Sabtu, 25 Mei 2024

AKU, MIMPI, DAN AMBISI

 
Bel tanda waktu istirahat berbunyi, tapi kesepakatan bersama kami melewati waktu istirahat karena jam pelajaran ekonomi terpotong waktu istirahat.

Walaupun perut sudah menjerit minta diisi tapi kami merasa untuk uji kompetensi jika terjeda waktu istirahat pasti ada yang curang.

Keningku berkerut, soal nomor lima belum juga aku terpikirkan jawabanya.

Dudukku makin gelisah ketika melihat jam dinding terus berjalan, belum lagi teman di belakangku sedari tadi menganggu kosentrasikan untuk menjawab soal.

Sejak ulangan dimulai, teman belakagnya sudah meminta jawaban.

Ada saja yang membuat dirinya kesal, tadi sewaktu dirumah Mak sudah memarahi dirinya karena terlambat bangun.

Padahal terlambat bangun karena semalam belajar untuk ulangan hari ini.

Belum lagi, pena ternyata sudah habis untung saja ada teman yang berbaik hati meminjamkannya.

“Ok, waktunya sudah habis. Hans tolong dikumpul lembar jawabanya.” Ucap Bu Cahaya.

Otakku seakan blank, bagaimana tidak aku sudah belajar keras untuk mendapatkan nilai 100 tapi masih ada dua soal yang dari tadi membuatku pusing tujuh keliling.

Aku menyantap lakse goreng buatan Mak untuk membisukan cacing diperutku yang demo karena jam sudah menunjukkan pukul 10. Biasanya pukul 9.30 kami jam istirahat.

Laksa goreng buatan Mak biasanya menyelerakan tapi entalah hari ini aku malas untuk menyantapnya.

Menutup kembali wadah laksa goreng, dan meminum air putih sampai setengah habisnya.

Aku memandang keluar jendela kelas, melihat mereka yang dengan riangnya makan di kantin sekolah.

Ada rasa cemburu yang kental di hatiku, bagaimana tidak sejak sekolah dasar sampai sekarang aku duduk dikelas dua belas sekolah lanjutan selalu membawa makan untuk waktu istriahat.

Hanya sesekali aku membelih es teh yang harganya masih bisa aku jangkau.

Helaan napas berat terdengar dari mulutku, bagaimana aku melanjutkan ke perguruan tinggi hanya nilai yang fantastis tidak ditunjang dengan perekonomian rasanya aku hanya pemimpi saja.

***

Kaki lelah mengayuh pedal sepeda yang menjadi tungganganku untuk pergi dan pulang sekolah.

Keringat sudah membasahi badanku, hari sudah menunjukkan pukul 4 sore tapi panas yang menyengat.

Jika saja sesampai di rumah aku bisa langsung menyeruput minuman dari lemari es mungkin menyegarkan.

Lamunanku terkoyak ketika mendengar suara klakson yang memekakkan teligaku.

Aku menatap sinis kepada mobil yang menekan klakson yang memekakkan telinga.

Untung saja aku tidak terjatuh, cepat aku mengambil jalur untuk menepi.

Menstabilkan detak jantungku, mengeluarkan botol minuman untuk membuatku tenang.

Menghela napas berat, kapan aku bisa menaiki motor dan menikmati angina yang menerpa wajah, aku tersenyum sendiri bukannya menghayal punya mobil aku hanya bisa berharap kapan punya motor.

Menguatkan diri, aku mulai mengayuh kembali kendaraan yang akan mengantarku kembali kerumah.

Bersenandung kecil caraku untuk menyemangati diriku sendiri.

Tersenyum tipis ketika aku sudah melihat bumbung rumahku.

“Rumah aku kembali.” teriakku dalam hati.

Jika aku melaungkannya mungkin saja aku disebut orang gila oleh tetangga yang selalu usil dengan kehidupan kami.

***

Setengah sepuluh aku masih menggiling bumbu untuk lakse goreng.

Besok pagi Mak tinggal menumisnya dan siap untuk dibungkus dan membawanya kesekolah untuk dititipkan ke kantin sekolah. 

Melihat sepintas kepada adonan roti goreng yang sudah siap diekseskusi, besok pagi bersama laksa goreng.

Aku memcuci tangan untuk menyudahi semua pekerjaan yang sudah menjadi rutinitasku setiap malam sebelum menjemput mimpi.

Hihi, mimpi apakah aku masih bisa bermimpi untuk hidup lebih baik, tidak perlu untuk menggiling bumbu dan mengadun kue, batinku.

Menatap langit kamar, hanya plapon yang sudah terkelupas catnya.

Ada beberapa cicak yang bercengkrama di langit kamarku, jadi mengingat beberapa hari lalu aku tonton.

Dalam konten tersebut dikatakan jika di rumah ada banyak cicak itu tandanya ada orang yang berniat jahat kepada kita dengan mengirimkan jin lewat cicak.

Lagi – lagi aku tersenyum sendiri, apa yang diirikan orang dengan keluarga kami yang serba kekurangan.

Tidak perlu menghitung domba, kelelahan kerja sebelum tidur membuatku tertidur lelap.

***

Seperti dikomando, aku terbangun pukul 4 pagi.

Merenggangkan otot, sebelum beranjak dari tempat tidur.

Berjalan menuju dapur, Mak sudah terlebih dahulu bangun dan sedang mengoreng roti goreng.

“Sholat dulu sebelum membantu Mak.” Kalimat yang selalu terkeluar dari mulut Mak setiap pagi.

Aku berjalan menuju kamar mandi, sholat hajat untuk memudahkan segala urusan.

“Allahummarzuqna makhroja.” Doaku setiap sholat hajat.

Semoga Allah mempermudah segala urusanku, doa yang aku tahu dari salah satu konten dan mencari artinya ternyata doa singkat dengan sejuta makna.

Sebelum azan sholat subuh berkumandang segala sesuatu untuk dagang telah siap.

Begitu juga dengan beberapa roti goreng yang akan jadi peneman waktu istirahatku hari ini, menu laksa goreng dan roti goreng silih berganti menemani waktu istirahatku.

Sementara untuk makan siang aku selalu mendapatkan kiriman nasi putih dengan lauk sederhana yang dititipkan Abah di pos satpam.

***

Sore ini ada pemandangan lain di depan rumahku, ada motor scoopy nangkring dengan indah.

Setelah meletakkan sepeda favoritku pada tempatnya aku mengucapkan salam.

“Mak siapa yang datang?” ucapku setelah menyalami tangan Mak.

“Ada tamu?” ucapnya heran.

“Terus motor siapa di depan ?” kataku lagi

Senyum Mak merekah, membuatku semakin bingung. Ada apa dengan Mak, batinku.

“Ganti baju dulu, nanti Mak cerita pasal motor tu.” Ucap Mak membuatku penasaran.

Aku berjalan menuju kamar untuk berganti baju, setelah itu bergegas mencari Mak untuk mendengar tentang motor yang terpakir indah di depan rumah kami.

Dengan napas ngos – ngosan aku mencari Mak di dapur tapi batang hidung Mak tidak terlihat.

Aku berjalan menuju belakang rumah, biasanya jam segini Mak akan sibuk memetik sayur yang kami tanam di belakang rumah untuk makan malam.

Setelah melihat sekeliling, Mak masih belum terlihat.

“Mak.” Teriakku lantang.

“Mak Kat depan Wa.” Suara Mak dari arah depan rumah.

Aku berlari menuju suara Mak, pemandangan yang sedikit aneh, Abah duduk di atas jok motor sementara Mak berada digoncengan Mak.

“Abah Mak jalan dulu sebentar, habis tu Salwa pula yang goncengan dengan Abah.” Aku melonggo dengar ucapan Mak.

Belum hilang rasa penasaranku, hanya deru motor yang sudah berlalu dari hadapanku.

Tidak biasanya Abah dan Mak meminjam motor tetangga untuk berjalan sore.

Abah selalu menasehati diriku untuk tidak meminjam barang orang yang sekiranya rusak kami tidak bisa mengantinya.

Apakah ada hal yang betul – betul mendesak sampai Abah meminjam motor tetangga.

Keningku tambah berkedut, ketika mengingat ucapan Mak, setelah Mak bergonceng dengan Abah baru giliranku, apa maksud perkataan Mak.

Belum hilang rasa bingungku, motor yang dinaiki Abah Mak sudah berada didepanku.

“Salwa bisa bawa motor, Abah penat. Salwa naik sendiri saja tapi jangan jauh – jauh.” Ucap Abah

Bagaikan dicucuk hidung aku langsung mengambil alih motor dari tangan Abah dan membawanya keliling kampung.

Rasanya mimpi naik motor dengan alunan angin yang menerpa wajah sungguh membuat aku gembira setengah mati.

***

Abah Mak belum juga menceritakan milik siapa motor yang tadi sore kami naiki.

Sementara motor itu sudah nangkring di dapur dengan cantik.

Rasa penasaran terpaksa aku pendam dalam – dalam mana tahu setelah sholat isya Abah akan menceritakan milik siapa motor yang ada di dapur.

Sampai dengan selesai mengiling bumbu laksa goreng dan mengadun roti goreng tak ada tanda – tanda Abah akan menceritakan masalah motor.

Abah Mak sepertinya sibuk dengan urusannya sendiri, sejak selesai sholat isya Abah Mak sudah masuk kamar.

Mak biasanya keluar sebentar untuk melihat apakah gilingan bumbu yang ku giling sudah sempurna.

“Salwa kalau sudah selesai semua kerja, tidur biar besok tidak terlambat bangun.” Teriak Mak dari dalam kamar.

Aku heran dengan Mak malam ini, tak biasanya Mak membiarkan aku menyiapkan semua keperluan untuk berjualan besok.

Dengan langkah lemah aku menuju kamar, setelah memastikan semua kerjaku selesai.

***

subuh masih jauh, tapi karena tuntutan hidup Mak dan Aku berpacu dengan matahari untuk menyiapkan segala sesuatu yang bisa menambah pendapatan untuk kehidupan.

setelah bersimpuh bertemu dengan Kekasih rasulullah aku melipat mukena dan menuju dapur untuk membantu Mak menyiapkan dagangan kami.

"Sudah bangun, kata Abah pergi sekolah nanti tidak usah membawa sepeda. kunci motor sudah Abah letak di motor." ucapan Mak menyambut aku di dapur.

mataku membulat besar, aku tidak lagi bermimpi tapi aku tidak percaya dengan ucapan Mak.

"Nanti rusak motor orang, payah Abah mengantinya Mak? Salwa naik sepeda seperti biasa saja." ucapku sadar diri.

"Insyallah jika hati - hati membawanya tidak akan rusak." Mak masih memaksa aku membawa motor yang entah siapa pemiliknya.

"Mak, bukannya Mak selalu mengajarkan untuk tidak meminjam milik orang." ucapku kesal dengan paksaan Mak.

 “Yang bilang motor tu milik orang siapa?” Mak malah balik bertanya.

Kesal sungguh hatiku, malas untuk mendengar ocehan Mak Aku berlalu meninggalkan Mak di dapur setelah mendengar azan sholat subuh.

Menghirup napas berat, menetralkan hati baru aku membaca niat untuk sholat.

Ambisiku memang ingin memiliki motor, terasa besar betisku sejak dari sekolah dasar sampai menengah atas mengayuh pedal sepeda.

Tapi ambisisku tidak akan hancur dengan mimpi menggunakan motor orang hanya untuk bergaya.

Tidak ada dalam mimpiku bergaya dalam hidup dengan meminjam barang orang.

Selama ini, aku selalu menanamkan pada diri sendiri untuk mensyukuri apa yang aku miliki walaupun itu sudah ketinggalan model dari milik teman – temanku tapi hidup sederhana dan bersyukur sudah sejak kecil ditanamkan oleh Abah Mak.

Setelah selesai sholat subuh aku bergegas berpakain, niat hati ingin berangkat sekolah lebih pagi karena hari ini ada tugas kelompok tambahan tapi karena teman kelompokku malas untuk mengerjakan setelah pulang sekolah kami berjanji datang lebih pagi kesekolah.

Berjalan menuju meja makan, nasi goreng yang sudah aku masak akan menemani sarapanku pagi ini.

Segelas teh hangat dan segelas kopi tanpa gula untuk Abah, sementara Mak akan sarapan setelah aku dan Abah berangkat tempat tujuan masing – masing.

“Ini duit untuk beli besin cukup untuk 3 hari.” Ucap abah sambil mengulur uang lima belas ribu rupiah. 

Keningku berkerut, motor siapa sebenarnya yang berada sejak kemaren sore di rumah kami.

“Alhamdulillah Abah dapat undian, dan motor itu milik kita.” Ucap Abah sambil tersenyum kearahku.

Mataku berbinar mendengar ucapan Abah, tak percaya tapi aku tetap mengambil duit dari tangan Abah dan mencium tangan Abah.

“Rezeki anak sholehah.” Ucap Abah lagi.

Dalam hati aku bersyukur kepada pencipta segala kemungkinan.

Tak ada yang tak mungkin jika kita memiliki mimpi dan ambisi, senyummu tersungging dibibir.***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Sampah, Takut Tidaklah Ya

Tahun Baru dengan semangat baru, Tema P5 boleh sama tapi dengan peserta didik yang berbeda. Menerapkan dan mendidik terus berlanjut, dengan ...