Rabu, 14 April 2021

You’re Just My Cup Of Tea


Hatiku lelah, bahkan sekarang sekujur tubuhku juga ikut lelah. Tiada hatiku untuk melakukan pekerjaan rumah yang sudah menjadi rutinitasku selama ini. Aku bagaikan asisten rumah tangga saja, siap memasak aku mencuci setelah kering bajunya aku seterika. Sejenak istirahat aku sudah mulai membersihkan rumah dari menyapu membuang debunya terakhir dipel supaya kingclong dan harum. Tapi apa yang aku dapat dengan santainya dia yang bergelar suamiku berkata

“Perhatikan penampilanmu Ma, sudah bagai ART saja.” sangat menusuk bahkan berdarah tapi dia santai saja. apakah tidak ada cara yang lebih lembut atau manis untuk menegur aku yang digelarnya Istri.

Memang aku yang salah, aku pengemar sinetron yang selalu menayangkan bagaimana penampilan istri akan menjadi momok daripada perkahwinan. Aku pikir itu hanya terjadi di sinetron saja, ternyata aku kini mengalaminya.

Aku memandang cermin besar yang ada di kamarku, membalikkan badanku ke kanan dan ke kiri masih ok, tapi hanya penampilanku yang mungkin kurang menarik. Entahlah aku pengembar daster seperti melakukan rutinitas rumah tangga lebih leluasa dengan menggunakan daster longgar ini. Aku tipekel orang yang memang selalu berpikiran positip selama dirumah rasanya membuang – buang uang jika harus memakai kosmetik cukup bedak padat dan pelembab bibir pink wardah menjadi pilihanku. Selama ini tidak pernah terdengar protes dari suamiku tapi tadi sore sungguh aku luka sangat luka sehingga aku merasa sudah dilecehkan oleh suamiku sendiri.

Aku dikejutkan dengan bunyi pintu kamar yang dibuka dari luar, secepat kilat aku naik ke atas tempat tidur dan pura – pura tidur. Setelah insiden tadi sore aku menghindari suamiku, luka dijantungku masih mengeluarkan darah, aku marah.

Aku tidak mendengar langkah kaki masuk ke dalam kamar, hanya bunyi pintu kamar yang tertutup kembali. Aku mengintip, ternyata tidak ada siapa – siapa di kamar selain diriku. Aku menghembuskan napas berat. Melihat sepintas ke jam dinding di kamarku, pukul 7 mungkin suamiku ingin mengajakku makan malam, batinku.

***

Malam berlalu dengan aku masih membisu, setelah suamiku tertidur pulas baru aku bangun dan membereskan meja makan. Menata kembali dapurku biar rapi, baru aku kembali ke kamar untuk tidur. Dan pagi ini subuh sekali aku sudah bangun, menyiapkan sarapan untuk suami dan anakku. Sebelum pergi ke pasar aku menitipkan potongan kertas dengan isi tulisan

“ Sarapan sudah siap, tolong antar Adi kesekolah. Ana ke pasar.” Pesanku kepada suamiku.

Hatiku masih luka, aku tidak mau dilecehkan lagi oleh suamiku lebih baik menghindar, biasanya aku ke pasar setelah suami dan anakku pergi. Tapi biarlah sekali – sekali aku tidak mengantar kepergian mereka, batinku.

Lama aku duduk diparkiran motor pasar,


“Tidak belanja bu?” tukang parkir pasar bertanya

“Sebentar lagi Pak.” Aku menjawab hanya untuk berbasa – basi saja

Tentu tukang parkir bingung sudah hampir 1 jam aku duduk dijok motor, biasanya aku selalu tergesa – gesa berbelanja karena banyak pekerjaan rumah yang harus aku kerjakan. Tapi hari ini aku sepertinya tidak ada mood untuk mengerjakannya. 

***

Langkahku gontai berjalan menuju dapur setelah memasukkan motor scoopyku ke garasi. Sayur, buah ku letakkan diatas meja dapur, sementara ikan dan ayam aku taruh di tempat cuci piring beralaskan baskom supaya bau amisnya tidak kemana – mana.

Sudah pukul 10.30 tidak seperti biasanya aku sudah berada dirumah pukul 08.30 dari pasar tapi hari ini aku lebih banyak duduk di parkir pasar melamun, langkahku berat untuk pulang kerumah.

Bukannya aku memasak, semua belanjaan yang kubawa yang tadi ku letakkan diatas meja langsung saja aku masukkan ke lemari es tanpa memilah – milahnya seperti hari – hari kemaren. Langkah kakiku mengantar aku ke kamar, tubuh dan hatiku yang lelah aku baringkan dikasur tanpa mengantinya terlebih dahulu. Semua diluar kebiasaanku, selalunya aku menganti pakian sebelum aku naik ke atas kasur tapi hari ini tidak. Entah karena mengantuk atau apa yang pasti mataku langsung terpejam dan aku terbang kealam bawah sadar.

Suara pekikan anakku Adi membangunkan aku dari alam bawah sadarku, mati aku jam berapa sekarang. Secepat kilat aku memandang jam dinding di kamarku, Masyaallah sudah jam 1 pantas saja anakku Adi sudah pulang. Tangan mungilnya memegang keningku

“Mama sakit?” Mata buah hatiku membuatku tersenyum pahit, mama sakit di sini dihati Mama batinku

“Sakit kepala.” Asal saja aku menjawab pertanyaan buah hatiku

“Adi pulang sama siapa?” aku balik bertanya kepada Adi

“Sama Papa, tapi Papa sudah ke kantor lagi. Habis mama tidur, kata Papa tidak usah dibangunkan. Tapi Adi lapar Ma.” Pernyataan buah hatiku membuatku terpaku, ada apa dengan diriku.

***

“Win, kamu sakit?  Apa yang sakit?” Tanya Suamiku

Setelah berkemas di dapur dan menidurkan Adi aku masuk ke kamar, aku sengaja menghindar untuk makan bersama suami dan anakku

“Mama tidak makan?” pertanyaan Buah Hatiku ketika aku tidak ikut makan dengan mereka.

“Mama lagi sakit gigi.” Jawabku asal, setelah itu aku meninggalkan mereka menuju kamar.

Setengah jam kemudian suamiku masuk ke kamar, bukannya menyapanya aku malah keluar kamar menuju ruang makan.

Tidak mungkin aku berlama – lama di dapur, mataku sudah terlalu lelah ditambah lagi dengan lelah hati dan pikiranku. Aku berjalan menuju kamar, melihat suamiku masih duduk diranjang dengan tangannya memegang laptop yang diletakkannya diatas bantal. Aku mengambil baju tidur di lemari berjalan menuju kamar mandi untuk menganti pakaian. Setelah selesai aku berganti baju aku aku langsung mengambil posisi kasur yang selalu aku tempati. Memejamkan mata dengan memunggungi suamiku, tidak ku jawab pertanyaan suamiku apakah aku sakit aku berharap aku terus masuk kedalam alam mimpi yang mungkin mengobati luka hatiku.

“Win, jangan pura – pura tidur. Bangun ada apa?” Pertanyaan serta sentuhan tangan suamiku pada leganku membuyarkan harapanku untuk cepat – cepat masuk ke alam mimpiku.

Dengan malas aku menjawab

“Penat Bang, mau tidur.” Lemah aku menjawab

“Win, ada apa. Sudah 2 hari Win, pasti lelah batinmu jika hanya dipendam sendiri.” Suara suamiku terdengar.

Aku tetap pada posisiku memunggungi suamiku tak maksudku untuk merubah posisi, hatiku masih terasa sakit dengan perkataanya kemaren. Aku berusaha menahan airmataku agar tidak tumpah dan jangan sampai isakku keluar dari mulutku.

Aku terus melafazkan asma Alla semoga diberikan kekuatan, walaupun aku tahu aku sudah berdosa karena tidak berbicara dengan suamiku selama 2 hari ini. Hanya Allah yang tahu hatiku terluka sangat terluka.

Sentuhan dibahu membuatku tidak tahan lagi menahan badai airmata yang sudah mengelantung dipelupuk mataku. Akhirnya suara isak tangisku terdengar juga. Tangan kokoh memelukku dari belakang sambil berkata

“ Ada apa Win? apa yang sakit. Jangan hanya diam, kita selalu berbicara dari hati ke hati jika ada masalah. Kenapa sekarang tidak lagi, bicaralah.” Suara lembut suamiku terdengar berbisik di teligaku.

Aku masih terisak, semua sesak dihatiku seakan berebut untuk keluar, pelukan suamiku semakin kencang. Sekarang giliran tangannya menghapus airmata yang mengucur deras di pipiku.

“Bicaralah Istriku, jika Abang salah maafkanlah Abang.” Sambil berkata itu suamiku mencium keningku.

Sekarang posisi kami sudah saling berhadapan, airmataku masih mengalis dan dengan setia suamiku mengelapnya.

“Bicaralah wahai Istriku, ada apa gerangan?” sudah lama sekali aku tidak mendengar suamiku berkata seperti ini

“Wina tahu, wina tidak menarik lagi. Tapi Wina tidak berharap abang mengatakan Wina bagaikan pembantu.” Ujarku mengeluarkan unek – unek dikepala dan segala yang membatu dihatiku 2 hari ini.

“Astafirullah, Abang hanya bercanda. Bukankan waktu Abang mengatakan itu Wina lagi nonton sineteron yang suaminya berkata kepada istrinya yang suka pakai daster bagaikan pembantu. Itu saja, bukan maksud Abang mengatakan Wina pembantu. Terlalu menyahati yang di tonton sehingga berfikiran macam – macam.” Penjelasan suamiku membuatku malu.

“Apakah Abang tidak suka Wina menggunakan daster jika Abang di rumah?” tanyaku kepada suamiku

“Abang tidak suka Wina menonton sinetron yang tidak mendidik, curiga kepada suami berlebihan. Bukankah kita sudah berjanji untuk saling mengingatkan jika ada kekeliruan yang dibuat oleh pasangannya. Wina sudah lupa?” sekali lagi aku malu dengan apa yang aku lakukan.

“Abang.” Belum selasai bicaraku

“Ada apa wahai pujaan hatiku, permaisuriku.” Suara suamiku bagaikan airlautan yang menyejukkan hatiku

“Maafkan Wina, Bang.” Aku meraih tangan suamiku menciumnya

Helusan lembut tangan suamiku pada kepalaku membuatku bersyukur ternyata aku masih You’re Just My Cup Of Tea buat suamiku, tetaplah menjadi seperti itu suamiku batinku. Pelukan hangat yang aku rasakan sekarang membuatku yakin bahwa semua jika dibicarakan akan membuat semuanya Indah dan terselesaikan dan tidak menimbulkan masalah.**

 

   

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...