Sabtu, 16 September 2023

Sebatas Cerita Luka

 

Hujan sejak senja tak lepas meninggalkan bumi, aku yang sudah menggunakan baju hangat saja masih terasa dingin.

Merebahkan badan pada dipan yang tidak lagi tebal, tapi hanya ini yang bisa aku beli setelah semua uang yang aku peroleh dari keringat yang aku keluarkan.

Sejak melangkahkan kaki meninggalkan kampung halaman untuk mencari sesuap nasi karena tidak ada yang bisa aku harapkan jika tetap tinggal di kampung.

Menaiki fery aku meninggalkan kampung setengah tahun yang lalu, memandang dinding empat sekat yang menjadi tempat tinggalku setelah aku tiba di Batam.

Ah, ada yang menusuk hatiku setelah enam bulan ini semua tidak seindah yang aku bayangkan semuanya tambah abu – abu.

Sesal sepertinya mulai merasuk dalam kalbuku, bagaimana tidak jika tinggal dengan Abah dan Emak di Karimun aku masih bisa menyisihkan penghasilanku setelah sebulan menguras keringat tapi tidak di Batam ini.

Semuanya serba mahal, belum lagi aku harus membayar semua keperluanku sendiri.

Sementara di Kampung aku tidak perlu memikirkan duit sewa rumah, listrik serta tetek bengek lain yang memusingkan kepala.

Ingin rasanya aku pulang kampung, tapi seakan ada beban yang menggayut kuat di dada untuk tetap bertahan dalam kesulitan di Bata mini.

Setetes air bening mengalir tanpa aku sadari telah menganak sungai di pipiku.

“Abah Emak, Hana rindu.” Tangisku pecah seketika.

Sesak rasanya mengingat dua hari yang lalu Emak menelepon mengabarkan Abah sakit dan menginginkan aku pulang ke Karimun.

Kantongku bolong, tidak mungkin aku pulang dengan tangan kosong.

***

Suara petir memecah heningnya dini hari, sejak semalam ternyata hujan tidak berhenti.

Aku mencoba menanjamkan penglihatan tetapi tetap saja gelap, jangan katanya karena hujan PLN Mati.

Aku meraih HP yang terletak disampingku untuk cari pencahayaan dari senter yang berada pada aplikasi HP-ku.

Aku mengerakkan badan untuk turun dari ranjang, berjalan menuju jendela untuk melihat apakah semua lampu mati atau hanya rumah kontrakanku saja yang mati PLN-nya.

Mengelus dada pelan, ternyata semua rumah tetangga ternyata mati juga.

Mengutak – atik HP untuk memastikan sekarang jam berapa.

Setengah empat, aku ingin mengadukan keluh kesahku kepada Sang Pencipta.

***

 Memandang nanar, ponton sudah berada di depanku.

Sebentar lagi aku akan sampai di poton Karimun, akhirnya aku harus mengalah untuk pulang.

Kondisi Abah benar – benar mengkhawatirkan, tidak mungkin aku memaksakan diri untuk tetap di Batam.

Setelah kapal merapat aku melangkah kaki menuju keluar pelabuhan, secepatnya mencari tranfortasi yang akan mengantar aku sampai di rumah.

Sepanjang jalan aku berdoa semoga Abah tetap dalam lindungan Allah dan apa yang dikabarkan Emak tidak separah itu.

Setelah mengeluarkan dua lembar uang sepuluh ribu, aku bergegas meninggalkan tukang ojek yang sudah dengan selamat mengantarkan aku sampai di rumah.

“Assalamualaikum.” Suaraku bergema mengucapkan salam.

Tidak ada yang menyahut, aku menekan panel pintu, tidak terkunci. Bergegas aku melangkahkan kaki menuju kamar Abah dan Emak.

“Kosong.” Kemana gerangkan Abah dan Emak.

Aku berlari menuju keluar rumah, menuju rumah Mak Ucu yang hanya berjarak dua rumah dari rumahku.

Dengan napas terengah aku mengucapkan salam.

“Walaikumsalam.” Suara jawaban dari dalam rumah Mak Ucu.

“Abah Emak kemana Mak Ucu.” Ucapku setelah melihat Mak Ucu yang membukakan pintu rumah.

“Bawa bertenang Hana, atur napas.” Tangan Mak ucu meraihku dan bawa aku duduk di ruang tamu rumahnya.

Senyum tua terpancar dari wajah Mak Ucu dan memandangku lekat.

“Abah Hana sehat, memang dua hari lalu sempat dibawa ke rumah sakit. Sakit rindu dengan anaknya.” Terdengar suara kekehan tawa dari mulut Mak Ucu.

Aku menyebarkan tatap tajam memandang Mak Ucu.

“Nak kualat Kau Hana, memandang begitu kepada Mak Ucu.” Hmm suaraku terderga

Seketika itu juga aku menundukan wajah tak berani menatap Mak Ucu.

“Kalian ini anak beranak, tak usah yang jual mahal. Hana, ingat Hana anak tunggal harta Abah Emak tak tumpah kemana – mana.

Jangan keras hati sangat, tak usah di dengar kata Mak Long yang berlebihan itu.

Bakti anak perempuang anak, anak laki – laki sama saja, tak ada cerita setelah menikah anak perempuan tidak dapat berbakti kepada keluarga.

Mak Ucu percaya, Hana anak sholehah yang bisa merawat Abah Emak Hana sampai tua nanti.

Mak Ucu percaya, Hana tak seperti Anak Mak Long yang mengambil harta Mak Long dan meninggalkan Mak Long dalam kesusahaan.

Satu Tandan Kelapa ada yang Komeng' maksudnya dalam satu keluarga yang mempunyai banyak anak tidak semuanya jadi baik dan akan ada yang akan jadi kurang baik di antara mereka.

Mak Ucu sampai menyebut pepatah lama yang sangat terkenal di budaya melayu.” Airmataku menetes mendengar nasehat Mak Ucu.

Aku Hana Pertiwi binti Rasyid merasa sangat berdosa telah mensia – siakan orang tuaku hanya karena  ucapan Mak Long yang mengatakan anak perempuan hanya menghabiskan harta orangtua jika mendapatkan suami yang tak berguna.

“Ya Allah maafkan Hamba.” Gumamku lirih.

“Abah Emak Hana lagi jalan sore untuk kesehatan, sebentar lagi pulanglah.” Ucapan Mak Ucu membuatku merasa lega.

“Hana pamit pulang dulu Mak Ucu.” Ucapku takzim sambil mencium tangan Mak Ucu.

membuncah hatiku ingin segera bertemu Abah Emak, ingin meminta maaf telah membuat mereka berdua bersedih hati karena keinginanku menunjukka diri mampu berdikari tapi malah menyusahkan sampai membuat Abah jatuh sakit.

Setetes airmataku tumpah ketika melihat Abah Emak berjalan menuju rumah kami.

“Abah Emak.” Teriakku gembira sambil berlari kecil mendekati mereka.

“Abah Emak, Hana rindu.” Ucapku lirih sambil mencium tangan mereka.

“Mana salam anak Abah.” Ucapan Abah membuatku malu

“Assalamualikum Abah Emak.” Ucapku manja serta mengandeng kedua tangan orang tuaku.

Aku berada ditengah mereka sambil bergandengan tangan kami berjalan lambat seakan tidak ingin cepat berlalu sore ini.

Sesekali terdengar kekeh Abah ketika aku bercerita kepada mereka bagaimana selama hidup di Batam dalam kubangan rindu yang mendalam terhadap mereka.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...