Minggu, 09 Mei 2021

Ku Titip Asa Ku Pada Mu


Fajar belum menyinsing lagi, tapi netra ini tidak mau terlena. Kantuk masih bersarang dengan berat tapi hatiku gelisah. Besok makan apa, bagaimana anakku akan sekolah jika kantong bapaknya bolong. Sudah sebulan bang Amran tidak bekerja, sejak perusahaannya di deklarasikan bangkrut.

Malam panjang tapi aku tidak membuat tidurku lena bahkan jauh dari nyenyak tidurku, setiap netra ini coba aku pejamkan hanya rasa ketakutan yang aku rasakan. Bagaimana hari esok kami, bukannya aku tidak percaya akan kekuasaanya tapi aku hanya mengkwatirkan anakku. Apakah anakku akan bisa bertahan hidup, mungkin untuk diriku dan bang Amran puasa selama sebulan atau lebih tidak menjadi masalah tapi bagaimana dengan anakku yang baru hitungan bulan, apakah dia akan sanggup menjalani hidup keras sedangkan hidupnya baru hitungan bulan.

Aku memandang jam dinding, baru pukul 3.25 dini hari. Sudah 11 rakat aku sholat tahajud belum juga mukenaku buka, aku berharap netra ini akan terlelap dalam iringan doa sholat malamku. Sepertiga malam menjadi satu – satunya harapanku untuk mengadukan segala keluh kesah yang melanda jiwa.

Baru 7 bulan usia anakku, tapi cobaan hidup sudah dijalaninya, bagaikan tersambar petir ketika dokter mengatakan ada kelaian jantung padanya, butuh biaya besar untuk pengobatannya. Seluruh ragaku bagaikan lepas tulangnya, bagaimana tidak Ayahnya baru saja tidak bekerja. Jika aku bisa mengantikan semua rasa kepedihan yang akan dirasakan oleh anakku maka itu doaku disetiap sepertiga malam.

Tersentak aku dari doa panjangku, tangisan lirih dari anakku membuatku menitiskan airmata bagaimana tidak tangis yang biasanya melengking kini hanya seperti suara anak kucing saja. Mungkinkah anakku menyimpan sakit yang hanya dia merasakannya, aku yang mendengar tangis lirihnya saja merasakan sakit yang dideritanya.

Bangun dari dudukku, berjalan menuju tempat tidur dimana anakku terbaring lemah, dadanya turun naik ada rasa sakit yang terpancar dari netra kecilnya. Pancaran matanya seperti berkata

“Bunda sakit rasanya.” Mungkin itu yang dikatakan mata anakku

Aku meraih tubuh kecil yang semakin kecil karena sakit yang dideritanya.

Flasback.

“Selamat, istri bapak hamil. Usia kehamilanya sudah 8 minggu.” Ucapan dokter kandungan yang kami datangi.

Ada rasa bahagia yang membuncah di dadaku, dan aku pasti rasa yang sama juga dirasakan oleh Bang Amran, bagaimana tidak sudah 2 tahun kami menanti kehadirannya. Aku sudah lelah mendengar hujatan dari mertua dan keluarga yang selalu menyalahkan aku kenapa belum hamil juga.

Aku tidak mengalami yang namanya ngidam, tapi Bang Amran yang merasakannya, kadang aku tertawa geli jika Bang Amran bertingkah bak ibu – ibu hamil menginginkan sesuatu yang menurutku diluar akal sehat, tapi itulah yang namanya ngidam. Dan aku bersyukur bukan aku yang mengalaminya, jika tidak tentu aku akan mendapatkan cercaan dari Ibu Mertua yang entah karena apa tidak menyukaiku, aku hanya bisa bersabar menghadapinya.

Waktu  berlalu, saatnya aku melahirkan mungkin aku selalu dalam rahmatnya tidak butuh waktu lama  sakit yang mendera, ternyata anakku lahir dengan selamat. Dan aku masih ingat dihari yang sama kami mendapatkan undian bank sebuah mobil yang tidak diduga – duga.

Tapi itu tidak berlangsung lama, bulan ke lima umur anakku semua bagaikan neraka bagi rumah tanggaku. Perusahaan tempat suamiku bekerja mengalami masalah, anakku mulai sakit – sakitan. Bukannya aku mengeluh, tapi Ibu mertuaku seperti menuding semua ini karena diriku yang tidak pandai dalam mengurus rumah tangga. Aku hanya bisa mengurut dada saja. 

Tangis anakku semakin lirih, aku meraih gawaiku menekan nomor Bang Amran. Bunyi suara nada tersambung tapi tidak diangkat. Sejak di PHK, Bang Amran menjadi ojek mobil. Sudah beberapa malam ini Bang Amran lembur untuk menambah pendapatan untuk pengobatan anak kami.

Aku mencoba memanggil ulang, tapi belum juga diangkat. Aku memandang ke arah Anakku, ya Allah wajah anakku sudah membiru, dengan cepat kilat aku meraihnya dan berlari menuju rumah pak RT untuk memintanya mengantar kami kerumah sakit.

“Assalamualaikum.” Suara mengucapkan salam sambil mengetuk rumah pak RT

“Walaikumsallam.” Terdengar suara menyahut salamku dari dalam

“Pak…tolong antar saya kerumah sakit. Putri sakit, Bnag Amran tidak bisa dihubungi.” Aku berucap setelah pintu terbuka di depanku.

“Tunggu sebentar, saya ganti baju.” Ucap Pak RT

***

Dalam perjalan Aku melihat muka biru anakku, semakin sulit dia bernapas. Pancaran netranya membuat luka mengangga didadaku, tak terasa kami sudah sampai di rumah sakit. Aku bergegas turun,

“Pak saya duluan, terima kasih pak.” Ucapku tergesa dan berlari menuju UGD

Untung ada pak RT yang selalu membantuku jika mendadak seperti ini, ya Allah dimana Bang Amran, batinku.

“Bagaimana dok… anak saya.” Ucapku setelah dokter memeriksa anakku

“Sepertinya keadaan jantung anak Ibu semakin parah, jika tidak ada donor jantung kemungkinan nyawanya tidak akan tertolong. Aku bagaikan terhempas ke dalam lubang yang dalam, tidak ada tempat untuk aku keluar darinya. Menetes airmata tanpa aku sadari, bang…abang dimana keluhku mengiba.

Gawaiku bergetar tak lama suara tanda ada telephone masuk, aku melihat ke layar gawai hanya nomor yang ada tidak ada namanya. Siapa yang menelephoneku.

“Assalamualaikum, siapa ya.” Ucapku setelah menerima telephone masuk

“Walaikumsallam…apa ini benar dengan Ibu Ratna?” terdengar suara dari seberang sana

“Iya…benar saya sendiri.” Jawabku

“Maaf… suami ibu mengalami kecelakaan dan tidak bisa tertolong lagi. Silakan ibu kerumah sakit.” Belum juga hatiku berhenti gelisah mendengar kondisi anakku sekarang kenyataan pahit bahwa aku kehilangan suamiku membuat duniaku runtuh. Aku berusaha tegar, rumah sakit yang diucapkan penelephone sama dengan rumah sakit yang sedang aku datangi sekarang ini. Berlari aku menuju ruang mayat, netraku penuh dengan airmata, aku meratapi mayat suamiku, aku mengingat anakku, mengecupnya ternyata Ayahmu yang menjadi pendonormu anakku.

***

Semua tamu sudah pulang, tahlilan 40 hari kepergian suamiku baru saja selesai. Aku sudah tidak bisa menitiskan airmataku, kering airmata ini. Aku  memandang lemah kearah Anakku, seakan aku mendengar degup jantung suamiku, untung ada mobil undian yang bisa aku jual untuk operasi anakku, ku pandang Anakku dengan nerta berkaca hanya berkaca tidak bisa meneteskan airmata. Airmataku bagai beku sejak kepergian suamiku.

Aku memandang rumah ini, peninggalannya. Maaf Bang, bukan aku tidak cinta dan sayang dengan rumah peninggalanmu, tapi aku harus pergi. Maafkan aku menjualnya karena aku hanya butuh rumah kecil untuk tempat kami berteduh. Izinkan aku menjualnya, dan menggunakan uangnya untuk kujadikan modal hidup aku dan anakmu.

Peninggalanmu yang berharga ini akan aku didik dengan penuh cinta, karena kau selalu ada diantara kami, setiap aku mendekapnya anak kita aku mendengar degup jantungmu yang memberikanku kekuatan untuk menjalani hidup. Akan aku jaga asa yang kau titipkan denganku, suamiku.*** 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...