Cahaya matahari belum menyilaukan mata tapi tidurku terganggu dari suara toa masjid yang mengema.
Suara ayat – ayat alquran
yang diputar menjelang sholat subuh.
Mengeliatkan badan untuk
mengusir otot yang tegang setelah semalam mengistirahatkan tubuh yang lelah bekerja
sepanjang siang.
Sepintas melihat belahan
jiwaku memastikan dirinya juga ada.
Kemaren malam aku tidur mendahuluinya, lelah tak terkira yang aku rasakan membuatku merasa kantuk yang berat.
Kosong, batinku.
Kemana perginya Bang Rasyid,
tidak pulang, rasanya aneh jika Bang Rasyid tidak pulang.
Bergegas aku bangun,
meneliti kamar mandi.
Kosong tidak ada tanda –
tanda kamar mandi digunakan.
Belum sempat kaki melangkah
ke luar kamar, pintu kamar terbuka.
Dengan wajah lesu yang teramat
sangat wajah Bang Rasyid memenuhi penglihatanku.
“Abang dari mana.” Cemas
aku bertanya
“Tertidur di sofa depan TV,
nonton bola.” Jelas Bang Rasyid.
“Kita sholat berjamah di
rumah, habis itu Abang mau tidur lagi.” Ucap Bang Rasyid meninggalkanku menuju kamar
mandi.
Aku mengelar sejadah untuk
kami sholat berjamah.
***
Secangkir kopi untukku
sementara Bang Rasyid lebih memilih the tanpa gula.
Nasi lemak sederhana siap
menjadi sarapan pagi kami.
Bilis dicampur lobak asin
tidak ada kacang tanah.
Aku dan Bang Rasyid lebih
suka sambal bilis dicampur lobak daripada kacang tanah.
Telor ceplok menjadi
tambahannya.
“ Kita pindah ke Batam.” Aku
memandang wajah Bang Rasyid lekat.
“Bagaimana dengan sekolah
Bang.” Ucapku putus asa
“Tidak ada masa depan, kerja
Abang juga lebih banyak di Batam. Kehidupan kita lebih sejahtera daripada setiap
jumat sampai minggu kita giliran pulang, melelahkan.” Ucap Bang Rasyid sambil
menyuap nasi lemak kemulutnya.
‘Nur istikarah dulu.” Ucapku
pelan
“Memangnya mau nikah pakai
istikarah.” Ucap Bang Rasyid pedas.
Aku sudah biasa menghadapi
watak Bang Rasyid yang keras.
Sejak setahun lalu, kami
harus bulak balik Karimun Batam karena rezeki Bang Rasyid adanya di Batam.
Bukanya tidak mensyukuri
nikmat Allah, tapi aku sudah mengabdi lebih 10 tahun.
Bang Rasyid tahu itu, Bang
Rasyid berjanji tidak akan memintaku berhenti dari mengajar.
Gonjang ganjing dunia pendidikan
tak terelakkan.
Regulasi yang berganti membuatku
kalah saing dengan mereka yang muda – muda dalam lowongan PPPK yang tersedia.
***
Aku menghirup secangkir
kopi menatap tumpukan buku yang sedang aku koreksi.
Senyumku mengembang,
ternyata doaku diijabah-Nya.
Sempurna sudah hidupku
tanpa harus LDR dengan Bang Rasyid yang diangkat menjadi kepala cabang dari
kantornya di Karimun.
Menikmati secangkir kopi membuka
lebaran baru dengan jabatan baru sebagai pegawai PPPK.
Secangkir kopi dengan tumpukan
tugas peserta didik membuat diriku merasa Bahagia.
Secangkir kopi dengan
membaca tulisan mereka yang kadang tidak bisa dibaca.
Mereka, peserta didikku
sudah SMA tapi tulisannya seperti baru saja belajar menulis.
Secangkir kopi menenangkan
hatiku, walau segunung permasalah yang harus diselesaikan dengan mereka peserta
didik yang mungkin saja juga penikmat kopi sama seperti diriku.
Secangkir kopi bukan karena
ketagihan hanya menenangkan hati.
Secangkir kopi setiap pagi
bukan seperti makan obat, 3 kali sehari.
Secangkir kopi saat ini
menemani pagiku setelah mengajar 3 kali 45 menit.
Menunggu waktu bersembang
bersama mereka peserta didikku, cangkir kopiku sudah tandas tak bersisia.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar