Jumat, 19 November 2021

Durasi Cinta


Jika aku boleh memilih, pilihanku saat itu tentu tetap bertahan dalam kesendirian. Walaupun setiap punya jodoh aku lebih memilih biarkan tidak berjodoh jika harus merasakan sakit hati yang mungkin bagiku sudah tidak bisa ditoleransi lagi.  Beberapa kali aku mengerjapkan netraku, mungkin ini hanya permainan netraku. Tapi sudah berulang kali aku menutup dan membuka netra ini bukan ilusi tapi benar adanya.

Senyum yang merekah, serta binar netra yang menandakan dirinya bahagia. Sebegitu bahagianya dirinya tapi bukan denganku, aku melihat sosok yang sekarang berada di dekatnya mereka begitu mesra walaupun tidak berpegangan tangan atau saling merangkul tapi dari gesture tubuh mereka terlihat jelas ada sesuatu diantara mereka, aku iri dengan sosok wanita yang saat ini bersamanya.

Nada dering di gawai menganggu kekhusukkanku memperhatikan mereka, hanya sejenak aku memperhatikan gawai, ketika netraku kembali ke arah dirinya, aku kehilangan mereka. Netraku mencari keberadaan mereka, puas aku memalingkan wajahku mencari bayangan mereka tapi hasilnya nihil. Hembusan napasku berat, ada beribu ton air di netraku siap meluncur, jika saja aku sekarang berada dalam ruangan tentu air itu turun bagaikan bah. Aku berlari menuju toilet, sungguh aku tidak tahan lagi, Alhamdulillah ada wc yang kosong. Aku terisak menahan tangisku yang membajiri netraku, ada perih sudut hatiku, kenapa harus aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, cukup saja aku mendengarkan kabar burung jika dia tidak bahagia denganku, walaupun aku berusaha membahagiakannya.

Aku memandang perutku, karena perut ini tidak pernah berisi, maka dia tidak bahagia. Ingin rasanya aku memukul perut yang tidak bersahabat ini, tapi sekali lagi aku ingat bahwa ini hanya masalah waktu saja.

“Ibu sehat, mungkin belum waktunya Ibu hamil.” Ucapan dokter kandungan ketika terakhir kali aku periksa dan menanyakan kenapa aku tidak kunjung hamil.

***

Ku tatap rumah besar yang sepi dari tawa Si Kecil, pernikahan kami sudah lebih dari lima tahun. Sejak terakhir kali terlambat datang bulan, karena ketidak tahuanku akhirnya aku harus merelakan dia yang tidak aku ketahui keberadaannya pergi meninggalkanku. Langkahku lemah membuka pintu.

“Assalamualikum.” Batinku

“Walaikumsalllam.” Aku menjawabnya sendiri.

Jika sore begini aku bagaikan di kuburan masal saja, sepi tak berpengunjung. Ku hempaskan badan pada sofa di ruang tamu, tas laptopku ku letakkan seadanya. Perutku sejak siang tidak berisi, tidak berselera. Sudah beberapa hari ini aku membiarkan perut kosong dari nasi dan lauknya hanya air putih dan teh selalu menemani perutku.

Masih terkenang, senyum Bang Farhan bersamanya sejak itu seminggu yang lalu aku mendiamkan Bang Farhan, sepertinya Bang Farhan tidak ada inisiatif untuk menegurku, kami sibuk dengan urusan kami. Aku yang tidak pernah membawa tugas sekolah untuk dikerjakan di rumah, akhrirnya tugas siswa menjadi teman setia dalam membunuh sepi yang mencekam.

Entah karena lelah, aku terlelap di sofa. Sentuhan di pucuk kepalaku membangunkanku.

“Mir, bangun. Kalau ngatuk jangan tidur di ruang tamu.” Suara berat yang sudah seminggu ini tidak menegurku.

Aku mengerjapkan mataku, mengusir ngantuk yang masih bersarang. Senyumku hilang, ketika aku melihat ada wanita yang seminggu lalu tanpa sengaja aku lihat bersama Bang Farhan di coastal area.

Netraku menatap dia dan Bang Farhan bergantian, tidak ada suara yang keluar dari mulut Bang Farhan untuk mengenalkan kami.

“Maaf.” Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku, sebelum aku beranjak meninggalkan ruang tamu.

“Buatkan minum, Mir.” Masih aku dengar ucapan Bang Farhan sebelum aku masuk ke kamar, akhirnya aku menghentikan langkah menuju kamar, dan menuju dapur. Dua cangkir teh sudah aku seduh, melangkah menuju ruang tamu.

“Hari panas Mir, buatkan sirup dingin bukannya teg panas, masa semuanya harus dikasih tahu.” Netraku membulat mendengar ucapan Bang Farhan.

“Sudah Bang, biar saja.” ucap wanita itu, tatapan Bang Farhan yang marah ke arahku langsung redup.

“Letakkan tehnya.” Perintah Bang Farhan.

Sakit sekali rasanya, tapi aku berusaha menahannya. Melangkah meninggal mereka menuju kamar dengan tergesa, hatiku yang panas membutuhkan air dingin untuk menyejukkannya, aku menuju kamar mandi, membuka shower dan menguyur kepalaku. Tidak aku endahkan baju yang melekat di badanku, aku butuh air untuk menyejukkan panas ini.

***

Sudah lewat sholat Isya, apa mereka tidak sholat batinku. Sejak pukul 5 tadi sore Bang Farhan masih asik dengan tamunya, tidak ada habisnya mereka berbicara diselinggi tawa mereka yang membuat aku menjadi pusing. Ya Allah apa yang harus aku lakukan, apakah aku keluar mengingatkan Bang Farhan yang sudah melewati dua sholatnya, ini bukan Bang Farhan yang aku kenal, walaupun kami menikah bukan karena cinta tapi aku berusaha menjadi istri yang baik untuk Bang Farhan, kebersamaan kami yang dua tahun ini tidakkah bisa menumbuhkan rasa sayang dirinya kepadaku, seperti aku yang dengan tulus menerimanya dan mulai menyayanginya.

Perjodohan yang mungkin bagi sebagian orang hanya berupa isapan jempol atau hanya ada pada kisah Siti Nurbaya benar adanya pada kehidupanku, Bang Farhan yang di tinggal pacarnya harus memilih menikahiku karena ibunya sudah teringinkan cucu.

Bang Farhan yang  nota bene merupakan sepupu jauhku, yang dulu ramah dan bersahabat setelah menikah semuanya berubah, hanya pada awalnya saja dia bersikap ramah setelah setahun hubungan kami menjadi hambar. Kesibukannya yang entah hanya kedok untuk selalu berada di luar rumah, hanya dirinya yang tahu. Sedangkan aku yang kata Ibunya seorang guru, pasti punya waktu luang banyak di rumah daripada pegawai lainnya, harus selalu kesepian karena Bang Farhan selalu pulang larut malam.

***

Bunyi pintu membuyarkan lamunanku, aku melihat ke arah pintu, sosok Bang Raihan masuk dengan wajah kesal.

“Tamu datang seharusnya di ajak makan, Mir. Bukannya kamu berkurung di kamar.” Bentakknya kepadaku.

“Bang.”

“Makin lama, makin tidak becus kamu menjadi istri.” Ucapan Bang Farhan sungguh melukai perasaanku.

Malam ini sengaja aku tidak masak, niat hati ingin mengajak Bang Farhan makan di luar. Pasti Bang Farhan lupa dengan hari pernikahan kami, siang tadi aku sudah mengingatkannya tentang janji makan malam di luar.

“Bukannya tadi siang kita sudah janji mau makan luar Bang?” ucapku lirih

“Sholat saja Abang lupa, apalagi janji makan malam kita.” Lirihku sedih.

Aku berjalan keluar kamar, lebih baik aku keluar dari pada harus menahan sakit serta air mata yang dengan kurang ajarnya sudah menumpuk di netraku.lagkahku terhenti di dapur. Sambil menyusut air mata, mengambil cangkir memasukkan teh dan gula tidak lupa seiris leman lalu menuangkan air panas dari termos.

Berjalan menuju beranda yang berada di samping rumah menjadi tujuanku, setelah menghempaskan tubuhku pada kursi aku mengaduk tehku, menyeruputnya untuk melegakan semua beban yang menumpuk. Seharusnya kami makan malam romantis, baru dua tahun tapi pernikahanku bagaiman sudah berpuluh tahun saja, seharusnya ini masanya kami memadu kasih bukannya seperti sekarang ini. Aku menatap langit, tidak ada bintang, mungkinkah akan turun hujan. Bumipun bersedih seperti diriku saat ini.

***

Dingin menusuk tulang, aku mengerjapkan mataku, ternyata aku tertidur, cangkir tehku masih banyak hanya beberapa sedot saja yang masuk ketenggorokanku, lelah jiwa membuatku tertidur. Aku melangkahkan kaki menuju kamar tidur, sosok yang tidak berperasaan itu sekarang tertidur dengan nyenyaknya. Apakah memang tidak ada lagi yang bisa kami pertahankan sehingga sehambar ini hubungan kami. Kaki melangkah menuju kamar mandi, lebih baik aku mempasrahkan diri pada-Nya.

Ku tahan isak, tidak mau membangunkan tidurnya, sekuat tenaga aku berusaha menguatkan rasa  terluka dengan meminta petunjuk kepada-Nya. Lelah menyapaku, tapi aku masih khusuk dalam doa panjang malamku.

***

Terlelap dalam mimpi yang akhir – akhir ini selalu mampir, aku berdiri dipersimpangan jalan. Netraku melihat jalan di depanku, apakah aku akan memilih jalan yang di kiri dan jalan ke kanan. Lama aku memperhatikan jalan di depanku, kemudian aku mendengar namaku dipanggil. Aku melihat kebelakang, tapi aku tidak melihat sesiapa. Dan akhirnya aku terjaga dari mimpi yang selalu datang akhir – akhir ini, sekujur badanku terasa kaku, setelah tidur di kursi di beranda samping rumah kemudian di lanjutkan tertidur di sajadah membuat semua sendi terasa kaku. Sudut mataku melihat ranjang kami, Bang Farhan tidak ada, aku mencari bayanganya di sudut kamar, akhirnya aku mendengar suara air dari kamar mandi.

 

“Bang talak saja Mira.” Ucapku datar setelah melihat Bang Farhan melangkah keluar dari kamar mandi.

“Miranti Binti Dahlan, jaga ucapanmu.” Tidak pernah aku mendengar lengkingan besar suara Bang Farhan

“Tak ada yang perlu kita pertahankan Bang, Mira lelah.” Ucapku lirih

“Ambil wudhu kita sholat subuh.” Intonasi suara Bang Farhan berubah dari ucapan sebelumnya

Aku berdiri dari duduk di sajadahku, melangkahkan kaki menuju kamar mandi. setelah berwudhu aku berjalan mendekati Bang Farhan yang sudah ghomat berdiri dibelakang Bang Farham menjadi makmumnya.

Selesai berdoa, bang Farhan membalikkan badannya menghadapku, kami duduk saling berhadapan.

“Maaf.” Ucap Bang Farhan sambil mengulurkan tangannya

“Tidak ada yang perlu dimaafkan Bang.” Ucapku sambil mencium tangannya sebagai hikmat seorang istri kepada suaminya setelah selesai sholat.

“Mir.”

“Bang, Mira serius dengan ucapah Mira tadi. Tidak ada yang memaksa kita untuk mempertahankan pernikahan yang tidak Abang inginkan. Mira sudah berusaha tapi sepertinya usaha Mira tidak berhasil jika Abang tidak menginginkannya, Mira rela daripada kita saling menyakiti.” Ucapku sesak

Hening, akhirnya aku memberanikan diri untuk menatap wajah Bang Farhan. Netra itu selalu saja sama, tak ada binar kebahagian di sana jika bersamaku, aku membuang pandanganku. Pirih di sudut hatiku bertambah.

“Mira juga ingin bahagia, Abang sudah bahagia jadi izinkan Mira untuk bahagia.” Aku memecah keheningan diantara kami.

“Apakah selama ini Mira tidak Bahagia bersama Abang?” ucapnya sambil menatap sinis ke arahku

“Apakah Abang bahagia bersama Mira selama ini?” aku membalikkan pertanyaannya

“Jangan balik bertanya Mira.” Suaranya naik satu oktap

“Mira berusaha bahagia, dan berusaha menciptakan Bahagia buat kita, tapi sepertinya sia – sia.” Ucapku lemah, selemah jiwaku saat ini.

“Siapa bilang Abang tidak Bahagia.” Ucapnya tinggi

“Mira tidak melihat Abang bahagia dengan pernikahan kita, bahagia di rasakan di sini bang.” Ucapku sambil menunjukkan dadaku

“Pernah ada Mira di sini Bang.” Sambil berucap, aku menunjuk dadanya tepat di mana hatinya berada.

“Tidak pernah bukan, jadi buat apa kita saling menyakiti hanya untuk menyenangkan orang lain. Abang dan Mira berhak untuk bahagia, mungkin bahagia kita jika kita berpisah.” Ucapku berusaha menyakinkannya.

“Ibu, biar Mira yang memberikan pengertian, Abang tenang saja.” ucapku tegas di sisa kekuatan jiwa yang tersisa.

“Sudah selesai bicaranya.” Tatapan Bang Farhan mengitimidasiku

“Sudah.” Jawabku lemah setelah semua uneg – uneg keluar dari mulutku yang terasa kaku setelah mengucapkan semuanya.

“Selamat hari perkahwinan, terima kasih sudah berusaha membuat Abang bahagia. Dan perlu Mira tahu Abang bahagia dengan pernikahan kita, maaf akhir – akhir ini Abang mengabaikan Mira, sebenarnya ada ketakutan Abang melihat Mira berubah dingin dengan Abang. Wanita tadi malam teman Abang. Abang meminta bantuanya untuk mengetahui isi hati Mira, memang benar pernikahan kita karena di jodohkan tapi sepertinya tulang rusuk Abang yang hilang itu adalah Mira, tapi Abang tidak tahu bagaimana menunjukkan kepada Mira kalau Abang bahagia dengan pernikahan kita. Maafkan Abang.” Aku terpaku mendengar pernyataan Bang Farhan.

Perasaan yang tidak bisa aku lukiskan, tapi tetap ada rasa pilu yang mendalam setelah aku melepas semua harapanku dan mengalah dengan takdirku untuk berpisah.

Bang Farhan meraih tanganku, mengeluarkan sesuatu dari balik baju kokonya. Kotak beludru warna merah isinya sebentuk cincin, Bang Farhan berusaha memasangkan cincin di jariku.

“Maaf Bang, Mira tak bisa menerimanya.” Ucapku sambil menarik tanganku dari gengaman Bang Farhan. Bergegas Aku berdiri dari duduk, melepas semua perlengkapan sholat, niatku hanya satu  aku, aku butuh waktu sendiri.

“Mira, dengarkan Abang Mir.”

***

Aku memandang jauh kehamparan samudra di depanku, sudah lebih dua jam aku memandangnya. Pikiranku bercelaru, aku tidak berharap dengan semua yang diucapkan Bang Farhan, ketika aku siap untuk berpisah mengapa Bang Farhan baru menyatakan isi hatinya, aku terlanjut terluka. Tidak hanya setetes dari sudah ribuan air keluar dari mataku, mengapa nasib mempermainkanku, ketika aku rela melepaskannya ada tali kasih yang menjeratku, tali kasih yang terlambat di tambatkan Bang Farhan untuku. Netraku sudah sembab, tidak aku pedulikan beribu netra yang sedari tadi melihatku. Pantai di hari minggu ramai, tapi aku merasa sendiri dan terasing.

“Mir.” Sentuhan di pucuk kepalaku membuat aku mengangkat kepala.

Posisiku yang duduk dengan kakiku tekuk membuatku dengan mudah menyembunyikan wajahku di sana. Aku mengangkat kepala menatap wajah Bang Farhan.

“Maafkan Abang Mir, Mira boleh minta apapun dari Abang tapi tidak dengan talak.” Ucap Bang Farhan.

Aku meletakkan kepalaku di lututku, menutup wajahku dari pandangan Bang Farhan.

“Mira, berikan Abang kesempatan, berikan Abang kemaafan, biarkan Abang mengobati luka yang terlanjur abang buat. Abang mohon Mir.” Aku masih menundukkan wajahku

Tidak ada rasa bahagia, kata yang sepertinya  pernah aku harapankan tak menyisakan rasa lagi, setelah diucapkan. Sudah terlalu terlambat, batinku.

***

Aku memandangnya, ternyata butuh waktu lama Bang Farhan menyadari keberadaanku. Dan akhirnya kami mencobanya lagi dari awal. Sudah lebih setahun sejak kejadian itu tapi aku hanya memberikan kesempatan kepada Bang Farhan, tapi tidak memberikan kesempatan pada hatiku. Sejenak aku berfikir jika aku memberikan kesempatan kepadanya, maka aku akan merasa lega tapi ternyata tidak. Senymumku tak pernah lagi mengandung bahagia, hanya sebatas kewajiban.

Aku melangkahkan kaki mendekati box baby yang tak jauh dari tempat tidur kami, bayi mungil tampan seiras bak bang Farhan kecil saja, semua milik Bang Farhan tidak ada sedikitpun sumbangan wajahku pada bayi kecil milik kami. Hanya dia yang membuatku bertahan, entah sampai kami durasi cintaku tetap bertahan. Berjalan menuju kamar mandi, berharap sepertiga malam menjawab semua doaku, berharap yang terbaik dalam jalan rumah tanggaku.***

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...