Jumat, 26 November 2021

Everything Is Fine

 

Di saat aku sedih, aku tidak butuh pertanyaan. Tapi yang aku butuhkan adalah dekapan hangat serta ucapan, semuanya akan baik – baik saja, memang miris kehidupan tidak hanya cukup dengan di limpahi harta tapi juga perhatian. Begitu juga kehidupan tidak hanya bergantung pada cinta, karena cinta tidak membuat kehidpan menjadi lebih baik jika tidak punya harta.

Aku memandang sekeliling rumah, hanya kehampaan yang aku rasakan. Setiap sudut terisi oleh furniture yang boleh dikatakan akan membuat orang yang tidak berduit akan mengalirkan liurnya, harga boleh selangit tapi hampa, mereka tidak bisa mengisi ke kosongan yang sering aku rasakan akhir – akhir ini.

Masuk tahun ke lima pernikahan kami, tapi rumah ini kosong dengan tawa dan canda si kecil yang menjadi semaraknya rumah tangga. Sudah banyak upaya yang kami lakukan sampai program bayi tabung juga gagal, pasrah mungkin jalan terakhir yang harus kami lakukan. Setahun sudah aku merasakan ada yang berubah, rumah kami benar – benar sunyi. Setiap malam aku selalu sampai tertidur menunggu ke pulangannya.

Aku tidak pernah mendengar alasan yang dibuat – buat, hanya sekalimat yang membuatku merasa sedih.

“Aku rumah Ibu, bermain dengan Aisyah kecil.” Ucapnya setiap aku menanyakan kenapa pulang kemalaman.

Bukannya aku tidak mau ikut kerumah Ibu, hanya menghindar dari tatapan yang lebih menyakitkan dari kata – kata Ibu yang keluar dari mulutnya. Aku hanya mengikuti langkahnya menuju kamar kami, aku memperhatikannya tapi sepertinya, aku sudah kasat mata baginya, bagaimana tidak Dia menganti baju menuju ke ranjang merebahkan dirinya tanpa bertanya apa yang aku lakukan hari ini, atau sekedar mengajakku untuk tidur bersama.

Hanya hembusan napas berat yang bisa aku lakukan, mengikuti jejaknya menganti baju dan menyusulnya membaringkan diri di ranjang, aku memperhatikannya dan aku tahu dia belum tidur tapi seakan ada tembok yang membentengi kami. Setelah hampir satu jam aku memandanginya akhrinya terdengar suara dengkuran halus yang menandakan dia sudah sampai di alam mimpinya. Mimpi yang akhir – akhir ini tidak pernah ada aku di dalamnya.

Lelah, bercampur sedih akhirnya aku menyusul dirinya ke alam mimpi yang tak lagi membuatku tersenyum jika terbangun di pagi hari.

***

Azan subuh berkumandang , aku membuka mata melihat ke samping menatap wajahnya yang masih tertidur pulas dengan senyum. Senyum itu sudah lama tidak menghiasi bibirnya, apa yang dimimpikannya sampai senyum itu terbit di bibirnya. Hatiku menangis tidak pernah lagi dia memandangku dengan senyum yang dulu sangat aku rindukan, rinduku kini hanya sebatas anganku dan tidak pernah lagi sampai pada dirinya.

Aku melangkah menuju kamar mandi, mengambil wudhu dan bersiap untuk sholat subuh. Aku mengoyang pelan badanya untuk mengajaknya menjadi imam seperti pertama kami membangun rumah tangga.

“Jangan ganggu aku masih mengantuk.” Ucapnya sambil memungunggi aku. Dengan berat hati aku sholat sendiri. Semua keluh kesah aku tumpah di hadapan-Nya, sebisa mungkin aku menahan isakku, jika dia mendengar isakku pasti amarahnya akan naik.

Lelah, akhirnya aku menyudahi ratapku kepada-Nya bergegas menuju dapur membuat sarapan buat kami.

***

Langkah kaki terdengar, aku berharap langkahnya menuju ke arahku. Semakin jauh bukannya mendekat ke ruang makan, aku bangkit menuju langkah yang menjauhi ruang makan.

“Tidak sarapan dulu Bang?” Takut melanda hatiku tapi aku tetap bertanya.

Langkahnya terhenti, menoleh ke arahku hanya sebentar dan terus menuju pintu depan.

“Ibu menelepon, Abang sarapan di sana saja.” ucapnya sebelum keluar dari pintu dan menutupnya.

Sudut mataku panas, tak terbendung lagi air mata ini mengalir dan membuat pandanganku kabur. Hanya sebentar setelah itu aku tidak ingat apa – apa.

Perlahan aku membuka mata, ruangan yang begitu asing aku mencoba untuk bangkit tapi netraku nanar ada selang infuse di tanganku, kenapa aku tidak mati saja, batinku meratap. Netraku tertumbuk dengan pandangan yang mungkin ini hanya mimpi, sesosok meringkuk di sofa tak jauh dari tempat tidurku. Aku mengerjapkan mataku berulang kali, aku tidak mau ini hanya mimpi yang membuatku kecewa pada akhirnya. Aku memadang langit kamar yang asing dengan perasaan yang bercampur aduk, gerangan apa yang terjadi dengan diriku sehingga harus diinfus.

Nyit, suara sofa berbunyi tanda ada yang bergerak di atasnya. Pandanganku beralih, mata kami bertatapan. Pancaran mata yang tidak seperti biasanya, senyum yang sudah lama tidak dilemparkannya padaku, sudut mataku memanas. Belum lagi keluar airnya, tangan besar itu menyusutnya. Kemudian tangan besar itu menangkup wajahku mendaratkan ciuman di keningku lembut.

“Terima kasih.” Ucapnya sekali lagi mendarat ciuman di keningku

Aku memandangnya dengan heran, tidak seperti biasanya, ada apa.

“Sayang hamil.” Belum hilang rasa penasaranku, ucapannya membuatku tak percaya. Air mata ini meluncur dengan deras membuatku merasakan sesak yang berlebihan di dada, pandanganku kabur entah apa yang terjadi.

Pelan tapi pasti aku mendengar suara – suara

“Apa yang terjadi dengan Istri saya Dok?” entah suara siapa, yang pasti aku mendengarnya

“Istri Anda baik – baik saja, mungkin hanya sedikit lelah saja.” masih saja ada suara yang ku dengar.

Perlahan aku membuka mata, kepalaku masih terasa berat. Sosok suamiku lagi bersama seseorang yang berpakaian putih, mereka berbincang serius.

“Bang.” Panggilku pelan

Mendengar aku memanggilnya, suamiku cepat menoleh dan berjalan menuju arahku

“Mana yang sakit?” tanyanya pelan sambil mengelus pucuk kepalaku

“Maaf akhir – akhir Abang mengacuhkanmu, sungguh sebenarnya Abang tidak bermaksud seperti itu.” Ucapnya lirih, .

“Alhamdulillah doa Abang terkabul, Abang takut sekali. Ternyata doa Abang di ijabah Allah.” Aku memandangnya heran, apa maksudnya mengatakan itu

“Umi memaksa Abang untuk menikah lagi, itu membuat Abang bingung. Abang sudah mengatakan tidak mau. Tapi Umi tetap mendesak, maafkan Abang, karena itu Abang selalu pulang malam. Abang tidak mau sayang melihat kegelisahan Abanng.” Akhirnya terjawab semua, betapa tersiksanya suamiku tapi tetap saja aku menjadi prioritasnya.

“Semuanya baik – baik saja sekarang.” Ucapnya lembut sambil mendaratkan ciuman di keningku. Air mata tidak bisa aku bendung lagi, semuanya tumpah ruah, Everything is Fine, batinku sambil mengucap syukur kepada-Nya.***

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...