Kamis, 23 Mei 2024

TAARUF MU

 


 “Hore kia lulus.” Koor terdengar ketika kami melihat pengumuman kelulusan.

“Intan pasti mendapatkan nilai tertinggi.” Ucap salah satu temanku kala itu.

“Ah, bukan pasti Pras yang unggul.” Ucapku malu sambil memandang teman kelasku yang bermana Pras.

Prastio Pamungkas, pindahan dari Yogya awal tahun pelajaran dengan segudang prestasi.

Sejak kami satu kelas aku, Bulan Intan Nuraini selalu menjadi nomor dua.

Perasaanku nano – nano terhadap Pras, ada rasa tersaingi, ada raga kagum.

“Intan, ini tahun terakhir di sekolah. Focus belajar dulu.” Pesan Abah selalu tergiang di teligaku.

Membuatku menjaga jarak dengan mahluk berjenis kelamin lelaki.

Bukannya aku tidak tahu, selama ini Pras berusaha mendekatiku, tapi mengingat pesan Abah aku hanya melayannya sebatas teman.

“Tak pacaran dalam islam.” Ucapku ketika dua bulan yang lalu Pras menyatakan perasaannya.

“Kalau bigut setelah lulus aku akan mentakarufmu.” Ucap Pras yakin.

“Kita masih terlalu kecil untuk menikah.” Ucapku sambil tersenyum melihat betapa konyolnya Pras dengan pernyataannya.

Sejak itu kami bersaing untuk mendapatkan nilai tertinggin.

“Selamat Intan akhirnya Intan dapat menggunguli Pras.” Ucap Pras membuatku terkejut.

Aku meneliti lagi kertas pengumuman yang dibagikan dalam amplop.

Sangking senangnya membaca lulus sampai aku tidak memperhatikan tulisan lain yang menyatakan aku meraih nilai terbiak 1 dan Pras nilai terbaik 2.

Aku menangkup tangan di dada mengucapkan terima kasih atas ucapan selamat Pras.

“Tunggu aku, secepatnya aku akan mengajak orangtuaku untuk mentakrufmu.” Ucap Pras.

Setelah itu seperti tidak mengerti dengan diriku yang gelisah karena ucapnya, Pras bersama teman – teman lain malah mengajak berfoto bersama untuk menujukkan rasa syukur karena kami sekelas lulus semua.

Tinggal dua pekan lagi kebersamaanku bersama keluarga, Alhamdulillah aku diterima di UNY Program Study S-1 Pendidikan  Ekonomi.

Bukan karena mendengar desas desus kalau Pras akan kembali ketanah kelahirannya untuk kuliah aku memilih Yogya untuk melanjutkan pendidikkan bukan itu.

Mengingat dan menimbang, biaya pendidikan yang murah dan ingin merasakan pengalaman pendidikan di kota pelajar saja sehingga aku memilih Yogya sebagai pelabuhan untuk menuntut ilmu lebih dalam lagi.

Dan sampai detik ini tidak ada tanda – tandan kedatanga Pras bersama orantuanya.

Aku menganggap Pras hanya bercanda kala itu.

Suara salam dari pintu depan menganggu pendengaranku, siapa gerangan yang bertamu pada malam jumat begini batinku.

Melangkahkan kaki menuju ruang depan, setelah mendapatkan tanda dari Mak untuk membuka pintu depan.

Sementara Abah, Mak dan Adikku melanjutkan membaca yasin yang menjadi kebiasan kami setelah sholat magrib pada malam jumat.

“Walaikusalam.” Suaraku menjawab salam dari tamu yang datang.

Netraku membulat melihat tamu yang datang.

Sepasang suami istri yang tersenyum manis, diantara mereka berdiri Pras dengan penampilan yang selalu menarik mata yang melihatnya.(Bersambung)

Senyum kecil aku berikan, mempersilakan mereka masuk setelah menjawab tanya mereka apakah kedua orangtuaku ada di rumah.

Aku melangkah, menuju ruang tengah yang kami jadikan tempat sholat berjamah dan tempat membaca yasin pada malam jumat.

“Bah Mak ada tamu yang ingin bertemu.” Ucapku setelah sampai di ruang tengah.

Abah mengernyitkan dahi mendengar penuturanku.

“Siapa?” tanya Abah

“Orang tua kawan Intan.” jawabku lirih

Menyudahi membaca yasin, kedua orangtua bergegas menuju ruang tamu.

“Buatkan minuman dan makanan kecil.” Titah Mak kepadaku.

***

 

Aku bagaikan tersangka saat ini, duduk dengan kepala tertunduk mendengarkan pertanyaan Abah Mak mengenai kedatangan orangtua Pras yang mentakarufku.

Yang membuatku menjadi pusing tuju keliling, orangtua Pras meminta kami langsung menikah dulu sehingga bisa melanjutkan pendidikan yang sama di Yogya tanpa rasa was – was dari pihak keluarga.

“Sholat istikarah, orangtua Pras menunggu jawaban sepekan dari sekarang.” Akhirnya kalimat pamungkas keluar dari mulut setelah tadi mengintrogasikan bak pesalah yang melakukan kesalahan besar.

“Abah Mak bersyukur ada orangtua yang bijaksana seperti orangtua Pras yang mengerti agama lebih dari kita.” Lanjut Abah lagi.

Aku tidak tahu apa yang dikatakan orangtua Pras pada Abah Mak sehingga setelah panjang lebar bertanya dan memberikan nasehat, sekarang malah mengiizinkan aku untuk menikah muda.

***

Jantungku berdup kencang, ruang tamu sudah penuh dengan sanak saudara.

Terdengar suara merdu yang melantunkan surat Ar-Rahman.

Suara merdu mengaji berakhir dengan suara tegas mengijab kabul atas namaku.

“Sah.” Mengema di ruang tengah yang disulap menjadi tempat menikah.

Mak mengandeng tanganku, menuju ruang tengah.

Pintu kamarku yang tadi sesak oleh sepupu perempuanku yang berada di kamarku akhirnya lenggang untuk memberikan aku lewat menuju ruang tengah.

Aku melirik kearah Pras yang saat ini terlihat gagah dalam balutan baju melayu siap dengan tanjaknya.

Warna kuning sangat pas dengan warna kulit Pras yang kuning langsat.

Senyum tak henti terlihat dari wajah Pras, begitu juga dengan kedua orang tua kami.

Sementara aku hanya tersenyum malu, bagaimana tidak umurku baru 18 tahun sementara Pras yang ternyata sudah 19 tahun karena sebelum melanjutkan sekolah ke SMA pernah dari SD sampai SMP di pasantren.

***

Saat ini kami sedang berada di atas kapal pelni menuju Jakarta, aku yang nota bene baru pertama kali keluar kampung dan menaiki kapal Pelni menuju Jakarta dibuat terkagum – kagum dengan lautan luar yang menghiasi pemandangan.

“Lihat Bulan itu, ketika melihatnya aku selalu mengingat dirimu. Wulan dari kata namamu kujadikan Bulan dan berharap bulan ini tidak hanya menemani malamku tapi juga bisa menjadi matahari pada siang hari sehingga lengkap diriku dengan Bulan dan Matahari.” Aku tersenyum malu mendengar kalimat Pras.

Semoga kami selalu dalam lindungannya, taaruf dan kemudian menikah muda  hanya untuk menjalankan syariat agama.***

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Sampah, Takut Tidaklah Ya

Tahun Baru dengan semangat baru, Tema P5 boleh sama tapi dengan peserta didik yang berbeda. Menerapkan dan mendidik terus berlanjut, dengan ...