Bel tanda waktu istirahat
berbunyi, tapi kesepakatan bersama kami melewati waktu istirahat karena jam
pelajaran ekonomi terpotong waktu istirahat.
Walaupun perut sudah
menjerit minta diisi tapi kami merasa untuk uji kompetensi jika terjeda waktu
istirahat pasti ada yang curang.
Keningku berkerut, soal
nomor lima belum juga aku terpikirkan jawabanya.
Dudukku makin gelisah ketika
melihat jam dinding terus berjalan, belum lagi teman di belakangku sedari tadi
menganggu kosentrasikan untuk menjawab soal.
Sejak ulangan dimulai, teman belakagnya sudah meminta jawaban.
Ada saja yang membuat
dirinya kesal, tadi sewaktu dirumah Mak sudah memarahi dirinya karena terlambat
bangun.
Padahal terlambat bangun
karena semalam belajar untuk ulangan hari ini.
Belum lagi, pena ternyata
sudah habis untung saja ada teman yang berbaik hati meminjamkannya.
“Ok, waktunya sudah habis.
Hans tolong dikumpul lembar jawabanya.” Ucap Bu Cahaya.
Otakku seakan blank,
bagaimana tidak aku sudah belajar keras untuk mendapatkan nilai 100 tapi masih
ada dua soal yang dari tadi membuatku pusing tujuh keliling.
Aku menyantap lakse goreng
buatan Mak untuk membisukan cacing diperutku yang demo karena jam sudah
menunjukkan pukul 10. Biasanya pukul 9.30 kami jam istirahat.
Laksa goreng buatan Mak
biasanya menyelerakan tapi entalah hari ini aku malas untuk menyantapnya.
Menutup kembali wadah laksa
goreng, dan meminum air putih sampai setengah habisnya.
Aku memandang keluar
jendela kelas, melihat mereka yang dengan riangnya makan di kantin sekolah.
Ada rasa cemburu yang
kental di hatiku, bagaimana tidak sejak sekolah dasar sampai sekarang aku duduk
dikelas dua belas sekolah lanjutan selalu membawa makan untuk waktu istriahat.
Hanya sesekali aku membelih
es teh yang harganya masih bisa aku jangkau.
Helaan napas berat
terdengar dari mulutku, bagaimana aku melanjutkan ke perguruan tinggi hanya
nilai yang fantastis tidak ditunjang dengan perekonomian rasanya aku hanya
pemimpi saja.
***
Kaki lelah mengayuh pedal
sepeda yang menjadi tungganganku untuk pergi dan pulang sekolah.
Keringat sudah membasahi
badanku, hari sudah menunjukkan pukul 4 sore tapi panas yang menyengat.
Jika saja sesampai di rumah
aku bisa langsung menyeruput minuman dari lemari es mungkin menyegarkan.
Lamunanku terkoyak ketika
mendengar suara klakson yang memekakkan teligaku.
Aku menatap sinis kepada
mobil yang menekan klakson yang memekakkan telinga.
Untung saja aku tidak
terjatuh, cepat aku mengambil jalur untuk menepi.
Menstabilkan detak
jantungku, mengeluarkan botol minuman untuk membuatku tenang.
Menghela napas berat, kapan
aku bisa menaiki motor dan menikmati angina yang menerpa wajah, aku tersenyum
sendiri bukannya menghayal punya mobil aku hanya bisa berharap kapan punya
motor.
Menguatkan diri, aku mulai
mengayuh kembali kendaraan yang akan mengantarku kembali kerumah.
Bersenandung kecil caraku
untuk menyemangati diriku sendiri.
Tersenyum tipis ketika aku
sudah melihat bumbung rumahku.
“Rumah aku kembali.”
teriakku dalam hati.
Jika aku melaungkannya
mungkin saja aku disebut orang gila oleh tetangga yang selalu usil dengan kehidupan
kami.
***
Setengah sepuluh aku masih
menggiling bumbu untuk lakse goreng.
Besok pagi Mak tinggal
menumisnya dan siap untuk dibungkus dan membawanya kesekolah untuk dititipkan
ke kantin sekolah.
Melihat sepintas kepada
adonan roti goreng yang sudah siap diekseskusi, besok pagi bersama laksa
goreng.
Aku memcuci tangan untuk
menyudahi semua pekerjaan yang sudah menjadi rutinitasku setiap malam sebelum
menjemput mimpi.
Hihi, mimpi apakah aku
masih bisa bermimpi untuk hidup lebih baik, tidak perlu untuk menggiling bumbu
dan mengadun kue, batinku.
Menatap langit kamar, hanya
plapon yang sudah terkelupas catnya.
Ada beberapa cicak yang
bercengkrama di langit kamarku, jadi mengingat beberapa hari lalu aku tonton.
Dalam konten tersebut
dikatakan jika di rumah ada banyak cicak itu tandanya ada orang yang berniat
jahat kepada kita dengan mengirimkan jin lewat cicak.
Lagi – lagi aku tersenyum
sendiri, apa yang diirikan orang dengan keluarga kami yang serba kekurangan.
Tidak perlu menghitung
domba, kelelahan kerja sebelum tidur membuatku tertidur lelap.
***
Seperti dikomando, aku
terbangun pukul 4 pagi.
Merenggangkan otot, sebelum
beranjak dari tempat tidur.
Berjalan menuju dapur, Mak
sudah terlebih dahulu bangun dan sedang mengoreng roti goreng.
“Sholat dulu sebelum
membantu Mak.” Kalimat yang selalu terkeluar dari mulut Mak setiap pagi.
Aku berjalan menuju kamar
mandi, sholat hajat untuk memudahkan segala urusan.
“Allahummarzuqna makhroja.”
Doaku setiap sholat hajat.
Semoga Allah mempermudah
segala urusanku, doa yang aku tahu dari salah satu konten dan mencari artinya
ternyata doa singkat dengan sejuta makna.
Sebelum azan sholat subuh
berkumandang segala sesuatu untuk dagang telah siap.
Begitu juga dengan beberapa
roti goreng yang akan jadi peneman waktu istirahatku hari ini, menu laksa
goreng dan roti goreng silih berganti menemani waktu istirahatku.
Sementara untuk makan siang
aku selalu mendapatkan kiriman nasi putih dengan lauk sederhana yang dititipkan
Abah di pos satpam.
***
Sore ini ada pemandangan
lain di depan rumahku, ada motor scoopy nangkring dengan indah.
Setelah meletakkan sepeda
favoritku pada tempatnya aku mengucapkan salam.
“Mak siapa yang datang?”
ucapku setelah menyalami tangan Mak.
“Ada tamu?” ucapnya heran.
“Terus motor siapa di depan
?” kataku lagi
Senyum Mak merekah,
membuatku semakin bingung. Ada apa dengan Mak, batinku.
“Ganti baju dulu, nanti Mak
cerita pasal motor tu.” Ucap Mak membuatku penasaran.
Aku berjalan menuju kamar
untuk berganti baju, setelah itu bergegas mencari Mak untuk mendengar tentang
motor yang terpakir indah di depan rumah kami.
Dengan napas ngos – ngosan
aku mencari Mak di dapur tapi batang hidung Mak tidak terlihat.
Aku berjalan menuju
belakang rumah, biasanya jam segini Mak akan sibuk memetik sayur yang kami
tanam di belakang rumah untuk makan malam.
Setelah melihat sekeliling,
Mak masih belum terlihat.
“Mak.” Teriakku lantang.
“Mak Kat depan Wa.” Suara
Mak dari arah depan rumah.
Aku berlari menuju suara
Mak, pemandangan yang sedikit aneh, Abah duduk di atas jok motor sementara Mak
berada digoncengan Mak.
“Abah Mak jalan dulu
sebentar, habis tu Salwa pula yang goncengan dengan Abah.” Aku melonggo dengar
ucapan Mak.
Belum hilang rasa
penasaranku, hanya deru motor yang sudah berlalu dari hadapanku.
Tidak biasanya Abah dan Mak
meminjam motor tetangga untuk berjalan sore.
Abah selalu menasehati
diriku untuk tidak meminjam barang orang yang sekiranya rusak kami tidak bisa
mengantinya.
Apakah ada hal yang betul –
betul mendesak sampai Abah meminjam motor tetangga.
Keningku tambah berkedut,
ketika mengingat ucapan Mak, setelah Mak bergonceng dengan Abah baru giliranku,
apa maksud perkataan Mak.
Belum hilang rasa
bingungku, motor yang dinaiki Abah Mak sudah berada didepanku.
“Salwa bisa bawa motor,
Abah penat. Salwa naik sendiri saja tapi jangan jauh – jauh.” Ucap Abah
Bagaikan dicucuk hidung aku
langsung mengambil alih motor dari tangan Abah dan membawanya keliling kampung.
Rasanya mimpi naik motor
dengan alunan angin yang menerpa wajah sungguh membuat aku gembira setengah
mati.
***
Abah Mak belum juga
menceritakan milik siapa motor yang tadi sore kami naiki.
Sementara motor itu sudah
nangkring di dapur dengan cantik.
Rasa penasaran terpaksa aku
pendam dalam – dalam mana tahu setelah sholat isya Abah akan menceritakan milik
siapa motor yang ada di dapur.
Sampai dengan selesai
mengiling bumbu laksa goreng dan mengadun roti goreng tak ada tanda – tanda
Abah akan menceritakan masalah motor.
Abah Mak sepertinya sibuk
dengan urusannya sendiri, sejak selesai sholat isya Abah Mak sudah masuk kamar.
Mak biasanya keluar
sebentar untuk melihat apakah gilingan bumbu yang ku giling sudah sempurna.
“Salwa kalau sudah selesai
semua kerja, tidur biar besok tidak terlambat bangun.” Teriak Mak dari dalam
kamar.
Aku heran dengan Mak malam
ini, tak biasanya Mak membiarkan aku menyiapkan semua keperluan untuk berjualan
besok.
Dengan langkah lemah aku
menuju kamar, setelah memastikan semua kerjaku selesai.
***
subuh
masih jauh, tapi karena tuntutan hidup Mak dan Aku berpacu dengan matahari
untuk menyiapkan segala sesuatu yang bisa menambah pendapatan untuk kehidupan.
setelah
bersimpuh bertemu dengan Kekasih rasulullah aku melipat mukena dan menuju dapur
untuk membantu Mak menyiapkan dagangan kami.
"Sudah
bangun, kata Abah pergi sekolah nanti tidak usah membawa sepeda. kunci motor
sudah Abah letak di motor." ucapan Mak menyambut aku di dapur.
mataku
membulat besar, aku tidak lagi bermimpi tapi aku tidak percaya dengan ucapan
Mak.
"Nanti
rusak motor orang, payah Abah mengantinya Mak? Salwa naik sepeda seperti biasa
saja." ucapku sadar diri.
"Insyallah
jika hati - hati membawanya tidak akan rusak." Mak masih memaksa aku
membawa motor yang entah siapa pemiliknya.
"Mak,
bukannya Mak selalu mengajarkan untuk tidak meminjam milik orang." ucapku
kesal dengan paksaan Mak.
“Yang bilang motor tu milik orang siapa?” Mak
malah balik bertanya.
Kesal sungguh hatiku, malas
untuk mendengar ocehan Mak Aku berlalu meninggalkan Mak di dapur setelah
mendengar azan sholat subuh.
Menghirup napas berat,
menetralkan hati baru aku membaca niat untuk sholat.
Ambisiku memang ingin
memiliki motor, terasa besar betisku sejak dari sekolah dasar sampai menengah
atas mengayuh pedal sepeda.
Tapi ambisisku tidak akan
hancur dengan mimpi menggunakan motor orang hanya untuk bergaya.
Tidak ada dalam mimpiku
bergaya dalam hidup dengan meminjam barang orang.
Selama ini, aku selalu
menanamkan pada diri sendiri untuk mensyukuri apa yang aku miliki walaupun itu
sudah ketinggalan model dari milik teman – temanku tapi hidup sederhana dan
bersyukur sudah sejak kecil ditanamkan oleh Abah Mak.
Setelah selesai sholat
subuh aku bergegas berpakain, niat hati ingin berangkat sekolah lebih pagi
karena hari ini ada tugas kelompok tambahan tapi karena teman kelompokku malas
untuk mengerjakan setelah pulang sekolah kami berjanji datang lebih pagi
kesekolah.
Berjalan menuju meja makan,
nasi goreng yang sudah aku masak akan menemani sarapanku pagi ini.
Segelas teh hangat dan
segelas kopi tanpa gula untuk Abah, sementara Mak akan sarapan setelah aku dan
Abah berangkat tempat tujuan masing – masing.
“Ini duit untuk beli besin
cukup untuk 3 hari.” Ucap abah sambil mengulur uang lima belas ribu
rupiah.
Keningku berkerut, motor
siapa sebenarnya yang berada sejak kemaren sore di rumah kami.
“Alhamdulillah Abah dapat
undian, dan motor itu milik kita.” Ucap Abah sambil tersenyum kearahku.
Mataku berbinar mendengar
ucapan Abah, tak percaya tapi aku tetap mengambil duit dari tangan Abah dan
mencium tangan Abah.
“Rezeki anak sholehah.”
Ucap Abah lagi.
Dalam hati aku bersyukur
kepada pencipta segala kemungkinan.
Tak ada yang tak mungkin
jika kita memiliki mimpi dan ambisi, senyummu tersungging dibibir.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar