Minggu, 24 Oktober 2021

Salam Mimpi

 

Hamparan hijau membentang, merpati saling berkejar. Aku menikmati pemandangan indah di depanku dengan senyum tersunging manis di bibir. Semua menyejukkan netraku, binar bahagia tidak hanya di mata tapi seluruh jiwa dan ragaku. Ada suara mengusik ketenanganku, malas aku memalingkan wajah ke arah suara itu, aku tetap fokus dengan pemandangan di depanku.

Guncangan seperti gempa tiba – tiba terasa, aku melihat kanan dan kiriku tapi hanya tubuhku saja yang bergerak pemandangan di depanku terlihat biasa saja.  semakin kuat guncangan di badanku.

“Bangun bunda, bangun.” Suara kecil membuyarkan semua mimpi indahku.

Mengerjapkan netra yang masih terasa lengket, mencium bau sabun dan shampoo yang berlebihan akhirnya aku sempurna membuka netraku, si jantung hati pengobat segala galau, dengan senyum manisnya menjadi pamandangan indah pagiku hari ini.

“Indra sudah mandi, hebat anak bunda.” Ucapku sambil merengkuhnya dalam peluk, ciumanku sudah mendarat di pipi tembamnya.

“Lapar bunda, jam berapa kita sekolah Bunda.” Ucapnya membuatku tersenyum

“Hari ahad kita tidak kesekolah sayang.” Ucapku, sekali lagi aku mendaratkan ciuman di pipinya yang gembil.

Aku, Aini Putri single parent dari Indra Samudra, walaupun punya suami seperti single parent saja. Bagaimana tidak single parent sejak suamiku berhasil mengijab Kabul maduku hanya setahun sekali dia datang, meminta maaf pada hari suci lebaran nan fitri, selebihnya nihil hanya chat wa menanyakan kabar putra semata wayang yang mungkin kini juga lupa akan wajahnya.

***

Setelah penat berlari pagi yang menjadi rutinitas kami di hari ahad, aku memandang Indra kecil yang sedang asyik memakan kebab yang sempat kami beli sewaktu berlari di costal area, yang menjadi salah satu pusat wisata di kabupatenku.

“Bunda mau.” Ucapnya sambil mengunyak terus kebab di mulutnya

“Buat Indra saja, bunda minum air saja.” balasku

Setelah keringat mengering, dan lelah berlari tidak terasa lagi aku mengandeng Indra untuk pulang. Belum juga lama kami meninggalkan coastal area, pemandangan di depanku sungguh membuatku menggelengkan kepala bagaimana tidak, dia Bang Andra mengandengan wanita yang bukan maduku.

“Bunda lihat siapa.” Sahut Indra melihat aku fokus pada satu titik sehingga memelankan mobil agya yang lagi aku kemudi.

“Bunda tidak lihat siapa – siapa hanya capek jadi jalannya pelan, takut nabrak.” Imbuhku, yang spontan membuat Indra memijit pahaku

“Kita tidak usah ke pasar jika Bunda capek.” Ucapanya menerbitkan senyum di bibirku.

“Indra jangan sampai seperti Ayahnya yang sudah menyebar jarum cinta,” batinku lirih.

***

“Ain apa tidak sebaiknya kalian cerai saja, bangun bahagiamu.” Percakapan dengan Ambar sahabatku di sekolah tergiang – giang di benakku.

Cerai halal, tapi menyakitkan bagi anakku Indra. Sudah tidak ada cinta buat bang Andra tapi aku juga belum bisa membuka hati untuk pria, takut di sakiti membuat aku menutup diri. Hanya Ambar yang menjadi tempat curhatan hati jika aku merasa galau dan gundah gulana.

Tidak ada satu orangpun selain Ambar yang mengetahui kemelut rumah tanggaku, untung saja aku ASN dengan sertifat profesi sehingga Alhamdulillah aku tidak kekurangan jika Bang Andar tidak memberi nafkah kepada kami. Bersuami tapi janda, selalu menjadi motivasiku untuk tetap bekerja apalagi Indra anak semata wayang yang menjadi penglipur lara.

Jam menunjukkan pukul setengah sepuluh ketika kami sampai di rumah, aku membawa semua barang ke dapur, tanpa menganti baju lagi aku mulai mengeksekusi untuk makan siang.

“Bunda kita jadikan kerumah Atok.” Senyumku mendengar ucapan Indra

“Jadi sayang, sudah rindu dengan Atok ya?” Indra mengangukkan kepalanya.

“Setelah makan siang kita kerumah Atok.” Ucapku

“Kenapa tidak sekarang Bunda, Indra rindu masakan Nenek.” Netra membulat mendengar penuturan Indra

“Ok, kalau gitu tunggu sebentar bunda buat pudding buat Atok Nenek habis itu kita berangkat ke rumah Atok ya.” Binar netra Indra membuatku bahagia.

***

“Assalamualaikum.” Suaraku dan Indra mengema di rumah Ayahku

“Walaikumsallam.” Suara Ayah terdengar dari dalam seiring dibukanya pintu.

Senyum mengembang di wajah tua Ayah, Indra menjadi sasaran peluk dan cium dari Atoknya.

“Andra tidak ikut?” Hatiku yang semula berbunga melihat tingkah Ayah mendadak menjadi sedih, ekspresiku harus gembira walaupun hatiku menangis

“Bang Andra sibuk, titip salam buat Ayah dan Ibu.” Ujarku dengan suara ceria yang dibuat – buat.

“Andra selalu sibuk, hanya lebaran saja main ke sini.” Ucapan Ayah menohok hatiku

“Jangan begitu Ayah, Andra kerja keras buat Ain dan Indra juga.” ucapku yang menambah luka di dada.

“Ibu mana Yah?” tanyaku untuk mengalihkan perhatian Ayah.

“Ibu lagi di dapur.”

“Ain ke dapur dulu Yah, Indra main sama Atok ya Nak.” Ucapku meninggalkan Indra dengan Ayah.

***

Aku pamit dengan Ayah dan Ibu, aku tahu mereka kecewa denganku, setiap menanyakan Bang Andra aku selalu berkilah. Mulut tetangga tidak bisa ku tutup, tapi aku tidak mau membuka aib rumah tanggaku, selagi bisa bertahan aku akan bertahan, jika tidak ada masanya aku akan melepaskannya walau dengan berat hati dan akan membuat Indra kecewa. Selama ini hanya Indra yang menjadi alasanku untuk bertahan, masih terlalu kecil untuk Indra mengerti pengkhiatan Ayahnya dalam rumah tangga kami.

Mobil agyaku sudah parkir cantik di halaman rumah, aku bergegas turun membuka pintu co- driver Indra tertidur selama perjalanan pulang tadi. Perlahan aku mengendong Indra, walaupun usia Indra tiga tahun tapi bobotnya lumayan berat.

Rasa kaget tidak dapat aku sembunyikan ketika tiba – tiba saja, ada tangan yang mengambil Indra dari pelukanku.

“Bang Andra.” Pekikku kecil

“Tidak biasanya Abang datang?” spontan ucapanku keluar dari mulut

“Ada yang ingin abang sampaikan.” Ucapnya singkat sambil membopong Indra masuk ke dalam rumah.

Aku membiarkan Bang Andra mengantar Indra ke kamarnya, aku menunggu Bang Andra di sofa ruang tengah.

“Kita bicara di kamar saja.” Pinta Bang Andra setelah kembali ke luar tengah.

“Di sini saja Bang.” Ucapku membantah ucapan Bang Andra

“Abang penat, bicaranya sambil tiduran saja.” Bang Andra kekeh dengan ucapannya.

“Di sini saja jika ingin bicara serius.” Bang bantahku jengkel

Aku melihat raut wajah yang menahan emosi dari wajah Bang Andra.

“Aku rindu, bolehkan aku melepas rindu sama Istriku.” Ucap Bang Andra dengan menahan kesal

Senyum kecut aku hadiahkan untuk Bang Andra, selama ini kemana dirinya. Apakah dia tidak tahu Aku dan Indra menrindukannya, apa hanya dia yang boleh rindu kepada kami dan melepaskannya dengan sesuka hati, tapi bagaimana dengan Aku dan Indra, batinku.

“Katanya ada yang mau dibicarakan, tidak jadi?” aku masih tetap di sofa tengah.

Akhirnya Bang Indra ikut duduk di sebelahku, aku berdiri mengambil sofa single dan duduk di sana.
“Ain bau, belum mandi.” ujarku sebelum Bang Andra membuka mulutnya.

Terdengar jelas, hembusan napas jengkel dari mulut Bang Andra.

“Ain sengaja menjaga jarak dengan Abang?” ucapnya tidak jelas

“Abang mau bicara apa? mau nikah lagi, minta izin saja sama madu Ain, kalau Ain izin saja, mana surat yang perlu Ain tanda tangan.” Ucapku datar.

Binar netra membara dari netra Bang Andra membuatku sedikit takut tapi aku menguatkan batinku dan menatap balik Bang Andra.

“Abang mau bercerai dengan Intan.” Ucapannya hanya angin lalu buatku

“Terus mau nikah dengan yang baru Bang?” ucapku santai

“Ain jaga bicaramu.” Lengkingan suara Bang Andra mengema di ruang tengah.

“Indra tidur Bang.” Ucapku emosi juga

“Ain, abang lelah. Abang butuh Ain.” Ucapnya dengan nada memohon, netranya menatapku tapi aku tidak merasakan apa – apa dari tatapan Bang Andra.

“Bang, jangan menanam duri lagi di hati Ain, Ain mohon.” Setelah mengatakan itu aku menuju kamar, tubuh dan jiwaku lelah.

Kamar mandi menjadi tujuanku, azan isya sudah terdengar. Siap – siap dengan semua perlengkapan sebelum mempasrahkan semua keluh kesahku kepada-Nya.

“Ain, tunggu Abang kita sholat berjamah.” Aku memandang Bang Andra yang baru masuk ke kamar kami, hanya anggukan kepala untuk menjawab permintaan Bang Andra.

Sudah lama kami tidak berjamah sejak Bang Andra menikah dengan Intan, maduku. Aku melihat isak kecil dari Bang Andra ketika memanjatkan doa setelah kami selesai sholat, apa yang terjadi dengan Bang Andra, batinku.

Setelah aku mencium tangan Bang Andra, kesunyian melanda kami. Akhirnya aku membenahi perlengkapan sholat dan meletakkan pada tempatnya, aku melihat Bang Andra masih duduk bertafakur sejadahnya entah doa apa yang dipanjatkannya.

“Abang tidur di sini, malam ini boleh?” ucapan Bang Andra membuatku terkejut

Aku memandang lekat Bang Andra, bagaimanapu Bang Andra suamiku. tidak seperti biasanya Bang Andra meminta izin untuk menginap di sini, biasanya aku yang meminta Bang Andra untuk menginap. Akhirnya hanya anggukan kepala yang bisa aku berikan atas pertanyaan Bang Andra.

“Abang mau makan, Ain masakan nasi goreng ?” ucapkan memecah kesunyian kami setelah tadi hanya izin menginap saja yang keluar dari mulut Bang Andra.

“Pedas ya sayang.” Aku mengernyitkan keningku mendengar kata sayang keluar dari mulut Bang Andra, sudah lama aku tidak mendenganya.

“Ya, Abang istirahat nanti siap Ain kasih tahu.” Ucapkan meninggalkan Bang Andra di kamar ada kelelahan yang dalam di netra Bang Andra

Aku berkutat di dapur membuat nasi goreng pedas sesuai permintaanya, setengah selesai aku membuat nasi goreng dengan toping telur mata sapi setengah matang kesukaan Bang Andra ada juga timun dan tomat iris serta daun salad. Tidak lupa aku juga membawa kerupuk sebagai pelengkapnya. Nampan ditangan mengayun langkah menuju kamar, pemandang yang lama tidak aku lihat, Bang Andra tertidur dengan dengkur kecil yang dulu menjadi nyanyian yang selalu membuatku menatapnya jika tertidur lelap sebelum aku membangunkannya untuk berangkat kerja. Aku meletakan nampan di meja kecil dikamar kami, langkahku mendekati Bang Andra menguncang pelan tangannya.

“Bang nasi gorengnya sudah masak.” Ucapku sambil mengucang pelan lengannya.

Perlahan aku melihat matanya terbuka, senyum lelah di hadiahkanya padaku.

“Ada apa dengan Bang Andra.” Batinku

Bang Andra bangun dari tidurnya, melangkah menuju meja kecil dan menyantap nasi gorengnya.

“Masih sama, enak.” Ucapnya sambil menatapku

Ada tanda tanya besar di benakku melihat tingkah yang tidak seperti biasanya dari Bang Andra, tapi aku tidak mau mengorekknya, ku biarkan Bang Andra menyantap nasi gorengnya dengan tenang.

“Alhamdulillah, terima kasih Sayang.” Ucapannya membuat jengah.

Bang Andra menaruk semua berkas makannya, berdiri dan keluar kamar. Ada apa dengan Bang Andra, tak seperti biasanya. Selalunya jika habis makan, Bang Andra akan langsung meninggalkannya, dan menjadi tugasku untuk membersihkannya. Aku mengikuti langkah Bang Andra sampai ke dapur sekali lagi aku di suguhi pemandang yang tidak biasa, Bang Andra mencuci semua perlengkapan yang ada di wastafel.

“Kenapa ikut ke dapur?” aku memandangnya dengan netra tidak percaya

Bang Andra mengamit lenganku, kami melangkah menuju kamar. Sesampainya di kamar, Bang Andra  mendudukkan diriku pada ranjang kami. Bang Andra memandangku lekat, mengenggam tanganku erat.

“Maafkan kesalahan Abang selama ini. Kita mulai lagi dari awal.” Ucapnya sepenuh hati, aku melihat tatapnya sama seperti pertama kali mengajakku menikah. Abang tahu, terlalu banyak salah Abang sama Ain, Abang egois tapi berikan Abang kesempatan sekali lagi Ain.” Ucap bang Andra terbata.

Aku…

“Bunda.” Suara Indra menginterupsi pembicaraan Aku dan bang Andra

Kami memandang pintu kamar, Indra berdiri di sana.

“Ayah, Indra rindu.” Indra berdiri mendapatkan Ayahnya, aku melihat ke dua laki – laki beda usia yang mengisi hari – hariku, suka maupun duka aku dapat dari mereka. Apakah aku sanggup membuat salah satu dari mereka kecewa dengan jawabanku, aku menghela napas berat, seberat bebanku saat ini. Ini bukan mimpi, tapi kenyataan yang mesti aku jalani. Akhirnya aku membenahi hati dengan mengatakan biarkan salam mimpi menyambut hariku, tidak ada salahnya memberikan kesempatan, memberi maaf bukankah itu juga ajaran-Nya. Semoga malam ini salam mimpiku indah.***

 

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...