“Hore kia lulus.” Koor terdengar ketika kami melihat pengumuman kelulusan.
“Intan pasti mendapatkan
nilai tertinggi.” Ucap salah satu temanku kala itu.
“Ah, bukan pasti Pras yang
unggul.” Ucapku malu sambil memandang teman kelasku yang bermana Pras.
Prastio Pamungkas, pindahan
dari Yogya awal tahun pelajaran dengan segudang prestasi.
Sejak kami satu kelas aku,
Bulan Intan Nuraini selalu menjadi nomor dua.
Perasaanku nano – nano terhadap Pras, ada rasa tersaingi, ada raga kagum.
“Intan, ini tahun terakhir
di sekolah. Focus belajar dulu.” Pesan Abah selalu tergiang di teligaku.
Membuatku menjaga jarak
dengan mahluk berjenis kelamin lelaki.
Bukannya aku tidak tahu,
selama ini Pras berusaha mendekatiku, tapi mengingat pesan Abah aku hanya
melayannya sebatas teman.
“Tak pacaran dalam islam.”
Ucapku ketika dua bulan yang lalu Pras menyatakan perasaannya.
“Kalau bigut setelah lulus
aku akan mentakarufmu.” Ucap Pras yakin.
“Kita masih terlalu kecil
untuk menikah.” Ucapku sambil tersenyum melihat betapa konyolnya Pras dengan
pernyataannya.
Sejak itu kami bersaing
untuk mendapatkan nilai tertinggin.
“Selamat Intan akhirnya
Intan dapat menggunguli Pras.” Ucap Pras membuatku terkejut.
Aku meneliti lagi kertas
pengumuman yang dibagikan dalam amplop.
Sangking senangnya membaca
lulus sampai aku tidak memperhatikan tulisan lain yang menyatakan aku meraih
nilai terbiak 1 dan Pras nilai terbaik 2.
Aku menangkup tangan di
dada mengucapkan terima kasih atas ucapan selamat Pras.
“Tunggu aku, secepatnya aku
akan mengajak orangtuaku untuk mentakrufmu.” Ucap Pras.
Setelah itu seperti tidak
mengerti dengan diriku yang gelisah karena ucapnya, Pras bersama teman – teman
lain malah mengajak berfoto bersama untuk menujukkan rasa syukur karena kami
sekelas lulus semua.
Tinggal dua pekan lagi
kebersamaanku bersama keluarga, Alhamdulillah aku diterima di UNY Program Study
S-1 Pendidikan Ekonomi.
Bukan karena mendengar
desas desus kalau Pras akan kembali ketanah kelahirannya untuk kuliah aku
memilih Yogya untuk melanjutkan pendidikkan bukan itu.
Mengingat dan menimbang,
biaya pendidikan yang murah dan ingin merasakan pengalaman pendidikan di kota
pelajar saja sehingga aku memilih Yogya sebagai pelabuhan untuk menuntut ilmu
lebih dalam lagi.
Dan sampai detik ini tidak
ada tanda – tandan kedatanga Pras bersama orantuanya.
Aku menganggap Pras hanya
bercanda kala itu.
Suara salam dari pintu
depan menganggu pendengaranku, siapa gerangan yang bertamu pada malam jumat
begini batinku.
Melangkahkan kaki menuju
ruang depan, setelah mendapatkan tanda dari Mak untuk membuka pintu depan.
Sementara Abah, Mak dan
Adikku melanjutkan membaca yasin yang menjadi kebiasan kami setelah sholat
magrib pada malam jumat.
“Walaikusalam.” Suaraku menjawab
salam dari tamu yang datang.
Netraku membulat melihat
tamu yang datang.
Sepasang suami istri yang
tersenyum manis, diantara mereka berdiri Pras dengan penampilan yang selalu
menarik mata yang melihatnya.(Bersambung)
Senyum kecil aku berikan,
mempersilakan mereka masuk setelah menjawab tanya mereka apakah kedua
orangtuaku ada di rumah.
Aku melangkah, menuju ruang
tengah yang kami jadikan tempat sholat berjamah dan tempat membaca yasin pada
malam jumat.
“Bah Mak ada tamu yang
ingin bertemu.” Ucapku setelah sampai di ruang tengah.
Abah mengernyitkan dahi
mendengar penuturanku.
“Siapa?” tanya Abah
“Orang tua kawan Intan.”
jawabku lirih
Menyudahi membaca yasin,
kedua orangtua bergegas menuju ruang tamu.
“Buatkan minuman dan
makanan kecil.” Titah Mak kepadaku.
***
Aku bagaikan tersangka saat
ini, duduk dengan kepala tertunduk mendengarkan pertanyaan Abah Mak mengenai
kedatangan orangtua Pras yang mentakarufku.
Yang membuatku menjadi
pusing tuju keliling, orangtua Pras meminta kami langsung menikah dulu sehingga
bisa melanjutkan pendidikan yang sama di Yogya tanpa rasa was – was dari pihak
keluarga.
“Sholat istikarah, orangtua
Pras menunggu jawaban sepekan dari sekarang.” Akhirnya kalimat pamungkas keluar
dari mulut setelah tadi mengintrogasikan bak pesalah yang melakukan kesalahan
besar.
“Abah Mak bersyukur ada
orangtua yang bijaksana seperti orangtua Pras yang mengerti agama lebih dari
kita.” Lanjut Abah lagi.
Aku tidak tahu apa yang
dikatakan orangtua Pras pada Abah Mak sehingga setelah panjang lebar bertanya
dan memberikan nasehat, sekarang malah mengiizinkan aku untuk menikah muda.
***
Jantungku berdup kencang,
ruang tamu sudah penuh dengan sanak saudara.
Terdengar suara merdu yang
melantunkan surat Ar-Rahman.
Suara merdu mengaji
berakhir dengan suara tegas mengijab kabul atas namaku.
“Sah.” Mengema di ruang
tengah yang disulap menjadi tempat menikah.
Mak mengandeng tanganku,
menuju ruang tengah.
Pintu kamarku yang tadi
sesak oleh sepupu perempuanku yang berada di kamarku akhirnya lenggang untuk
memberikan aku lewat menuju ruang tengah.
Aku melirik kearah Pras
yang saat ini terlihat gagah dalam balutan baju melayu siap dengan tanjaknya.
Warna kuning sangat pas
dengan warna kulit Pras yang kuning langsat.
Senyum tak henti terlihat
dari wajah Pras, begitu juga dengan kedua orang tua kami.
Sementara aku hanya
tersenyum malu, bagaimana tidak umurku baru 18 tahun sementara Pras yang
ternyata sudah 19 tahun karena sebelum melanjutkan sekolah ke SMA pernah dari
SD sampai SMP di pasantren.
***
Saat ini kami sedang berada
di atas kapal pelni menuju Jakarta, aku yang nota bene baru pertama kali keluar
kampung dan menaiki kapal Pelni menuju Jakarta dibuat terkagum – kagum dengan
lautan luar yang menghiasi pemandangan.
“Lihat Bulan itu, ketika
melihatnya aku selalu mengingat dirimu. Wulan dari kata namamu kujadikan Bulan
dan berharap bulan ini tidak hanya menemani malamku tapi juga bisa menjadi
matahari pada siang hari sehingga lengkap diriku dengan Bulan dan Matahari.”
Aku tersenyum malu mendengar kalimat Pras.
Semoga kami selalu dalam
lindungannya, taaruf dan kemudian menikah muda
hanya untuk menjalankan syariat agama.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar