Belum waktunya, masih terlalu kecil seharusnya itu yang dikatakan kedua orangtuaku 5 tahun yang lalu, tapi sekarang masih saja aku di larang untuk menyukainya, terlalu. Kepalaku sudah panas otaku mendidih, jika bisa meledak pasti dari satu jam lalu otakku bertaburan di lantai, pasti menjadi santap enak buat si mody kucing kesayanganku.
Selalu saja begitu, tidak pernah ada yang
cocok semua pasti ada cacat celanya jika aku mengenalkan setiap pria yang
menyukaiku, aku tidak mau munafik aku menaruh hati kepada mereka tapi sebelum
aku menetapkan hati dan pilihanku lebih baik aku mempertemukan mereka dengan
kedua orangtuaku. Tapi sepertinya ada kedua orangtuaku tidak pernah memberikan
lampu hijau bagi semua yang kuperkenalkan kepada mereka.
“Ma, kenalkan Wira teman sekantor Ais.”
Ucapku
“WIra bu pak.” Dengan tegas sambil menyalami
kedua orangtuaku menyebut namanya.
Ini sudah pria ke 5 yang aku ajak untuk
berjumpa dengan ke dua orangtuaku. Senyum itu,
ya senyum yang selalu mereka tunjukkan jika orangtuaku jika mereka tidak
menyukai pria yang berada didepan mereka sekarang ini.
Basa – basi masih lancar, seolah – olah
mereka menyukai pria yang sedang mereka intrograsi. Tapi aku yang pusing, bagaimana tidak pusing setelah tamu pulang
aku mendengar seribu satu alasan supaya aku tidak berhubungan dengan pria yang
baru saja pulang dari rumah.
Akhirnya dengan membanting keras pintu kamar,
aku meninggalkan kedua orangtuaku dengan permintaan yang sama melarangku dekat
dengan pria ke lima ini. Hatiku sakit, netraku sudah penuh dengan airmata tapi
aku lelah untuk menangis akhirnya aku memilih tidur untuk melepaskan segala
kekacaun dihatiku.
***
Entah berapa lama aku tertidur, perutku tidak
bisa diajak komproni malam – malam begini minta makan, terlalu. Pukul 2 dini
hari jam dinding menunjukkan waktu. Bangun dari tempat tidur, dengan langkah
malas aku menekan panel pintu, melangkah keluar dengan tujuan dapur.
Setelah selesai makan, aku berniat untuk
sholat malam memohon petunjukan serta meminta melembutkan hati kedua
orangtuaku.
Khusuk aku berdoa, tanpa terasa azan subuh
sudah berkumandang. Selesai sholat subuh aku melanjutkan tidur, minggu hari
santai setelah beberapa hari disibukkan dengan pekerjaanku mengajar.
***
Tok …tok…tok
Ketukkan di pintu kamar menganggu tidurku,
melihat sepintas ke jam dinding. Baru juga pukul 8 batinku. Mata ini aku
pejamkan lagi, tapi suara keras ketokkan di pintu membuatku tak bisa lagi memejamkan mata. Akhirnya dengan malas aku berjalan ke arah pintu kamarku,
menekan panel pintu dan membukannya.
“Anak gadis mau bangun jam berapa?” suara
keras Ibuku ketika melihat diriku.
Aku hanya mengangin lalukan perkataan ibuku
dan kembali menuju tempat tidur.
“Libur, mau istrirahat. Capek bu.” Ucapku
sambil merebahkan kembali badanku.
“Tumben capek, masih marah masalah tadi malam?”
Ucapan Ibu kembali membuat hati dan kepalaku panas.
“Malas bahas masalah itu. sudah biasa, besok
– besok nggak bakalan bawa pria lagi kerumah ini.” Sengaja aku menekan kata -
kataku.
“Masih ada yang lain Bu, jika tidak
tinggalkan Ais sendiri, Ais mau istriahat.” Sengaja aku mengusir Ibu dengan
halus.
Ibu bukannya keluar malah mendekatiku dan
duduk ditepi ranjang
“Biar Ayah dan Ibu saja yang mencarikan jodoh
buat Ais ya, boleh?” Ucap Ibu
“Kenapa tidak dari dulu – dulu jadi Ais tidak
perlu membawa pria kerumah ini.” Ucapku
kesal.
“Dosa lho bicara dengan Ibu seperti itu.” ibu
berusaha membujukku dengan ucapanya.
“Ayah Ibu tinggal bilang sama Ais untuk
mencarikan jodoh, dan melarang Ais berhubungan dengan pria sehingga Ais tidak
memberi dan menerima harapan. “ ucapku kesal.
“Ayah Ibu tidak mau membatasi pergaulan Ais, tapi kelihatan sekarang Ais sudah siap untuk hubungan yang lebih serius jadi Ayah Ibu harus ikut campur karena Ais anak kami satu – satunya.” Ucap Ibu panjang lebar.
Belum juga aku berujar menjawab perkataan Ibu
“Ini bukan masalah bibit, bobot, atau bebet
ya Ais, tapi ini karena kami menyayangi Ais.” Lagi – lagi ibu membuatku malas
untuk mendengarkan ucapan Ibu.
“Semua pria yang Ais bawa kemaren semuanya
tidak bisa menjawab pertanyaan mudah dari Ayah Ibu.” Lanjut Ibu lagi.
“Menjadi Imam dan suami itu tidak mudah,
Ais.” Selalu begitu nasehat panjang lebar Ibu sudah penuh di telingaku.
“Apasih pertanyaan yang Ayah Ibu ajukan.”
Akhirnya aku penasaran dengan pertanyaan orang tuaku kepada pria – pria yang
aku bawa berjumpa mereka. Selama ini setiap aku pergi ke dapur untuk
mengambilkan minum dan camilan, setelah kembali ke ruang tamu. Pasti ada rasa
cangung antara pria – pria itu dengan orangtuaku. Bahkan ketika kedua
orangtuaku meninggalkan kami suasana cangung juga tidak hilang, seolah – oloh
mereka jadi tidak berminat kepadaku membuatku kesal setengah mati.
“Pertanyaan biasa saja.” ujar Ibu
“Iya, apa pertanyaannya bu?” aku mendesak Ibu
untuk menjawabnya.
“Sholat lima waktunya tepat waktu tidak? dan bisa
tidak menjadi imam untuk Ais?. Itu saja pertanyaannya.” Ujar ibu santai.
“Mau tahu jawaban mereka?” Goda Ibu sambil
mengerlingkan netranya kearahku
Aku berharap cemas atas jawaban Ibu, rasa
penarasan ini sudah dalam bercokol tapi aku tidak berani untuk bertanya kepada
mereka orangtuaku.
“Diusahakan bu menjadi kepala keluarga yang
baik, trus katanya lagi. masalah uang mereka sudah mampan tidak ada yang menjawab masalah sholat yang ditanyakan. Menurut Ais apakah jawaban
mereka sudah tepat? “ Ibu malah balik bertanya kepadaku membuatku bingung tujuh
keliling.
Harus aku akui, kami hidup sederhana tapi nilai
– nilai agama sudah ditanamkan sejak aku masih dalam kandungan kata Ibu. Ayah
selalu mengingatkan Ibu dan Aku untuk selalu menjaga sholat dan banyak lagi
tentang ajaran islam yang sudah menjadi santapan aku sejak kecil. Kesalahan ada
padaku, Aku tidak memperhatikan sholat mereka sudah untung Ayah Ibu tidak
memaksakanku bergaul dengan yang bukan mahramku tapi aku tahu batas pergaulan
hanya sebatas berjabat tangan aku masih mau. Karena itu jika ada pria yang
mengatakan suka padaku syarat pertama mereka harus mau bertemu dengan kedua
orangtuaku. Jika respon orangtuaku baik baru aku mau berhubungan lebih lanjut
dengan mereka. Kedengarannya memang kuno di zaman modern ini tapi aku tidak mau
dibilang modern jika harus melanggar aturan agama. Walaupun aku tahu, masih
banyak aturan agama yang aku langgar. Akhirnya aku hanya bisa menghembuskan
napas berat.
“Bagaimana Ais, mau ibu kenalkan dengan seseorang
yang bisa menjadi Imam yang baik buat Ais? Tawar Ibu kepadaku.
“Terserah Ayah Ibu saja.” hanya jawaban itu
yang bisa aku berikan.
“Sudah sana mandi, sarapan. Sebentar lagi
yang mau Ayah Ibu kenalkan sama Ais mau datang.” Ucap Ibu lagi.
“Apa? Ibu jangan melucu, ini tidak lucu.”
Sungguh aku terkejut dengan ucapan Ibu sampai – sampai aku terduduk dari
baringku.
Bukannya menjawab pertanyaanku, ibu malah
melengang keluar meninggalkan aku yang bingung degan situasi ini. Akhirnya ku
raih handuk dan berlari menuju kamar mandi.
***
Degup jantungku kuat sekali, sehingga aku takut pria yang di depanku mendengarkannya. Bagaimana tidak, aku tidak pernah membayangkan idola kaum hawa yang kini ada di hadapanku. Seorang ustaz muda yang lagi hangat dibicarakan kaula muda, dengan gaya ceramah tidak membosankan serta penampilan trendynya sehingga membuat dia mendapat julukkan ustaz trendy.
Sungguh jika ditanya sekarang ini apa yang
harus aku ucapkan untuk memulai percakapan adalah hal yang mustahil, secara aku
tidak termasuk orang yang suka berbasa – basi akhirnya aku hanya berdiam diri
memperhatikan interaksi antara Ayah Ibu dengannya.
Hanya satu jam dia berada dirumahku, tapi
kesan pertama sungguh membuatku tidak bisa menghilangkan pesonanya dari hatiku.
“Ismail Pak.” Suara jelas ketika menjabat
tangan Ayah, sementara kepada Ibu dan Aku hanya mengangguk sepintas dan
mengucapkan salam. Seterusnya dia hanya berbicara sama Ayah saja dan sesekali
menjawab pertanyaan Ibu, sementara Aku kasat mata buatnya. Tidak ada sekalipun
seingatku jangan melihatku meliriku saja tidak. Aku yang sekali – sekali
mencuri pandang padanya dengan jantung yang hampri keluar dari dadaku, sungguh
memalukan.
***
“Bagaiman Ais, mau di ta’arufkan dengan
Ismail.” Ucap Ayah ketika kami makan malam sambil melirik kepadaku dan
memandang Ibu karena melihat aku hanya terdiam saja.
“Ais, Ayah bertanya kenapa tidak dijawab.”
Ucap ibu lembut membuatku tersedak makanan yang sedang ku kunyah.
“Ais terserah Ayah Ibu saja.” Akhirnya aku
membiarkan keputusan kepada Ayah Ibu saja.
“Alhamdulillah, Ayah sudah memberi nomor Ais
kepadanya. Kalian bisa saling kenal dengan chat saja, Ais setujukan. Sudah
saling cocok tinggal tunggu tanggal dari kalian saja kapan mau nikahnya.”
Ucapan Ayah sungguh membuatku tidak bisa melanjutkan makan lagi.
Aku fikir Ayah melarangku untuk bercinta,
ternyata cinta yang dilarang Ayah adalah cinta yang bukan menurut ajaran agama.
Sambil tersenyum aku berlalu dari meja makan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar