Minggu, 01 Agustus 2021

Kapan Hujan Dihatiku

 


Sudah dua hari ini hujan membasahi bumi, aku memandanginya dari jendela kamarku. Kamar ini dingin tanpa ada rasa hangat didalamnya. Sudah lama rasa panas ini terus saja terasa di kamar yang sudah ada ac 1 pknya. Ac masih menyala padahal hujan lagi turun dengan derasnya, sesekali suara guruh serta kilat menampakkan dirinya tapi aku tidak berniat mematikan ac, seakan aku merasakan panas neraka di dalam kamar ini.

Terlalu sering dia menyakiti hatiku, baik di sengaja maupun tanpa di sadarinya, aku tidak minta di nikahinya walaupun aku bukan gadis remaja tapi aku wanita yang butuh perlakuan istimewa dari orang yang istimewa pula. Dia sudah mengucapkan ikrarnya untuk selalu membuat aku bahagia, seperti aku menerima dirinya beserta bonus yang aku rasa tidak semua perempuan bisa menerimanya. Walaupun aku sudah menetapkan hatiku bahwa aku sudah berani menerima resiko menerima duda bersama anaknya bukan berarti aku bisa diperlakukan dengan semena – mena olehnya.

“Aisyah, sudah sepuluh tahun kita menikah jangan seperti anak kecil. Dewasa sedikit,kenapa.” Ucapan yang akhir – akhir ini sering keluar dari bibirnya yang sungguh membuatku merasa muak serta mengores luka dalam yang tidak mungkin sembuh dalam waktu lima puluh tahun lagi.

Sudah terlalu sering dia melupakan hal – hal yang menyangkut tentang diriku, tapi ini sudah keterlaluan. Bagaimana tidak baru dua hari yang lalu dirinya, mengingat bahwa aku akan bertambah usia dan menasehatiku untuk lebih dewasa dalam menyikapi semua masalah dalam rumah tangga kami. Tapi pagi ini, seperti orang lain yang tidak mengingat apa – apa tentangku pergi begitu saja meninggalkanku yang berharap mendapatkan sekedar ucapan manis darinya tapi itu jauh dari kenyataan. Hariku berlalu, hatiku menangis bagaimana tidak orang – orang yang tidak mempunyai arti khusus bertubi – tubi mengirim ucapan sehingga dalam hitunganan detik sudah penuh notifikasi gawaiku, sehingga tidak bisa satu persatu aku balas. Akhirnya melalui media sosial yang aku punya dan aku yakin mereka semua berada di dalamnya aku megucapkan terima kasih untuk semua doa yang mereka kirimkan untukku. Menetes air yang sudah dari pagi tadi aku tahan, sudah menjelang sore tidak ada satupun ucapan darinya aku selalu aku istimewakan. Azan magrib sudah terdengar dengan lesu aku melangkahkan kaki ke kamar mandi untuk berwudhu.

***

Melamun di kamar sudah menjadi kebiasaanku sekarang, merenung apa yang menjadi mitos dari percakapan di komplek tadi sore bersama ibu – ibu yang lain sewaktu bersenam untuk menghilangkan jenuh yang dari pagi sudah bersarang di kepalaku.

“Pernikahan itu akan mengalami masa sulit pada lima tahun pertama, setelah itu sepuluh tahun dan yang terakhir kita suami puber ke dua.” Salah satu  ucapan ibu komplek yang begitu berkesan di hatiku.

“Suami hanya akan memperhatian dirinya sendiri, seolah – olah kita ada. Ya hanya anak – anak yang perhatian kepada kita.” Ucap ibu itu lebih lanjut.

Aku menghembuskan napasku berat, sudah sepuluh tahun sejak kuret ke tiga aku tidak bisa hamil lagi. siapa yang akan memperhatikan aku, batinku melemah. Hujan masih lebat sudah mau masuk azan isya’ tapi belum ada kabar dari suamiku, apakah memang begini nasibku hidup sebatang kara.

Ingin sekali aku pulang kerumah orang tuaku, tapi langkahku selalu tertahan mengingat betapa ibu sudah mengingatkanku resiko menjadi istri kedua walaupun istri pertama suamiku sudah meninggal dunia. Banyak ucapan yang sering aku bantah hanya ingin membesarkan hatiku.

“Aisyah bagaimanapun kau mengalah, tetap anak – anak yang menjadi prioritas suamimu apalagi kau tidak bisa memberikannya keturunan. Kau hanya sebagai pelengkap hidupnya yang sebenarnya sudah lengkap, teman tidur yang mungkin tidak sebenarnya dia inginkan.” Ucapan sahabatku jika aku mengeluh suamiku lebih memprioritaskan anak – anak daripada diriku.

Semua ucapan itu sepertinya menohok hatiku, bagaimana tidak baru dua hari yang lalu aku sengaja mengingatkannya bahwa hari lahirku sudah dekat dengan menceritakan bagaimana Ibuku mengalami sakit yang luar biasa untuk melahirkanku.

Eksperisnya membuat aku yakin pada hari pertambahan umurku dia akan memberikan ucapan doa pertama sebagai orang yang sudah aku pasrahkan hidup dan matiku. Sekarang hatiku benar – benar mati, aku memandang hujan yang turun semakin deras tapi hatiku gersang. Ada panas neraka yang aku rasakan dalam kamar ini, tak dapat lagi aku tahan lahar panas yang dari tadi aku simpan di sudut netraku, pecah bersama semakin kuat suara guruh dan petir yang sambung menyambung terdengar dilangit sana.***

 


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...