Sabtu, 16 Oktober 2021

Jilbab Panjangku.

 

Bertafakur, berpikir jauh setelah selasai sholat malam dengan doa yang sama agar dipertemukan dengan jodohku secepat mungkin, aku sudah gerah dengan segala pertanyaan yang menyangkut soal jodoh. Bukannya perempuan ibarat sumur yang tidak mungkin mencari timba, tapi apakah mereka tidak tahu. Mana mungkin tidak tahu, buktinya umur mereka yang bertanya soal jodoh adalah tetua di keluargaku.

“Masih belum ketemu Hana. “ kiasan dari Mak Long kakak Ibuku sungguh sudah biasa aku dengar jika ada kumpul keluarga seperti  hari ini, perkahwinan sepupuku yang usianya empat tahun dibawahku.

“Jangan di tanya Kak, nanti mengamuk Mak si Hana kalau dengar.” Ucapan Mak Usu adik Mak ku menimpali.

Aku hanya bisa tersenyum kecut, walaupun banyak orang yang berkata senyumku semanis gula dan memikat bagi yang melihatnya. Tapi terpaksa hari ini senyum kecut yang aku nampakkan.

“Masih di jalan jodohnya Mak Long.” Aku berusaha bergurau walaupun tak lucu

“Kamu tu Hana jika ditanya orang tua, jawab yang betul.” Entah sejak kapan Ibu berada di belakangku mendengar nada suaranya aku tahu Ibu marah.

“Maaf bu, Hana hanya bergurau.” Sungguh aku takut benaran, dan mengambil langkah seribu meninggal tetua keluargaku daripada aku kena ceramah panjang lebar. Lambaian jilbabku tersangkut sesuatu ketika aku berusaha berlari kecil dari sekumpulan tetua keluargaku.

“Maaf.” Cepat aku meminta maaf, ternyata jilbab panjangku tersangkut pada pin baju seseorang yang juga menghadiri pernikahan sepupuku.Kami sibuk melepas jilbabku yang tersangkut dibajunya.

“Tempat umum Oy, agak – agak sikit.” Sontak aku memandang ke arah suara. Wajah Bang Kamal sepupuku tersenyum mengoda.

“Bang, bukannya membantu malah mengusik.” Rungutku kesal kepada Bang Kamal.

“Kenal di mana dengan adik sepupuku?” aku memandang bingung kearah lelaki yang tanpa sengaja tersangkut jilbabku. Jilbab yang menyusahkan aku, kalau bukan Ibu yang memasakku memakainya belum tentu aku memakainya.

“Belum kenal.” Hanya sepotong kata yang keluar dari mulut lelaki yang dari tadi berusaha menolongku melepas sangkutan jilbabku pada bajunya.

“Kenalkan ini adik sepupuku Hana, Hana ini Akmal kawan Abang. Masih single, gantengkan.” Wajahku merona, sungguh aku tidak bisa berkata apa – apa dengan kondisi yang seperti ini.

Hm akhirnya aku bisa bernapas lega, sudah lepas sangkutan jilbabku dari baju Bang Akmal.

“Maaf.” Sekali lagi aku berucap

“Tak masalah.” Masih irit bicara

“Nak kemana Hana, sini kenalan dulu sama Akmal.” ketika aku hendak menjauh dari Bang Kamal dan Akmal.

Aku memandang wajah Bang Akmal, mata kami bertabrakan. Cepat aku memindahkan netraku.

“Ha..” belum selesai ucapanku, Bang Kamal menarik tangan kami, aku dan Akmal menuju kursi yang tersusun rapi untuk tamu. Mau tidak mau kami duduk bersebelahan dengan Bang Kamal duduk di tengahnya.

“Aku titip sepupuku Akmal.” Belum hilang rasa canggungku, Bang Kamal berdiri dan meninggalkan kami.

Hanya berbatas satu kursi yang sudah ditinggalkan Bang Kamal batas kami, jantungku berdegup kencang, belum pernah seperti ini aku.

Kami sama – sama terdiam, aku memandang wajahnya ternyata saat yang bersamaa diapun sedang melihat kepadaku. sekali lagi netra kami beradu, aku berusaha menerbitkan senyumku tapi seperti tarikan bibir saja rasanya. Ada rasa yang susah aku jabarkan, lama kami saling membisu.

“Kerja dinama Hana, Hanakan namanya?” sangat canggung Bang Akmal berkata

“Guru.” Jawabku singkat, aku jadi irit bicara seperti dirinya.

“Tidak tanya Saya kerja dimana? “ aku memandang wajahnya, sejak kapan dia tidak irit bicara batinku.

“Bukannya Abang satu kerjaan sama Bang Kamal.” Ucapku heran

“Bukan Saya mantannya, Syhanaz.” Ucapannya membuatku terkejut, Syahnaz sepupuku yang sekarang duduk dipelaminan. Aku memandang lekat kea rah Bang Akmal, hebat lelaki ini bisa hadir dipernikahan mantanya, batinku sambil terus menatapnya.

“Jangan dipandang terus, nanti suka.” Aku langsung menundukkan wajahku mendengar ucapannya.

“Ha ahaha, mana mungkin aku menghadiri pernikahan mantanku. Ternyata benar yang dikatakan Kamal, kamu itu terlalu polos.” Ucapannya membuat aku mengangkat wajahku, tawanya sungguh membuat kesal. Aku berdiri memulai langkahku untuk meninggalkannya, tapi sekali lagi jilbab panjangku seperti tersangkut pada sesuatu, aku melihat ke kursi yang aku duduki. Tapi ternyata jilbabku yang ujungnya panjang di belakang dipegang olej Bang Akmal. spontan mataku membulat besar.

“Lepaskan.” Ucapku geram dan berusaha menarik jilbabku yang bermodel panjang di belakang melebihi paha, sementara yang di depan menutupi hampir sampai di bawah pusar.

“Begitu saja sudah marah, mau jadi calon pengantinku” tanpa bersalah dengan matanya masih menatapku lekat seakan menguliti diriku.

Bisa aku pastikan sekarang mukaku pasti seperti rebusan udang memerah, belum pernah ada seorang lelakipun yang berkata seperti itu kepadaku.

“Lepaskan.” Sekali lagi aku memohon sambila menarik jilbabku.

“Duduk dulu, baru di lepas jilbanya.” Sungguh suaranya seperti mantra yang membuatku duduk kembali dan entah kemana hilangnya rasa kesalku tadi.

“Abang banyak mendengar tentang Hana dari Kamal, sebenarnya Abang yang meminta bertemu dengan Hana di acara ini, tapi siapa sangka ternyata Jilbab Hana menarik Abang sebelum sempat Kamal memperkenalkan kita. Sekali lagi Abang tanya Hana mau jadi Istria bang.” Tatapan yang mengitimidasi dengan pertanyaan yang membuatku mata kutu.

***

“Sah.” Penghulu bertanya kepada saksi dan jawaban mereka membuat semua yang hadir merasa lega. Hatiku yang sejak tadi gemuruh dan tak tentu arah akhirnya bisa merasa lega bagaimana tidak hari ini menjelang tiga puluh tahun usiaku, aku melepas masa lajang dengan orang yang di kirim oleh – Nya, menjawab semua doa malamku yang meminta dari masalah jodohku. Jodoh kita sudah ditulis namanya jauh sebelum kita lahir. Dia memberikan sesuatu yang kita butuhkan bukan yang kita minta. Bukan hanya sekali tapi berulang kali bahkan mungkin lebih ribuan kali kalimat itu aku panjatkan  dalam doa di hati dan pikiranku meminta jodohku. Aku berprasangka buruk padanya saat doa – doaku tak diijabahnya. Duduk terpaku pada sejadah dengan sejuta tetes airmata yang tak berhenti mengiringi sholat malamku. Aku terlalu mengejar dunia sehingga kadang lupa akan akhiratku. Sekarang keluh kesahku terjawabkan hanya dengan sekali pertemuan di pernikahan sepupuku dua bulan yang lalu, sekarang aku yang duduk dipelamin dengan mahar kalimah syahadat serta satu juz yang dibacakan Bang Akmal sungguh aku bersyukur dengan jodoh yang dikirimkannya lewat jilbab panjangku.***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...