Fia namanya Alifia dari hari pertama ospek di kampus aku mengenal fia, kami satu kampus yang ingin meraih cita di kota Gudeg ini. Notabene anak melayu kepri membuatku wajib mencari teman di tempat rantau untuk mengusir sepi. Bukan tanpa sebab aku harus merantau jauh hanya untuk meraih cita.
Ayahku hanya ayah pegawai dengan
golongan II.d degan gaji pokok kecil, sehingga malam hari setelah menunaikan
kewajiban sebagai umat beragama harus mau membanting tulang hanya untuk
menambah penghasilan yang digunakan untuk aku meraih citi – cita. Walaupun aku
tidak pernah di manjakan dengan uang dari hasil lembur ayah, tapi aku selalu
mendapatkan pendidikan disekolah yang bagus.
Ayah memegang janjinya kepada almarhum
Ibu untuk membesarkan dan memberikan pendidikan baik membuatku terharu. Setelah
Ayah di tinggal ibu ayah tidak pernah mau mencari penganti ibu walaupun aku
mengizinkannya.
“Yah, Ira sudah besar dan sebentar lagi
akan meninggalkan ayah jika Ira menikah. Mengapa apa tidak mencari penganti
Ibu?”Suatu hari aku bertanya kepada Ayah
“Ayah tidak mau berbagi kasih dengan
yang lainnya. Cinta ayah cukup untuk ibumu dan dirimu saja..” Jawab ayah
diplomatis seolah tidak mau dibantah.
“Yah, nanti jika Ira melanjutkan kuliah,
tidak ada yang akan menemani ayah di rumah.” Aku masih memujuk ayah untuk
menikah lagi.
“Ira, persiapan diri kamu saja. Ayah
tahu mengurus diri Ayah.” Ayah menatapku dengan mata yang selalu memberikan
keteduhan kepadaku.
***
Ayah
dan Alfia dua orang yang sekarang sangat dekat denganku, aku selalu
menceritakan bagaimana aku selalu mengkhawatirkan keadaan ayah yang sendirian
di rumah sekarang ini.
“Fia, aku baru menelephon Ayah,
sepertinya suara ayah tidak sehat. Tapi ayah menyembuyikannya dariku.
“ Ra, kamu hanya terlalu mengkhawirkan
ayahmu saja. Aku yakin ayahmu baik – baik saja.” entah mengapa hatiku akan
terasa nyaman jika sudah menceritakan keadaan ayah kepadanya.
Aku dan Fia satu kos – kosan, untuk
mengirit uang kos kami satu kamar. Aku juga heran, fia yang aku tahu anak orang
berada mau berbagi kamar denganku. Sudah hampir 2 tahun ini kami satu kamar,
fia asli kota gudeg mengapa juga mau kos aku tidak tahu alasannya. Tapi aku
merasa bersyukur ditemukan dengan fia selalu membantuku jika telat dapat
kiriman dari Ayah, fia adalah penyelamatku.
“Ra, sebentar lagi kita liburan Lebaran.
Aku mau ikut kamu pulang kampung boleh?” tentu saja aku terkejut denga
pertanyaan Fia.
“Orang tuamu mengizinkan?”
“Mereka tidak peduli, aku mau lebaran
dimana? Aku memandang wajah Fia, setiap kali membicarakan orang tuanya pasti
wajahnya sangat menyedihkan.
“Aku sih tidak masalah, nanti aku
tanyakan kepada Ayah?” melempar senyumku kepada Fia, kami melanjutkan tugas
yang diberikan dosen siang tadi.
Surprise, benar – benar kejutan, aku
tidak pernah menyangka akan naik pesawat. Fia benar – benar ikut aku untuk
pulang kampung.
“Ra, aku sudah membeli tiket pesawat
untuk kita, lewat batamkan? Aku hampir tersedak ketika fia mengatakan itu
ketika kami sedang makan untuk membuka puasa kami hari ini.Aku fikir Fia hanya
bermain – main saja,
“Ra, kamu terdengar tidak, aku sudah
membeli tiket pesawat.” Ulang Fia lagi
“Iya, aku dengar, kamu yakin mau lebaran
di kampungku? Lebaran moment untuk
kumpul keluarga Fi.” Aku mencoba memberikan pengertian kepada Fia
“Iya, kamu dan Ayah kamu adalah
keluarga.” Dengan entengnya Fia berkata
“Tapi” belum juga selesai ucapanku Fia
sudah berkata
“Kamu tidak mau menerima aku dirumahmu,”
Wajahnya membuatku merasa sedih
“Iya, apa sih yang tidak untuk
sahabatku.” Jawabku
Fia sudah tertidur pulas di tempat tidur
sebelahku, sedangkan aku belum bisa mengejamkan mataku. Mimpi aku, bisa naik pesawat,
pasti Ayah terkejut melihat aku pulang. Tahun kemaren aku lebaran di Yogya,
sudah menjadi perjanjian aku dengan Ayah jika keadaan tidak mendesak aku tidak
akan pulang kampung. Walaupun dengan berat hati aku harus mau berkorban jika
ingin sukses.
Terdengar pemuda – pemuda membangun umat
islam untuk bangun dan bersahur aku belum juga bisa memejamkan mataku, untung
besok tidak ada kuliah jadi aku bisa tenang. Kalau tidak tentu aku harus tidur
di ruang kuliah apalagi puasa tentu suara ngorok melebih suara dosen yang
mengajar. Aku jadi tertawa sendiri dengan imajinasiku sendiri.
”Fi, bangun kita harus sahur.” Aku
mengoyangkan badan Fia untuk membangunkannya
Setelah melihat Fia membuka mataku, aku
terus menuju dapur sudah ada kawan – kawan satu kos yang memasak makanan untuk
sahur nanti.
Subuh ini, aku hanya memasak Indomie
dengan telur ceplok tidak lupa aku juga memasukkan sawi dan taege pagi ini aku
tidak masukkan cabe rawit potong. Setelah memasak 2 porsi aku meletakkan dalam
mangkuk untukku dan Fia.
Sudah 20 menit berlalu dari aku
membangunkannya tapi Fia tidak juga muncul di dapur.
“Mbak Nana, liatin mieku ya jangan
sampai di makan kucing.” Aku berkata kepada Mbak Nana teman satu kosku yang
lagi mengoreng telur.
“Ok.” Jawab Mbak Nana
Aku menyusul Fia ke kamar, masyaallah
ternyata Fia tertidur lagi, aku beranjak menuju kea rah Fia. Aku memegang
tangan Fia untuk membangunkannya. Aku terkejut merasakan tanganku panas.
“Fi, kamu sakit.” Fia memang selalu
deman selama kami satu kamar kos
“Fi..Fi..Fi” kamu dengar aku kan?” masih
belum ada jawaban dari Fia. Sekali lagi aku membangunkan Fia dengan
mengoyangkan badannya.
Dengan cemas aku mengambil handphoneku
dan menelephone ambulance, sambil menunggu ambulance datang aku mengompres Fia
dengan air dingin. Kenapa badan Fia bisa sepanas ini, setahuku Fia semalam baik
– baik saja.
Sesampainya kami di rumah sakit, bagian
administrasi menanyakan Indentitas Fia. Aku mengambil KTP Fia dan memberikan
pada petugas rumah sakit.
Sudah 2 hari Fia di rumh sakit, tapi aku
belum melihat orangtua Fia datang menjenguk Fia. Aku melihat Fia sangat akrab
dengan dokter yang merawatnya.
“Fi, sebaiknya Fia tidak usah puasa
dulu, pulanglah kerumah.” Aku mendengarkan suara dokter kepada Fia
“Puasa buat Fia sehat, tan.” Suara Fi
terdengar lemah menjawab pertanyaa dokter.
Aku hanya berdiri luar ruang rawat Fia,
aku tidak mau menganggu percakapan Fia dan dokter yang merawatnya yang entah
mengapa aku mereka sudah lama saling mengenal.
“Ira, kenapa lama sekali perginya” aku
mendengar Fia berusaha mengalihkan pembicaran seputur keluarganya dari dokter
yang merawatnya.
“Ya, sudah saya pergi dulu, jika ada
yang sakit tinggal tekan tombol diatas kepala Fia saja.” aku mendengar suara
dokter itu
Pasti sebentar lagi pintu ruang rawat
Fia terbuka aku menjauh dari pintu kamar ruang rawat Fia, semoga dokter yang
merawat Fia tidak curiga kalau aku dari tadi sudah di depan pintu.
“Siang Dok.” Sapaku kepada dokter Fia
“Sudah kembali, di tunggu Fiat tu.
Tolong temani Fia, dia butuh orang menemaninya.” Sambil berkata itu dokter
berlalu dari hadapanku, aku menutup kembali pintu ruang rawat inap Fia dan
melihat Fia memandang jauh keluar jendela.
“Fi, sudah enakkan?” Fia hanya membalas
pertanyaanku dengan bertanya balik
“Lama sekali perginya, kemana?”
“Kebiasa jika di tanya bukannya jawab
malah nanya balik.” Gerutuku Fia hanya tersenyum mendengarnya.
“Kamu yakin mau ikut aku pulang kampung
Fi? Tinggal 3 hari lagi aku pulang kampung.
“Insyaallah aku ikut”
“Tapi Fi, aku tidak yakin kamu sembuh,
pulang kerumah saja. lain kali kamu ikut Aku pulang kampung”
“Tidak, Aku ikut kamu pulang kampung.”
Aku terkejut mendengar intonasi suara Fia
“Fi, kamu yakin?”
“Ra, bawa aku, aku mohon ra.” Suara Fia
tidak seperti biasanya aku terpaksa menganggukkan kepalaku.
Ada apa dengan sahabatku ini, sepertinya
ada yang disembunyikannya dariku tapi aku tidak mungkin memaksaanya untuk
bercerita dalam kondisinya seperti ini.
***
“Fi, jika Fia masih bandel seperti ini.
Saya jamin Fia tidak akan sembuh”
“Biar saja, Fia juga tidak mau sembuh, Fia
capek Tan.”
“Mana Fia yang Tante kenal dulu, kemana
semangat hidup Fia.”
“Sudah hilang Tan, sejak mama dan papa pisah.”
“Fia biarkan orang dewasa dengan
masalahnya, perjalanan hidup Fia masih panjang”
“Tan, Fia bukan hanya butuh materi tapi
juga kasih sayang. Fia iri dengan Ira sahabat Fia yang dalam kondisi kekurangan
materi tapi penuh dengan kasih Ayahnya. Mereka hidup dengan segala perjuangan
tapi mereka saling memiliki dan menyayangi.” Ku dengar suara keluh kesah Fia.
Bukan maksudku untuk menguping
pembicaraan Fia dengan dokter yang dipanggilnya Tante, aku keluar untuk menebus
obat Fia dan menyerahkannya kepada perawat jaga. Sewaktu aku ingin masuk ke
ruang rawat inap Fia aku mendengarkan pembicaraan mereka. Sebenarnya sahabatku
ini sakit apa? adakah sakitnya karena kondisi keluarga yang dikatakannya.
Ya Allah, ternyata masih ada yang iri
dengan hidupku yang serba kekurangan materi menurut orang yang memandangnya
batinku dalam hati.
Aku dikejutkan dengan pintu ruang rawat
Fia tiba – tiba terbuka, aku tidak bisa pura – pura baru datang. Dokter itu
memandangku sambil tersenyum dan berkata
“Ternyata kamu lebih beruntung dari Fia,
Nak.” Aku tidak mengerti apa yang dimaksud dokter, aku hanya melihatnya berlalu
dari hadapanku.
Menutup pintu kamar rawat inap Fia,
memandangnya sekali lagi pandangan mata Fia jauh menerawang.
“Fi, lagi melamunya?”
“Kamu sudah datang Ra.” Aku
menganggukkan kepalaku
“Ra, kata dokter aku boleh keluar besok,
lusakan tiket pesawat kita?” aku memandang Fia tapi yang ku pandang masih
memandang jauh keluar jendela,
“Fi, perjalan jauh apa penyakitmu tidak
kambuh nanti?”
“Ra, aku lebih tahu kondisiku daripada
orang lain. Aku yakin aku akan sembuh dengan mendatangi kampung halamanmu Ra.”
Ada keyakinan pada suaranya.
“Semoga.” Hanya kata itu yang dapat aku
katakana.
Setelah itu kami terdiam, aku sibuk
dengan tugas kuliah. Sementara Fia melanjutkan memandang keluar jendela,
Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul
22, mataku sudah perih dan sudah beberapa kali aku menguap. Aku memandang ke
arah Fia, ternyata Fia sudah tertidur. Sudah beberapa malam ini aku tidur
dirumah sakit menemai Fia, tapi aku belum juga berjumpa dengan kedua orang tua
Fia.
Tok tok tok aku mendengar suara ketukan
pelan di pintu kamar, seperti ketukan yang tidak mau membangunkan orang yang
lagi tidur. Aku berjalan menuju pintu, membukannya, aku melihat seorang laki –
laki yang kira – kira 5 tahun umurnya diatasku. Dia tersenyum kepadaku sambil
berkata
“Fia tidur?, pasti kau Irakan?Aku
abangnya Fia, Alfian, kenalkan.” Aku menyambut tangan yang terulur kepadaku.
“Masuk bang, Fia sudah tidur.” Kataku
Abangnya Fia melangkah masuk, menuju
tempat tidur. Memandang Fia dengan ekpresi yang susah aku katakan, menyentuh
lembut kepala Fia dan membelainya. Secara sama aku mendengar suaranya
“Kasihan adikku, maafkan abang juga
hancur jadi tidak bisa kau harapkan.” Setelah mengatakan itu bang Alfian
berjalan kearahku yang sudah duduk disofa di ruangan rawat inap Fia.
“Ra, tolong jaga Fia.” Setelah
mengatakan itu bang Alfian keluar kamar, aku hanya bisa terdiam tak bisa
berbuat banyak. Memandang Fia sambil membantin kasiahan sungguh nasib
sahabatku. Aku jadi teringat dengan Ayah, sejak ditinggal Ibu, Aku dan Ayah
menjaga dan menyayangi. Walaupun kami hidup serba pas – pasan setiap Aku sakit
Ayah tidak pernah lebih mementingkan uang walaupun sebenarnya uang sangat kami
butuhkan. Begitu juga aku, walaupun harus bolos sekolah karena menjaga Ayah,
Aku tidak pernah merasa itu merugikan aku karena Ayah adalah segala – galanya
buat Aku begitu juga sebalikknya.
Sahabatku masih tertidur dalam dukanya,
tanpa orang – orang yang seharusnya ada di sampingnya di kala sakit. Aku tidak
habis fikir dengan abang Fia, bisa – bisanya ia hanya datang sebentar dan terus
pergi tidak bisakah Dia menunggu sampai Fia bangun. Aku yakin Fia akan merasa
senang dengan kedatangan Abangnya.
Akhirnya kantukku datang lagi, aku tidak
mau memikirkan masalah yang membuat kepalaku sakit, lebih baik aku tidur jam
sudah menunjukkan pukul 23 mataku sudah mengantuk berat. Akhirnya sofa yang
menjadi tempat tidurku beberapa malam ini menemani tidurku.
***
Aku dan Fia sudah masuk di ruang tunggu
keberangkatan perawat, dari rumah kos aku hanya bisa mengikuti Fia karena aku
belum pernah naik pesawat. Taxi yang mengantar kami dari rumah kos juga menjadi
masalah.
“Fi, kita naik damri saja,” kataku
“Taxi saja biar cepat, ini puasa aku
malas bersempit – sempit di damri.”
Akhirnya kami naik Taxi, sebenarnya aku
malu semua biaya di keluarkan oleh Fia, tapi Fia seperti tidak terbebani.
Ternyata Ini yang namanya bandara.
“Ini kecil Ra, nanti bandara di Jakarta
tempat kita transit pesawat baru besar bandaranya.” Aku mendengarkan apa yang
dikatakan Fia. Duduk di samping Fia, sambil menunggu jam terbang kami. Suara
pengumuman untuk masuk pesawat terdengar aku mengikuti Fia berdiri dan antri
menyerahkan tiket pada penjaga berjalan menuju pesawat. Ya Allah baru pertama
kali ini aku naik pesawat, tak bisa aku jelaskan perasaanku, aku memandang Fia.
Yang ku pandang sepertinya sudah biasa naik pesawat tidak terlihat sedikitpun
kecanggungan pada diri Fia.
Kami sudah duduk di badan pesawat,
tempat dudukku di samping jendela pesawat. Sewaktu pesawat mengudara aku
melihat betapa kecilnya daratan tidak sampai 1 jam pesawat sudah sampai di
bandara Jakarta.
“Ra, kita pindah pesawat.” Aku mengikuti
Fia turun dari pesawat.
Kami sudah pada pesawat yang akan
membawa aku dan Fia ke batam, pemandangan dibawah sana lebih kecil dari
pemandangan dari Yogya ke Jakarta dan juga memakan waktu yang lebih lama. Aku
memandang Fia, dari awal pesawat lepas landas di bandara Jakarta hanya tidur
saja. sementara aku tidak mau melepaskan kesempatan untuk melihat semua pemandangan
yang mungkin hanya sekali ini saja.
Suara pengumuman bahwa 15 menit lagi
kami sampai di batam sudah terdengar, aku melihat Fia mengerakkan mata dan
badannya.
Selepas keluar dari bandara Hang Nadim,
jam sudah menunjukkan pukul 5 sore pasti tidak terkejar ke Karimun pikirku, ini
gara – gara pesawat sewaktu di bandara Jakarta Dilay.
“Ra, katanya mau ke pelabuhan, kenapa
malah diam saja”
“Fi, tidak ada kapal lagi jam segini ke
kampungku.” Suaraku terdengar cemas dan bingung.
“Ya sudah, kita nginap di Batam saja.”
Aku memandang Fia tak percaya
“Ayo, aku masih punya uang untuk nginap
di Batam semalam.” Tanganku ditarik Fia menuju taxi bandara.
“Ke Nagoya Hill ya Pak.” Aku tercengang
memandang Fia, kok dia tahu Nagoya Hill
“Tutup mulut Ra, aku sudah pernah ke
Batam beberapa kali bersama Ibu dan Ayah tapi ke Karimun Aku belum pernah.”
Waktu mengucapkan kata Ibu dan Ayah jelas terlihat raut sedih di wajah Fia.
Tidak butuh waktu lama, kami sampai
dikawasan Nagoya, Hotel Nagoya menjadi tempat numpang tidur malam ini.
***
“Ra,
kita ke Nagoya Mall yuk.”
“Mau apa?”
“Ya jalan, masak tidur.”
“Tidak Capek Fi?”
“Kamu capek? Kebiasa Fia ditanya malah
tanya balik.
“Mumpung di Batam, kita shopping dulu.”
Regek Fia sambil menarik – narik tanganku
“Kita tarawih dulu baru jalan.”
“Ok.” Kami terwarih berjamah berdua, aku
yang menjadi imamnya.
Selama berjalan di Nagoya Mall banyak
barang yang dibeli oleh Fia. Aku melihat raut wajah bahagi yang jarang aku
lihat d wajah Fia. Fia membeli mukena, baju gamis, baju koko, sarung dan banyak
lagi.
“Fi, kenapa beli oleh – olehnya sekarang
kenapa tidak pas mau pulang ke Jawa saja.”
Aku tidak mendapatkan jawaban atas
pertanyaanku. Pulang ke hotel dengan tangan penuh barang belian Fia.
***
“Ra, seru naik kapalnya.” Fia dari tadi
asyik berceloteh saja, maklum pertama kali buat Fia naik kapal Dumai Express
kapal yang akan mengantar kami ke kampung halamanku.
Mobil cateran sudah sampai di depan
rumahku, di kampungku tidak ada taxi yang ada hanya mobil carteran saja.
“Ra, ini benar rumahmu?” aku melihat
raut wajah tidak percaya.
Rumahku hanya rumah semi permanen orang
kampungku menyebutnya, bagian bawah rumah sudah semen tapi atasnya masih dari
papan. Rumah peninggalan Nenek, karena Ayah anak tunggal diwariskan kepada
Ayah. Rumah di kelilingi pohon buah – buahan yang jika musim buah lumayan bisa
menambah penghasilan buat Aku dan Ayah.
Karena masih pagi, suasa puasa begini
kampungku akan sepi. Ayah pasti masih di kantor. Akhirnya aku dan Fia menunggu
Ayah pulang di rumah kayu yang dibuat di depan rumah untuk beristirahat. Aku
bercerita kepada Fia beberapa kebiasaan orang Karimun selama bulan Puasa. Fia
mendengarkanku dengan antusias, tak terasa jam Ayah pulang kantor sudah tiba.
Aku mendengar bunyi motor tua yang selalu dikendarai Ayah sudah mulai mendekat.
Aku berlari menyongsong Ayah sambil mengucapkan salam.
Ayah memandangku tak percaya,
“Anak Ayah kenapa pulang, ada masalah?”
suara cemas Ayah menyambutku, mata Ayah memandang aku dari Atas sampai kebawah.
“Ira sakit?’ masih dengan intonasi cemas
“Tidak Yah, ada kawan yang mau merasakan
lebaran di kampung.”Kataku, sambil mengandeng tangan Ayah menuju kearah Fia.
“Yah, ini Fia teman Ira.” Aku
mengenalkan Ayah kepada Fia.
Fia bangun dari duduknya dan meraih
tangan Ayah yang sudah terjulur, menciumnya dan berdiri di antara Aku dan Ayah.
“Ayo masuk,” Ayah mengambil tas bawaan
kami
“Sini yah, biar Ira bantu.”
Kami berjalan menuju rumah, aku sadar
Fia memperhatikan Aku dan Ayah. Pancaran mata yang tidak dapat aku artikan,
walaupun bibirnya tersenyum tapi matanya terlihat sedih.
“Ra, bawa Fia ke kamar. Istrihat dulu,
nanti habis Asar kita jalan mencari lauk dan kue untuk berbuka puasa. Kalian
puasaskan?” Aku dan Fia mengangguk mendengar perkataan Ayah
“Puasa benarankan? bukan puasa yang yuk?
Aku tertawa geli, memangnya aku anak kecil puasa yang yuk
“Apa sih puasa yang yuk Ra?”
“Itu puasanya anak kecil yang separuh
hari.” Jawabku, kami tertawa, aku melihat tawa Fia yang lepas aku senang
melihatnya. Ayah membiarkan aku dan Fia beristirahat setelah kami sholat Zhuhur
berjamah.
***
Keramaian
di pasar puasa membuat wajah Fia menjadi ceria, selalu tersenyum menambah
cantik wajah sabahatku.
“Fia mau makan apa buat berbuka nanti?”
“Ra, makanan apa yang enak buat berbuka
di sini.”
“Kebiasan ditanya malah tanya balik.”
Kataku kepada Fia
“Mana aku tahu makan enak di daerahmu.”
“Bagaimana kalau Ayah usul, sore ini
kita berbuka nasi lemak dan mie siam kuah. Kuenya kita beli kue epok – epok dan
putrid salat serta cendol minumannya.”
“Ira setuju.”
“Fia juga mau Yah.” Aku dan Ayah
memandang Fia
“Bolehkan Fia memanggil Ayah kepada
bapak?” mata yang penuh harapan Ayah dan Aku mengabulkan permintaanya
“Boleh, kenapa tidak.” Jawab Ayah.
Kami masih meneruskan berjalan – jalan
di basar sore yang menjual juadah untuk berbuka puasa.
Sisa waktu tinggal 30 menit lagi sebelum
waktu berbuka kami sudah sampai di rumah. Ayah duduk di depan TV, aku dan Fia
menyiapkan juadah untuk berbuka puasa yang kami beli tadi.
Pulang terawih Aku dan Fia duduk di
depan TV, Ayah masuk ke kamarnya untuk bertadarus.
“Ra, aku ingin istrirahat panjang di
sini saja.”
“Apa maksudmu Fi, Aku tidak mengerti?”
“Aku nyaman disini bersama kamu dan
Ayah.” Aku hanya tersenyum mendengar kata – katanya.
“Mau kamu buang kemana Orang tuamu dan
bang Alfian?”
“Kapan kamu ketemu dan kenal bang
Alfian?”
“Sewaktu kamu sakit bang Alfian datang,
aku juga bingung kenapa Bang Alfian tidak menunggu kamu bangun. Pesan bang
Alfian aku diminta menjaga kamu.” Ceritaku kepada Fia. Aku melihat Fia
meneteskan air mata.
“Ada apa Fi? Cerita biar masalahmu
sedikit berkurang.” Aku hanya melihat senyum Fia tapi tidak mendengarkan
suaranya berkata – kata. Aku tidak mau memaksa.
Jam menunjukkan pukul 21.30 Ayah keluar
dari kamar menghampiri kami di ruang TV.
“Sana anak – anak pergi tidur, nanti
susah dibangunkan sahur.” Aku bangun dari dudukku mengambil tangan Ayah dan
menciumnya, Fia mengikuti apa yang aku lakukan. Kami berjalan menuju kamarku,
“Ra, aku rindu damaimnya rumah seperti
rumahmu.”suara Fia setelah kami merebahkan badan di tempat tidur.
“Fi, jika kamu senang tinggal di rumahku
aku juga senang, tapi beginilah keadaan rumahku.”
Aku melihat Fia yang tersenyum bahagia,
selama aku mengenal Fia jarang senyum sebahagia ini diperlihatkannya.
“Baca doa sebelum tidur.” Aku
menjahilinya
“Ya bu, ini aku baca doanya.” Jawab Fia
sambil menirukan suara anak kecil
“Terima kasih Ra.” Aku memandang Fia
bingung, sudah beberapa kalimat terima kasih diucapkannya dalam sehari ini.
***
“Ra,
bangun.” Aku mendengar namaku dipanggil, berusaha mengumpulkan jiwaku yang
masih melayang di alam mimpi. Meregangkan semu otot dengan tangan ku buka
lebar, mengucek mata perlahan tapi pasti aku bangun dari baringku melihat
sejenak ke arah Fia yang masih tertidur lelap.
“Iya Yah.” Sahutku dari dalam kamar
Keluar dari kamar terus menuju dapur, ku
lihat Ayah sudah mulai memanaskan lauk yang kami beli untuk sahur, air terjerang sudah matang. Aku mengambil serbuk
teh dan gula, setelah membuat teh aku menyiapkan semua yang kami perlukan untuk
sahur.
“Fia
belum bangun?”
“Belum Yah, sebentar Ira bangunkan.”
Aku berjalan menuju kamar, membuka pintu
dan Fia belum juga bergerak dari posisi tidur sewaktu aku melihatnya tadi.
“Fi, bangun kita sahur.” Aku
mengucangkan pelan badan Fia untuk membangunkannya. Tidak ada reaksi, aku
mencoba mengoyangkan badannya lagi. Tapi Fia tetap tak bereraksi, perlahan aku
memegang tangan Fia, dingin teramat dingin.
“Yah.” Panggilku kepada Ayah, aku cemas
karena Fia tidak bereaksi sama sekali dan badannya dingin sekali.
Ayah menuju kamarku,
“Ada apa Ra?”
“Fia, Yah”
“Kenpa Fia?”
“Badannya dingin dan tidak bereaksi
walaupun sudah Ira bangunkan dari tadi Yah.”
Ayah mendekati tempat tidurku,
mengulurkan tangannya menyentuh dahi Fia, kemudian beralih ke hidung Fia.
“Ra, ambilkan Ayah cermin kecil.” Aku
mengambil cermin seperti permintaan Ayah dan menyerahkannya.
Ayah meletakkan cermin kecil di hidung
Fia
“Fia, sudah tidak ada Ra.”
“Maksud Ayah?”
“Fia sudah meninggal.”
“Innallihiwainalillahirojiun”
Tak bisa ku bendung lagi air mata ini, selamat
jalan Fi semoga kau bahagia di sana. Bang Alfian Ira sudah memenuhi janji Ira
sama abang. Aku jadi teringat dengan percakapanku lewat handphone dengan bang
Alfian
“Assalamualaikum,ini bang Alfian. Masih
ingat?” aku sempat ragu nomor siapa ini, tapi masih ku angkat juga.
“Iya bang, ada apa?”
“Ira, ada hal penting yang ingin
bicarakan dengan kamu, dengarkan baik – baik.”
“Fia, umurnya tidak lama lagi, abang
tahu abang seharusnya tidak meminta ini kepadamu. Tapi hanya Ira yang bisa
membawa senyum dan bahagia dalam kehidupan Fia. Masalah rumah tangga Ayah dan
Ibu kami membuat penyakit Fia bertambah parah. Fia, menelepon abang untuk minta
izin pulang ke kampung Ira. Abang mohon buatlah Fia bahagia.” Aku mendengar
suara serak dari seberang sana. Aku terharu mendengar cerita bang Alfian.
“Ra, kamu masih mendengarkan Abang.”
Suara dari seberang sana mengangetkanku
“Masih bang, tapi perjalanan ini akan
melelahkan Fia bang.” Aku mengeluarkan unek – unek dikepalaku kepada bang
Alfian
“Ya Abang tahu, tapi tolong kamu jangan
mengatakan tidak kepada Fia, bawalah Fia pulang ke kampungmu. Abang akan ikut
bersama kalian.”
“baiklah bang.” Akhirnya aku menyetujui
permintaan bang Alfian.
Setelah itu aku mengabarkan semuanya
kepada Ayah via telepon, untung Ayah setuju dengan permintaan bang Alfian.
Aku mengambil handphone dan menelepon
bang Alfian
“Assalamualaikum bang,” masih dalam
isakku aku berusah berbicara
“Bang, Fia sudah tidak ada.” Suaraku
tersendat sewaktu memberitahukan tentang Fia yang sudah meninggalkan kami.
“Innallihiwainalillahirojiun”
aku mendengar suara bang Alfian dari
seberang sana.
“Abang kerumahmu sekarang.” Hanya itu
yang kudengar sebelum aku menutup telepon memutuskan pembicaraan ku dengan bang
Alfian.
Tak lama aku mendengar suara sirene
ambulance, ayah meninggalkanku di kamar bersama mayat Fia menyongsong ambulance
yang datang bersama bang Alfian.
“Fiaaaaa.” Suara yang memanggil nama Fia
membuatku menolehkan kepala ke arah pintu kamarku. Sosok perempuan cantik
walaupun umurnya sudah tidak muda lagi, di sampingnya aku melihat sosok pria
yang tampak sama dengan bang Alfian hanya saja umurnya jauh di atas bang
Alfian. Terakhir aku melihat bang Alfian dan dokter yang selalu dipanggil Fiat
ante.
Banyak kata yang dikeluarkan oleh Ayah
Ibu Fia tapi aku tidak mendengarkannya, hatiku terlalu sedih kehilangan
sahabatku yang sudah ku anggap seperti saudara sendiri.
Fia di makamkan di kampung halamanku,
seperti permintaan terakhir Fia kepada bang Alfian.
***
Sudah seminggu Fia bersemanyan di sana
diperkuburan kampung halamanku, hanya tinggal menghitung hari lebaran akan
datang, lebaran yang dirindukan sahabatku Fia di kampung halamanku tak pernah
ia rasakan, menetes air mata ini jika mengingat betapa senyum bahagia Fia di
hari – hari terakhirnya bersamaku.
Oleh – oleh yang dibelinya di Batam
ternyata untuk ku dan Ayah, terselip secarik kertas yang saat ini aku genggam
dan ku baca
“
Sahabatku Ira tersayang, ketika surat ini dibaca pasti aku sudah tenang di alam
sana. Aku iri dengan kehidupan mu, walau hanya Ayah yang menemani hidupmu kau
tidak pernah kehilangan sosok seorang Ibu. Jika saya Ayah dan Ibuku bisa
seperti Ayahmu pasti aku akan bahagia, kau boleh kurang dengan materi tapi kau
punya kasih sayang yang mungkin tidak semua orang bisa mendapatkannya termasuk
Aku.
Setiap
kau menceritakan bagaimana pengorbanan Ayahmu, aku selalu berharap aku menjadi
saudara kandungmu sehingga kita bisa berbagi kasih sayang Ayah bersama. Ku
titipkan sarung baju koko serta kopiah buat Ayah kita. Aku harap kau tidak
marah aku menyebutnya Ayah kita. Minta Ayah untuk memakainya di hari pertama
lebaran nanti. begitu juga diriku sabahatku, ada mukena dan baju gamis yang
sebenarnya ingin ku beli couple sama dengan mu tapi aku yakin kita tidak akan
bisa memakainya bersama. Karena itu aku hanya membelinya satu dengan warna
kesukaanku, ku harap kau menyukainya.
Datanglah
berkunjung kerumah peristirahatanku pada pagi lebaran nanti, aku berharap dapat
makan ketupat rendang seperti ceritamu padaku. Pasti ada ketupat dan rendang
setiap menyambut lebaran. Tapi tahun ini biarkan lebaranku, kau dan Ayah kita
yang datang mengunjungiku dengan membacakan doa serta Alfatiah untukku. Jika
memang ada kehidupan lain setelah kematian ini, aku sangat berharap yang maha
kuasa berbaik hati menjadikan Kau dan Ayah kita menjadi keluargaku.
Tanganku
sudah terlalu lelah menulis, mungkin tulisanku yang paragarap terakhir sudah
tidak terlihat bagus lagi, tapi aku yakin kau masih bisa membacanya dan
meneteskan air mata. Hapus air matamu, jangan iringi kepergianku dengan airmata
tapi selalu kirimkan aku alfatiah. Salam sayangku buat Ayah Kita.
Saudaramu
Alifia.”
Aku memandang baju gamis serta mukena
yang diberikan Fia, tersenyum sedih mengingat bagaimana percakapan ku dengan
Fia sewaktu ia memilih – milih gamis dan mukena.
“Fia, warnanya termuda untuk Ibu.”
“Siapa yang beli buat Ibu.”
“Terus beli untuk siapa, memangnya punya
saudara peremuan, Fia kan cuma punya bang Alfian.”
“Cerewet banget, bagaimana gamis yang
ini baguskan. Aku menyukainya.”
“Kalau buat kamu sih cocok, malah
terlihat cantik dan sholehah banget.”
Fia tersenyum saat aku memujikan, begitu
juga waktu ia memilih baju koko, sarung dan kopiah untuk Ayah kami katanya,
senyum selalu menghiasi bibirnya. Semoga diakhir hayatmu senyum itu juga
membuang jauh derita dihatimu.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar