Rabu, 17 November 2021

Talak

 Netraku lelah, pandangan di depanku tak menarik minatku lagi. hembusan napas serasa menyesakkan dada, aku melangkah menuju pintu kamar meninggalkan teras yang menjadi temanku selama menunggu kepulanganya.


Sudah lewat dari jam kantor, bahkan sangat lewat tapi batang hidung suamiku belum ada tandan – tanda akan pulang. Ku raih gawaiku, mencari nomornya dan mendailnya, berdering tapi sampai bunyi nada terakhir tidak diangkat. Jam dinding menunjukkan angka sepuluh, akhirnya aku memutus untuk tidak menunggu suamiku. ku tarik selimut untuk menutupi diri dari dinginnya AC yang ku nyalakan.

Guncangan di kasur membuatku terpaksa membuka mata, hempasan tubuh suamiku membuat gempa kecil di kasur kami. Lirikan mataku melihat jam dinding pukul 2 dini hari, dari mana saja suamiku. aku berpura – pura tidur, setelah aku mendengarkan dengkur halus dari mulut suamiku aku turun dari kasur dengan meminimalis suaranya, pelan aku menekan panel pintu kamar menuju kamar tamu, ada rasa sakit melihat suamiku yang pulang malam lebih dari sepurnama tanpa ada penjelasan yang jelas padaku. Aku bagaikan babu yang menunggu majikannya pulang, setiap pagi pergi dengan dandanan rapi dan bau harum yang menyegak hidungku.

“Tidak biasanya rapi dan harum Bi?” ucapku dua pekan yang lalu

“Kamu itu harusnya bangga suaminya rapi dan harum.” Jawaban dengan bentakan serta suara tinggi  yang aku terima.

Netraku memandangnya bingung tapi hanya kepergianya yang tanpa pamit yang aku terima seperti pagi ini setelah sarapan tanpa mengucapkan sepatah kata pergi seperti aku hanya tunggul hidup di rumah saja.

***

Bel berbunyi, aku melangkah menuju kelas. Keributan remaja terdengar di gendang teligaku.

“Bagaimana dengan Om – om yang kemarin, dibelikan apa?” obrolan mereka terhenti ketika aku melintas di depan mereka

“Selamat pagi Bu Ain.” Ucap mereka serentak

“Pagi, Assalamualaikum.” Jawabku terus berlalu menuju kelas yang akan aku ajar pagi in.

Kesibukan mengajar melupakan rasa gundah akan ke anehan sikap suamiku akhir – akhir ini.

Tak terasa waktu pulang datang, aku mengemas mejaku sebelum berangkat pulang ke rumah. Aku teringat pembicaraan siswi tadi pagi, jangan sampai suamiku menjadi Om – Om penyukai gadis muda, batinku.

Mobil Agya merah berjalan mulus menuju rumah, orang bisa berkata aku bahagia punya suami dengan jawabatan tinggi. Hanya aku dan kepala sekolah yang memakai mobil ke sekolah, risih sebenarnya tapi karena ini hadiah perkahwinan tahun lalu dari suamiku, setelah itu bencana itu mulai tiba, suamiku tidak pernah lagi menyemputku bahkan sekarang sering pulang terlambat, jangan – jangan besok malah tidak pulang.

Satu notifikasi masuk, aku membuka whatsapp, satu hembusan kecewa membacanya

“Abi ke Batam 2 hari ada rapat.” Baru saja terpikirkan sudah jadi kenyataan.

“Umi nyusul ya, besokkan libur.” Aku membalas chat suamiku

“Trus anak – anak bagaimana, mau di tinggal?”

“Umi bawa, sudah lama kita tidak libur bersama.”

“Umi, Abi kerja. Minggu depan saja.” balas suamiku lagi.

***

Umi, sekarang Abi sering tidak di rumah, Hana rindu Abi. Tergiang ucapan si kecil yang baru berumur empat tahun. Sementara abangnya yang sudah kelas lima sekolah dasar seperti tenang saja, entah karena anak laki – laki jadi tidak menunjukkan kalau dia rindu dengan Abinya.

Seharusnya sore tadi suamiku sudah tiba di rumah, kapal dari Batam jika naik kapal terakhirpun setelah magrib sudah sampai di rumah, batinku.

Merebahkan jiwa dan badan yang lelah, aku menarik selimut menutupinya sampai ke dada. Melihat selintas ke arah jam, pukul setengah sepuluh. Perlahanan aku memejamkan mata setelah membaca doa tidur, berharap menjemput mimpi indah setelah dua hari ini ada rasa yang entah apa sangat mengusik jiwa.

Satu jam, dua jam, setelah tiga jam mata ini tidak mau juga terpejam. Aku bangun dan menuju kamar mandi lebih baik aku bermunajab kepadanya melerai rasa asa yang terasa. Doaku khusuk meminta dan terus berdoa semoga semuanya masih dalam lindungannya terkhusus buat suamiku jangan sampai tergoda dengan hasrat dunia.

Netraku beralih dari kedua tapak tangan yang berdoa, ketika panel pintu terbuka. Wajah Abi terlihat lelah, senyumku mengembang, bergegas aku melipat mukena dan merapikan sejadah meletakkannya pada tempatnya.

“Baru nyampai Bi, kapalnya rusak ya?”

“Udah nyampai dari sore tapi ada pertemuan di hotel 21 di costal area. Sudah Abi mau istirahat.” Jawab Abi dingin.

Aku memandang Abi yang masuk ke dalam kamar mandi, suara air terdengar tak berapa lama suamiku keluar dan langsung merebahkan dirinya di tempat tidur, entah terlalu capek akhirya dengkur halus sudah terdengar.

Netraku perih, ada apa dengan suamiku. aku mengusap tetes air yang mulai merembes. Ku langkahkan kaki menuju luar kamar menuju kamar si bungsu. Memandang wajah si bungsu membuatku lebih tegar, mungkin ini hanya riak kecil dalam perkahwinanku, lima belas tahun.

***

Subuh menyinsing, suara azan subuh tidak membangunkanku. Aku terkejut, bergegas aku ke kamar mandi, subuhku terlambat setengah jam. Keluar kamar si bungsu aku langsung menuju dapur, untung saja ada Mak Minah yang sudah bekerja dengan kami selama sepuluh tahun, tangan tua itu cekatan membuatkan sarapan buat kami.

“Maaf Mak,Ain terlambat.” Ucapku malu

“Pak Farhan baru pulang, biasalah tu.” Canda Mak Minah

Bukannya membuat tertawa, tapi hatiku menangis mendengar ucapan Mak Minah, tersenyum kecut. Melihat semuanya sudah tersedia untuk sarapan aku berlalu meninggalkan Mak Minah menuju kamar Farid anak tuaku, setelah membantu menyiapkan semua keperluan sekolahnya aku menuju kamarku.

Aku melihat Abi masih tertidur pulas, sepertinya Abi belum sholat subuh.

“Abi bangun, subuhnya sudah lewat.” Ku goyang badanya pelan

“Nanti saja masih ngantuk.” Netraku membulat mendengar perkataan Abi.

“Ya Allah, tidak pernah Abi melalaikan sholatnya.” Batinku

Aku bergegas memakai seragam sekolah, biasanya Abi yang pamit baru aku berangkat ke sekolah tapi hari ini tidak ada pamit, Abi masih bergulung dengan selimutnya dengkuran halus terdengar dari bibir Abi.

***

Perasaanku kacau, seperti ada yang tidak kena tapi aku bingung ada apa? akhirnya aku memberanikna menelepon Abi, sampai bunyi nada berakhir tidak diangkat Abi, ku coba lagi memangil ulang masih sama tidak diangkat. Akhirnya hariku habis dengan memikirkan Abi, untung saja hari ini semua kelas yang ku ajar ulangan harian, sehingga aku bisa bernapas lega, jika tidak pasti aku tidak kosentrasi untuk menjelaskan materi,

Bunyi bel tanda berakhirnya mata pelajaran, aku mengumpulkan kertas ulangan memberikan wejangan dan menutup pertemuan dengan salam. Berjalan menuju majelis guru, bunyi gawaiku membuat jalanku terhenti, aku menerima panggilan masuk dari Mak Minah.

“Ain ada ke kacauan di rumah.” Suara gugup Mak Minah terdengar dari seberang sana.

“Saya pulang sekarang Mak.” Ucapku, sambil berlari kecil menuju majelis guru, mengambil tas dan membiarkan mejaku tidak terkemaskan seperti biasanya.

***

“Assalamualaikun.” Ucapku sambil masuk ke rumah, ada dua tamu yang duduk di ruang tamu. Mereka tidak menjawab salamku, Abi duduk diantara mereka. Aku memandang tamu yang salah satunya masih terlihat sangat muda, bahkan bisa di bilang ABG alis anak baru gede.

Aku duduk di samping Abi, melihat ke wajahnya yang memar di sana – sini, sudut bibir Abi mengeluarkan darah.

“Maaf apa yang terjadi.” suaraku membuat semua mata memandangku

“Maaf Ibu istri Pak Farhan?” ucap lelaki dewasa yang berada di antara kami

“Iya.” Jawabku sambil menganggukkan kepalaku

“Maaf Bu, Pak Farhan membawa Adik saya ke Batam tanpa permisi.” Ucapannya membuatku terkejut, langsung aku memandang wajah Bang Farhan.

“Kami hanya jalan – jalan saja Bang.” Suara gadis ABG itu terdengar kecil takut dengan abangnya.

“Diam.” Bentak abangnya

“Bu, kami anak yatim piatu. Saya sudah berusaha menjaga Adik saya dengan baik saya minta pertanggung jawaban Pak Farhan. Nikahi Adik Saya.” Ucapanya bagaikan petir di siang bolong. Membuat kepalaku berputar dan sekelilingku menjadi abu – abu dan akhirnya hanya hitam yang menjelang.

***

Entah berapa lama aku tidak sadar, yang pasti siang sudah berganti malam, jam dinding sudah menunjukkan angka Sembilan. Aku mengeserkan badanku untuk duduk, pintu kamar terbuka. Abi masuk dan memandangku

“Sudah bangun?”

“Tamunya sudah pulang?”

“Sudah dari tadi.”

Aku berusaha bangun dari dudukku, berjalan menuju kamar mandi. aku sudah melewatkan dua sholat wajibku, asar dan magrib. Selesai sholat aku khusuk berdoa

“Umi, umi tidak apa – apakan.” Serentak suara buah hatiku menanyakan keadaanku, mereka berlari memelukku. Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepalaku

“Umi baik – baik saja.”

“Umi lepas mukena dulu.” Ucapku membuat mereka melepaskan pelukan mereka kepadaku.

Setelah melipat semua perlengkapan sholat, aku membimbing ke dua buah hatiku untuk keluar kamar. Abi hanya melihat kami dari ranjang, sedari tadi Abi hanya memperhatikan aku sholat.

“Abang tidur, sudah lebih jam Sembilan nanti telat bangun dan kesekolahnya.” Ucapku kepada si Abang.

Langkah kami menuju ke kamar si bungsu setelah aku menyelimuti Si Abang, aku merebahkan badanku di samping Si bungsu.

“Umi akan menemani Adek tidur malam ini, baca doa tidur sebelum memejamkan mata.” Ucapku lembut sambil mengusap kepala Si Bungsu. Tak ku pedulikan perut yang melilit, seharian ini hanya air yang masuk, tapi napsu makanku melayang bersama masalah tadi siang.

***

Sentuhan di kepalaku, membuatku membuka mataku kembali. Abi berdiri di samping tempat tidur.

“Umi, kembali tidur di kamar kita.” Ucap Abi lirih

“Umi, tidur di sini saja.” tolakku halus

“Maafkan Abi, Umi. Abi khilaf.” Aku mengacuhkan ucapan Abi, mataku tetap kupejamkan.

“Umi, kita harus bicara, ayo bangunlah Abi tahu Umi belum tidur.”

Akhirnya aku mengalah, daripada menganggu tidurnya si bungsu. Aku bangun dari baringku berjalan menuju ruang tengah.

“Kita bicara di kamar saja Umi.” Abi berusaha memujukku untuk bicara di kamar sambil meraih tanganku. Dengan halus aku menepis tangan Abi

“Kita bicara di sini atau tidak sama sekali.” Tegasku

Aku mendudukkan tubuhku pada salah satu sofa ruang tengah, tatapanku ke layar TV lebar yang tidak menyala.

“Abi mengaku salah, Umi. Tolong maafkan Abi.”

“Jika mengaku salah, maka tidak akan ada penjara Abi.” Ucapku dingin

“Abi menjadi contoh untuk Abang, bagaimana perasaan Abang jika mengetahui Abinya tidak bisa menjadi panutan.” Ucapku lagi

“Umi tahu, talak bukan hal yang disukai-Nya tapi ini menjadi pilihan Umi, setelah itu Abi bisa menyelesaikan masalah Abi denganya.” Lirihku dengan sakit yang tak tertahankan di dada.

“Umi, kasihan anak – anak Umi.”

“Abi tidak kasihan dengan Umi.” Ucapku datar

“Abi akan mengabulkan semua permintaan Umi, tapi tidak dengan yang satu ini.”

“Tidak ada permintaan lain Umi, selain kita berpisah.” Ucapku tegas.

Setelah mengatakan itu, aku kembali ke kamar Si Bungsu, setelah masuk aku mengunci kamar. Aku yakin Abi pasti masuk dan memujukku seperti biasanya jika aku lagi marah. Tapi sekarang aku tidak bisa di pujuk lagi, biarkan semua berakhir. Akhirnya aku harus mengaku kalah dengan kata talak yang sangat di benci-Nya tapi halal dilakukan.***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...