Selasa, 18 Mei 2021

Setitik Cahaya di Balik Kelam

 

Ku perhatikan semua yang keluar dari bibirnya, bibir yang terus mengoceh tak berhenti dari tadi. Ada saja rangkaian kalimat yang diracaunya. Seperti tak perlu disusun atau dipikirkan apa yang akan dikatakannya. Aku sampai berfikir terbuat dari apa makhluk di depanku ini.

Semakin aku memperhatikan bibirnya yang sebenarnya sangat cantik, untuk mulut wanita yang sudah berumur semakin aku jengkel karena kecantikan itu sirna oleh  ucapan yang keluar dari bibir itu. Tak pernah sekalipun bibir itu memujiku seperti waktu pertama bertemu dulu.

Flashback

“Cantik sekali Im, calonmu bunda setuju.” Aku tersenyum tersipu malu mendengar ucapan calon Ibu mertuaku.

Pertam kali aku diajak bertemu Bang Imran dengan Ibunya, wanita separuh baya dengan senyum yang menawan. Pantas saja senyum Bang Imran juga menawan. Warisan dari Bundanya, ternyata.

“Siapa tadi namanya Sayang? Bunda lupa maklum sudah tua.” kata Ibu Bang Imran, aku tersenyum mendengarnya karena dari tadi Bang Imran belum menyebutkan namaku.

“Indah Saraswati, Bu,” jawabku pelan. Aku masih memperhatikan Ibu Bang Imran yang menurutku cantik. Anaknya saja ganteng, batinku, sambil tersipu sendiri mendengar kata hatiku.

“Indah namanya, seindah orangnya. Jangan panggil Ibu tapi Bunda, ingat Bunda ya Indah sayang.” Ada penekanan pada suaranya ketika mengatakan aku harus memanggilnya Bunda, tapi aku tidak memperhatikannya kala itu.

Pertemuan kedua dan ketiga selalu saja ada doktrin dari Bunda Bang Imran tapi waktu itu karena aku lagi kasmaran dan rasanya mendapatkan calon mertua yang perhatian aku sampai tidak memperhatikan bahwa beliau akan berbeda setelah aku menjadi menantunya.

***

“Indah sudah mau lebaran ketiga tahun ini, adik Imran saja sudah punya momongan kamu kapan lagi? Nungu matahari terbit dari barat?” Ucapan pedasnya padaku.

Hatiku menangis, kalau matahari terbit dari barat berarti kiamat, berarti aku tidak akan pernah punya anak, batinku pilu.

Malam berbuka bersama keluarga seharusnya moment bahagia, apalagi aku sudah penat memasak dengan harapan seluruh keluarga yang hadir akan menikmatinya. Tapi ternyata aku menikmati santapan ucapan Ibu yang sampai sekarang tidak bisa aku memanggilnya Bunda. Untuk itupun aku harus selalu bertegang urat, akhirnya Bang Imran menengahi kami dengan mengatakan Ibu dan Bunda sama saja kepada bundanya.

***

Aku sudah memasak dari siang, Ikhwan bersama istrinya sudah sampai dari jam empat sore tadi. Isteri Ikhwan membantu aku menata makanan untuk berbuka puasa, sementara Ikhwan dan Bang Imran bermain bersama si kecil yang baru delapan bulan itu.

“Assalamualaikum.” Suara bunda  nyaring mengucapkan salam.

Ibu mertuaku memang mandiri sejak di tinggal suami, Bang Imran dan Ikhwan dididik keras oleh Bunda tapi hasilnya boleh diacungi jempol kedua anaknya sukses dalam karier.

“ Walaikumsallam.” Serentak kami berempat menjawab salam Bunda.

Bunda melewati Bang Imran dan Ikhwan setelah mereka mencium tangan bunda tak lupa bunda mencium sayang untuk cucu semata wayangnya anak Ikhwan.

Aku sudah menghapal doa dari semenjak mendengar salam Bunda, aku berharap dalam suasana puasa ini bunda akan berlembut hati kepadaku. Aku masih mengingat sehari sebelum puasa kami menyambangi Bunda untuk meminta maaf biar puasa ini menjadi berkah karena sudah saling memaafkan tapi harapanku hampa walaupun sudah saling memaafkan, bunda masih menyentilku masalah momongan yang belum juga kami dapat.

“Perbanyak doanya, mudah – mudahan doa di bulan puasa ini diijabah Allah, jadi kamu cepat hamil.” Ucapan Ibu sewaktu mengantar kami ke pintu depan untuk pamit pulang, saat itu.

“Bunda itu hak prerogratifnya Allah, jangan ditanya terus. Kami saja sabar, jadi bunda harus sabar juga.” ucapan Bang Imran langsung mendapat pukul geram di bahunya oleh Bunda.

“Kamu itu sama saja dengan istrimu susah dikasih tahu.” Geram bunda.

Akhirnya kami pulang dengan kesal yang bersarang di hatiku. Sepanjang perjalanan aku hanya membisu mengingat perkataan Ibu.

Sudah banyak yang kami lakukan, berobat kemana-mana. Dari dokter sampai alternatif tapi kami selalu mendapat jawaban tidak ada yang bermasalah diantara kami.

“Usahakan isteri Bapak tidak terlalu stress.” Hanya itu yang selalu dikatakan jika kami berjumpa dengan pakar ahli kandungan.

Aku meraih tangan bunda dan menciumnya begitu juga dengan isterinya adik iparku. Aku sudah melihat bibir cantik itu akan mengeluarkan petuahnya buat diriku. Aku sudah menguatkan diri untuk mendengarkan ucapan yang pasti akan menambah luka di hati ini. Ya Allah berikan aku kekuatan aku tidak mau pahala amal ibadahku selama puasa ini terkikis habis dengan menyimpan rasa kesal kepada Ibu.

“Indah yang masak semua? Jangan terlalu capek nanti susah hamil.” Hanya itu yang diucapkan Ibu.

Tangan tua cekatan itu mengambil mangkuk terakhir yang akan aku letakkan di meja makan sudah lengkap semua juadah untuk berbuka puasa nanti.

Masih ada sisa waktu 20 menit sebelum waktu berbuka, akhirnya kami semua duduk di ruang tengah.

“Mana adikmu Indah, tidak ikut berbuka bersama?” tanya Ibu

Ya aku hanya berdua saja, Ayah sudah meninggal sejak aku SMA sementara setelah enam bulan aku menikah dengan Bang Imran Ibuku meninggal dunia menyusul Ayah.

“Bayu buka bersama dengan calon isteri dan keluarganya, Bu.” Aku menjawab pertanyaan Ibu.

Aku sembunyi – sembunyi memandang Ibu, tumben hari ini bibir cantik itu tidak mencercaku. Hanya senyum manis yang selalu dihadirkan dibibirnya.

Sampai dengan sirene yang menjadi petanda bahwa sudah berbuka puasa kami makan dalam tenang. Hatiku masih berdebar selama makan, takut bibir cantik mertuaku berbicara,

“Masakanmu enak Indah, tapi mengapa Indah makannya sedikit?” Teguran ibu membuatku tersedak.

“Imran berikan istriku minum.” Perintah Ibu kepada Bang Imran membuatku berfikir ada yang salah dengan Ibu mertuaku hari ini.

Sampai dengan selesai acara berbuka puasa dan tarawih bersama dengan Bang Imran sebagai imamnya, Ibu tidak sedikitpun mengucapkan kata – kata yang paling aku takutkan itu.

“Bunda pulang semoga kita semua selalu mendapat berkah dan hidayah.” Ucapan bunda sebelum berlalu dengan mobil Yaris merahnya.

Hanya tinggal aku dan Bang Imran sebelum pulang, Bunda dan Istrinya Ikhwan sudah membantu membersihkan semua peralatan makan yang kami gunakan.

Tiba – tiba saja kepalaku berdenyut dan ada yang mau keluar dari tenggorokanku secepat kilat aku berlari ke kamar mandi. Semua yang aku makan saat berbuka puasa akhirnya terkuras keluar dari tenggorakanku. Padanganku hitam-kelam. Selepas itu aku tidak mengingat apa – apa lagi.

***

Rasa panas di pipiku membuat aku terbangun dari jendela kamar yang sudah terbuka luas sinar matahari langsung mengenai mukaku. Aku mengalihkan mukaku untuk menghindari sinar matahari ini. Dug, jantungku bagaikan berhenti mengingat jika matahari tinggi berarti aku terlepas sahur hari ini. Dengan panik aku bangun dari baringku tapi sakit kepala serta mual membuat tanganku replek memegang kepala dan perutku yang seperti dikocok rasanya.

Panel pintu kamar terbuka, Bang Imran melangkah masuk.

“Sudah sadar sayang? Aku melihat senyum manis tersungging di bibir Bang Imran

“Sudah siang Abang belum ngantor?” tanyaku

“Ambil cuti.” Jawab Bang Imran sambil duduk di tepi ranjang

“Ambil cuti.” Aku memandang tak percaya ke arah Bang Imran.

Sebegini parahkah sakitku, sampai Bang Imran mengambil cuti, batinku. Aku berusah bangun lagi, tapi tangan perkasa Bang Imran menahanku.

“Berbaring saja.” Perintah Bang Imran, sambil membantuku untuk kembali berbaring.

“Sakit Indah parah ya Bang?” Tanyaku

Senyum Bang Imran terbit di wajahnya, membuatku tambah bingung.

“Indah tidak sakit, tapi Indah hamil.” Wajah Bang Imran sumringah sewaktu mengatakannya sambil meraih tanganku dan menciumnya.

“Terima kasih.” Ucap Bang Imran

Netraku berat, tak dapat kubendung airmata bahagia tapi belum sempat airmata ini mengalir deras tangan kokoh Bang Imran menghapusnya

“Mengapa menagis? Seharusnya Indah bahagia, ini semua berkat kesabaran Indah.” Ucapan Bang Imran membuatku tambah terisak dalam dekapan Bang Imran.

“Ya Allah terima kasih atas semua nikmat ini.” Batinku

Hadiah terbesar pada ramadhan ini yang tak pernah aku bayangkan, inilah yang namanya hak prerogatif nya, hanya dia yang tahu akan memberikannya.***  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...