Selasa, 28 Januari 2025

Life Begun With a Cup Coffee

 


Cahaya matahari belum menyilaukan mata tapi tidurku terganggu dari suara toa masjid yang mengema.

Suara ayat – ayat alquran yang diputar menjelang sholat subuh.

Mengeliatkan badan untuk mengusir otot yang tegang setelah semalam mengistirahatkan tubuh yang lelah bekerja sepanjang siang.

Sepintas melihat belahan jiwaku memastikan dirinya juga ada.

Kemaren malam aku tidur mendahuluinya, lelah tak terkira yang aku rasakan membuatku merasa kantuk yang berat.

Kosong, batinku.

Kemana perginya Bang Rasyid, tidak pulang, rasanya aneh jika Bang Rasyid tidak pulang.

Bergegas aku bangun, meneliti kamar mandi.

Kosong tidak ada tanda – tanda kamar mandi digunakan.

Belum sempat kaki melangkah ke luar kamar, pintu kamar terbuka.

Dengan wajah lesu yang teramat sangat wajah Bang Rasyid memenuhi penglihatanku.

“Abang dari mana.” Cemas aku bertanya

“Tertidur di sofa depan TV, nonton bola.” Jelas Bang Rasyid.

“Kita sholat berjamah di rumah, habis itu Abang mau tidur lagi.” Ucap Bang Rasyid meninggalkanku menuju kamar mandi.

Aku mengelar sejadah untuk kami sholat berjamah.

***

Secangkir kopi untukku sementara Bang Rasyid lebih memilih the tanpa gula.

Nasi lemak sederhana siap menjadi sarapan pagi kami.

Bilis dicampur lobak asin tidak ada kacang tanah.

Aku dan Bang Rasyid lebih suka sambal bilis dicampur lobak daripada kacang tanah.

Telor ceplok menjadi tambahannya.

“ Kita pindah ke Batam.” Aku memandang wajah Bang Rasyid lekat.

“Bagaimana dengan sekolah Bang.” Ucapku putus asa

“Tidak ada masa depan, kerja Abang juga lebih banyak di Batam. Kehidupan kita lebih sejahtera daripada setiap jumat sampai minggu kita giliran pulang, melelahkan.” Ucap Bang Rasyid sambil menyuap nasi lemak kemulutnya.

‘Nur istikarah dulu.” Ucapku pelan

“Memangnya mau nikah pakai istikarah.” Ucap Bang Rasyid pedas.

Aku sudah biasa menghadapi watak Bang Rasyid yang keras.

Sejak setahun lalu, kami harus bulak balik Karimun Batam karena rezeki Bang Rasyid adanya di Batam.

Bukanya tidak mensyukuri nikmat Allah, tapi aku sudah mengabdi lebih 10 tahun.

Bang Rasyid tahu itu, Bang Rasyid berjanji tidak akan memintaku berhenti dari mengajar.

Gonjang ganjing dunia pendidikan tak terelakkan.

Regulasi yang berganti membuatku kalah saing dengan mereka yang muda – muda dalam lowongan PPPK yang tersedia.

***

Aku menghirup secangkir kopi menatap tumpukan buku yang sedang aku koreksi.

Senyumku mengembang, ternyata doaku diijabah-Nya.

Sempurna sudah hidupku tanpa harus LDR dengan Bang Rasyid yang diangkat menjadi kepala cabang dari kantornya di Karimun.

Menikmati secangkir kopi membuka lebaran baru dengan jabatan baru sebagai pegawai PPPK.

Secangkir kopi dengan tumpukan tugas peserta didik membuat diriku merasa Bahagia.

Secangkir kopi dengan membaca tulisan mereka yang kadang tidak bisa dibaca.

Mereka, peserta didikku sudah SMA tapi tulisannya seperti baru saja belajar menulis.

Secangkir kopi menenangkan hatiku, walau segunung permasalah yang harus diselesaikan dengan mereka peserta didik yang mungkin saja juga penikmat kopi sama seperti diriku.

Secangkir kopi bukan karena ketagihan hanya menenangkan hati.

Secangkir kopi setiap pagi bukan seperti makan obat, 3 kali sehari.

Secangkir kopi saat ini menemani pagiku setelah mengajar 3 kali 45 menit.

Menunggu waktu bersembang bersama mereka peserta didikku, cangkir kopiku sudah tandas tak bersisia.***


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Celoteh Ramadhan 2025, Hari Kelima & Keenam

  Menahan segala napsu bukan hanya menahan lapar dan dahaga ketika berpuasa itu sudah menjadi ketentuannya. Bagaimana kita menyikapi mungk...