Bertafakur, berpikir jauh setelah selasai sholat malam dengan doa yang sama agar dipertemukan dengan jodohku secepat mungkin, aku sudah gerah dengan segala pertanyaan yang menyangkut soal jodoh. Bukannya perempuan ibarat sumur yang tidak mungkin mencari timba, tapi apakah mereka tidak tahu. Mana mungkin tidak tahu, buktinya umur mereka yang bertanya soal jodoh adalah tetua di keluargaku.
“Masih
belum ketemu Hana. “ kiasan dari Mak Long kakak Ibuku sungguh sudah biasa aku
dengar jika ada kumpul keluarga seperti
hari ini, perkahwinan sepupuku yang usianya empat tahun dibawahku.
“Jangan
di tanya Kak, nanti mengamuk Mak si Hana kalau dengar.” Ucapan Mak Usu adik Mak
ku menimpali.
Aku
hanya bisa tersenyum kecut, walaupun banyak orang yang berkata senyumku semanis
gula dan memikat bagi yang melihatnya. Tapi terpaksa hari ini senyum kecut yang
aku nampakkan.
“Masih
di jalan jodohnya Mak Long.” Aku berusaha bergurau walaupun tak lucu
“Kamu
tu Hana jika ditanya orang tua, jawab yang betul.” Entah sejak kapan Ibu berada
di belakangku mendengar nada suaranya aku tahu Ibu marah.
“Maaf
bu, Hana hanya bergurau.” Sungguh aku takut benaran, dan mengambil langkah
seribu meninggal tetua keluargaku daripada aku kena ceramah panjang lebar.
Lambaian jilbabku tersangkut sesuatu ketika aku berusaha berlari kecil dari
sekumpulan tetua keluargaku.
“Maaf.”
Cepat aku meminta maaf, ternyata jilbab panjangku tersangkut pada pin baju
seseorang yang juga menghadiri pernikahan sepupuku.Kami sibuk melepas jilbabku
yang tersangkut dibajunya.
“Tempat
umum Oy, agak – agak sikit.” Sontak aku memandang ke arah suara. Wajah Bang
Kamal sepupuku tersenyum mengoda.
“Bang,
bukannya membantu malah mengusik.” Rungutku kesal kepada Bang Kamal.
“Kenal
di mana dengan adik sepupuku?” aku memandang bingung kearah lelaki yang tanpa
sengaja tersangkut jilbabku. Jilbab yang menyusahkan aku, kalau bukan Ibu yang
memasakku memakainya belum tentu aku memakainya.
“Belum
kenal.” Hanya sepotong kata yang keluar dari mulut lelaki yang dari tadi berusaha
menolongku melepas sangkutan jilbabku pada bajunya.
“Kenalkan
ini adik sepupuku Hana, Hana ini Akmal kawan Abang. Masih single, gantengkan.”
Wajahku merona, sungguh aku tidak bisa berkata apa – apa dengan kondisi yang
seperti ini.
Hm
akhirnya aku bisa bernapas lega, sudah lepas sangkutan jilbabku dari baju Bang
Akmal.
“Maaf.”
Sekali lagi aku berucap
“Tak
masalah.” Masih irit bicara
“Nak
kemana Hana, sini kenalan dulu sama Akmal.” ketika aku hendak menjauh dari Bang
Kamal dan Akmal.
Aku
memandang wajah Bang Akmal, mata kami bertabrakan. Cepat aku memindahkan
netraku.
“Ha..”
belum selesai ucapanku, Bang Kamal menarik tangan kami, aku dan Akmal menuju
kursi yang tersusun rapi untuk tamu. Mau tidak mau kami duduk bersebelahan
dengan Bang Kamal duduk di tengahnya.
“Aku
titip sepupuku Akmal.” Belum hilang rasa canggungku, Bang Kamal berdiri dan
meninggalkan kami.
Hanya
berbatas satu kursi yang sudah ditinggalkan Bang Kamal batas kami, jantungku
berdegup kencang, belum pernah seperti ini aku.
Kami
sama – sama terdiam, aku memandang wajahnya ternyata saat yang bersamaa diapun
sedang melihat kepadaku. sekali lagi netra kami beradu, aku berusaha
menerbitkan senyumku tapi seperti tarikan bibir saja rasanya. Ada rasa yang
susah aku jabarkan, lama kami saling membisu.
“Kerja
dinama Hana, Hanakan namanya?” sangat canggung Bang Akmal berkata
“Guru.”
Jawabku singkat, aku jadi irit bicara seperti dirinya.
“Tidak
tanya Saya kerja dimana? “ aku memandang wajahnya, sejak kapan dia tidak irit
bicara batinku.
“Bukannya
Abang satu kerjaan sama Bang Kamal.” Ucapku heran
“Bukan
Saya mantannya, Syhanaz.” Ucapannya membuatku terkejut, Syahnaz sepupuku yang
sekarang duduk dipelaminan. Aku memandang lekat kea rah Bang Akmal, hebat
lelaki ini bisa hadir dipernikahan mantanya, batinku sambil terus menatapnya.
“Jangan
dipandang terus, nanti suka.” Aku langsung menundukkan wajahku mendengar
ucapannya.
“Ha
ahaha, mana mungkin aku menghadiri pernikahan mantanku. Ternyata benar yang
dikatakan Kamal, kamu itu terlalu polos.” Ucapannya membuat aku mengangkat
wajahku, tawanya sungguh membuat kesal. Aku berdiri memulai langkahku untuk
meninggalkannya, tapi sekali lagi jilbab panjangku seperti tersangkut pada
sesuatu, aku melihat ke kursi yang aku duduki. Tapi ternyata jilbabku yang
ujungnya panjang di belakang dipegang olej Bang Akmal. spontan mataku membulat
besar.
“Lepaskan.”
Ucapku geram dan berusaha menarik jilbabku yang bermodel panjang di belakang
melebihi paha, sementara yang di depan menutupi hampir sampai di bawah pusar.
“Begitu
saja sudah marah, mau jadi calon pengantinku” tanpa bersalah dengan matanya
masih menatapku lekat seakan menguliti diriku.
Bisa
aku pastikan sekarang mukaku pasti seperti rebusan udang memerah, belum pernah
ada seorang lelakipun yang berkata seperti itu kepadaku.
“Lepaskan.”
Sekali lagi aku memohon sambila menarik jilbabku.
“Duduk
dulu, baru di lepas jilbanya.” Sungguh suaranya seperti mantra yang membuatku
duduk kembali dan entah kemana hilangnya rasa kesalku tadi.
“Abang
banyak mendengar tentang Hana dari Kamal, sebenarnya Abang yang meminta bertemu
dengan Hana di acara ini, tapi siapa sangka ternyata Jilbab Hana menarik Abang
sebelum sempat Kamal memperkenalkan kita. Sekali lagi Abang tanya Hana mau jadi
Istria bang.” Tatapan yang mengitimidasi dengan pertanyaan yang membuatku mata
kutu.
***
“Sah.”
Penghulu bertanya kepada saksi dan jawaban mereka membuat semua yang hadir
merasa lega. Hatiku yang sejak tadi gemuruh dan tak tentu arah akhirnya bisa
merasa lega bagaimana tidak hari ini menjelang tiga puluh tahun usiaku, aku
melepas masa lajang dengan orang yang di kirim oleh – Nya, menjawab semua doa
malamku yang meminta dari masalah jodohku. Jodoh kita sudah ditulis namanya
jauh sebelum kita lahir. Dia memberikan sesuatu yang kita butuhkan bukan yang
kita minta. Bukan hanya sekali tapi berulang kali bahkan mungkin lebih ribuan
kali kalimat itu aku panjatkan dalam doa
di hati dan pikiranku meminta jodohku. Aku berprasangka buruk padanya saat doa
– doaku tak diijabahnya. Duduk terpaku pada sejadah dengan sejuta tetes airmata
yang tak berhenti mengiringi sholat malamku. Aku terlalu mengejar dunia
sehingga kadang lupa akan akhiratku. Sekarang keluh kesahku terjawabkan hanya
dengan sekali pertemuan di pernikahan sepupuku dua bulan yang lalu, sekarang
aku yang duduk dipelamin dengan mahar kalimah syahadat serta satu juz yang
dibacakan Bang Akmal sungguh aku bersyukur dengan jodoh yang dikirimkannya
lewat jilbab panjangku.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar