Hujan sejak senja tak lepas meninggalkan bumi, aku yang sudah menggunakan baju hangat saja masih terasa dingin.
Merebahkan badan pada dipan yang tidak
lagi tebal, tapi hanya ini yang bisa aku beli setelah semua uang yang aku peroleh
dari keringat yang aku keluarkan.
Sejak melangkahkan kaki meninggalkan kampung halaman untuk mencari sesuap nasi karena tidak ada yang bisa aku harapkan jika tetap tinggal di kampung.
Menaiki fery aku meninggalkan kampung
setengah tahun yang lalu, memandang dinding empat sekat yang menjadi tempat
tinggalku setelah aku tiba di Batam.
Ah, ada yang menusuk hatiku setelah enam
bulan ini semua tidak seindah yang aku bayangkan semuanya tambah abu – abu.
Sesal sepertinya mulai merasuk dalam
kalbuku, bagaimana tidak jika tinggal dengan Abah dan Emak di Karimun aku masih
bisa menyisihkan penghasilanku setelah sebulan menguras keringat tapi tidak di
Batam ini.
Semuanya serba mahal, belum lagi aku
harus membayar semua keperluanku sendiri.
Sementara di Kampung aku tidak perlu
memikirkan duit sewa rumah, listrik serta tetek bengek lain yang memusingkan
kepala.
Ingin rasanya aku pulang kampung, tapi
seakan ada beban yang menggayut kuat di dada untuk tetap bertahan dalam
kesulitan di Bata mini.
Setetes air bening mengalir tanpa aku
sadari telah menganak sungai di pipiku.
“Abah Emak, Hana rindu.” Tangisku pecah
seketika.
Sesak rasanya mengingat dua hari yang
lalu Emak menelepon mengabarkan Abah sakit dan menginginkan aku pulang ke
Karimun.
Kantongku bolong, tidak mungkin aku
pulang dengan tangan kosong.
***
Suara petir memecah heningnya dini hari,
sejak semalam ternyata hujan tidak berhenti.
Aku mencoba menanjamkan penglihatan
tetapi tetap saja gelap, jangan katanya karena hujan PLN Mati.
Aku meraih HP yang terletak disampingku
untuk cari pencahayaan dari senter yang berada pada aplikasi HP-ku.
Aku mengerakkan badan untuk turun dari
ranjang, berjalan menuju jendela untuk melihat apakah semua lampu mati atau
hanya rumah kontrakanku saja yang mati PLN-nya.
Mengelus dada pelan, ternyata semua
rumah tetangga ternyata mati juga.
Mengutak – atik HP untuk memastikan
sekarang jam berapa.
Setengah empat, aku ingin mengadukan
keluh kesahku kepada Sang Pencipta.
***
Memandang nanar, ponton sudah berada di depanku.
Sebentar lagi aku akan sampai di poton
Karimun, akhirnya aku harus mengalah untuk pulang.
Kondisi Abah benar – benar
mengkhawatirkan, tidak mungkin aku memaksakan diri untuk tetap di Batam.
Setelah kapal merapat aku melangkah kaki
menuju keluar pelabuhan, secepatnya mencari tranfortasi yang akan mengantar aku
sampai di rumah.
Sepanjang jalan aku berdoa semoga Abah
tetap dalam lindungan Allah dan apa yang dikabarkan Emak tidak separah itu.
Setelah mengeluarkan dua lembar uang
sepuluh ribu, aku bergegas meninggalkan tukang ojek yang sudah dengan selamat
mengantarkan aku sampai di rumah.
“Assalamualaikum.” Suaraku bergema
mengucapkan salam.
Tidak ada yang menyahut, aku menekan
panel pintu, tidak terkunci. Bergegas aku melangkahkan kaki menuju kamar Abah
dan Emak.
“Kosong.” Kemana gerangkan Abah dan
Emak.
Aku berlari menuju keluar rumah, menuju
rumah Mak Ucu yang hanya berjarak dua rumah dari rumahku.
Dengan napas terengah aku mengucapkan
salam.
“Walaikumsalam.” Suara jawaban dari
dalam rumah Mak Ucu.
“Abah Emak kemana Mak Ucu.” Ucapku setelah
melihat Mak Ucu yang membukakan pintu rumah.
“Bawa bertenang Hana, atur napas.” Tangan Mak ucu meraihku dan bawa aku duduk di ruang tamu rumahnya.
Senyum tua terpancar dari wajah Mak Ucu
dan memandangku lekat.
“Abah Hana sehat, memang dua hari lalu
sempat dibawa ke rumah sakit. Sakit rindu dengan anaknya.” Terdengar suara kekehan
tawa dari mulut Mak Ucu.
Aku menyebarkan tatap tajam memandang
Mak Ucu.
“Nak kualat Kau Hana, memandang begitu
kepada Mak Ucu.” Hmm suaraku terderga
Seketika itu juga aku menundukan wajah
tak berani menatap Mak Ucu.
“Kalian ini anak beranak, tak usah yang
jual mahal. Hana, ingat Hana anak tunggal harta Abah Emak tak tumpah kemana –
mana.
Jangan keras hati sangat, tak usah di
dengar kata Mak Long yang berlebihan itu.
Bakti anak perempuang anak, anak laki –
laki sama saja, tak ada cerita setelah menikah anak perempuan tidak dapat
berbakti kepada keluarga.
Mak Ucu percaya, Hana anak sholehah yang
bisa merawat Abah Emak Hana sampai tua nanti.
Mak Ucu percaya, Hana tak seperti Anak
Mak Long yang mengambil harta Mak Long dan meninggalkan Mak Long dalam kesusahaan.
Satu Tandan Kelapa ada
yang Komeng' maksudnya dalam satu keluarga yang mempunyai banyak anak tidak
semuanya jadi baik dan akan ada yang akan jadi kurang baik di antara mereka.
Mak Ucu sampai menyebut
pepatah lama yang sangat terkenal di budaya melayu.” Airmataku menetes
mendengar nasehat Mak Ucu.
Aku Hana Pertiwi binti
Rasyid merasa sangat berdosa telah mensia – siakan orang tuaku hanya
karena ucapan Mak Long yang mengatakan
anak perempuan hanya menghabiskan harta orangtua jika mendapatkan suami yang
tak berguna.
“Ya Allah maafkan
Hamba.” Gumamku lirih.
“Abah Emak Hana lagi
jalan sore untuk kesehatan, sebentar lagi pulanglah.” Ucapan Mak Ucu membuatku
merasa lega.
“Hana pamit pulang dulu
Mak Ucu.” Ucapku takzim sambil mencium tangan Mak Ucu.
Setetes airmataku
tumpah ketika melihat Abah Emak berjalan menuju rumah kami.
“Abah Emak.” Teriakku gembira
sambil berlari kecil mendekati mereka.
“Abah Emak, Hana rindu.”
Ucapku lirih sambil mencium tangan mereka.
“Mana salam anak Abah.”
Ucapan Abah membuatku malu
“Assalamualikum Abah Emak.”
Ucapku manja serta mengandeng kedua tangan orang tuaku.
Aku berada ditengah
mereka sambil bergandengan tangan kami berjalan lambat seakan tidak ingin cepat
berlalu sore ini.
Sesekali terdengar
kekeh Abah ketika aku bercerita kepada mereka bagaimana selama hidup di Batam
dalam kubangan rindu yang mendalam terhadap mereka.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar