Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang tamu kami.
“Pak
Ucu ingin menengok Mak Intan.” Ucap Pak Ucu berdiri dan melangkah menuju kamar
Abah Mak.
Aku
mengekori Pak Ucu macam anak ayam dan berhenti disamping Pak Ucu yang sudah
berselimpuh di kasur kamar Mak.
Rumah kami tidak mempunyai dipan, hanya kasur yang digelar dilantai beralaskan tikar nipah.
“Kak,,
Udin datang.” Suara Pak Ucu terdengar
Mak
membuka matanya, menitiskan air mata melihat adiknya yang sudah 10 tahun
menghilang.
“Din,
akhirnya kau pulang. Kakak takut tak sempat berjumpa dengan dirimu Din.” Ucap
Mak lemah.
“Jangan
merepek yang tak jelas Kak, insyaallah kakak sehat.” Ucap Pak Ucu.
“Intan,
bantuk mak ganti pakaian kita ke rumah sakit.” Perintah Pak Ucu
Aku
tidak menunggu instruksi ke dua langsung menganti pakaian Mak, setelah Pak Ucu
meninggalkan kamar Mak.
Mak
yang sakit hanya pasrah menurut kepadaku untuk berganti pakaian.
***
Aku
menatap Mak yang terlelap tidur setelah memakan obat dari rumah sakit.
Senyum
mengembang, hanya sakit terlalu banyak pikiran kata – kata dokter yang
memeriksa Mak tadi.
Aku
teringat sepekan lalu memberikan surat yang menyatakan aku lulus di salah satu
perguruan tinggi negeri jalur prestasi.
Masuk
kuliah gratis tapi tidak semuanya gratis, sejak itu kondisi Mak drop sementara
Abah sudah sepekan pula tidak berkirim kabar apalagi mengirim uang.
“Pak
Ucu sudah mengirim sedikit uang untuk keperluan rumah dan biaya kuliah Intan.
pergunaankan dengan bijak. Kalau ada apa – apa telepon Pak Ucu. Masalah kuliah
Pak Ucu yang tanggung, insyallah Pak Ucu sanggup.” Tergiang ucapan Pak Ucu
sebelum meninggalkan rumah untuk siap berlayar menuju dubai tempat selama ini
Pak Ucu mengais rezeki.
Lima
puluh juta serta satu motor matic yang ditinggalkan Pak Ucu membuatku merasa
Allah terlalu baik kepada kami.
Siapa
sangka apa yang Abah tuai selama menyekolahkan Pak Ucu terbayar sekarang.
Suara
lembut serta getaran dari HP – ku melepas lamunanku.
Melihat
layar HP, nomor Abah terlihat disana dengan cepat aku mengeser tombol hijau.
“Assalamualikum
Abah.” Ucapku antusias.
“Walaikusalam
Intan, maaf Abah baru bisa menelepon sekarang. HP Abah rusak baru siap
diperbaiki. Kabar Intan dengan Mak baik – baik sajakan? Abah sudah mengirim uang
3 hari yang lalu, sudah Intan cel.” Aku tidak mendengarkan lanjutan kalimat
Abah.
Mak
sakit sehingga Aku lupa, Abah tidak pernah telat mengirim uang. Aku menepuk
dahiku tanda kesal dengan diriku terlalu panic dengan Mak sakit.
Untung
saja Pak Ucu datang sehingga aku bisa membawa Mak berobat ke rumah sakit.
“Intan
dengar Abah tidak.” Lamunanku terpotong dengan suara Abah yang meninggi di
seberang sana.
“Maaf
Bah, Mak sakit tapi sudah dibawa ke rumah sakit dan sekarang sudah membaik. Pak
Ucu datang Bah.” Ceritaku kepada Abah.
“Alhamudillah,
mana Abah nak bercakap dengan Pak Ucu kau.” Ucap Abah dari seberang sana.
“Pak
Ucu baru berangkat pagi tadi ke Dubai, Bah. Insyaallah kata Pak Ucu setahun
lagi Pak Ucu habis kontrak kerjanya dan menetap di kam.”
“Alhamdulillah,
Pak Ucu sehat.” Belum habis ceritaku sudah dipotong Abah.
Suara
Abah terdengar bergetar, adiknya yang disangka hilang sudah kembali, apalagi
kalau aku sampai bercerita tentang uang dan motor matic pemberian Pak Ucu entah
seperti apa reaksi Abah.
“Kontrak
Abahpun tinggal sebelum lagi, insyaallah perpisahan sekolah Intan Abah bisa
hadir bersama Mak.” Ucapan Abah membuat hatiku berbunga – bunga.
Kekuatan
doa sekarang aku rasakan, dalam segala kekurangan akhirnya ada titik terang.
Kampus aku datang mengapai cita, aku berteriak dalam hati.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar