Sudah dua hari ini hujan membasahi bumi, aku memandanginya dari jendela kamarku. Kamar ini dingin tanpa ada rasa hangat didalamnya. Sudah lama rasa panas ini terus saja terasa di kamar yang sudah ada ac 1 pknya. Ac masih menyala padahal hujan lagi turun dengan derasnya, sesekali suara guruh serta kilat menampakkan dirinya tapi aku tidak berniat mematikan ac, seakan aku merasakan panas neraka di dalam kamar ini.
Terlalu sering dia menyakiti hatiku,
baik di sengaja maupun tanpa di sadarinya, aku tidak minta di nikahinya
walaupun aku bukan gadis remaja tapi aku wanita yang butuh perlakuan istimewa
dari orang yang istimewa pula. Dia sudah mengucapkan ikrarnya untuk selalu
membuat aku bahagia, seperti aku menerima dirinya beserta bonus yang aku rasa
tidak semua perempuan bisa menerimanya. Walaupun aku sudah menetapkan hatiku
bahwa aku sudah berani menerima resiko menerima duda bersama anaknya bukan
berarti aku bisa diperlakukan dengan semena – mena olehnya.
“Aisyah, sudah sepuluh tahun kita
menikah jangan seperti anak kecil. Dewasa sedikit,kenapa.” Ucapan yang akhir –
akhir ini sering keluar dari bibirnya yang sungguh membuatku merasa muak serta
mengores luka dalam yang tidak mungkin sembuh dalam waktu lima puluh tahun
lagi.
Sudah terlalu sering dia melupakan hal –
hal yang menyangkut tentang diriku, tapi ini sudah keterlaluan. Bagaimana tidak
baru dua hari yang lalu dirinya, mengingat bahwa aku akan bertambah usia dan
menasehatiku untuk lebih dewasa dalam menyikapi semua masalah dalam rumah
tangga kami. Tapi pagi ini, seperti orang lain yang tidak mengingat apa – apa tentangku
pergi begitu saja meninggalkanku yang berharap mendapatkan sekedar ucapan manis
darinya tapi itu jauh dari kenyataan. Hariku berlalu, hatiku menangis bagaimana
tidak orang – orang yang tidak mempunyai arti khusus bertubi – tubi mengirim
ucapan sehingga dalam hitunganan detik sudah penuh notifikasi gawaiku, sehingga
tidak bisa satu persatu aku balas. Akhirnya melalui media sosial yang aku punya
dan aku yakin mereka semua berada di dalamnya aku megucapkan terima kasih untuk
semua doa yang mereka kirimkan untukku. Menetes air yang sudah dari pagi tadi
aku tahan, sudah menjelang sore tidak ada satupun ucapan darinya aku selalu aku
istimewakan. Azan magrib sudah terdengar dengan lesu aku melangkahkan kaki ke
kamar mandi untuk berwudhu.
***
Melamun di kamar sudah menjadi
kebiasaanku sekarang, merenung apa yang menjadi mitos dari percakapan di
komplek tadi sore bersama ibu – ibu yang lain sewaktu bersenam untuk
menghilangkan jenuh yang dari pagi sudah bersarang di kepalaku.
“Pernikahan itu akan mengalami masa
sulit pada lima tahun pertama, setelah itu sepuluh tahun dan yang terakhir kita
suami puber ke dua.” Salah satu ucapan
ibu komplek yang begitu berkesan di hatiku.
“Suami hanya akan memperhatian dirinya
sendiri, seolah – olah kita ada. Ya hanya anak – anak yang perhatian kepada
kita.” Ucap ibu itu lebih lanjut.
Aku menghembuskan napasku berat, sudah
sepuluh tahun sejak kuret ke tiga aku tidak bisa hamil lagi. siapa yang akan
memperhatikan aku, batinku melemah. Hujan masih lebat sudah mau masuk azan isya’
tapi belum ada kabar dari suamiku, apakah memang begini nasibku hidup sebatang
kara.
Ingin sekali aku pulang kerumah orang
tuaku, tapi langkahku selalu tertahan mengingat betapa ibu sudah mengingatkanku
resiko menjadi istri kedua walaupun istri pertama suamiku sudah meninggal
dunia. Banyak ucapan yang sering aku bantah hanya ingin membesarkan hatiku.
“Aisyah bagaimanapun kau mengalah, tetap
anak – anak yang menjadi prioritas suamimu apalagi kau tidak bisa memberikannya
keturunan. Kau hanya sebagai pelengkap hidupnya yang sebenarnya sudah lengkap,
teman tidur yang mungkin tidak sebenarnya dia inginkan.” Ucapan sahabatku jika
aku mengeluh suamiku lebih memprioritaskan anak – anak daripada diriku.
Semua ucapan itu sepertinya menohok
hatiku, bagaimana tidak baru dua hari yang lalu aku sengaja mengingatkannya
bahwa hari lahirku sudah dekat dengan menceritakan bagaimana Ibuku mengalami
sakit yang luar biasa untuk melahirkanku.
Eksperisnya membuat aku yakin pada hari
pertambahan umurku dia akan memberikan ucapan doa pertama sebagai orang yang
sudah aku pasrahkan hidup dan matiku. Sekarang hatiku benar – benar mati, aku
memandang hujan yang turun semakin deras tapi hatiku gersang. Ada panas neraka
yang aku rasakan dalam kamar ini, tak dapat lagi aku tahan lahar panas yang
dari tadi aku simpan di sudut netraku, pecah bersama semakin kuat suara guruh dan
petir yang sambung menyambung terdengar dilangit sana.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar