Minggu, 21 November 2021

Akhirnya Bahagia Itu Datang

 

“Abang talak Ain dengan talak satu.” Bergetar seluru tubuhku bagaikan ada gempa bumi serta puting beliung yang memporakperandankan hidupku saat ini.

Aku memandang dia yang bergelar suamiku, bukan sekali tapi sudah beberapa kata pisah terkeluar dari mulutnya jika aku mepertanyakan kemana perginya dirinya selama beberapa bulan kebelakang ini. Bukannya aku tidak percaya dengan alasannya ada pekerjaan tambahan tapi tidakkah waktu enam bulan terlalu lama untuk kerja tambahan yang mengusik kebersamaan kami, belum lagi perutku yang semakin membesar yang membutuhkan perhatian dan kehadirannya.

“Uruslah ke KUA, jika Abang tidak punya malu.” Senyum miris tercetak di bibirku, otak suamiku sudah miring, percuma sholat tunggang tunggit jika hal sepele seperti ini dia tidak tahu.

Aku meninggalkan suamiku yang sepertinya baru tersadar dengan alam nyata, menceraikan istri dalam keadaan hamil mustahil.

Aku berjalan menuju kamar, meraih koper yang selalu terletak di atas lemari dengan susah payah. Tidak ada lagi air mata, lelah jiwa dan lelah raga, menyusun satu persatu pakaian ke dalam koper, selesai batinku. Aku meraih jilbab instanku, memakainya dan berjalan keluar kamar, tujuanku hanya satu rumah ayah, ada pilu menjalar di sudut hatiku, pasti ayah akan kecewa bagaimana tidak aku sudah menolak ketika dipaksa untuk turun Rajang hanya karena harus mengantikan kakakku yang meninggal setelah melahirkan anak pertamanya. Langkahku terhenti, semula tujuan pintu depan aku beralih ke arah kamar Syafa anak kakakku yang sekarang menjadi anakku.

“Sayang bangun, kita kerumah atok.” Lelap tidur syafa, tak terganggu dengan pertengkaran aku dan ayahnya. Aku memandang sayu, sekali lagi anak 3 tahun ini harus kehilangan kasing sayang dari salah satu orangtuanya.

Lamunanku berjalan, mengingat dan mengenang selama tiga tahun ini tidak pernah aku melihat suamiku, ayah kandung syafa tulus menyayanginya. Kadang aku berfikir Bang Adnan, suamiku tidak menyayangi anaknya syafa. Gerakan kecil dari syafa membuat bibirku tersenyum.

“Kenapa kita kerumah Atok, bunda?” suara kecilnya selalu membuatku gemas

“Bunda rindu atok, kita tidur di rumah Atok, Syafa maukan?” tanyaku padanya

“Mau bunda.” Sambil berusaha berdiri dari bangunya.

Bergegas aku memasukkan semua baju syafa pada tas yang memang selalu tersedia di kamarnya. Dengan bebab perutku, aku tetap mengedong syafa. Meletakkan tas syafa di atas koper derekku. Susah payah aku berjalan, melintasi bang Adnan yang masih terduduk di ruang tamu dengan memegang kepalanya. Bunyi koper yang ku tarik menarik perhatian Bang Adnan, netra Bang Adnan bertabrakan dengan netraku, aku membuang pandanganku terus berjalan menuju pintu. Dengan susah payah aku membuka pintu, akhirnya sebelum melangkah keluar.

“Ain mau kemana?” suara berat Bang Adnan mengema

“Abang lupa sudah menalak Ain.” Ucapku pelan

Seakan baru sadar akan kesadaranya Bang Adnan mencegah kepergianku, dengan menarik badanku dan mengambil Syafa dari gendonganku. Bersamaan dengan itu kami mendengarkan salam dari luar rumah.

“Walaikumsallam Ayah.” Aku menjawab salam Ayah.

Pandangan netra Ayah tertuju pada koper yang aku pegang

“Ain mau kemana?”

“Ain mau menginap di rumah Ayah, Abang Adnan mau keluar kota. Tidak mungkin Ain di rumah sendiri, Ain takut melahirkan di rumah sendiri Ayah.” Terpaksa ucapan dusta yang keluar dari mulutku, jangan sampai Ayah menjadi cemas dengan masalah rumah tanggaku.

“Adnan , berapa lama Keluar kota. Tak bisa di tunda, Ain hanya menunggu hari.” ucap Ayah kepada Bang Adnan.

Aku melihat Bang Adnan gugup, bingung ingin menjawab apa atas pertanyaan Ayah.

“Sering sekali Adnan tidak di rumah kebelakang ini.” Lanjut Ayah.

Aku memandang Bang Adnan, netraku menunggu jawaban apa yang akan Bang Adnan berikan atas pertanyaan Ayah.

“Kalian baik – baik sajakan?”

“Ain baik – baik saja Yah, entahlah dengan Bang Adnan?” lirikku ke arah Bang Adnan.

“Ayah tidak mau menerima Ain di rumah Ayah lagi.” selaku mengalihkan perhatian Ayah.

“Ayo Yah kita pulang, aku memberikan koper dan tasku kepada Ayah. Setelah itu, aku mengambil Syafa dari gendongan Bang Adnan.

“Adnan tidak ikut mengantar?” tatapan bingung Ayah ke arah Bang Adnan

“Tidak Ayah, Bang Adnan akan terlambat kalau mengatar kami ke rumah Ayah.”

“Ayo Ayah.” Aku berjalan meninggalkan Bang Adnan dan mengajak Ayah untuk cepat meninggalkan rumah Bang Adnan. Ujung netraku melirik ke arah Bang Adnan yang salah tingkah.(Bersambung)

***

 “Assalamualikum.” Ucapku sambil membuka kamar gadisku, berjalan menuju ranjang untuk meletakkan syafa di tempat tidur.

Aku mengelus perutku dengan perasaan pilu, netraku menatap syafa yang masih tertidur nyeyak. Senyum terukir di bibir mungilnya. Andaikan aku bisa meminta, mungkin aku lebih memilih tetap menjadi kecil sehingga tidak mengalami hal seperti sekarang ini.

Syafa kecil yang butuh kasih sayang Ibu memaksaku menikah dengan Ayahnya, tanpa cinta tapi jika ada rasa sayang mungkin pernikahan aku dan Bang Adnan berjalan lancar. Aku sendiri bingung dengan sikap Bang Adnan, di awal pernikahan aku berusaha memahaminya, memaksakan rasa sayang kepadanya walaupun aku tahu penolakan Bang Adnan akan kehadiranku tapi karena kebutuhan Syafa akhirnya kami selalu bersandirawa untuk tetap menjalankan pernikahan ini.

Aku memandang perutku membuncit, pasti orang mengira kami saling cinta tapi ini sebuah kesalahan karena aku memintanya dengan memohon untuk memberikan aku keturunan karena aku sudah lelah menjawab pertanyaan orang di sekitarku mengapa aku tidak kunjung hamil padahal sudah lebih dari setahun kami menikah.

Hanya sekali Bang Adnan menyentuhku, dan aku masih mengingat ucapannya

“Hanya sekali ini, jika tidak berhasil tidak ada yang kedua.” Ucapnya dengan nada ketus

***

Bunyi rintik hujan menyadarkan lamunanku, jam di nakas menunjukkan angka 3 pagi. netraku belum terpejam dari semalam. Dengan gontai aku melangkah menuju kamar mandi, mengambil wudhu, aku ingin mengadu pada-Nya.

Sentuhan di kepalaku membuatku membuka mata, menatap wajah tua Ayah dengan raut yang terlihat sedih.

“Ayah tahu kalian tidak baik – baik saja, ceritakanlah pada Ayah.” Ucapannya membuatku terisak.

Pelukkan Ayah membuat tangisku pecah, tak ada kata yang keluar dari mulutku. Terlalu pahit untuk menceritakan aib rumah tangggaku.

“Ayah, izinkan Ain untuk tinggal dengan Ayah lagi.” ucapku di sela tangis.

“Ini rumah Ain, Adnan bagaimana?”

“Assamualaikum.” Aku dan Ayah memandang ke arah pintu kamar

Bang Adnan berdiri di sana dengan raut wajah kusut, jelas sekali nertanya yang tidak menyentuh alam tidur.

“Walaikumsallam.” Jawab Ayah

“Tidak jadi ke luar kota Adnan?”

“Adnan mengambil cuti Ayah.” Setelah mengatakan itu langkah Bang Adnan mendekati Aku dan Ayah.

“Kalian Ayah tinggal dulu.” Setelah mengatakan itu Ayah pergi.

Aku masih duduk di sajadah, Bang Adnan mengambil posisi duduk di depanku. Sedikitpun aku tidak menatap ke arah Bang Adnan. Sentuhan di wajahku memaksa untuk melihat ke wajah Bang Adnan.

“Ain, Abang salah. Maafkan Abang.” Lirihnya

“Dengarkan Abang, biarkan abang bercerita.” Napas beratnya terdengar

“Ingat enam bulan yang lalu ketika Abang pulang kerumah ada tamu.” Aku mengingat – ingat

“Ada Faizal.” Batinku.

“Abang mendengar percakapan kalian  berdua, abang menyesal sudah hadir di antara Faizal dan Ain. Abang selalu menjadi orang ketiga di antara orang – orang yang abang sayang. Abang di jodohkan dengan Kakak Ain, ternyata Kakak Ain juga mempunyai ke kasih hati sehingga dia tidak bisa menerima Abang menjadi suaminya, tapi karena tidak mau menyakiti hati Ayah menerima perjodohan kami. Cinta Abang tidak bisa membahagiakannya, dan akhirnya dia meninggal sewaktu melahirkan Syafa buah cinta Abang kepadanya tapi tidak dengan Kakak Ain.

Dan sekali lagi Abang harus terluka ketika ternyata Abang sekali lagi menjadi penghalang kebahagian Ain dengan Faizal. Karena itu Abang selalu tidur di mes kantor, karena Abang ingin menghilangkan rasa cinta Abang kepada Ain, Abang rela menceraikan Ais walaupun Abang tahu akan terluka karenanya, tapi abang ikhlas jika Ain bahagia. Abang janji setelah masa nipas Ain, Abang Akan menceraikan Ain.” Hembusan napas berat terdengar setelah Abang Adnan mengakhiri ucapannya.

Setetes demi setetes air mata jatuh dari netraku, ada sesak di dadaku tapi ada rasa lega mendengar penuturan Bang Adnan. Aku meraih tangan Bang Adnan dan menatap lekat netranya. Pandangan kami bertemu, aku melihat luka di sana.

“Bang, seharusnya Abang bertanya kepada Ain, bukan menerka – nerka isi hati Ain. Ain minta maaf jika abang hanya mendengar sebahagian percakapan Ain dengan Faizal. Faizal masa lalu Ain, tapi Abang masa depan Ain. Kisah kami sudah berakhir ketika Ain sah menjadi istri abang. Aku merangkul Bang Adnan dan menagis di dada bidangnya

“Maafkan Ain yang ternyata melukai Abang dengan menerima Faizal bertamu di rumah. Biarkan Ain tetap menjadi istri dan bunda anak – anak Abang. Biarkan cinta selalu ada di antara kita.” Ucapku seiring mengeratkan pelukkanku kepada Bang Adnan.

Bang Adnan meraup wajahku menatap netraku lekat

“Ain jangan memberi harapan palsu kepada Abang.” Ucapnya ragu tetap mencari jawaban dari netra mataku.

“Tak ada wanita yang mau memohon minta anak jika tidak mencintai Bang.” Ucapku malu

Ciuman di mata dan keningku, hangat menjalar di seluruh tubuhku. Seakan ada asupan vitamin yang luar biasa dari ciuman bang Adnan menghilang seketika semua rasa yang membenani jiwa dan ragaku. Pelukan hangat kami terhenti ketika aku merasakan sakit yang luar biasa di perutku.

“Abang perut Ain sakit.” Rintihku.

Bang Adnan mengangkat tubuhku, seakan aku hanya segumpal kapas Bang Adnan bergegas menuju mobil dan melarikan aku ke rumah sakit.

***

“Sakit Bang.” Rintihku sambil memegang erat tangan Bang Adnan

“Sabar sebentar lagi buah cinta kita akan lahir.” Ucapan Bang Adnan menambah kekuatanku untuk mengejan.

Akhirnya dengan susah payah, suara tangis anak kami terdengar.

“Sehat, ganteng seperti Bapaknya.” Ucap dokter

“Terima kasih sayang.” Baru pertama aku mendengar Bang Adnan mengatakan sayang kepadaku, ciuman hangat hadir di keningku.

Setetes air mata bahagia mengalir, sekali lagi ciuman mampir di mataku.

“Jangan menangis, sudah cukup Abang membuat Ain menangis.” Bisiknya di telingaku.

Akhirnya bahagia itu hadir, setelah malam – malam panjang aku bermunajat di sepertiga malam untuk kebahagian dalam rumah tanggaku.***

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...