Ku perhatikan semua yang keluar dari bibirnya, bibir yang terus mengoceh tak berhenti dari tadi. Ada saja rangkaian kalimat yang diracaunya. Seperti tak perlu disusun atau dipikirkan apa yang akan dikatakannya. Aku sampai berfikir terbuat dari apa makhluk di depanku ini.
Semakin aku memperhatikan bibirnya yang
sebenarnya sangat cantik, untuk mulut wanita yang sudah berumur semakin aku
jengkel karena kecantikan itu sirna oleh
ucapan yang keluar dari bibir itu. Tak pernah sekalipun bibir itu
memujiku seperti waktu pertama bertemu dulu.
Flashback
“Cantik sekali Im, calonmu bunda setuju.” Aku
tersenyum tersipu malu mendengar ucapan calon Ibu mertuaku.
Pertam kali aku diajak bertemu Bang Imran
dengan Ibunya, wanita separuh baya dengan senyum yang menawan. Pantas saja
senyum Bang Imran juga menawan. Warisan dari Bundanya, ternyata.
“Siapa tadi namanya Sayang? Bunda lupa maklum
sudah tua.” kata Ibu Bang Imran, aku tersenyum mendengarnya karena dari tadi
Bang Imran belum menyebutkan namaku.
“Indah Saraswati, Bu,” jawabku pelan. Aku
masih memperhatikan Ibu Bang Imran yang menurutku cantik. Anaknya saja ganteng,
batinku, sambil tersipu sendiri mendengar kata hatiku.
“Indah namanya, seindah orangnya. Jangan
panggil Ibu tapi Bunda, ingat Bunda ya Indah sayang.” Ada penekanan pada
suaranya ketika mengatakan aku harus memanggilnya Bunda, tapi aku tidak
memperhatikannya kala itu.
Pertemuan kedua dan ketiga selalu saja ada
doktrin dari Bunda Bang Imran tapi waktu itu karena aku lagi kasmaran dan
rasanya mendapatkan calon mertua yang perhatian aku sampai tidak memperhatikan
bahwa beliau akan berbeda setelah aku menjadi menantunya.
***
“Indah sudah mau lebaran ketiga tahun ini,
adik Imran saja sudah punya momongan kamu kapan lagi? Nungu matahari terbit
dari barat?” Ucapan pedasnya padaku.
Hatiku menangis, kalau matahari terbit dari
barat berarti kiamat, berarti aku tidak akan pernah punya anak, batinku pilu.
Malam berbuka bersama keluarga seharusnya
moment bahagia, apalagi aku sudah penat memasak dengan harapan seluruh keluarga
yang hadir akan menikmatinya. Tapi ternyata aku menikmati santapan ucapan Ibu
yang sampai sekarang tidak bisa aku memanggilnya Bunda. Untuk itupun aku harus
selalu bertegang urat, akhirnya Bang Imran menengahi kami dengan mengatakan Ibu
dan Bunda sama saja kepada bundanya.
***
Aku sudah memasak dari siang, Ikhwan bersama
istrinya sudah sampai dari jam empat sore tadi. Isteri Ikhwan membantu aku
menata makanan untuk berbuka puasa, sementara Ikhwan dan Bang Imran bermain
bersama si kecil yang baru delapan bulan itu.
“Assalamualaikum.” Suara bunda nyaring mengucapkan salam.
Ibu mertuaku memang mandiri sejak di tinggal
suami, Bang Imran dan Ikhwan dididik keras oleh Bunda tapi hasilnya boleh
diacungi jempol kedua anaknya sukses dalam karier.
“ Walaikumsallam.” Serentak kami berempat
menjawab salam Bunda.
Bunda melewati Bang Imran dan Ikhwan setelah
mereka mencium tangan bunda tak lupa bunda mencium sayang untuk cucu semata
wayangnya anak Ikhwan.
Aku sudah menghapal doa dari semenjak
mendengar salam Bunda, aku berharap dalam suasana puasa ini bunda akan
berlembut hati kepadaku. Aku masih mengingat sehari sebelum puasa kami
menyambangi Bunda untuk meminta maaf biar puasa ini menjadi berkah karena sudah
saling memaafkan tapi harapanku hampa walaupun sudah saling memaafkan, bunda
masih menyentilku masalah momongan yang belum juga kami dapat.
“Perbanyak doanya, mudah – mudahan doa di
bulan puasa ini diijabah Allah, jadi kamu cepat hamil.” Ucapan Ibu sewaktu mengantar
kami ke pintu depan untuk pamit pulang, saat itu.
“Bunda itu hak prerogratifnya Allah, jangan
ditanya terus. Kami saja sabar, jadi bunda harus sabar juga.” ucapan Bang Imran
langsung mendapat pukul geram di bahunya oleh Bunda.
“Kamu itu sama saja dengan istrimu susah
dikasih tahu.” Geram bunda.
Akhirnya kami pulang dengan kesal yang
bersarang di hatiku. Sepanjang perjalanan aku hanya membisu mengingat perkataan
Ibu.
Sudah banyak yang kami lakukan, berobat kemana-mana.
Dari dokter sampai alternatif tapi kami selalu mendapat jawaban tidak ada yang
bermasalah diantara kami.
“Usahakan isteri Bapak tidak terlalu stress.”
Hanya itu yang selalu dikatakan jika kami berjumpa dengan pakar ahli kandungan.
Aku meraih tangan bunda dan menciumnya begitu
juga dengan isterinya adik iparku. Aku sudah melihat bibir cantik itu akan mengeluarkan
petuahnya buat diriku. Aku sudah menguatkan diri untuk mendengarkan ucapan yang
pasti akan menambah luka di hati ini. Ya Allah berikan aku kekuatan aku tidak
mau pahala amal ibadahku selama puasa ini terkikis habis dengan menyimpan rasa kesal
kepada Ibu.
“Indah yang masak semua? Jangan terlalu capek
nanti susah hamil.” Hanya itu yang diucapkan Ibu.
Tangan tua cekatan itu mengambil mangkuk
terakhir yang akan aku letakkan di meja makan sudah lengkap semua juadah untuk
berbuka puasa nanti.
Masih ada sisa waktu 20 menit sebelum waktu
berbuka, akhirnya kami semua duduk di ruang tengah.
“Mana adikmu Indah, tidak ikut berbuka
bersama?” tanya Ibu
Ya aku hanya berdua saja, Ayah sudah
meninggal sejak aku SMA sementara setelah enam bulan aku menikah dengan Bang
Imran Ibuku meninggal dunia menyusul Ayah.
“Bayu buka bersama dengan calon isteri dan
keluarganya, Bu.” Aku menjawab pertanyaan Ibu.
Aku sembunyi – sembunyi memandang Ibu, tumben
hari ini bibir cantik itu tidak mencercaku. Hanya senyum manis yang selalu
dihadirkan dibibirnya.
Sampai dengan sirene yang menjadi petanda
bahwa sudah berbuka puasa kami makan dalam tenang. Hatiku masih berdebar selama
makan, takut bibir cantik mertuaku berbicara,
“Masakanmu enak Indah, tapi mengapa Indah
makannya sedikit?” Teguran ibu membuatku tersedak.
“Imran berikan istriku minum.” Perintah Ibu
kepada Bang Imran membuatku berfikir ada yang salah dengan Ibu mertuaku hari
ini.
Sampai dengan selesai acara berbuka puasa dan
tarawih bersama dengan Bang Imran sebagai imamnya, Ibu tidak sedikitpun
mengucapkan kata – kata yang paling aku takutkan itu.
“Bunda pulang semoga kita semua selalu
mendapat berkah dan hidayah.” Ucapan bunda sebelum berlalu dengan mobil Yaris
merahnya.
Hanya tinggal aku dan Bang Imran sebelum pulang,
Bunda dan Istrinya Ikhwan sudah membantu membersihkan semua peralatan makan
yang kami gunakan.
Tiba – tiba saja kepalaku berdenyut dan ada
yang mau keluar dari tenggorokanku secepat kilat aku berlari ke kamar mandi.
Semua yang aku makan saat berbuka puasa akhirnya terkuras keluar dari
tenggorakanku. Padanganku hitam-kelam. Selepas itu aku tidak mengingat apa –
apa lagi.
***
Rasa panas di pipiku membuat aku terbangun
dari jendela kamar yang sudah terbuka luas sinar matahari langsung mengenai
mukaku. Aku mengalihkan mukaku untuk menghindari sinar matahari ini. Dug,
jantungku bagaikan berhenti mengingat jika matahari tinggi berarti aku terlepas
sahur hari ini. Dengan panik aku bangun dari baringku tapi sakit kepala serta
mual membuat tanganku replek memegang kepala dan perutku yang seperti dikocok
rasanya.
Panel pintu kamar terbuka, Bang Imran melangkah
masuk.
“Sudah sadar sayang? Aku melihat senyum manis
tersungging di bibir Bang Imran
“Sudah siang Abang belum ngantor?” tanyaku
“Ambil cuti.” Jawab Bang Imran sambil duduk
di tepi ranjang
“Ambil cuti.” Aku memandang tak percaya ke
arah Bang Imran.
Sebegini parahkah sakitku, sampai Bang Imran
mengambil cuti, batinku. Aku berusah bangun lagi, tapi tangan perkasa Bang
Imran menahanku.
“Berbaring saja.” Perintah Bang Imran, sambil
membantuku untuk kembali berbaring.
“Sakit Indah parah ya Bang?” Tanyaku
Senyum Bang Imran terbit di wajahnya,
membuatku tambah bingung.
“Indah tidak sakit, tapi Indah hamil.” Wajah
Bang Imran sumringah sewaktu mengatakannya sambil meraih tanganku dan
menciumnya.
“Terima kasih.” Ucap Bang Imran
Netraku berat, tak dapat kubendung airmata
bahagia tapi belum sempat airmata ini mengalir deras tangan kokoh Bang Imran
menghapusnya
“Mengapa menagis? Seharusnya Indah bahagia,
ini semua berkat kesabaran Indah.” Ucapan Bang Imran membuatku tambah terisak
dalam dekapan Bang Imran.
“Ya Allah terima kasih atas semua nikmat
ini.” Batinku
Hadiah terbesar pada ramadhan ini yang tak
pernah aku bayangkan, inilah yang namanya hak prerogatif nya, hanya dia yang
tahu akan memberikannya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar