Sabtu, 27 November 2021

For God Sake


Semua ciptanya pasti punya kekurangan, begitu dengan diriku. Aku selalu merasa kurang daripada merasa lebih, melihat cermin di depanku mematut diri. Wajahku sempurna menurutku, tapi ada yang mengatakan hidungku kurang tinggi, aku hanya tersenyum jika terlalu tinggi nanti aku seperti pinokio batinku. Masih melihat diriku di depan cermin, mata dengan warna coklat sempurna tapi aku masih merasa kurang, ya kurang. Usia yang sudah menginjak dua puluh lima tahu aku masih sendiri alias jomlowati sejati.

Hana, semua memanggilku Hana. Hana Putri, itu nama panjangku Ayah Melayu dengan Ibu melayu jelas aku juga melayu tulen. Tapi bagi yang mengenal aku tidak dekat pasti akan menyangka aku orang Jawa, bagaimana bisa, ya bisa saja. Lingkungan tempat tinggalku semua orang jawa, namanya saja kampung Jawa. Ya, dimana – mana pasti ada yang namanya komunitas, entah karena apa Ayahku malah memilih membeli tanah dan membangun rumah di komutias itu dan akhirnya jadilah diriku yang melebihi orang jawa sopannya, kata orang – orang bukan kataku lho.

Ayu ne, sering itu yang diucapkan ibu – ibu komunitas tempat tinggalku hanya senyum yang mengembang mendengar mereka mengucapkan itu. tapi jika kata itu diucapkan seseorang yang aku benci jadi lain ekspresi yang aku tunjukkan bukan senyum tapi wajah garang denga manik mata yang siap menusuknya.

Namanya Hanan, Melayu asli sama denganku sungguh aku sangat kesal dengan dirinya. Setiap ketemu pasti ada saja ulahnya yang membuatku naik pitam alias tensi tingkat tinggi.

“Ayu ne, pacar siapa ini.” Suaranya dibuat – buat dengan logat melayu kental yang membuatku mual mendengarnya

Satu tempat kerja membuat kami sering ketemu, apalagi aku harus menjadi sekretarisnya. Sunggu kemalangan yang maha sial buat diriku. Sejak empat bulan yang lalu Hanan menjadi atasanku mengantikan Pak Burhan yang pensiun karena di makan usia, dimakan usia ya di catat.

Sejak itu hidupku bagaikan neraca setiap hari dia selalu mengangguku dengan tingkah yang memuakkan.

***

“Assalamualaikum Pagi macanku, tidurnya nyenyak pasti memimpikan Masmu ini.” Godanya pagi ini seperti hari – hari sebelumnya.

“Macam gundulmu.” Omelku pelan, jika tidak atasanku pasti aku semprot dia

“Salam kok tidak dijawab, dosa lho.” Suaranya terdengar lagi

“Walaikumsallam pak.” Jawabku malas

“Kopi pahit satu cah ayu.” Usilnya sambil berlalu menuju ruanganya

“Cah ayu yang buatin ya.” Ujarnya sebelum masuk keruanganya

“Saya bukan OB Pak.” Ucapku ketus

“Memang bukan, tapi calon istri saya.” Ucapan yang menjengkelkanku, tensiku naik mendadak mendengar ucapnya.

Sialan jika bukan atasanku sudah pasti aku mencakar dan memberikan jurus harimau mengamuk orang melayu baru tahu rasa pak Bosku. Sambil berjalan menuju pantry aku terus saja mengomel.

Tok tok tok aku mengetuk pintu ruangan bosku, dengan tangan sebelah memegang mapan berisi cangkir kopi yang dimintanya, dalam hati aku tersenyum.

“Masuk.” Suara dari dalam memerintahkanku masuk, dengan sekali tekan panel pintu terbuka aku melangkah masuk, meletakkan cangkir kopi di meja bosku.

“Selamat menikmati kopinya Pak.” Ucapku dengan senyum licikku

“Buatin kopi baru, saya tidak mau kopi buatan OB.” Ucapnya kesal, langkahku langsung terhenti sebelum mencapai pintu. Mati aku, kok bisa batinku.

 “Kamu tidak usah membantah, lidah saya sudah bisa membedakan kopi buatan kamu dengan buatan OB.” Seram aku mendengar ucapan Bosku.

Akhirnya dengan malas aku melangkah kembali ke pantry untuk membuatkan kopinya.

Tok tok tok dengan satu tangan aku mengetuk pintu sementara tangan lainnya memegang nampan berisi kopi untuk bos.

“Masuk.” Suara bos dari dalam terdengar

Dengan malas dan kesal aku membuka pintu dan masuk ke dalam, berjalan menuju meja bosku, setelah meletakkan kopi aku pamit berjalan menuju pintu.

“Terima kasih cah ayu.” Sekali lagi aku mendengar suara bos yang mengodaku, dengan kesal aku keluar dari ruangnya.

***

Sambil memandang langit kamar aku berfikir, kenapa semua orang selalu salah mengira akan sukuku. Aku tidak pernah berbicara dengan bahasa jawa tapi selalu saja orang yang baru mengenalku pasti mengira aku orang jawa, aku terus berfikir apa yang menyebabkan mereka berfikir demikian, sampai pusing tujuh keliling aku memikirkannya tapi tidak ada satupun alasanya yang tepat untuk soalanku itu.

Hm  akhirnya dengan hembusan napas kesal membahana di dada aku tertidur dalam penat yang mengerogoti badan dan pikiranku.

Suara azan subuh menyadarkan alam mimpiku, untung  saja aku terbangun dari mimpi burukku. Bagaimana tidak mimpi buruk, aku lari dari bosku yang mengejarku entah karena apa. sesak napasku, untung saja azan subuh membangunkanku, dengan peluh yang mengalir di dahi aku beristifar.

***

Jalanku lemah, halaman kantor sudah di depan mata, dengan tidak bermaya aku memakirkan motor kesayanganku ditempat parkir. Langkahku gontai, belum apa – apa aku sudah memikirkan olokan bosku. Apalagi kosa kata yang akan diucapkannya hanya untuk menganggu ketenanganku, sejak empat bulan ini aku tidak tenang. Kinerjakupun akhirnya menurun, seandainya mencari kerja itu mudah, sudah pasti aku akan pindah kerja tapi ya mau bagaimana bertahan bekerja dengan sesak di dada, nasib orang kecil selalu di tindas, batinku menjerit.

“Alhamdulillah, bosku belum datang.” Batinku teriak ke girangan.

Setengah jam, satu jam, dua jam. Jam dinding sudah menunjukkan angka sebelas, tidak seperti biasanya bos resehku belum hadir. Aku menepuk jidatku, kenapa aku memikirkan bos resehku. Akhirnya aku memfokuskan diri dengan pekerjaanku saja.

Seharian aku bekerja dengan memikirkan Bosku, kemana gerangan Bosku itu. belum juga aku hilang rasa penasaranku.

“Mbak Hana di minta Pak Bos untuk ke rumah sakit.” Sambil mengatakan itu OB kantor menyerahkan secarik kertas dengan lemah aku mengambilnya.

“ Cah Ayu, tolong belikan daftar barang yang tertera di kertas ini dan tolong sekalian di bawa ke rumah sakit. Ruang VIP melati, saya tunggu. Terima kasih sebelumnya.

***

Aku melaju dengan motor maticku, semua barang yang menjadi titipin pak Bos sudah memenuhi gantungan depan motorku sehingga dengan susah payah aku mengendarinya. Sumpah serapa bagaikan mantera doa yang ku baca sepanjang jalan menuju rumah sakit. Bersusah payah aku membawa semua barang titipan Pak Bos melewati lorong rumah sakit, dan akhirnya aku melihat nomor kamar yang sudah dituliskan disecarik kertas. Aku mengetuk pintu, ketika ada suara yang menyuruhku masuk, aku terkejut kenapa suaranya menjadi suara perempuan dan bukannya suara Pak Bos, batinku.

Pintu ku buka, dan for God Sake aku melihat Ibu yang lagi membantu Ayahku untuk minum. Aku melepaskan semua bawaanku dan berlari mendapati Ayah yang sekarang menjadi pesakit. Apa yang terjadi, seingatku sebelum aku ke kantor, Ayah masih dirumah belum berangkat berdagang yang menjadi pekerjaan Ayah selama ini.

“Ayah apa yang terjadi.” Ucapku cemas

“Tersengol motor, untung saja ada Nak Hanan yang menolong Ayah.” Ucapan Ayah tentu saja membuat netraku mencari keberadaan Pak Bosku. Puas aku mencari tapi aku tidak melihat ak melihat keberadaan Pak Bosku.

“Mana Pak Hanan Ayah?”

“Hana kenal sama Nak Hanan.” Aku melihat wajah terkejut dari Ayah

“Pak Hanan, Bosnya Hana di kantor Yah.” Ucapku cepat.

“Ya Allah baik sekali Atasanmu Hana, susah cari orang baik sekarang. Padahal banyak yang melihat kecelakan tadi tapi tidak ada yang membantu Ayah, sampai setengah jam kemudian ada mobil yang berhenti dan bertanya apa yang terjadi, dan langsung meminta Ayah untuk naik kemobilnya dan mengantar Ayah ke rumah sakit. Sementara sopirnya di minta untuk mengurus dagangan Ayah, subhanallah masih ada orang baik ternyata Ibu.” Ucap Ayah sambil memandang Ibu yang sedari tadi mendengarkan cerita Ayah kepadaku.

Tiba – tiba androidku berbunyi, aku melihat layarnya ada nama Pak Bos secepat kilat aku mengangkatnya.
“Kangen sama Aku ya Cah Ayu.” Belum juga aku mengeluarkan kata Bosku sudah membuatku menjerik dalam hati, benar – benar orang satu ini membuatku jengkel setengah mati. For God Sake terbuat dari apa Pak Bosku sungguh membuatku jengkel setengah mati. ***


 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...