Senin, 18 Oktober 2021

Cintaku

 

Pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya, aku memandang kesebelah kosong, sudah beberapa malam ini tempat itu tidak berpenghuni. Kemana gerangan perginya sosok lelaki yang bergelar suamiku, alasan pekerjaan yang membuatku harus menekan rasa hati yang diabaikan. Usia perkahwinan yang sudah melewati batas terpaan bagai ternyata tidak berlaku bagi pernikahanku.

Semakin tua, bukannya semakin mesra tapi semakin menjauh saja. Aku bangkit dari tidur yang gelisah, menuju kamar mandi menenangka hati dengan sholat malam lebih baik aku mengadu pada – Nya batinku menangis.

Pagi menyonsong aku terlelap setelah menyelesaikan sholat subuhku, badan yang meringkuk di atas sejadah membuat tulang tua ini merasakan sakit tapi tidak sesakit rasa hatiku saat ini. Aku memandang pintu, suara ketukan membuatku bangun menuju pintu kamarku.

“Nenek baru bangun.”

“Iya.” Sahutku sambil memberikan senyum termanisku kepada cucu satu – satunya.

“Asyikin baru datang?” ucapku sambil mengecup pipi gembul cucuku

“Mama mana?” tanyaku pada cucuku

“Mama lagi ke dapur, Papa lagi duduk di teras Nek.” Aku gemas melihat cara cucuku berbicara.

“Nenek lipat mukenanya dulu ya, Asyikin ke mama dulu, nanti nenek menyusul.”

Cucuku mengangguk dan pergi meninggalkan kamarku, setelah berbenah aku mengambil jilbab dan memasangnya serta berjalan keluar mendapatkan cucu dan anakku.

***

Suasana rumah menjadi sepi kembali setelah anak, menantu serta cucuku pulang, niatnya mereka ingin menginap tapi aku menyakinkan mereka untuk pulang. Ini malam minggu malam keluarga, aku tidak mau merusak malam keluarga anakku hanya karena aku merasa kesepian.

“Mama sudah berapa lama Papa tidak pulang.”

“Papa pulang malam ini, tadi sudah menelephone Mama.” Dustaku dengan senyum menyakinkan anakku.

“Mama dengan Papa baik – baik sajakan?” Nada khawatir keluar dari mulut anakku.

“Kamu itu, kami sudah tua. Mama percaya sama Papa.” Senyumku berusaha menyembunyikan dusta, hatiku tidak lagi percaya pada suamiku.

***

Malam semakin larut, aku tersenyum miris. Mana kepercayaanku kepada suamiku, semua terkikis ketika melihat gambar status suamiku. Tangan yang berpegangan erat, cincin yang terpasang di tangan tua itu milik suamiku tanpa tangan satunya lagi bukan tanganku, genggaman yang erat membuat hatiku menjerit pilu.

Tanganku meraih tombol video call, sekali dua kali dan sampai habis nada sambungnya tidak diangkat. Hembusan napas berat lolos dari mulutku, lima tahun sampai sepuluh tahun perkahwinan kami lewati dengan tenang walau ada gangguan kami tetap bertahan. Tidak terbayangkan setelah empat puluh tahun pernikahaan yang seharusnya berbahagia menua bersama, malah membuat hatiku luka.

Lelah jiwaku hampa ragaku tak lagi bisa bertahan napasku mulai sesak, degup jantung berpacu perlahan aku kehilangan kesadaran.

***

Suara monitor membuat aku membuka mataku perlahan, ruangan berwarna putih menyambut netraku. Kepalaku terasa berdenyut, aku mencoba membangunkan diriku tapi tak berdaya. Aku memandang sekeliling ada infus di tanganku, ternyata suara aku dengar datangnya dari monitor mesin jantung. Belum lagi slang yang ada di hidungku sangat menganggu.

Sepi tiada siapa – siapa, tiba – tiba pintuk ruang rawat inapku terbuka. Wajah putri Nampak cemas, berlari mendapatkanku.

“Mama bilang papa pulang, untuk saja ikin mengamuk dari sejak kami pulang meninggalkan mama, akhirnya kami memutuskan untuk kembali kerumah mama untuk menenangkan ikin.” Cucuran air mata putriku menambah luka di jiwa yang sudah terluka parah.

“Fitri sudah menelepon nomor Papa beberapa kali tapi belum ada jawaban.” Isak anakku menyertai ucapannya.

“Ma, sebenarnya Papa pergi kemana sih Ma.” Kenapa susah menghubunginya

Bunyi suara hanphone terdengar, kami saling berpandangan. Anakku Fitri meraih handphoneku dan menganggkatnya.

“Alhamdulillah, akhirnya papa menelepon. Papa dimana Mama masuk rumah sakit Pa.”

Aku hanya memperhatikan anakku yang berbicara dengan papanya melalui handpgone, sesekali aku melihat wajah putriku yang sepertinya tidak puas dengan jawaban Papanya. Lumayan lama mereka berbicara sampai akhirnya aku mendengar anakku berkata

“Papa harus pulang sekarang.” Wajah putriku sungguh tidak bersahabat, ada apa sebenarnya.

“Papa keterlaluan Ma, masak Papa bilang baru bisa pulang besok. Sejak kapan Papa keluar kota tidak mengaja Mama.” Selidik putriku dengan memandang lekat wajahku hanya senyum lemah yang bisa aku berikan kepada putriku.

“Mama istirahat ya Ma, Fitri akan menjaga Mama.” Wajah sedih putriku membuatku tambah terluka.

aku berusaha menyembunyikan lukaku dengan berpura – pura tidur, walaupun ini menyakitkan aku harus bertahan. Dari pura – pura tidur akhirnya aku terlelap dalam rasa sakit hati yang mendalam.(bersambung)

***

Cintaku (2)

 

Tidurku terganggu karena suara keras putriku, aku membuka mata pelan. Dua sosok yang sama – sama keras kepala sedang beradu argumentasi, wajah mereka berdua sudah sama – sama merah, akhirnya aku harus memejamkan mata melihat tangan suamiku melayang dan mendarat di pipi putriku.

“Sudah, berhenti.” Teriakkanku membuat keduanya langsung memandangku seketika.

“Fitri, pulanglah biar Mama sama Papa saja.” mataku memandang intens putriku meminta pengertianya untuk meninggalkan aku dengan Papa saja.

“Ma .” aku mengelengkan kepala

“Fit, dengarkan mama.” Rintihku pelan.

Aku melihat langkah tidak rela putriku meninggalkan aku dengan Papanya, sejenak keheningan melanda aku dan suamiku, aku memejankan mataku, langkah mendekat dan sentuhan di tanganku cepat ku tepis.

“Pergilah Bang, aku ingin sendiri.” Ucapku cepat

Langkah menjauh terdengar oleh teligaku, hatiku menangis sungguh tidak berharganya aku di mata suamiku, tidak ada lagi rayuan jika aku merasa kesal kepadanya. Biasanya susah payah aku memintanya untuk meninggalkan aku sendiri jika aku sedang kesal dengannya tapi saat ini hanya sekali aku memintanya dia, suamiku langsung pergi.

***

“Ma, sentuhan di lenganku membuat aku tersentak dan langsung memandang ke arah sentuhan dan wajah putriku tersenyum hambar menyambut senyumku yang sama hambar juga.

“Ma, mama ikut Fitri saja. biarkan Papa dengan dunianya. Akan ada saatnya Papa akan membutuhkan kita dan saat itu kita yang akan meninggalkannya.” Ucapan putriku berapi – api.

“Fit, Papa hanya tersesat, kita tidak bisa meninggalkan Papa saat ini.” Aku memeluk putriku dan menenangkannya

“Papa bukan umurnya untuk  sesat Ma, harta membuat Papa lupa akan hakikat dirinya sebagai orang tua dan suami. Fitri jijik dengan kelakuan Papa, wanita itu lebih muda dari Fitri Ma.” Geram putriku.

Kami masih saling berpelukan, isak putrid terdengar, kesal dengan Papanya memuncak. Aku berusaha menenangkannya walaupun aku tahu diriku sendiri tidak tenang. Entah kekuatan dari mana yang aku miliki yang pasti saat ini aku hanya pasrah pada – Nya saja.

***

Langkah berat itu milik suamiku, sudah seminggu sejak aku keluar dari rumah sakit. Baru hari ini dirinya pulang. Aku yang dari tadi berdiri di depan balkon kamar kami, memutar arah melihat ke arah suamiku yang mendekat. Senyumku mengembang.

“Sudah pulang Bang, mau mandi dulu atau makan?” tanyaku

Langkahku menjauh dari balkon maksud hati akan menyediakan apapun yang di minta suami, tapi cekalan di tanganku menghentikan langkahku.

“Kita perlu bicara.” Suara beratnya terdengar.

Aku menghentikan langkahku, berdiri kembali di sampingnya. Aku memandang wajahnya dalam, dengan senyum yang melambangkah keikhlasan yang aku punya.

“Aku mau menikah lagi.”

“Kapan tanggal pernikahannya.” Aku memandangnya wajah masih dengan senyum

“Bulan depan.” Jawabnya singkat

“Sudah izin orangtuanya, jangan bilang dia sudah hamil Bang. Yang penting izin orangtuanya sudah Abang dapat, aku tidak masalah.” Suaraku setenang air di lautan lepas.

“Orang tunay sudah izin, kamu mengizinkan Abang nikah lagi?”

“Apakah Abang meminta izinku sekarang, sepertinya sudah terlambat. Bukan izin yang Abang minta tapi hanya pemberitahuan Abang akan menikah. Silakan menikah.” Ucapku datar dan berlalu meningalkan suamiku.

Wajah suami mematung mendengar ucapanku, tak ada lagi tangan yang mencengah langkahku, aku harap ucapanku menohok hati nuraninya, mungkin dengan kekayaanya dia bisa mendapatkan semua wanita dengan mudah aku tidak peduli. Silakan menikah, aku akan tetap menjadi istrinya karena tidak ada kamus perceraian dalam hidupku. Sudah terlalu tua untu memutus tali silaturahmi, biarkan waktu yang menjawab siapa yang akan setiap menemaninya sampai ajal menjemput. Aku menuju pintu kamar mandi menyediakan air hangat untuk mandinya.

“Air hangatnya sudah siap, Abang bisa mandi sekarang.” Setelah mengatakan itu aku berlalu menuju keluar kamar menuju dapur untuk menyediakan makan buatnya. Bisa aku lihat dengan ekor mataku sebelum keluar kamar raut  penyesalan di wajah suamiku. Bukan aku menghukumnya tapi aku sudah pasrah dengan takdir cinta bisa datang dan pergi semudah membalik telapak tangan. Tapi hati tidak semudah itu untuk melupakan cinta buat seseorang, jika cinta ikhlaskan dia untuk mendua.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...