Minggu, 28 November 2021

Dia Sahabatku, Dengan Dukanya


 Fia namanya Alifia dari hari pertama ospek di kampus aku mengenal fia, kami satu kampus yang ingin meraih cita di kota Gudeg ini. Notabene anak melayu kepri membuatku wajib mencari teman di tempat rantau untuk mengusir sepi. Bukan tanpa sebab aku harus merantau jauh hanya untuk meraih cita.

Ayahku hanya ayah pegawai dengan golongan II.d degan gaji pokok kecil, sehingga malam hari setelah menunaikan kewajiban sebagai umat beragama harus mau membanting tulang hanya untuk menambah penghasilan yang digunakan untuk aku meraih citi – cita. Walaupun aku tidak pernah di manjakan dengan uang dari hasil lembur ayah, tapi aku selalu mendapatkan pendidikan disekolah yang bagus.

Ayah memegang janjinya kepada almarhum Ibu untuk membesarkan dan memberikan pendidikan baik membuatku terharu. Setelah Ayah di tinggal ibu ayah tidak pernah mau mencari penganti ibu walaupun aku mengizinkannya.

“Yah, Ira sudah besar dan sebentar lagi akan meninggalkan ayah jika Ira menikah. Mengapa apa tidak mencari penganti Ibu?”Suatu hari aku bertanya kepada Ayah

“Ayah tidak mau berbagi kasih dengan yang lainnya. Cinta ayah cukup untuk ibumu dan dirimu saja..” Jawab ayah diplomatis seolah tidak mau dibantah.

“Yah, nanti jika Ira melanjutkan kuliah, tidak ada yang akan menemani ayah di rumah.” Aku masih memujuk ayah untuk menikah lagi.

“Ira, persiapan diri kamu saja. Ayah tahu mengurus diri Ayah.” Ayah menatapku dengan mata yang selalu memberikan keteduhan kepadaku.

                                                                        ***                                                                       

 Ayah dan Alfia dua orang yang sekarang sangat dekat denganku, aku selalu menceritakan bagaimana aku selalu mengkhawatirkan keadaan ayah yang sendirian di rumah sekarang ini.

“Fia, aku baru menelephon Ayah, sepertinya suara ayah tidak sehat. Tapi ayah menyembuyikannya dariku.

“ Ra, kamu hanya terlalu mengkhawirkan ayahmu saja. Aku yakin ayahmu baik – baik saja.” entah mengapa hatiku akan terasa nyaman jika sudah menceritakan keadaan ayah kepadanya.

Aku dan Fia satu kos – kosan, untuk mengirit uang kos kami satu kamar. Aku juga heran, fia yang aku tahu anak orang berada mau berbagi kamar denganku. Sudah hampir 2 tahun ini kami satu kamar, fia asli kota gudeg mengapa juga mau kos aku tidak tahu alasannya. Tapi aku merasa bersyukur ditemukan dengan fia selalu membantuku jika telat dapat kiriman dari Ayah, fia adalah penyelamatku.

“Ra, sebentar lagi kita liburan Lebaran. Aku mau ikut kamu pulang kampung boleh?” tentu saja aku terkejut denga pertanyaan Fia.

“Orang tuamu mengizinkan?”

“Mereka tidak peduli, aku mau lebaran dimana? Aku memandang wajah Fia, setiap kali membicarakan orang tuanya pasti wajahnya sangat menyedihkan.

“Aku sih tidak masalah, nanti aku tanyakan kepada Ayah?” melempar senyumku kepada Fia, kami melanjutkan tugas yang diberikan dosen siang tadi.

Surprise, benar – benar kejutan, aku tidak pernah menyangka akan naik pesawat. Fia benar – benar ikut aku untuk pulang kampung.

“Ra, aku sudah membeli tiket pesawat untuk kita, lewat batamkan? Aku hampir tersedak ketika fia mengatakan itu ketika kami sedang makan untuk membuka puasa kami hari ini.Aku fikir Fia hanya bermain – main saja,

“Ra, kamu terdengar tidak, aku sudah membeli tiket pesawat.” Ulang Fia lagi

“Iya, aku dengar, kamu yakin mau lebaran di kampungku?  Lebaran moment untuk kumpul keluarga Fi.” Aku mencoba memberikan pengertian kepada Fia

“Iya, kamu dan Ayah kamu adalah keluarga.” Dengan entengnya Fia berkata

“Tapi” belum juga selesai ucapanku Fia sudah berkata

“Kamu tidak mau menerima aku dirumahmu,” Wajahnya membuatku merasa sedih

“Iya, apa sih yang tidak untuk sahabatku.” Jawabku

Fia sudah tertidur pulas di tempat tidur sebelahku, sedangkan aku belum bisa mengejamkan mataku. Mimpi aku, bisa naik pesawat, pasti Ayah terkejut melihat aku pulang. Tahun kemaren aku lebaran di Yogya, sudah menjadi perjanjian aku dengan Ayah jika keadaan tidak mendesak aku tidak akan pulang kampung. Walaupun dengan berat hati aku harus mau berkorban jika ingin sukses.

Terdengar pemuda – pemuda membangun umat islam untuk bangun dan bersahur aku belum juga bisa memejamkan mataku, untung besok tidak ada kuliah jadi aku bisa tenang. Kalau tidak tentu aku harus tidur di ruang kuliah apalagi puasa tentu suara ngorok melebih suara dosen yang mengajar. Aku jadi tertawa sendiri dengan imajinasiku sendiri.

”Fi, bangun kita harus sahur.” Aku mengoyangkan badan Fia untuk membangunkannya

Setelah melihat Fia membuka mataku, aku terus menuju dapur sudah ada kawan – kawan satu kos yang memasak makanan untuk sahur nanti.

Subuh ini, aku hanya memasak Indomie dengan telur ceplok tidak lupa aku juga memasukkan sawi dan taege pagi ini aku tidak masukkan cabe rawit potong. Setelah memasak 2 porsi aku meletakkan dalam mangkuk untukku dan Fia.

Sudah 20 menit berlalu dari aku membangunkannya tapi Fia tidak juga muncul di dapur.

“Mbak Nana, liatin mieku ya jangan sampai di makan kucing.” Aku berkata kepada Mbak Nana teman satu kosku yang lagi mengoreng telur.

“Ok.” Jawab Mbak Nana

Aku menyusul Fia ke kamar, masyaallah ternyata Fia tertidur lagi, aku beranjak menuju kea rah Fia. Aku memegang tangan Fia untuk membangunkannya. Aku terkejut merasakan tanganku panas.

“Fi, kamu sakit.” Fia memang selalu deman selama kami satu kamar kos

“Fi..Fi..Fi” kamu dengar aku kan?” masih belum ada jawaban dari Fia. Sekali lagi aku membangunkan Fia dengan mengoyangkan badannya.

Dengan cemas aku mengambil handphoneku dan menelephone ambulance, sambil menunggu ambulance datang aku mengompres Fia dengan air dingin. Kenapa badan Fia bisa sepanas ini, setahuku Fia semalam baik – baik saja.

Sesampainya kami di rumah sakit, bagian administrasi menanyakan Indentitas Fia. Aku mengambil KTP Fia dan memberikan pada petugas rumah sakit.

Sudah 2 hari Fia di rumh sakit, tapi aku belum melihat orangtua Fia datang menjenguk Fia. Aku melihat Fia sangat akrab dengan dokter yang merawatnya.

“Fi, sebaiknya Fia tidak usah puasa dulu, pulanglah kerumah.” Aku mendengarkan suara dokter kepada Fia

“Puasa buat Fia sehat, tan.” Suara Fi terdengar lemah menjawab pertanyaa dokter.

Aku hanya berdiri luar ruang rawat Fia, aku tidak mau menganggu percakapan Fia dan dokter yang merawatnya yang entah mengapa aku mereka sudah lama saling mengenal.

“Ira, kenapa lama sekali perginya” aku mendengar Fia berusaha mengalihkan pembicaran seputur keluarganya dari dokter yang merawatnya.

“Ya, sudah saya pergi dulu, jika ada yang sakit tinggal tekan tombol diatas kepala Fia saja.” aku mendengar suara dokter itu

Pasti sebentar lagi pintu ruang rawat Fia terbuka aku menjauh dari pintu kamar ruang rawat Fia, semoga dokter yang merawat Fia tidak curiga kalau aku dari tadi sudah di depan pintu.

“Siang Dok.” Sapaku kepada dokter Fia

“Sudah kembali, di tunggu Fiat tu. Tolong temani Fia, dia butuh orang menemaninya.” Sambil berkata itu dokter berlalu dari hadapanku, aku menutup kembali pintu ruang rawat inap Fia dan melihat Fia memandang jauh keluar jendela.

“Fi, sudah enakkan?” Fia hanya membalas pertanyaanku dengan bertanya balik

“Lama sekali perginya, kemana?”

“Kebiasa jika di tanya bukannya jawab malah nanya balik.” Gerutuku Fia hanya tersenyum mendengarnya.

“Kamu yakin mau ikut aku pulang kampung Fi? Tinggal 3 hari lagi aku pulang kampung.

“Insyaallah aku ikut”

“Tapi Fi, aku tidak yakin kamu sembuh, pulang kerumah saja. lain kali kamu ikut Aku pulang kampung”

“Tidak, Aku ikut kamu pulang kampung.” Aku terkejut mendengar intonasi suara Fia

“Fi, kamu yakin?”

“Ra, bawa aku, aku mohon ra.” Suara Fia tidak seperti biasanya aku terpaksa menganggukkan kepalaku.

Ada apa dengan sahabatku ini, sepertinya ada yang disembunyikannya dariku tapi aku tidak mungkin memaksaanya untuk bercerita dalam kondisinya seperti ini.

***

“Fi, jika Fia masih bandel seperti ini. Saya jamin Fia tidak akan sembuh”

“Biar saja, Fia juga tidak mau sembuh, Fia capek Tan.”

“Mana Fia yang Tante kenal dulu, kemana semangat hidup Fia.”

“Sudah hilang Tan, sejak  mama dan papa pisah.”

“Fia biarkan orang dewasa dengan masalahnya, perjalanan hidup Fia masih panjang”

“Tan, Fia bukan hanya butuh materi tapi juga kasih sayang. Fia iri dengan Ira sahabat Fia yang dalam kondisi kekurangan materi tapi penuh dengan kasih Ayahnya. Mereka hidup dengan segala perjuangan tapi mereka saling memiliki dan menyayangi.” Ku dengar suara keluh kesah Fia.

Bukan maksudku untuk menguping pembicaraan Fia dengan dokter yang dipanggilnya Tante, aku keluar untuk menebus obat Fia dan menyerahkannya kepada perawat jaga. Sewaktu aku ingin masuk ke ruang rawat inap Fia aku mendengarkan pembicaraan mereka. Sebenarnya sahabatku ini sakit apa? adakah sakitnya karena kondisi keluarga yang dikatakannya.

Ya Allah, ternyata masih ada yang iri dengan hidupku yang serba kekurangan materi menurut orang yang memandangnya batinku dalam hati.

Aku dikejutkan dengan pintu ruang rawat Fia tiba – tiba terbuka, aku tidak bisa pura – pura baru datang. Dokter itu memandangku sambil tersenyum dan berkata

“Ternyata kamu lebih beruntung dari Fia, Nak.” Aku tidak mengerti apa yang dimaksud dokter, aku hanya melihatnya berlalu dari hadapanku.

Menutup pintu kamar rawat inap Fia, memandangnya sekali lagi pandangan mata Fia jauh menerawang.

“Fi, lagi melamunya?”

“Kamu sudah datang Ra.” Aku menganggukkan kepalaku

“Ra, kata dokter aku boleh keluar besok, lusakan tiket pesawat kita?” aku memandang Fia tapi yang ku pandang masih memandang jauh keluar jendela,

“Fi, perjalan jauh apa penyakitmu tidak kambuh nanti?”

“Ra, aku lebih tahu kondisiku daripada orang lain. Aku yakin aku akan sembuh dengan mendatangi kampung halamanmu Ra.” Ada keyakinan pada suaranya.

“Semoga.” Hanya kata itu yang dapat aku katakana.

Setelah itu kami terdiam, aku sibuk dengan tugas kuliah. Sementara Fia melanjutkan memandang keluar jendela,

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 22, mataku sudah perih dan sudah beberapa kali aku menguap. Aku memandang ke arah Fia, ternyata Fia sudah tertidur. Sudah beberapa malam ini aku tidur dirumah sakit menemai Fia, tapi aku belum juga berjumpa dengan kedua orang tua Fia.

Tok tok tok aku mendengar suara ketukan pelan di pintu kamar, seperti ketukan yang tidak mau membangunkan orang yang lagi tidur. Aku berjalan menuju pintu, membukannya, aku melihat seorang laki – laki yang kira – kira 5 tahun umurnya diatasku. Dia tersenyum kepadaku sambil berkata

“Fia tidur?, pasti kau Irakan?Aku abangnya Fia, Alfian, kenalkan.” Aku menyambut tangan yang terulur kepadaku.

“Masuk bang, Fia sudah tidur.” Kataku

Abangnya Fia melangkah masuk, menuju tempat tidur. Memandang Fia dengan ekpresi yang susah aku katakan, menyentuh lembut kepala Fia dan membelainya. Secara sama aku mendengar suaranya

“Kasihan adikku, maafkan abang juga hancur jadi tidak bisa kau harapkan.” Setelah mengatakan itu bang Alfian berjalan kearahku yang sudah duduk disofa di ruangan rawat inap Fia.

“Ra, tolong jaga Fia.” Setelah mengatakan itu bang Alfian keluar kamar, aku hanya bisa terdiam tak bisa berbuat banyak. Memandang Fia sambil membantin kasiahan sungguh nasib sahabatku. Aku jadi teringat dengan Ayah, sejak ditinggal Ibu, Aku dan Ayah menjaga dan menyayangi. Walaupun kami hidup serba pas – pasan setiap Aku sakit Ayah tidak pernah lebih mementingkan uang walaupun sebenarnya uang sangat kami butuhkan. Begitu juga aku, walaupun harus bolos sekolah karena menjaga Ayah, Aku tidak pernah merasa itu merugikan aku karena Ayah adalah segala – galanya buat Aku begitu juga sebalikknya.

Sahabatku masih tertidur dalam dukanya, tanpa orang – orang yang seharusnya ada di sampingnya di kala sakit. Aku tidak habis fikir dengan abang Fia, bisa – bisanya ia hanya datang sebentar dan terus pergi tidak bisakah Dia menunggu sampai Fia bangun. Aku yakin Fia akan merasa senang dengan kedatangan Abangnya.

Akhirnya kantukku datang lagi, aku tidak mau memikirkan masalah yang membuat kepalaku sakit, lebih baik aku tidur jam sudah menunjukkan pukul 23 mataku sudah mengantuk berat. Akhirnya sofa yang menjadi tempat tidurku beberapa malam ini menemani tidurku.

***

Aku dan Fia sudah masuk di ruang tunggu keberangkatan perawat, dari rumah kos aku hanya bisa mengikuti Fia karena aku belum pernah naik pesawat. Taxi yang mengantar kami dari rumah kos juga menjadi masalah.

“Fi, kita naik damri saja,” kataku

“Taxi saja biar cepat, ini puasa aku malas bersempit – sempit di damri.”

Akhirnya kami naik Taxi, sebenarnya aku malu semua biaya di keluarkan oleh Fia, tapi Fia seperti tidak terbebani. Ternyata Ini yang namanya bandara.

“Ini kecil Ra, nanti bandara di Jakarta tempat kita transit pesawat baru besar bandaranya.” Aku mendengarkan apa yang dikatakan Fia. Duduk di samping Fia, sambil menunggu jam terbang kami. Suara pengumuman untuk masuk pesawat terdengar aku mengikuti Fia berdiri dan antri menyerahkan tiket pada penjaga berjalan menuju pesawat. Ya Allah baru pertama kali ini aku naik pesawat, tak bisa aku jelaskan perasaanku, aku memandang Fia. Yang ku pandang sepertinya sudah biasa naik pesawat tidak terlihat sedikitpun kecanggungan pada diri Fia.

Kami sudah duduk di badan pesawat, tempat dudukku di samping jendela pesawat. Sewaktu pesawat mengudara aku melihat betapa kecilnya daratan tidak sampai 1 jam pesawat sudah sampai di bandara Jakarta.

“Ra, kita pindah pesawat.” Aku mengikuti Fia turun dari pesawat.

Kami sudah pada pesawat yang akan membawa aku dan Fia ke batam, pemandangan dibawah sana lebih kecil dari pemandangan dari Yogya ke Jakarta dan juga memakan waktu yang lebih lama. Aku memandang Fia, dari awal pesawat lepas landas di bandara Jakarta hanya tidur saja. sementara aku tidak mau melepaskan kesempatan untuk melihat semua pemandangan yang mungkin hanya sekali ini saja.

Suara pengumuman bahwa 15 menit lagi kami sampai di batam sudah terdengar, aku melihat Fia mengerakkan mata dan badannya.

Selepas keluar dari bandara Hang Nadim, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore pasti tidak terkejar ke Karimun pikirku, ini gara – gara pesawat sewaktu di bandara Jakarta Dilay.

“Ra, katanya mau ke pelabuhan, kenapa malah diam saja”

“Fi, tidak ada kapal lagi jam segini ke kampungku.” Suaraku terdengar cemas dan bingung.

“Ya sudah, kita nginap di Batam saja.” Aku memandang Fia tak percaya

“Ayo, aku masih punya uang untuk nginap di Batam semalam.” Tanganku ditarik Fia menuju taxi bandara.

“Ke Nagoya Hill ya Pak.” Aku tercengang memandang Fia, kok dia tahu Nagoya Hill

“Tutup mulut Ra, aku sudah pernah ke Batam beberapa kali bersama Ibu dan Ayah tapi ke Karimun Aku belum pernah.” Waktu mengucapkan kata Ibu dan Ayah jelas terlihat raut sedih di wajah Fia.

Tidak butuh waktu lama, kami sampai dikawasan Nagoya, Hotel Nagoya menjadi tempat numpang tidur malam ini.

***

 “Ra, kita ke Nagoya Mall yuk.”

“Mau apa?”

“Ya jalan, masak tidur.”

“Tidak Capek Fi?”

“Kamu capek? Kebiasa Fia ditanya malah tanya balik.

“Mumpung di Batam, kita shopping dulu.” Regek Fia sambil menarik – narik tanganku

“Kita tarawih dulu baru jalan.”

“Ok.” Kami terwarih berjamah berdua, aku yang menjadi imamnya.

Selama berjalan di Nagoya Mall banyak barang yang dibeli oleh Fia. Aku melihat raut wajah bahagi yang jarang aku lihat d wajah Fia. Fia membeli mukena, baju gamis, baju koko, sarung dan banyak lagi.

“Fi, kenapa beli oleh – olehnya sekarang kenapa tidak pas mau pulang ke Jawa saja.”

Aku tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaanku. Pulang ke hotel dengan tangan penuh barang belian Fia.

***

“Ra, seru naik kapalnya.” Fia dari tadi asyik berceloteh saja, maklum pertama kali buat Fia naik kapal Dumai Express kapal yang akan mengantar kami ke kampung halamanku.

Mobil cateran sudah sampai di depan rumahku, di kampungku tidak ada taxi yang ada hanya mobil carteran saja.

“Ra, ini benar rumahmu?” aku melihat raut wajah tidak percaya.

Rumahku hanya rumah semi permanen orang kampungku menyebutnya, bagian bawah rumah sudah semen tapi atasnya masih dari papan. Rumah peninggalan Nenek, karena Ayah anak tunggal diwariskan kepada Ayah. Rumah di kelilingi pohon buah – buahan yang jika musim buah lumayan bisa menambah penghasilan buat Aku dan Ayah.

Karena masih pagi, suasa puasa begini kampungku akan sepi. Ayah pasti masih di kantor. Akhirnya aku dan Fia menunggu Ayah pulang di rumah kayu yang dibuat di depan rumah untuk beristirahat. Aku bercerita kepada Fia beberapa kebiasaan orang Karimun selama bulan Puasa. Fia mendengarkanku dengan antusias, tak terasa jam Ayah pulang kantor sudah tiba. Aku mendengar bunyi motor tua yang selalu dikendarai Ayah sudah mulai mendekat. Aku berlari menyongsong Ayah sambil mengucapkan salam.

Ayah memandangku tak percaya,

“Anak Ayah kenapa pulang, ada masalah?” suara cemas Ayah menyambutku, mata Ayah memandang aku dari Atas sampai kebawah.

“Ira sakit?’ masih dengan intonasi cemas

“Tidak Yah, ada kawan yang mau merasakan lebaran di kampung.”Kataku, sambil mengandeng tangan Ayah menuju kearah Fia.

“Yah, ini Fia teman Ira.” Aku mengenalkan Ayah kepada Fia.

Fia bangun dari duduknya dan meraih tangan Ayah yang sudah terjulur, menciumnya dan berdiri di antara Aku dan Ayah.

“Ayo masuk,” Ayah mengambil tas bawaan kami

“Sini yah, biar Ira bantu.”

Kami berjalan menuju rumah, aku sadar Fia memperhatikan Aku dan Ayah. Pancaran mata yang tidak dapat aku artikan, walaupun bibirnya tersenyum tapi matanya terlihat sedih.

“Ra, bawa Fia ke kamar. Istrihat dulu, nanti habis Asar kita jalan mencari lauk dan kue untuk berbuka puasa. Kalian puasaskan?” Aku dan Fia mengangguk mendengar perkataan Ayah

“Puasa benarankan? bukan puasa yang yuk? Aku tertawa geli, memangnya aku anak kecil puasa yang yuk

“Apa sih puasa yang yuk Ra?”

“Itu puasanya anak kecil yang separuh hari.” Jawabku, kami tertawa, aku melihat tawa Fia yang lepas aku senang melihatnya. Ayah membiarkan aku dan Fia beristirahat setelah kami sholat Zhuhur berjamah.

***

  Keramaian di pasar puasa membuat wajah Fia menjadi ceria, selalu tersenyum menambah cantik wajah sabahatku.

“Fia mau makan apa buat berbuka nanti?”

“Ra, makanan apa yang enak buat berbuka di sini.”

“Kebiasan ditanya malah tanya balik.” Kataku kepada Fia

“Mana aku tahu makan enak di daerahmu.”

“Bagaimana kalau Ayah usul, sore ini kita berbuka nasi lemak dan mie siam kuah. Kuenya kita beli kue epok – epok dan putrid salat serta cendol minumannya.”

“Ira setuju.”

“Fia juga mau Yah.” Aku dan Ayah memandang Fia

“Bolehkan Fia memanggil Ayah kepada bapak?” mata yang penuh harapan Ayah dan Aku mengabulkan permintaanya

“Boleh, kenapa tidak.” Jawab Ayah.

Kami masih meneruskan berjalan – jalan di basar sore yang menjual juadah untuk berbuka puasa.

Sisa waktu tinggal 30 menit lagi sebelum waktu berbuka kami sudah sampai di rumah. Ayah duduk di depan TV, aku dan Fia menyiapkan juadah untuk berbuka puasa yang kami beli tadi.

Pulang terawih Aku dan Fia duduk di depan TV, Ayah masuk ke kamarnya untuk bertadarus.

“Ra, aku ingin istrirahat panjang di sini saja.”

“Apa maksudmu Fi, Aku tidak mengerti?”

“Aku nyaman disini bersama kamu dan Ayah.” Aku hanya tersenyum mendengar kata – katanya.

“Mau kamu buang kemana Orang tuamu dan bang Alfian?”

“Kapan kamu ketemu dan kenal bang Alfian?”

“Sewaktu kamu sakit bang Alfian datang, aku juga bingung kenapa Bang Alfian tidak menunggu kamu bangun. Pesan bang Alfian aku diminta menjaga kamu.” Ceritaku kepada Fia. Aku melihat Fia meneteskan air mata.

“Ada apa Fi? Cerita biar masalahmu sedikit berkurang.” Aku hanya melihat senyum Fia tapi tidak mendengarkan suaranya berkata – kata. Aku tidak mau memaksa.

Jam menunjukkan pukul 21.30 Ayah keluar dari kamar menghampiri kami di ruang TV.

“Sana anak – anak pergi tidur, nanti susah dibangunkan sahur.” Aku bangun dari dudukku mengambil tangan Ayah dan menciumnya, Fia mengikuti apa yang aku lakukan. Kami berjalan menuju kamarku,

“Ra, aku rindu damaimnya rumah seperti rumahmu.”suara Fia setelah kami merebahkan badan di tempat tidur.

“Fi, jika kamu senang tinggal di rumahku aku juga senang, tapi beginilah keadaan rumahku.”

Aku melihat Fia yang tersenyum bahagia, selama aku mengenal Fia jarang senyum sebahagia ini diperlihatkannya.

“Baca doa sebelum tidur.” Aku menjahilinya

“Ya bu, ini aku baca doanya.” Jawab Fia sambil menirukan suara anak kecil

“Terima kasih Ra.” Aku memandang Fia bingung, sudah beberapa kalimat terima kasih diucapkannya dalam sehari ini.

***

 “Ra, bangun.” Aku mendengar namaku dipanggil, berusaha mengumpulkan jiwaku yang masih melayang di alam mimpi. Meregangkan semu otot dengan tangan ku buka lebar, mengucek mata perlahan tapi pasti aku bangun dari baringku melihat sejenak ke arah Fia yang masih tertidur lelap.

“Iya Yah.” Sahutku dari dalam kamar

Keluar dari kamar terus menuju dapur, ku lihat Ayah sudah mulai memanaskan lauk yang kami beli untuk sahur, air  terjerang sudah matang. Aku mengambil serbuk teh dan gula, setelah membuat teh aku menyiapkan semua yang kami perlukan untuk sahur.

 “Fia belum bangun?”

“Belum Yah, sebentar Ira bangunkan.”

Aku berjalan menuju kamar, membuka pintu dan Fia belum juga bergerak dari posisi tidur sewaktu aku melihatnya tadi.

“Fi, bangun kita sahur.” Aku mengucangkan pelan badan Fia untuk membangunkannya. Tidak ada reaksi, aku mencoba mengoyangkan badannya lagi. Tapi Fia tetap tak bereraksi, perlahan aku memegang tangan Fia, dingin teramat dingin.

“Yah.” Panggilku kepada Ayah, aku cemas karena Fia tidak bereaksi sama sekali dan badannya dingin sekali.

Ayah menuju kamarku,

“Ada apa Ra?”

“Fia, Yah”

“Kenpa Fia?”             

“Badannya dingin dan tidak bereaksi walaupun sudah Ira bangunkan dari tadi Yah.”

Ayah mendekati tempat tidurku, mengulurkan tangannya menyentuh dahi Fia, kemudian beralih ke hidung Fia.

“Ra, ambilkan Ayah cermin kecil.” Aku mengambil cermin seperti permintaan Ayah dan menyerahkannya.

Ayah meletakkan cermin kecil di hidung Fia

“Fia, sudah tidak ada Ra.”

“Maksud Ayah?”

“Fia sudah meninggal.”

“Innallihiwainalillahirojiun”

Tak bisa ku bendung lagi air mata ini, selamat jalan Fi semoga kau bahagia di sana. Bang Alfian Ira sudah memenuhi janji Ira sama abang. Aku jadi teringat dengan percakapanku lewat handphone dengan bang Alfian

“Assalamualaikum,ini bang Alfian. Masih ingat?” aku sempat ragu nomor siapa ini, tapi masih ku angkat juga.

“Iya bang, ada apa?”

“Ira, ada hal penting yang ingin bicarakan dengan kamu, dengarkan baik – baik.”

“Fia, umurnya tidak lama lagi, abang tahu abang seharusnya tidak meminta ini kepadamu. Tapi hanya Ira yang bisa membawa senyum dan bahagia dalam kehidupan Fia. Masalah rumah tangga Ayah dan Ibu kami membuat penyakit Fia bertambah parah. Fia, menelepon abang untuk minta izin pulang ke kampung Ira. Abang mohon buatlah Fia bahagia.” Aku mendengar suara serak dari seberang sana. Aku terharu mendengar cerita bang Alfian.

“Ra, kamu masih mendengarkan Abang.” Suara dari seberang sana mengangetkanku

“Masih bang, tapi perjalanan ini akan melelahkan Fia bang.” Aku mengeluarkan unek – unek dikepalaku kepada bang Alfian

“Ya Abang tahu, tapi tolong kamu jangan mengatakan tidak kepada Fia, bawalah Fia pulang ke kampungmu. Abang akan ikut bersama kalian.”

“baiklah bang.” Akhirnya aku menyetujui permintaan bang Alfian.

Setelah itu aku mengabarkan semuanya kepada Ayah via telepon, untung Ayah setuju dengan permintaan bang Alfian.

Aku mengambil handphone dan menelepon bang Alfian

“Assalamualaikum bang,” masih dalam isakku aku berusah berbicara

“Bang, Fia sudah tidak ada.” Suaraku tersendat sewaktu memberitahukan tentang Fia yang sudah meninggalkan kami.

“Innallihiwainalillahirojiun”

aku mendengar suara bang Alfian dari seberang sana.

“Abang kerumahmu sekarang.” Hanya itu yang kudengar sebelum aku menutup telepon memutuskan pembicaraan ku dengan bang Alfian.

Tak lama aku mendengar suara sirene ambulance, ayah meninggalkanku di kamar bersama mayat Fia menyongsong ambulance yang datang bersama bang Alfian.

“Fiaaaaa.” Suara yang memanggil nama Fia membuatku menolehkan kepala ke arah pintu kamarku. Sosok perempuan cantik walaupun umurnya sudah tidak muda lagi, di sampingnya aku melihat sosok pria yang tampak sama dengan bang Alfian hanya saja umurnya jauh di atas bang Alfian. Terakhir aku melihat bang Alfian dan dokter yang selalu dipanggil Fiat ante.

Banyak kata yang dikeluarkan oleh Ayah Ibu Fia tapi aku tidak mendengarkannya, hatiku terlalu sedih kehilangan sahabatku yang sudah ku anggap seperti saudara sendiri.

Fia di makamkan di kampung halamanku, seperti permintaan terakhir Fia kepada bang Alfian.

***

Sudah seminggu Fia bersemanyan di sana diperkuburan kampung halamanku, hanya tinggal menghitung hari lebaran akan datang, lebaran yang dirindukan sahabatku Fia di kampung halamanku tak pernah ia rasakan, menetes air mata ini jika mengingat betapa senyum bahagia Fia di hari – hari terakhirnya bersamaku.

Oleh – oleh yang dibelinya di Batam ternyata untuk ku dan Ayah, terselip secarik kertas yang saat ini aku genggam dan ku baca

“ Sahabatku Ira tersayang, ketika surat ini dibaca pasti aku sudah tenang di alam sana. Aku iri dengan kehidupan mu, walau hanya Ayah yang menemani hidupmu kau tidak pernah kehilangan sosok seorang Ibu. Jika saya Ayah dan Ibuku bisa seperti Ayahmu pasti aku akan bahagia, kau boleh kurang dengan materi tapi kau punya kasih sayang yang mungkin tidak semua orang bisa mendapatkannya termasuk Aku.

Setiap kau menceritakan bagaimana pengorbanan Ayahmu, aku selalu berharap aku menjadi saudara kandungmu sehingga kita bisa berbagi kasih sayang Ayah bersama. Ku titipkan sarung baju koko serta kopiah buat Ayah kita. Aku harap kau tidak marah aku menyebutnya Ayah kita. Minta Ayah untuk memakainya di hari pertama lebaran nanti. begitu juga diriku sabahatku, ada mukena dan baju gamis yang sebenarnya ingin ku beli couple sama dengan mu tapi aku yakin kita tidak akan bisa memakainya bersama. Karena itu aku hanya membelinya satu dengan warna kesukaanku, ku harap kau menyukainya.

Datanglah berkunjung kerumah peristirahatanku pada pagi lebaran nanti, aku berharap dapat makan ketupat rendang seperti ceritamu padaku. Pasti ada ketupat dan rendang setiap menyambut lebaran. Tapi tahun ini biarkan lebaranku, kau dan Ayah kita yang datang mengunjungiku dengan membacakan doa serta Alfatiah untukku. Jika memang ada kehidupan lain setelah kematian ini, aku sangat berharap yang maha kuasa berbaik hati menjadikan Kau dan Ayah kita menjadi keluargaku.

Tanganku sudah terlalu lelah menulis, mungkin tulisanku yang paragarap terakhir sudah tidak terlihat bagus lagi, tapi aku yakin kau masih bisa membacanya dan meneteskan air mata. Hapus air matamu, jangan iringi kepergianku dengan airmata tapi selalu kirimkan aku alfatiah. Salam sayangku buat Ayah Kita.

Saudaramu Alifia.”

Aku memandang baju gamis serta mukena yang diberikan Fia, tersenyum sedih mengingat bagaimana percakapan ku dengan Fia sewaktu ia memilih – milih gamis dan mukena.

“Fia, warnanya termuda untuk Ibu.”

“Siapa yang beli buat Ibu.”

“Terus beli untuk siapa, memangnya punya saudara peremuan, Fia kan cuma punya bang Alfian.”

“Cerewet banget, bagaimana gamis yang ini baguskan. Aku menyukainya.”

“Kalau buat kamu sih cocok, malah terlihat cantik dan sholehah banget.”

Fia tersenyum saat aku memujikan, begitu juga waktu ia memilih baju koko, sarung dan kopiah untuk Ayah kami katanya, senyum selalu menghiasi bibirnya. Semoga diakhir hayatmu senyum itu juga membuang jauh derita dihatimu.***

 

 

                                                                                                                                                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...