.

***

Kerumuman yang tadi siang ramai, satu persatu meninggalkan rumah, tidak menunggu kepulangan Ayah, Mak dikebumikan sebelum bada’ azar.

“Kebumikan saja Mak Bunga, kasihan kalau mayat Mak menunggu Ayah pulang. Ayah ikhlas, insyallah Ayah pulang besok.” Serak suara Ayah ketika aku meneleponnya untuk mengabarkan kepergian Mak.

Aku menantap langit kamar, sunyi mencekam. 

Airmata terus menetes walaupun aku berusaha tegar,

"Ayah, Bunga rindu Mak." Batinku merintih

Semakin jauh anganku untuk melanjutkan pendidikan.

Ayah tidak akan aku izinkan untuk merantau hanya untuk membuatku bisa menyambung sekolah.

Hanya Ayah yang aku miliki saat ini, lebih baik aku mengubur dalam citaku daripada aku membiarkan Ayah bekerja di tempat orang.

Banyak kabar, kalau tenaga kerja diluaran sana perlakukan tidak sewajarnya dan Aku tidak ingin Ayah mengalaminya.

Susah senang aku ingin bersama Ayah, lelah menangis akhirnya membuatku tertidur.

***

Suara azan subuh terdengar, aku terlewatkan sholat malam yang rutin aku lakukan.

Kepala yang terasa berat akibat banyak menangis tidak aku pedulikan.

Berjalan pelan menuju keluar kamar, jangan sampai aku terlewatkan sholat subuh.

Kepalaku sedikit berkurang sakitnya setelah aku mengadu kepadanya dan mengirimkan doa untuk arwah Mah.

Izin dari sekolah sudah aku kantongi, entah kabar dari siapa Bu Indah yang baik hati datang pada pemakaman Mak.

Begitu juga dengan beberapa orang guru, hatiku sedikit terhibur dengan semua teman satu kelasku datang pada pemakaman Mak.

Mereka ringan tangan membantu apa yang perlu dibantu.

Sementara aku menggunakan pundak Bu Indah walikelasku untuk menangis.

Aku masih memikirkan bagaimana nasibku setelah kepergian Mak.

Tak ada niatan untuk sekedar merebus air untuk minuman hangat apalagi memasak makanan untuk sarapan.

Ketukan di depan pintu membuatku mengalihkan pandangan dari foto Mak yang sejak tadi menghiasi pandanganku.

Denga malas aku bangun dari duduk bersimpuhku dan berjalan menuju pintu depan.

Langkah yang semula lambat, aku percepat ketika mengingat percakapan dengan Ayah kemaren siang yang akan pulang hari ini.

Dengan air mata yang menetes aku berlari menuju pintu depan dan tergesa membukanya.

Melihat sosok Ayah yang berdiri di depan pintu, aku langsung menambraknya.

Menumpahkan segala rasa yang menghimpit, berharap perasaan ini lepas dari dadaku.

Tangan Ayah mengusap kepalaku.

“Sabar, Mak sudah tenang tidak akan merasakan sakit lagi. Setiap saat kita akan mendoakan semoga Mak diterima disisinya dengan segala amal ibadah yang Mak buat semasa hidup.” Ucap suara Abah serak.

“Ganti baju, antar Ayah ke makam Mak.” Lanjut Ayah.

Aku dan Ayah masuk kamar kami masing – masing untuk mengunjungi Mak.

***

Aku masih terisak di depan pusara Mak, Ayah dengan khusus membaca doa.

Walaupun tidak terlihat airmata tapi Aku yakin Ayah merasakan kehilangan yang besar atas pemergian Mak.

“Jah, tenanglah di sana. Abang akan merawat Bunga dan mengatar pada cita – citanya seperti yang Ijah inginkan.” Ucap Ayah seperti sedang berbicara dengan Mak.

“Bunga kita akan mekar seperti yang Ijah inginkan, Abang janji.” Pilu terdengar suara Ayah.

Aku berusaha menahan isak tangisku, ya Allah terima semua amal ibadah Mak.

Bunga janji akan menjadi bunga yang mengharumkan nama Ayah dan Mak.

Niat melanjutkan pendidikan yang sempat kunyup akhirnya mekar setelah mendengar bagaimana percakapan Ayah dan Mak.

Aku akan membuat bangga Ayah Mak, jika mereka bisa bersusah payah untuk berjuang kuliah sambil bekerja maka akupun bisa, tekatku sudah bulat.

Mak doakan Bunga dari atas sana, sambil aku menantap langit yang cerah disinar matahari pagi ini.***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Sampah, Takut Tidaklah Ya

Tahun Baru dengan semangat baru, Tema P5 boleh sama tapi dengan peserta didik yang berbeda. Menerapkan dan mendidik terus berlanjut, dengan ...