Fajar belum menyinsing lagi, tapi netra ini tidak mau terlena. Kantuk masih bersarang dengan berat tapi hatiku gelisah. Besok makan apa, bagaimana anakku akan sekolah jika kantong bapaknya bolong. Sudah sebulan bang Amran tidak bekerja, sejak perusahaannya di deklarasikan bangkrut.
Malam panjang tapi aku tidak membuat
tidurku lena bahkan jauh dari nyenyak tidurku, setiap netra ini coba aku
pejamkan hanya rasa ketakutan yang aku rasakan. Bagaimana hari esok kami,
bukannya aku tidak percaya akan kekuasaanya tapi aku hanya mengkwatirkan
anakku. Apakah anakku akan bisa bertahan hidup, mungkin untuk diriku dan bang
Amran puasa selama sebulan atau lebih tidak menjadi masalah tapi bagaimana
dengan anakku yang baru hitungan bulan, apakah dia akan sanggup menjalani hidup
keras sedangkan hidupnya baru hitungan bulan.
Aku memandang jam dinding, baru pukul
3.25 dini hari. Sudah 11 rakat aku sholat tahajud belum juga mukenaku buka, aku
berharap netra ini akan terlelap dalam iringan doa sholat malamku. Sepertiga
malam menjadi satu – satunya harapanku untuk mengadukan segala keluh kesah yang
melanda jiwa.
Baru 7 bulan usia anakku, tapi cobaan
hidup sudah dijalaninya, bagaikan tersambar petir ketika dokter mengatakan ada
kelaian jantung padanya, butuh biaya besar untuk pengobatannya. Seluruh ragaku
bagaikan lepas tulangnya, bagaimana tidak Ayahnya baru saja tidak bekerja. Jika
aku bisa mengantikan semua rasa kepedihan yang akan dirasakan oleh anakku maka
itu doaku disetiap sepertiga malam.
Tersentak aku dari doa panjangku,
tangisan lirih dari anakku membuatku menitiskan airmata bagaimana tidak tangis
yang biasanya melengking kini hanya seperti suara anak kucing saja. Mungkinkah
anakku menyimpan sakit yang hanya dia merasakannya, aku yang mendengar tangis
lirihnya saja merasakan sakit yang dideritanya.
Bangun dari dudukku, berjalan menuju
tempat tidur dimana anakku terbaring lemah, dadanya turun naik ada rasa sakit
yang terpancar dari netra kecilnya. Pancaran matanya seperti berkata
“Bunda sakit rasanya.” Mungkin itu yang
dikatakan mata anakku
Aku meraih tubuh kecil yang semakin
kecil karena sakit yang dideritanya.
Flasback.
“Selamat, istri bapak hamil. Usia
kehamilanya sudah 8 minggu.” Ucapan dokter kandungan yang kami datangi.
Ada rasa bahagia yang membuncah di
dadaku, dan aku pasti rasa yang sama juga dirasakan oleh Bang Amran, bagaimana
tidak sudah 2 tahun kami menanti kehadirannya. Aku sudah lelah mendengar
hujatan dari mertua dan keluarga yang selalu menyalahkan aku kenapa belum hamil
juga.
Aku tidak mengalami yang namanya ngidam,
tapi Bang Amran yang merasakannya, kadang aku tertawa geli jika Bang Amran
bertingkah bak ibu – ibu hamil menginginkan sesuatu yang menurutku diluar akal
sehat, tapi itulah yang namanya ngidam. Dan aku bersyukur bukan aku yang
mengalaminya, jika tidak tentu aku akan mendapatkan cercaan dari Ibu Mertua
yang entah karena apa tidak menyukaiku, aku hanya bisa bersabar menghadapinya.
Waktu
berlalu, saatnya aku melahirkan mungkin aku selalu dalam rahmatnya tidak
butuh waktu lama sakit yang mendera, ternyata anakku lahir dengan selamat.
Dan aku masih ingat dihari yang sama kami mendapatkan undian bank sebuah mobil
yang tidak diduga – duga.
Tapi itu tidak berlangsung lama, bulan
ke lima umur anakku semua bagaikan neraka bagi rumah tanggaku. Perusahaan
tempat suamiku bekerja mengalami masalah, anakku mulai sakit – sakitan.
Bukannya aku mengeluh, tapi Ibu mertuaku seperti menuding semua ini karena
diriku yang tidak pandai dalam mengurus rumah tangga. Aku hanya bisa mengurut
dada saja.
Tangis anakku semakin lirih, aku meraih
gawaiku menekan nomor Bang Amran. Bunyi suara nada tersambung tapi tidak
diangkat. Sejak di PHK, Bang Amran menjadi ojek mobil. Sudah beberapa malam ini
Bang Amran lembur untuk menambah pendapatan untuk pengobatan anak kami.
Aku mencoba memanggil ulang, tapi belum
juga diangkat. Aku memandang ke arah Anakku, ya Allah wajah anakku sudah
membiru, dengan cepat kilat aku meraihnya dan berlari menuju rumah pak RT untuk
memintanya mengantar kami kerumah sakit.
“Assalamualaikum.” Suara mengucapkan
salam sambil mengetuk rumah pak RT
“Walaikumsallam.” Terdengar suara
menyahut salamku dari dalam
“Pak…tolong antar saya kerumah sakit.
Putri sakit, Bnag Amran tidak bisa dihubungi.” Aku berucap setelah pintu
terbuka di depanku.
“Tunggu sebentar, saya ganti baju.” Ucap
Pak RT
***
Dalam perjalan Aku melihat muka biru
anakku, semakin sulit dia bernapas. Pancaran netranya membuat luka mengangga
didadaku, tak terasa kami sudah sampai di rumah sakit. Aku bergegas turun,
“Pak saya duluan, terima kasih pak.”
Ucapku tergesa dan berlari menuju UGD
Untung ada pak RT yang selalu membantuku
jika mendadak seperti ini, ya Allah dimana Bang Amran, batinku.
“Bagaimana dok… anak saya.” Ucapku
setelah dokter memeriksa anakku
“Sepertinya keadaan jantung anak Ibu
semakin parah, jika tidak ada donor jantung kemungkinan nyawanya tidak akan
tertolong. Aku bagaikan terhempas ke dalam lubang yang dalam, tidak ada tempat
untuk aku keluar darinya. Menetes airmata tanpa aku sadari, bang…abang dimana
keluhku mengiba.
Gawaiku bergetar tak lama suara tanda
ada telephone masuk, aku melihat ke layar gawai hanya nomor yang ada tidak ada
namanya. Siapa yang menelephoneku.
“Assalamualaikum, siapa ya.” Ucapku
setelah menerima telephone masuk
“Walaikumsallam…apa ini benar dengan Ibu
Ratna?” terdengar suara dari seberang sana
“Iya…benar saya sendiri.” Jawabku
“Maaf… suami ibu mengalami kecelakaan
dan tidak bisa tertolong lagi. Silakan ibu kerumah sakit.” Belum juga hatiku berhenti gelisah mendengar kondisi anakku sekarang kenyataan pahit bahwa aku kehilangan
suamiku membuat duniaku runtuh. Aku berusaha tegar, rumah sakit yang diucapkan
penelephone sama dengan rumah sakit yang sedang aku datangi sekarang ini.
Berlari aku menuju ruang mayat, netraku penuh dengan airmata, aku meratapi mayat
suamiku, aku mengingat anakku, mengecupnya ternyata Ayahmu yang menjadi
pendonormu anakku.
***
Semua tamu sudah pulang, tahlilan 40
hari kepergian suamiku baru saja selesai. Aku sudah tidak bisa menitiskan
airmataku, kering airmata ini. Aku
memandang lemah kearah Anakku, seakan aku mendengar degup jantung
suamiku, untung ada mobil undian yang bisa aku jual untuk operasi anakku, ku
pandang Anakku dengan nerta berkaca hanya berkaca tidak bisa meneteskan
airmata. Airmataku bagai beku sejak kepergian suamiku.
Aku memandang rumah ini, peninggalannya.
Maaf Bang, bukan aku tidak cinta dan sayang dengan rumah peninggalanmu, tapi
aku harus pergi. Maafkan aku menjualnya karena aku hanya butuh rumah kecil
untuk tempat kami berteduh. Izinkan aku menjualnya, dan menggunakan uangnya
untuk kujadikan modal hidup aku dan anakmu.
Peninggalanmu yang berharga ini akan aku didik dengan penuh cinta, karena kau selalu ada diantara kami, setiap aku mendekapnya anak kita aku mendengar degup jantungmu yang memberikanku kekuatan untuk menjalani hidup. Akan aku jaga asa yang kau titipkan denganku, suamiku.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar