Semua ciptanya pasti punya kekurangan, begitu dengan diriku. Aku selalu merasa kurang daripada merasa lebih, melihat cermin di depanku mematut diri. Wajahku sempurna menurutku, tapi ada yang mengatakan hidungku kurang tinggi, aku hanya tersenyum jika terlalu tinggi nanti aku seperti pinokio batinku. Masih melihat diriku di depan cermin, mata dengan warna coklat sempurna tapi aku masih merasa kurang, ya kurang. Usia yang sudah menginjak dua puluh lima tahu aku masih sendiri alias jomlowati sejati.
Hana, semua memanggilku Hana. Hana
Putri, itu nama panjangku Ayah Melayu dengan Ibu melayu jelas aku juga melayu
tulen. Tapi bagi yang mengenal aku tidak dekat pasti akan menyangka aku orang
Jawa, bagaimana bisa, ya bisa saja. Lingkungan tempat tinggalku semua orang
jawa, namanya saja kampung Jawa. Ya, dimana – mana pasti ada yang namanya
komunitas, entah karena apa Ayahku malah memilih membeli tanah dan membangun
rumah di komutias itu dan akhirnya jadilah diriku yang melebihi orang jawa
sopannya, kata orang – orang bukan kataku lho.
Ayu ne, sering itu yang diucapkan ibu –
ibu komunitas tempat tinggalku hanya senyum yang mengembang mendengar mereka
mengucapkan itu. tapi jika kata itu diucapkan seseorang yang aku benci jadi
lain ekspresi yang aku tunjukkan bukan senyum tapi wajah garang denga manik
mata yang siap menusuknya.
Namanya Hanan, Melayu asli sama denganku
sungguh aku sangat kesal dengan dirinya. Setiap ketemu pasti ada saja ulahnya
yang membuatku naik pitam alias tensi tingkat tinggi.
“Ayu ne, pacar siapa ini.” Suaranya
dibuat – buat dengan logat melayu kental yang membuatku mual mendengarnya
Satu tempat kerja membuat kami sering
ketemu, apalagi aku harus menjadi sekretarisnya. Sunggu kemalangan yang maha sial
buat diriku. Sejak empat bulan yang lalu Hanan menjadi atasanku mengantikan Pak
Burhan yang pensiun karena di makan usia, dimakan usia ya di catat.
Sejak itu hidupku bagaikan neraca setiap
hari dia selalu mengangguku dengan tingkah yang memuakkan.
***
“Assalamualaikum Pagi macanku, tidurnya
nyenyak pasti memimpikan Masmu ini.” Godanya pagi ini seperti hari – hari
sebelumnya.
“Macam gundulmu.” Omelku pelan, jika
tidak atasanku pasti aku semprot dia
“Salam kok tidak dijawab, dosa lho.”
Suaranya terdengar lagi
“Walaikumsallam pak.” Jawabku malas
“Kopi pahit satu cah ayu.” Usilnya
sambil berlalu menuju ruanganya
“Cah ayu yang buatin ya.” Ujarnya
sebelum masuk keruanganya
“Saya bukan OB Pak.” Ucapku ketus
“Memang bukan, tapi calon istri saya.”
Ucapan yang menjengkelkanku, tensiku naik mendadak mendengar ucapnya.
Sialan jika bukan atasanku sudah pasti
aku mencakar dan memberikan jurus harimau mengamuk orang melayu baru tahu rasa
pak Bosku. Sambil berjalan menuju pantry aku terus saja mengomel.
Tok tok tok aku mengetuk pintu ruangan
bosku, dengan tangan sebelah memegang mapan berisi cangkir kopi yang
dimintanya, dalam hati aku tersenyum.
“Masuk.” Suara dari dalam
memerintahkanku masuk, dengan sekali tekan panel pintu terbuka aku melangkah
masuk, meletakkan cangkir kopi di meja bosku.
“Selamat menikmati kopinya Pak.” Ucapku
dengan senyum licikku
“Buatin kopi baru, saya tidak mau kopi
buatan OB.” Ucapnya kesal, langkahku langsung terhenti sebelum mencapai pintu.
Mati aku, kok bisa batinku.
Akhirnya dengan malas aku melangkah
kembali ke pantry untuk membuatkan kopinya.
Tok tok tok dengan satu tangan aku
mengetuk pintu sementara tangan lainnya memegang nampan berisi kopi untuk bos.
“Masuk.” Suara bos dari dalam terdengar
Dengan malas dan kesal aku membuka pintu
dan masuk ke dalam, berjalan menuju meja bosku, setelah meletakkan kopi aku
pamit berjalan menuju pintu.
“Terima kasih cah ayu.” Sekali lagi aku
mendengar suara bos yang mengodaku, dengan kesal aku keluar dari ruangnya.
***
Sambil memandang langit kamar aku
berfikir, kenapa semua orang selalu salah mengira akan sukuku. Aku tidak pernah
berbicara dengan bahasa jawa tapi selalu saja orang yang baru mengenalku pasti
mengira aku orang jawa, aku terus berfikir apa yang menyebabkan mereka berfikir
demikian, sampai pusing tujuh keliling aku memikirkannya tapi tidak ada satupun
alasanya yang tepat untuk soalanku itu.
Hm
akhirnya dengan hembusan napas kesal membahana di dada aku tertidur
dalam penat yang mengerogoti badan dan pikiranku.
Suara azan subuh menyadarkan alam
mimpiku, untung saja aku terbangun dari
mimpi burukku. Bagaimana tidak mimpi buruk, aku lari dari bosku yang mengejarku
entah karena apa. sesak napasku, untung saja azan subuh membangunkanku, dengan
peluh yang mengalir di dahi aku beristifar.
***
Jalanku lemah, halaman kantor sudah di
depan mata, dengan tidak bermaya aku memakirkan motor kesayanganku ditempat
parkir. Langkahku gontai, belum apa – apa aku sudah memikirkan olokan bosku.
Apalagi kosa kata yang akan diucapkannya hanya untuk menganggu ketenanganku,
sejak empat bulan ini aku tidak tenang. Kinerjakupun akhirnya menurun, seandainya
mencari kerja itu mudah, sudah pasti aku akan pindah kerja tapi ya mau
bagaimana bertahan bekerja dengan sesak di dada, nasib orang kecil selalu di
tindas, batinku menjerit.
“Alhamdulillah, bosku belum datang.”
Batinku teriak ke girangan.
Setengah jam, satu jam, dua jam. Jam dinding sudah menunjukkan angka sebelas, tidak seperti biasanya bos resehku belum hadir. Aku menepuk jidatku, kenapa aku memikirkan bos resehku. Akhirnya aku memfokuskan diri dengan pekerjaanku saja.
Seharian aku bekerja dengan memikirkan Bosku, kemana gerangan Bosku itu. belum juga aku hilang rasa penasaranku.
“Mbak Hana di minta Pak Bos untuk ke
rumah sakit.” Sambil mengatakan itu OB kantor menyerahkan secarik kertas dengan
lemah aku mengambilnya.
“ Cah Ayu, tolong belikan daftar barang
yang tertera di kertas ini dan tolong sekalian di bawa ke rumah sakit. Ruang
VIP melati, saya tunggu. Terima kasih sebelumnya.
***
Aku melaju dengan motor maticku, semua
barang yang menjadi titipin pak Bos sudah memenuhi gantungan depan motorku
sehingga dengan susah payah aku mengendarinya. Sumpah serapa bagaikan mantera
doa yang ku baca sepanjang jalan menuju rumah sakit. Bersusah payah aku membawa
semua barang titipan Pak Bos melewati lorong rumah sakit, dan akhirnya aku
melihat nomor kamar yang sudah dituliskan disecarik kertas. Aku mengetuk pintu,
ketika ada suara yang menyuruhku masuk, aku terkejut kenapa suaranya menjadi
suara perempuan dan bukannya suara Pak Bos, batinku.
Pintu ku buka, dan for God Sake aku
melihat Ibu yang lagi membantu Ayahku untuk minum. Aku melepaskan semua bawaanku
dan berlari mendapati Ayah yang sekarang menjadi pesakit. Apa yang terjadi, seingatku
sebelum aku ke kantor, Ayah masih dirumah belum berangkat berdagang yang
menjadi pekerjaan Ayah selama ini.
“Ayah apa yang terjadi.” Ucapku cemas
“Tersengol motor, untung saja ada Nak
Hanan yang menolong Ayah.” Ucapan Ayah tentu saja membuat netraku mencari
keberadaan Pak Bosku. Puas aku mencari tapi aku tidak melihat ak melihat
keberadaan Pak Bosku.
“Mana Pak Hanan Ayah?”
“Hana kenal sama Nak Hanan.” Aku melihat
wajah terkejut dari Ayah
“Pak Hanan, Bosnya Hana di kantor Yah.”
Ucapku cepat.
“Ya Allah baik sekali Atasanmu Hana,
susah cari orang baik sekarang. Padahal banyak yang melihat kecelakan tadi tapi
tidak ada yang membantu Ayah, sampai setengah jam kemudian ada mobil yang
berhenti dan bertanya apa yang terjadi, dan langsung meminta Ayah untuk naik
kemobilnya dan mengantar Ayah ke rumah sakit. Sementara sopirnya di minta untuk
mengurus dagangan Ayah, subhanallah masih ada orang baik ternyata Ibu.” Ucap
Ayah sambil memandang Ibu yang sedari tadi mendengarkan cerita Ayah kepadaku.
Tiba – tiba androidku berbunyi, aku
melihat layarnya ada nama Pak Bos secepat kilat aku mengangkatnya.
“Kangen sama Aku ya Cah Ayu.” Belum juga aku mengeluarkan kata Bosku sudah
membuatku menjerik dalam hati, benar – benar orang satu ini membuatku jengkel
setengah mati. For God Sake terbuat dari apa Pak Bosku sungguh membuatku
jengkel setengah mati. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar