Pagi ini terasa lebih dingin dari biasanya, aku memandang kesebelah kosong, sudah beberapa malam ini tempat itu tidak berpenghuni. Kemana gerangan perginya sosok lelaki yang bergelar suamiku, alasan pekerjaan yang membuatku harus menekan rasa hati yang diabaikan. Usia perkahwinan yang sudah melewati batas terpaan bagai ternyata tidak berlaku bagi pernikahanku.
Semakin tua, bukannya semakin mesra tapi
semakin menjauh saja. Aku bangkit dari tidur yang gelisah, menuju kamar mandi
menenangka hati dengan sholat malam lebih baik aku mengadu pada – Nya batinku
menangis.
Pagi menyonsong aku terlelap setelah
menyelesaikan sholat subuhku, badan yang meringkuk di atas sejadah membuat
tulang tua ini merasakan sakit tapi tidak sesakit rasa hatiku saat ini. Aku
memandang pintu, suara ketukan membuatku bangun menuju pintu kamarku.
“Nenek baru bangun.”
“Iya.” Sahutku sambil memberikan senyum
termanisku kepada cucu satu – satunya.
“Asyikin baru datang?” ucapku sambil
mengecup pipi gembul cucuku
“Mama mana?” tanyaku pada cucuku
“Mama lagi ke dapur, Papa lagi duduk di
teras Nek.” Aku gemas melihat cara cucuku berbicara.
“Nenek lipat mukenanya dulu ya, Asyikin
ke mama dulu, nanti nenek menyusul.”
Cucuku mengangguk dan pergi meninggalkan
kamarku, setelah berbenah aku mengambil jilbab dan memasangnya serta berjalan
keluar mendapatkan cucu dan anakku.
***
Suasana rumah menjadi sepi kembali
setelah anak, menantu serta cucuku pulang, niatnya mereka ingin menginap tapi
aku menyakinkan mereka untuk pulang. Ini malam minggu malam keluarga, aku tidak
mau merusak malam keluarga anakku hanya karena aku merasa kesepian.
“Mama sudah berapa lama Papa tidak
pulang.”
“Papa pulang malam ini, tadi sudah
menelephone Mama.” Dustaku dengan senyum menyakinkan anakku.
“Mama dengan Papa baik – baik sajakan?”
Nada khawatir keluar dari mulut anakku.
“Kamu itu, kami sudah tua. Mama percaya
sama Papa.” Senyumku berusaha menyembunyikan dusta, hatiku tidak lagi percaya
pada suamiku.
***
Malam semakin larut, aku tersenyum
miris. Mana kepercayaanku kepada suamiku, semua terkikis ketika melihat gambar
status suamiku. Tangan yang berpegangan erat, cincin yang terpasang di tangan
tua itu milik suamiku tanpa tangan satunya lagi bukan tanganku, genggaman yang
erat membuat hatiku menjerit pilu.
Tanganku meraih tombol video call,
sekali dua kali dan sampai habis nada sambungnya tidak diangkat. Hembusan napas
berat lolos dari mulutku, lima tahun sampai sepuluh tahun perkahwinan kami
lewati dengan tenang walau ada gangguan kami tetap bertahan. Tidak terbayangkan
setelah empat puluh tahun pernikahaan yang seharusnya berbahagia menua bersama,
malah membuat hatiku luka.
Lelah jiwaku hampa ragaku tak lagi bisa
bertahan napasku mulai sesak, degup jantung berpacu perlahan aku kehilangan
kesadaran.
***
Suara monitor membuat aku membuka mataku
perlahan, ruangan berwarna putih menyambut netraku. Kepalaku terasa berdenyut,
aku mencoba membangunkan diriku tapi tak berdaya. Aku memandang sekeliling ada
infus di tanganku, ternyata suara aku dengar datangnya dari monitor mesin
jantung. Belum lagi slang yang ada di hidungku sangat menganggu.
Sepi tiada siapa – siapa, tiba – tiba
pintuk ruang rawat inapku terbuka. Wajah putri Nampak cemas, berlari
mendapatkanku.
“Mama bilang papa pulang, untuk saja
ikin mengamuk dari sejak kami pulang meninggalkan mama, akhirnya kami
memutuskan untuk kembali kerumah mama untuk menenangkan ikin.” Cucuran air mata
putriku menambah luka di jiwa yang sudah terluka parah.
“Fitri sudah menelepon nomor Papa
beberapa kali tapi belum ada jawaban.” Isak anakku menyertai ucapannya.
“Ma, sebenarnya Papa pergi kemana sih
Ma.” Kenapa susah menghubunginya
Bunyi suara hanphone terdengar, kami
saling berpandangan. Anakku Fitri meraih handphoneku dan menganggkatnya.
“Alhamdulillah, akhirnya papa menelepon.
Papa dimana Mama masuk rumah sakit Pa.”
Aku hanya memperhatikan anakku yang
berbicara dengan papanya melalui handpgone, sesekali aku melihat wajah putriku
yang sepertinya tidak puas dengan jawaban Papanya. Lumayan lama mereka
berbicara sampai akhirnya aku mendengar anakku berkata
“Papa harus pulang sekarang.” Wajah
putriku sungguh tidak bersahabat, ada apa sebenarnya.
“Papa keterlaluan Ma, masak Papa bilang
baru bisa pulang besok. Sejak kapan Papa keluar kota tidak mengaja Mama.”
Selidik putriku dengan memandang lekat wajahku hanya senyum lemah yang bisa aku
berikan kepada putriku.
“Mama istirahat ya Ma, Fitri akan
menjaga Mama.” Wajah sedih putriku membuatku tambah terluka.
aku berusaha menyembunyikan lukaku
dengan berpura – pura tidur, walaupun ini menyakitkan aku harus bertahan. Dari
pura – pura tidur akhirnya aku terlelap dalam rasa sakit hati yang mendalam.(bersambung)
***
Cintaku (2)
Tidurku terganggu karena suara keras
putriku, aku membuka mata pelan. Dua sosok yang sama – sama keras kepala sedang
beradu argumentasi, wajah mereka berdua sudah sama – sama merah, akhirnya aku
harus memejamkan mata melihat tangan suamiku melayang dan mendarat di pipi
putriku.
“Sudah, berhenti.” Teriakkanku membuat
keduanya langsung memandangku seketika.
“Fitri, pulanglah biar Mama sama Papa
saja.” mataku memandang intens putriku meminta pengertianya untuk meninggalkan
aku dengan Papa saja.
“Ma .” aku mengelengkan kepala
“Fit, dengarkan mama.” Rintihku pelan.
Aku melihat langkah tidak rela putriku
meninggalkan aku dengan Papanya, sejenak keheningan melanda aku dan suamiku,
aku memejankan mataku, langkah mendekat dan sentuhan di tanganku cepat ku
tepis.
“Pergilah Bang, aku ingin sendiri.”
Ucapku cepat
Langkah menjauh terdengar oleh teligaku,
hatiku menangis sungguh tidak berharganya aku di mata suamiku, tidak ada lagi
rayuan jika aku merasa kesal kepadanya. Biasanya susah payah aku memintanya
untuk meninggalkan aku sendiri jika aku sedang kesal dengannya tapi saat ini
hanya sekali aku memintanya dia, suamiku langsung pergi.
***
“Ma, sentuhan di lenganku membuat aku
tersentak dan langsung memandang ke arah sentuhan dan wajah putriku tersenyum
hambar menyambut senyumku yang sama hambar juga.
“Ma, mama ikut Fitri saja. biarkan Papa
dengan dunianya. Akan ada saatnya Papa akan membutuhkan kita dan saat itu kita
yang akan meninggalkannya.” Ucapan putriku berapi – api.
“Fit, Papa hanya tersesat, kita tidak
bisa meninggalkan Papa saat ini.” Aku memeluk putriku dan menenangkannya
“Papa bukan umurnya untuk sesat Ma, harta membuat Papa lupa akan hakikat
dirinya sebagai orang tua dan suami. Fitri jijik dengan kelakuan Papa, wanita
itu lebih muda dari Fitri Ma.” Geram putriku.
Kami masih saling berpelukan, isak
putrid terdengar, kesal dengan Papanya memuncak. Aku berusaha menenangkannya
walaupun aku tahu diriku sendiri tidak tenang. Entah kekuatan dari mana yang
aku miliki yang pasti saat ini aku hanya pasrah pada – Nya saja.
***
Langkah berat itu milik suamiku, sudah
seminggu sejak aku keluar dari rumah sakit. Baru hari ini dirinya pulang. Aku yang
dari tadi berdiri di depan balkon kamar kami, memutar arah melihat ke arah
suamiku yang mendekat. Senyumku mengembang.
“Sudah pulang Bang, mau mandi dulu atau
makan?” tanyaku
Langkahku menjauh dari balkon maksud
hati akan menyediakan apapun yang di minta suami, tapi cekalan di tanganku
menghentikan langkahku.
“Kita perlu bicara.” Suara beratnya
terdengar.
Aku menghentikan langkahku, berdiri
kembali di sampingnya. Aku memandang wajahnya dalam, dengan senyum yang
melambangkah keikhlasan yang aku punya.
“Aku mau menikah lagi.”
“Kapan tanggal pernikahannya.” Aku
memandangnya wajah masih dengan senyum
“Bulan depan.” Jawabnya singkat
“Sudah izin orangtuanya, jangan bilang
dia sudah hamil Bang. Yang penting izin orangtuanya sudah Abang dapat, aku
tidak masalah.” Suaraku setenang air di lautan lepas.
“Orang tunay sudah izin, kamu
mengizinkan Abang nikah lagi?”
“Apakah Abang meminta izinku sekarang,
sepertinya sudah terlambat. Bukan izin yang Abang minta tapi hanya
pemberitahuan Abang akan menikah. Silakan menikah.” Ucapku datar dan berlalu
meningalkan suamiku.
Wajah suami mematung mendengar ucapanku,
tak ada lagi tangan yang mencengah langkahku, aku harap ucapanku menohok hati
nuraninya, mungkin dengan kekayaanya dia bisa mendapatkan semua wanita dengan
mudah aku tidak peduli. Silakan menikah, aku akan tetap menjadi istrinya karena
tidak ada kamus perceraian dalam hidupku. Sudah terlalu tua untu memutus tali
silaturahmi, biarkan waktu yang menjawab siapa yang akan setiap menemaninya
sampai ajal menjemput. Aku menuju pintu kamar mandi menyediakan air hangat
untuk mandinya.
“Air hangatnya sudah siap, Abang bisa
mandi sekarang.” Setelah mengatakan itu aku berlalu menuju keluar kamar menuju
dapur untuk menyediakan makan buatnya. Bisa aku lihat dengan ekor mataku sebelum
keluar kamar raut penyesalan di wajah
suamiku. Bukan aku menghukumnya tapi aku sudah pasrah dengan takdir cinta bisa
datang dan pergi semudah membalik telapak tangan. Tapi hati tidak semudah itu
untuk melupakan cinta buat seseorang, jika cinta ikhlaskan dia untuk mendua.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar