Menatap nanar Bu Cahaya yang komat kamit di depan kelas.
Pikiranku
bercabang, siapa yang akan Mak minta tolong jika sakit menyerangya.
Abah
sudah sepekan berangkat ke Negara jiran untuk mengkais rezeki.
Negera
sendiri seperti tidak memberikan celah untuk Abah meminta sedikit uang untuk
sekadar mengisi tabung tengah keluarga kami.
“Bunga, apa ada yang aneh dengan pertanyaan saya.” Deg jantungku seakan berhenti mendengar suara Bu Cahaya yang mengelegar memenuhi ruang kelas.
Matilah
aku saat ini, Bu Cahaya paling tidak suka siswi yang tidak memperhatikan
pelajaranya.
Menepis
keringat dingin yang meluncur bebas di keningku.
Berusaha
mengingat apa pertanyaan Bu Cahaya.
“Contoh
dari BUMC yang ada di Karimun.” Suara Indra berbisik dari arah belakang.
“SPBU
yang di poros Bu.” Jawabku cepat setelah mendapatkan bisikan dari Indra.
“Terima
kasih jawabanya Bunga, applus untuk Bunga.” Suara Ibu Cahaya bergema seiring
tepuk tangan untukku.
“Sekarang
anak – anak silakan ambil kertas yang sudah Ibu buat. Membuat kelompok dengan
nama materi yang berada pada Bab yang sama.
Bu
Cahaya guru memotivisiku belajar, dalam kesulitan hidup aku berusaha menjadi
tegar seperti contoh hidup yang selalu Bu Cahaya selipkan dalam
pembelajarannya.
Aku
mendapatkan kertas yang bertulisan kebutuha menurut sifat berarti aku harus
mencari teman yang mendapatkan contoh materi yang sama.
“Bunga
waktu istriahat sempatkan untuk bertemu dengan Saya di majelis guru.” Titah Bu
Cahaya aku hanya menganggukan kepala menjawabnya.
Hal
biasa jika Bu Cahaya memanggil kami untuk bertemu dengan, tapi aku seyakin –
yakinnya pasti Bu Cahaya memanggilku karena aku tidak focus dengan
pembelajarannya.
***
Aku
melangkah dengan terburu menuju ruang majelis guru, akhirnya aku tidak
menjumpai Bu Cahaya pada jam istirahat karena Bu Cahaya ada tamu, ingin pulang
cepat tapi aku tersandra diruang majelis guru.
Mengetuk
pintu ruang majelis guru, setelah ada suara dari dalam mengizinkan masuk aku
melangkah menuju tempat Bu Cahaya Berada.
“Sore
Bu.” Ucapku setelah berada di depan Bu
Cahaya.
“Sore,
duduk Bunga.” Suara lembut Bu Cayaha terdengar.
“Bu,
jika masalah Bunga tidak focus pada pelajaran Ibu, Bunga minta maaf. Bunga
janji tidak akan mengulanginya lagi. Izinkan Bunga pulang Bu, Mak lagi sakit di
rumah tidak ada yang menjaga.” Ucapku cepat.
Berharap
Bu Cahaya memberikanku izin untuk pulang, setelah mendengar ucapanku.
“Kalau
begitu pulanglah, ini ada sedikit Buat beli obat untuk Mak. Kita akan bicara
setelah Mak Bunga sehat. Berusaha focus untuk belajar ya.” Lega hatiku
mendengar ucapan Bu Cahaya.
Bergegas
aku berdiri dari duduk, meraih tangan BU Cahaya untuk salam dan mencium
tangannya.
***
“Assalamualaikum.” Suaraku bergema.
Melesat
menuju kamar Mak, sambil menenteng nasi bungkus.
Tidak
lupa aku singgah ke apotik untuk membeli antagin untuk Mak.
Lega
rasanya melihat Mak sudah duduk, tidak terbaring lagi seperti tadi pagi sewaktu
aku berangkat sekolah.
Ternyata
ramuan herbal kunyit campur jahe bisa membuat masuk angina Mak berkurang.
Menjadi
buruh cuci dan gosok membuat Mak selalu
masuk angina, jika sudah begitu Aku akan mengambil alih tugas Mak mencuci dan
mengosok.
“Mak
kita makan dulu, habis tu Bunga harus kerumah Bu Indah untuk mencuci baju.”
Ucapku duduk disamping ranjang Mak.
Kami
menikmati makan siang yang sudah kesorean setelah aku terlebih dahulu mengambil
piring, sendok serta air putih di dalam gelas untuk aku dan mak.
Setelah
memastikan Mak memakan obat, dan tertidur lagi aku berlalu meninggalkan kamar
Mak menuju rumah Bu Indah yang berada di depan rumah.
“Asslamualaikum
Bu.” Ucapku memberi salam
“Walaikumsalam,
Masuk Bunga. Langsung ke kemar mandi saja.” Suara terdengar dari dalam rumah Bu
Indah.
Bergegas
aku berjalan menuju kamar mandi, setelah sampai di kamar mandi aku memisahkan
baju dan celana/rok merendam mereka pada tempat terpisah membiarkannya selama
15 menit belum aku mulai membrosnya dengan berus baju.
Setelah
semua baju ku berus baru aku mengerjakan hal yang sama dengan celana/rok.
Membilaskan
dengan bersih baru menghangernya, menjemur dibawah kanopi yang sudah tersedia
di rumah Bu Indah.
Bu
Indah tidak mau baju kerja suaminya terkena langsung dengan sinar matahari,
katanya akan merusak warna.
Untung
saja ada mesin pengering baju sehingga baju yang tidak terkena sinar matahari
bisa kering karena ada angina yang membuatnya menjadi kering.
Setelah
selesai dengan menjemur kain, aku beralih keruang pengosok baju, menyalakan
seterikaan dan mulai mengosok baju.
Sebelum
azan magrib aku sudah menyelesaikan pekerjaan di rumah Bu Indah.
“Bunga
ini ada sedikit makanan untuk Bunga dan Mak.” Ucap Bu Indah sebelum aku
meninggalkan rumah Bu Indah.
Senyumku
terkembang, berarti malam ini aku bisa menghemat pengeluaran kami untuk makan.
Langkah
ringan menuju rumah, membuka pintu rumah sambil mengucapkan salam.
Aku
melihat Mak duduk sofa usang diruang tamu yang sempit.
“Mak
ada rezeki makanan dari Bu Indah.” Ucapku sambil menjatuhakan badan pada sofa
yang Mak duduki.
Meriah
tangan Mak untuk disalami dan cium.
Meletakan
dua buah kotak makanan pemberian Bu Indah.
“Makan
sekarang kita Mak.?” Ucapku sambil tersenyum ke arah Mak.
“Bunga
sudah lapar sangat, kalau tak lapar kita makan habis sholat magrib saja.” Ucap
Mak
“Kalau
gitu, Bunga mandi siap – siap untuk sholat magrib.” Ucapku sambil berdiri dan
meninggalkan Mak.
***
“Ayah belum kasih kabar? Bunga” tanya Mak
setelah kami selesai makan malam.
Saat
ini aku menemani Mak di kamarnya kami duduk di atas ranjang yang beralas tilam
tipis.
Sejak
Mak sakit aku selalu meminta Mak untuk banyak istirahat. Menjelang isya aku
akan berbual mesra dengan Mak setelah itu aku akan belajar sampai pukul
setengah sepuluh.
Sudah
sepekan Ayah tidak memberi kabar, tapi untuk menyenangkan hati Mak aku
mengatakan dua hari yang lalu ketika Mak tertidur setelah memakan Obah Abah
menelepon.
Saat
ini aku sedang duduk dimeja kayu yang menjadi tempatku mengulang kaji pelajaran
sekolah.
Sebentar
lagi ujian kelulusan, rasanya aku patah arang untuk melanjutkan ke perguruan
tinggi.
Aku
sudah mengatakan pada guru BP tapi pihak sekolah berkeras mendaftarkan aku
mengikuti progam untuk keperguruan tinggi melalui jalur sekolah.
Entahlah,
aku berdoa semoga aku tidak diterima jika keterima aku tidak tahu nasib adik
kelasku pasti sekolah kena penalty karena ada peserta yang mengundurkan diri
setelah keterima.
Orang
selalu mendoakan yang terbaik untuk dirinya, tapi aku tahu sampai dimana
kemampuan ekonomi orangtua, untuk makan saja kami senin kamis apalagi untuk
menunjang sekolahku yang mengharuskan merantau.
Lamunanku
terhalang hujan petir yang mengakibatkan pemandaman lampu.
Aku
bergegas mengambil senter yang selalu tersedia dimeja kayu tempat aku belajar.
Menyuluhkan
lampu senter untuk keluar kamar menuju kamar Mak, untuk memasangkan lampu
darurat kami menyebutnya.
Lampu
seken pemberian Bu Indah karena dirinya membali lampu darurat yang baru.
Alhmadulillah
selalu saja ada tetangga yang membantu kami tapi untuk kuliah rasanya terlalu
berat kalau mengharapkan tetangga.
Melihat
Mak nyenyak dalam tidurnya aku merasa lega, tidak sedikitpun Mak terganggu
dengan hujan petir serta pemadaman lampu.
Setelah
yakin Mak tidak terganggu tidurnya, aku kembali kekamar mematikan lampu senter.
Penerangan kamarku dengan lampu darurat.
Meluruskan
badan di ranjang berlapis tilam tipis, aku mengambil selimut untuk menutupi
badanku yang mulai terasa dingin akibat hujan deras.
Merapal
doa berusaha untuk tidur, dan akhirnya hitungan domba sampai dengan angak
seratus berapa aku tidak ingat lagi, mimpi sudah menjemputku.
***
Suara
azan subuh membuat aku terjaga, meregangkan badan dan berdiri menuju luar
kamar. Sebelum menyambangi kamar mandi aku menyempatkan diri menjengah kamar
Mak.
“Sudah
bangan Bunga.” Suara Mak menyambutku di kamarnya
Aku
tersenyum manis sambil menganggukkan kepala menjawab soalan Mak.
“Bunga
ke kamar mandi dulu mak untuk berwudhu.” Ucapku sambil menutup pintu kamar Mak.
Jam
berapa Mak bangun, melihat Mak duduk di depan sejadah berarti sudah lama Mak
terbangun.
Air
dingin membuatku menyegerakan mengambil wudhu.
Sungguh
menusuk dinginnya, sampai bergemerutuk gigiku menahan dingin ketika berwudhu
untung saja hari ahad jika tidak aku terpaksa memasak air untuk mandi.
***
“Masak
apa Bunga?” Aku lagi menumis bumbu nasi goreng, ketika Mak bertanya
“Nasi
goreng Mak, Bunga buat sedang saja pedasnya pasti Mak suka.” Ucapku sambil
tersenyum kearah Mak.
Aku
sibuk dengan nasi dan membuat teh dari jerangan air yang sudah masak.
Mak
dengan setia menunggui aku menyiapkan sarapan sederhana untuk kami.
***
“Siap, kita makan Mak.” Ucapku riang.
Kami
makan dalam keheningan, satu ajaran yang selalu aku ingat jika kami memakan
dengan sendok tentu suara senduk beradu dengan piring yang terdengar.
“Alhamadulillah.”
Suara Mak terdengar.
Aku
melihat ke arah Mak, mengernyitkan kening.
“Sekit
na MakMakan?” ucapku menatap lekat wajah Mak.
“Mak
dah nambah, Bunga yang dari tadi Mak lihat hanya melamun. Apa yang Bunga
fikirkan.” Ucap Mak menatapku lekat.
“Sudah
siap untuk ujian, Mak minta maaf karena Mak sering sakit Bunga tergangu waktu
belajarnya.” Suara Mak sendu ketika mengucapkan kata membuat hatiku terenyuh
mendengarnya.
“Insyallah
Bunga siap untuk ujian Mak, Mak tenang saja.” Ucapku dengan memasang wajah
ceria, walaupun hatiku remuk mendengar ucapan Mak.
“Mudah
– mudahan Ayah ada rezeki lebih, Bunga bisa ambil kursus komputer biar senang
dapat kerja.
Mak
dengar zaman sekarang, ilmu komputer sangat dibutuhkan." aku ”ersenyum
mendengar kata Mak.
“Insyallah
Mak.” Ucapku sambil tersenyum.
***
Aku
menatap langit – langit kamar, ucapan Mak tentang komputer membuat hatiku
miris, entah informasi dari mana Mak dengar tentang komputer.
Mungkin
sepuluh tahun yang lalu tahu word dan exel mungkin memudahkan cari kerja tapi
sekarang tahun 2024 ilmu komputer sudah banyak perkembangannya, hanya word dan
exel yang dikuasai susah juga nak cari kerja.
Pikiranku
berkutat dengan bagaimana membantu Ayah menafkahi keluarga kami, kuliah aku
buang jauh – jauh dari pemikiran.
Keadaan
Mak yang semakin menurun membuatku tidak tenang.
Sakit
Mak sengaja kami sembunyikan dari pengetahuan Mak.
Alasan
kenapa Ayah sampai merantau meninggalkan kampung halaman untuk mencari uang
lebih untuk pengobatan Mak.
Kerusakan
paru – paru Mak sudah terlalu parah, hasil kerja mencuci bertahun – tahun menetes
air mataku ketika Ayah menceritakan kondisi Mak sebelum Ayah berangkat ke
Negera jiran untuk mengkais rezeki.
Malam
ini tak sempat untuk aku menghitung domba untuk menjemput mimpi, ternyata
memikirkan masa depan membuatku tertidur dalam kegelisahan.
***
Gelisah,
membuat Bunga terbangun lebih cepat dari biasanya.
Melirik
jam baker yang setia berada dimeja belajar kayu dikamarnya.
Baru
pukul 3 tiga pagi, merenggangkan otot sebentar sebelum bangun dari ranjang
dengan tilam tipis yang menemani tidurnya.
Berjalan
menuju keluar kamar, sebelum singgah ke kamar mandi Bunga menyempatkan diri
untuk menjengah kamar Mak.
Mendorong
pintu kamar yang tidak pernah terkunci jika Ayah tidak berada di rumah.
Mak
masih tertidur dengan pulas, semoga besok Mak lebih sehat dari hari kemaren,
batin Bunga.
Meninggalkan
kamar Mak menuju kamar mandi mengambil wudhu untuk mengadu pada sang Khalid
untuk kesembuhan Mak dan keselamatan Ayah yang merantau.
Setelahselesai
dengan mengadu pada cinta yang Abadi, Bunga melanjutkan langkah menuju dapur
untuk menyediakan sarapan ala kadarnya untuk Mak dan dirinya.
Waktu
masih terlalu pagi, akhirnya bukan nasi goreng yang termasak, malah bihun
goreng yang terlalu banyak untuk sarapan mereka.
Bunga
mengambil lima wadah plastic dan memasukkan bihun goren yang dibuatnya.
“Bismillah,
semoga ada yang mau membelinya.” Batin Bunga
Entah
ide darimana Bunga berharap bihun goreng yang hanya lima porsi ini ada
peminatnya.
Jika
laris berarti lima puluh ribu diperoleh bisa untuk menambah asap dapur milik
mereka.
Setelah
selesai dengan pekerjaan dapur, Bunga melanjutkan dengan mencuci pakaian
dirinya dan Mak.
Jam
menujukkan pukul enam ketika siap berpakaian untuk menuju sekolah.
Dengan
wajah penuh senyum berharap bihunnya laku terjual, Bunga menuju kamar Mak untuk
mengajak Mak sarapan bersama.
Mendorong
pintu dengan pelan, kening Bunga mengkerut posisi tidur Mak masih seperti tadi.
Apakah
mak tidak sholat subuh, batin Bunga.
Asyik
dengan pikiranya sendiri sehingga sejak menginjakkan kaki di dapur Bunga tidak
perasaan apakah Mak sudah sholat subuh.
Perlahan
Bunga mendekati Mak, memegang bahu Mak terasa dingin.
Perasan
was menyelimuti Bunga seketika, menelentangkan badan Mak, senyum terukir di
bibir Mak tapi tak ada respon sepertinya Mak terlalu lelap dalam tidurnya.
“Mak,
sudah pagi. Mak lupa untuk sholat subuh.” Suara Bunga lirih membangunkan Mak.
Berulang
kali Bunga membangunkan Mak tapi tidak ada respon.
Dengan
perasaan takut, akhirnya apa yang sudah terpikir dari tadi dilakukan Bunga.
Meletakkan
jarinya pada hidung Mak, tidak ada hembusan napas,
Setetes
demi setetes air bening keluar dari mulut Bunga.
Menolak
kenyataan di depan mata, masih bisa berharap Mak hanya lupa bernapas seketika.
Dengan
langkah lebar dari berjalan menjadi berlari, Bunga meninggalkan kamar Mak
menuju rumah depan untuk meminta pertolongan.
***
Kerumuman yang tadi siang
ramai, satu persatu meninggalkan rumah, tidak menunggu kepulangan Ayah, Mak
dikebumikan sebelum bada’ azar.
“Kebumikan saja Mak Bunga,
kasihan kalau mayat Mak menunggu Ayah pulang. Ayah ikhlas, insyallah Ayah pulang
besok.” Serak suara Ayah ketika aku meneleponnya untuk mengabarkan kepergian
Mak.
Aku menantap langit kamar,
sunyi mencekam.
Airmata terus menetes
walaupun aku berusaha tegar,
"Ayah, Bunga rindu
Mak." Batinku merintih
Semakin jauh anganku untuk
melanjutkan pendidikan.
Ayah tidak akan aku izinkan
untuk merantau hanya untuk membuatku bisa menyambung sekolah.
Hanya Ayah yang aku miliki
saat ini, lebih baik aku mengubur dalam citaku daripada aku membiarkan Ayah
bekerja di tempat orang.
Banyak kabar, kalau tenaga
kerja diluaran sana perlakukan tidak sewajarnya dan Aku tidak ingin Ayah
mengalaminya.
Susah senang aku ingin
bersama Ayah, lelah menangis akhirnya membuatku tertidur.
***
Suara azan subuh terdengar,
aku terlewatkan sholat malam yang rutin aku lakukan.
Kepala yang terasa berat
akibat banyak menangis tidak aku pedulikan.
Berjalan pelan menuju
keluar kamar, jangan sampai aku terlewatkan sholat subuh.
Kepalaku sedikit berkurang
sakitnya setelah aku mengadu kepadanya dan mengirimkan doa untuk arwah Mah.
Izin dari sekolah sudah aku
kantongi, entah kabar dari siapa Bu Indah yang baik hati datang pada pemakaman
Mak.
Begitu juga dengan beberapa
orang guru, hatiku sedikit terhibur dengan semua teman satu kelasku datang pada
pemakaman Mak.
Mereka ringan tangan
membantu apa yang perlu dibantu.
Sementara aku menggunakan
pundak Bu Indah walikelasku untuk menangis.
Aku masih memikirkan
bagaimana nasibku setelah kepergian Mak.
Tak ada niatan untuk sekedar
merebus air untuk minuman hangat apalagi memasak makanan untuk sarapan.
Ketukan di depan pintu
membuatku mengalihkan pandangan dari foto Mak yang sejak tadi menghiasi
pandanganku.
Denga malas aku bangun dari
duduk bersimpuhku dan berjalan menuju pintu depan.
Langkah yang semula lambat,
aku percepat ketika mengingat percakapan dengan Ayah kemaren siang yang akan
pulang hari ini.
Dengan air mata yang
menetes aku berlari menuju pintu depan dan tergesa membukanya.
Melihat sosok Ayah yang
berdiri di depan pintu, aku langsung menambraknya.
Menumpahkan segala rasa
yang menghimpit, berharap perasaan ini lepas dari dadaku.
Tangan Ayah mengusap
kepalaku.
“Sabar, Mak sudah tenang
tidak akan merasakan sakit lagi. Setiap saat kita akan mendoakan semoga Mak
diterima disisinya dengan segala amal ibadah yang Mak buat semasa hidup.” Ucap
suara Abah serak.
“Ganti baju, antar Ayah ke
makam Mak.” Lanjut Ayah.
Aku dan Ayah masuk kamar
kami masing – masing untuk mengunjungi Mak.
***
Aku masih terisak di depan
pusara Mak, Ayah dengan khusus membaca doa.
Walaupun tidak terlihat
airmata tapi Aku yakin Ayah merasakan kehilangan yang besar atas pemergian Mak.
“Jah, tenanglah di sana.
Abang akan merawat Bunga dan mengatar pada cita – citanya seperti yang Ijah
inginkan.” Ucap Ayah seperti sedang berbicara dengan Mak.
“Bunga kita akan mekar
seperti yang Ijah inginkan, Abang janji.” Pilu terdengar suara Ayah.
Aku berusaha menahan isak
tangisku, ya Allah terima semua amal ibadah Mak.
Bunga janji akan menjadi
bunga yang mengharumkan nama Ayah dan Mak.
Niat melanjutkan pendidikan
yang sempat kunyup akhirnya mekar setelah mendengar bagaimana percakapan Ayah
dan Mak.
Aku akan membuat bangga
Ayah Mak, jika mereka bisa bersusah payah untuk berjuang kuliah sambil bekerja
maka akupun bisa, tekatku sudah bulat.
Mak doakan Bunga dari atas
sana, sambil aku menantap langit yang cerah disinar matahari pagi ini.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar