Biarkan orang yang kita cintai bahagia dengan yang di cintainya, mencintai bukan berarti memiliki. Jika dia lebih bahagia bersama orang lain jangan paksakan dia bersama kita yang akan membuatnya tidak bahagia. Klise, tidak ada kata itu dalam hidupku, jika mencintai maka aku harus memilikinya.
Sedari tadi aku mengikutinya, langkah kecil dengan sepatu skate putihnya.
Tidak seperti gadis – gadis seusainya yang suka mengenakan sepatu highheel
untuk menambah tinggi dan katanya membuat mereka menjadi cantik. Cantik kok
dari kaki, cantik itu tidak serendah kaki kali.
Jarak yang ditempuh lumayan jauh kira – kira 2 kilo meter, aku hanya
mengira – ngira saja. maklum pemain sepak bola aku sudah terbiasa
mengelilinginya. Tapi gadis satu ini memang luar biasa setiap hari kerjanya
hanya berjalan kaki untuk sampai ke tempat kerjanya. Tidak seperti gadis –
gadis lain yang mungkin akan menolak untuk berjalan kaki apalagi sampai
ditempat kerja akan membuat keringat membasahi wajah yang sudah tebal dengan
riasa tebal untuk mempercantik diri. Tapi bagiku malah seperti topeng yang
menutup wajah mereka saja.
Sebenarnya gadis satu ini hampir luput dari pandanganku, jika saja tidak
ada peristiwa yang membuatku menjadi tertarik kepadanya.
Hujan deras, aku memacu kencang motor king yang ku kendarai hanya untuk
mencepat sampai dan tidak sampai basah kuyup tentunya. Padahal aku tahu
berkendaraan jika musim hujan harus lebih hati – hati bukannya memacunya
menjadi lebih kencang. Aku kehilangan kesimbangan, pejalan kaki sialan yang
sama denganku ingin cepat sampai ketujuan tidak memperhatikan lajunya motor
king yang ku kendarai. Mengelak tentu saja aku lakukan daripada aku menabrak
pejalan kaki yang akibatnya tentu saja aku yang disalahkan. Walhasil motorku ku
rem dan aku menabrak trotoar dan lumayan motor king rusak dan kakiku luka dan
mengeluarkan darah.
Tangan mungil dengan cekatan membalut kakiku dan mencoba menghentikan
darah yang terus keluar dari luka dikakiku. Entah darimana datangnya gadis ini,
tubuhnya terbalu mantel jas hujan, tapi aku tidak melihat ada motor yang
terpakir di dekatku sekarang ini. Dia terus saja membantuku setelah mencoba
menghentikan darah dari luka kakiku, dia memapahku dan membawa aku berteduh di
dekat halte bis yang tidak jauh dari tempat kecelakaan. Setelah aku duduk, dia
kembali berlari dibawah hujan berusaha mendirikan motor kingku yang tidak
seimbang dengan bentuk tubuhnya yang kecil tapi dia berusaha mendirikan dan
menepikan motorku itu.
Dengan susah payah akhirnya motorku sudah berdiri dan aman dari arus lalu
lintas, aku melihatnya berlari kembali kearahku. Dengan napas yang ongos –
ongosan dia memandangku
“Ada yang bisa dihubungi? saya tidak punya handphone.” Suaranya membuatku
terpana, merdu suaranya secantik orangnya.
Aku meraih saku tas selempang yang selalu menemaniku kemana – mana.
Mengeluarkan handphone dan memberikan handphoneku kepadanya.
“Kenapa handphonenya diberikan kepadaku?” tanyanya kembali.
“Anda pasti punya nomor keluarga Andakan?” tatapan matanya membuatku
tersadar
Kenapa juga aku memberikan handphoneku kepadanya, seharusnya aku
menelepon Ayah dan Ibu. Mana dia tahu nomor Ayah dan Ibu, aku memukul jidatku
“:Kepala kamu sakit?” tanya laginya
Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya mencoba mengalihkan mataku
pada layar handphoneku dan mencoba mendail seseorang dari handphoneku. Tidak
mungkin Aku menelepon Ayah atau Ibu, bisa – bisa mereka akan terserang
jantungnya, anak laki – laki satunya yang menjadi harapan keluarga. Pasti Ibu
histeris, pikirku.
Beberapa kali aku mencoba mendail nomor adikku Wina, tapi tidak ada
jawaban. Akhirnya aku memandang gadis dihadapanku dengan mengangkat kedua
bahunya. Entah dia mengerti dengan isyarat dariku, aku melihat dia duduk
disamping.
“Ku temani sampai ada yang akan datang menjempunt anda.” Aku melihat
kepadanya sambil tersenyum.
Aku menekan lagi handphoneku sekarang yang aku hubungi adalah bengkel
langgananku, tidak butuh waktu lama nada sambung telephone diseberang sana
sudah terangka.
“Bang, Aku kecelakan di depan lamu merah jalan Cempaka. Bisa tolong
jemput aku dan motorku.
“Siap bos.” Suara dari seberang sana mengiyakan permintaanku dan
sambungan handphone terputu.
Butuh waktu 1 jam, Bang Anton datang denga pickupnya, memberhentikan
pickupnya tak jauh dari motorku, dengan gagah perkasa Bang Anton menaikan
motorku keatas pickupnya bukan diangkat ya, di dorong dengan bantun papan agar
motorku bisa naik di atas pickupnya. Setelah selesai dengan kerjanya, Bang
Anton mendatangiku sekarang giliranku yang akan dipapah Bang Anton menuju
pickupnya.
“Terima kasih sudah membantuku, hampir lupa namaku Akmal. Biar diantar
Bang Anton sekalian.” Ucapku kepadanya.
‘Terima kasih, aku bisa jalan kaki. Rumahku sudah tidak jauh lagi.” Aku
tetap memaksa
“Hujan biar dianta saja, lagian aku tidak enak membiarkan orang yang
telah menolongku.” Ucapku cepat. Aku melihat ekspresi wajahnya mendengarkan
ucapanku
“Hm, baiklah jika tidak merepotkan.”
“Bang kita antar dulu, maaf siapa namanya?”
“Balqis.” Jawabnya sambil tersenyum menampakkan lesung pipinya menambah
manis wajahnya.
***
Sepekan sudah berlalu tapi bayangannya tidak pernah lepas dari ingatanku,
rumah sederhana yang dihuni hanya dia dan Ibunya sangat asri tak kesan tidak
bahagia dari sudut manapun. Jauh berbeda dengan rumahku yang mewah tapi tidak
mencerminkan bahagia walau seujung kuku.
Akhirnya aku putuskan untuk mencari bayangan yang membuatku betah
menatapnya lama, aku memakirkan motor kingku yang sudah siap diperbaiki Bang
Aton
“Motornya jangan disakati lagi.” Ujar Bang Anton sewaktu aku mengambilnya
tadi.
Tujuanku membawa motor kingku ke rumah yang membuat aku rindu, rindu
suasananya dan juga rindu akan sosok gadis yang membuatku berlama – lama
memikirkannya.
“Assalamualikum.” Suaraku membahana mengucapkan salam, langkah mendekati
pintu terdengar dari dalam.
“Walaikumsalan.” Suara terdengar bersamaan dengan terbukanya pintu
didepanku.
Aku memasang senyum yang termanisku, wajah tua yang masih terlihat
cantik. Sama cantik dengan putrinya, cantik putrinya lagi aku tertawa dalam
hati bagaimana aku bisa membandingkan Anak dan Ibunya.
“Nak Akmal, ayo masuk. Bagaiman sudah baikan kakinya?” aku tersenyum dan
masuk ke dalam rumah yang seakan membuat siapa saja yang berada didalamnya
terasa nyaman.
“Akmal bawakan buah – buahan Bu.” Kataku sambil menyerahkan sekeranjang
buah – buahan yang tadi sempatku beli.
“Kenapa harus susah – susah begini Nak Akma.” Aku melihat wajah tua di
depanku sepertinya malu menerima pemberianku yang seharusnya lebih aku
memberinya karena anak gadisnya sudah membantuku.
“Maaf bu, hanya ini yang bisa Akmal bawa. Tolong diterima.” Kataku untuk
membuat Ibu lebih tenang menerimanya.
“Balqis masih kerja.” Ibu membaca pikiranku, karena dari masuk tadi aku
mencari sosok gadis yang mengisi sepekan hariku ini.
“Maaf bu, Balqis bekerja dimana? Masih lama pulangnya?
“Semenjak Ayahnya meninggal, balqis menjadi tulang punggung keluarga.
Dari pagi sampai jam 4 nanti dia bekerja di supermarket. Malam dia akan
memberikan les matematika untuk beberapa anak SMP yang tinggal sekitar sini.
Lumayan untuk menambah biaya dapur kami Nak Akmal.” Cerita ibu terhenti sejenak
“Balqis punya cita – cita mau jadi guru, tapi karena Ayahnya meninggal 2
tahun yang lalu tepat di hari kelulusan SMA-nya Balqis terpaksa mengubur cita –
citanya. Karena itu Balqis sangat senang ketika ada anak – anak SMP sekitar
sini yang mau les denganya.” Cerita Ibu membuatku terharu.
Balqis jauh berbeda denganku, aku menyia – yiakan kesempatan untuk
kuliahku sehingga seharusnya aku sudah wisuda tapi statusku masih juga
mahasiswa sekarang. Aku malu dengan Balqis betapa perjuangan hidupnya membuatku
menyesal.
Aku melihat jam dipergelangan tanganku masih terlalu lama jika aku harus
menunggu Balqis, akhirnya aku pamit dengan Ibu, lebih baik aku menyusul Balqis
ditempat kerjanya pikirku.
***
Aku disini, disalah satu pojok jalan. Di depan sana supermarket tempat
Balqis bekerja berada Aku memandang dari kejauhan bagaimana Balqis selalu
tersenyum melayani orang yang datang berbelanja atau hanya sekedar mampir tapi
tidak berbelanja. Aku betah berlama – lama memandannya dari kejauhan.
Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 4, Balqis sudah keluar dari
supermarket tempatnya berkerja. Berjalan menjauh dari tempat kerjanya pasti
tujuanya pulang kerumah. Aku mengikutinya dari kejauhan. Terus melangkah sekali
– sekali aku melihat dia menyapa atau disapa pejalan kaki yang berpas – pasan
dengannya. Ramah, kesanku pada Balqis. Ya Allah jauh sekali jalan menuju
rumahnya tapi aku melihat Balqis santai saja menjalaninya. Sekali – sekali aku
melihat dia menyeka keringat yang turun membasahi dahi dan wajahnya.
Hampir 1 jam di berjalan kaki baru sampai di rumah, aku masih setia
mengikutinya dari jarak yang aku pastikan dia tidak akan sadar sudah diikuti.
Hilang dalam pintu rumahnya membuatku penasaran, akhirnya aku turun dari
motor kingku berjalan menuju rumah Balqis.
“Assalamualaikum” aku mengucapkan salam
Langkah kaki mendekati pintu, terbuka wajah yang sepekan ini menghiasai
hariku
“Walaikumsallam.” Aku berharap dia tersenyum tapi yang ku lihat
diwajahnya malah kening yang berkerut.
“Maaf menganggu.” Hanya itu yang bisa kuucapkan
“Ibu baru mengatakan Bang Akmal kemari, kok sekarang disini lagi.”
Ucapanya membuatku malu, tapi mau apalagi aku ingin menemuinya.
“Bang Akmal mau ketemu Balqis.” Jujurku padanya
“Ada perlu apa mencari Balqis?” balasnya
“Balqis sopan sedikiti, tamunya bukan diajak masuk.” Suara Ibu terdengar
menyusul Balqis ke depan menemuiku.
“Maaf bu, masuk Bang.” Aku melihat wajah imutnya mempersilakan aku masuk,
pasti kesal dan berpikir kenapa juga datang orang baru pulang kerja juga,
batinku.
Aku masih melihat wajah yang bingung melihat kedatanganku, tapi aku
santai saja bahwa aku memberikan senyum termanisku untuk membuatnya tidak lagi
mengerutkan dahinya yang cantik itu.
“Ada perlu apa ya Bang, kata Ibu tadi Abang sudah ke sini, ada yang perlu
saya bantu. Bukankah kaki Abang sudah sembuh, tu jalannya sudah baik – baik
saja. “ Celotehnya seperti tidak sempat bernapas.
“Abang hanya mau berterima kasih saja.” kataku santai
“Kan Abang sudah mengatakannya pada Ibu tadi.” Ucapnya
“Kan beda, tapi sama Ibu. Abang mau mengucapkan terima kasih langsung
dengan Balqis.” Aku melihat rawutnya wajahnya berubah
“Sama saja Bang,” ucapnya lagi.
“Ibu tinggal dulu.” Aku hampir melupakan bahwa Ibu ada di antara kami.
Aku memandang Ibu berjalan menuju ke dapur, Balqis mengambil posisi pada
kursi lain yang berada di ruang tamu rumahnya.
“Masih ada yang lain, selain mengucapkan terima kasih?” Sungguh gadis
yang tidak suka basa basi batinku.
“Ada.” Aku sengaja mengantung kalimatku untuk membuatnya penasaran
“Apa.” jawabnya singkat
“Abang mau mengenal Balqis lebih lanjut.”
“Buat apa?”
“Banyak?”
“Salah satunya apa?”
“Balqis sudah punya pacar.” Prontal Aku bertanya
Aku melihat wajahnya merona merah dan malu, tapi dia masih menjawab
pertanyaan dengan santai. Sungguh luar biasa gadis di depanku ini, aku tambah
menyukainya.
“Apa perlu saya menjawab pertanyaan Abang, sepertinya itu adalah masalah pribadi saya yang Balqis rasa
Abang tidak perlu tahu.” Jawabnya diplomatis.
“Jika Balqis tidak menjawabnya, Abang akan selalu datang ke sini dan
berarti tidak ada yang marah jika Abang datang kesini.” Tantangku
“Sebenarnya Abang mau apa? katanya mau mengucapkan terima kasih. Ingat
Bang kita baru kenal jika Abang berpendidikan pasti Abang tahu batasan dalam
perkenalan katanya.” Jawabannya membuatku mati kutu, tapi aku tidak mau kalah.
Inilah sikapku yang kadang – kadang orang selalu berkata bahwa aku keras
kepala.
“Jika Balqis berwawasan luas,
pasti Balqis tahu maksud kedatangan Abang.” Aku malah membalikkan kata –
katanya, membuat wajah manis di depanku merah padam. Aku tidak tahu dia marah
atau malu, peduli amat yang penting aku sangat menyukainya dan ingin menjadikannya
Ibu anak – anakku.
Gadis seperti ini sudah langka, dia akan menjadi ibu yang sangat cocok
untuk anak – anakku kelak. Aku masih belum mengalihkan pandanganku dari
wajahnya, akhirnya aku melihat Balqis tidak lagi menatap mataku seperti yang dilakukannya
tadi.
“Bukankah terlalu cepat Bang?”
“Apanya yang cepat.” Godaku kepada Balqis
Aku melihat Balqis kelimpungan mendengar pertanyaanku
“Maksud Balqis…” melihatnya seperti itu aku bertambah gemas dan ingin
terus mempermainkannya tapi aku tidak tega.
“Masalah Hati, tidak ada yang terlalu cepat atau lambat. Yang pasti jika
Yang di Atas sudah mentakdirkan kita bersama maka pasti ada jalannya.” Kataku
bijaksana
Senyum kecut trepampang jelas diwajanya, aku yakin dia tidak percaya
denganku. Tapi aku sangat yakin dengan apa yang aku katakana.
“Abang tidak memaksa Balqis untuk menjawabnya sekarang, tapi berikan
Abang kesempatan untuk mengenal Balqis begitu juga sebaliknya. Bagimana setuju?
“ Aku masih berusaha menyakinkannya.
“Mari di minum tehnya Nak Akmal.” Saking asyiknya kami berbicara tiba –
tiba Ibu sudah ada diantara kami sambil menyuguhkan teh manis semanis Balqis di
depanku.
“Terima kasih bu.” Ibu berlalu setelah meletakkan teh untukku
meninggalkan aku dan anak gadisnya.
“Bang, sebaiknya Abang pulang dulu dan menenangkan diri.” Aku tersenyum
mendengar katanya.
“Bukannya Balqis yang harus menenangkan diri.” Sempat – sempatnya aku
membuat rona di jawahnya
“Ok, sama – sama menenangkan diri. Balqis mau istirahat sebentar, nanti
malam Balqis masih harus memberi les. Pasti Ibu sudah menceritakannya kepada
Abangkan.” Ya ampun gadis ini benar – benar membuatku tambah menyukainya. Dia
dewasa melebihi umurnya. Aku melihat raut lelah di wajahnya, jika diikutkan
hati aku akan tetap memaksa untuk berlama – lama dirumahnya.
“Masih bolehkan Abang main kesini?”
“Tapi katanya Abang akan datang terus kemari sebelum Balqis menjawab
pertanyaan Abang.” Mati Aku senjata makan tuan.
“Lain kali Abang datang lagi.”
“Silakan jika Abang datang dengan baik – baik, tentu Balqis dan Ibu akan
menyambutnya dengan baik.” Jawaban yang membuat hatiku berbunga – bunga. Ya
ampun aku bagaikan anak ABG saja, batinku.
***
Akhirnya aku disini lagi sudah sepekan pula dari pertama kali aku datang
ke rumah Balqis. Rindu yang teramat dalam, tadi aku tidak mau memaksakan diri
untuk datang cepat, karena aku harus punya strategi, tidak boleh terlalu ngotot
aku takut malah Balqis akan ill fill padaku.
Aku melihat Balqis berjalan menuju rumahnay, aku sengaja menunggu jam
pulangnya Balqis dari kerjanya. Setelah Balqis masuk kerumah kira – kira
setengah jam baru aku meninggalkan motor king berjalan menuju rumah Balqis.
“Assalamualaikum.” Ucapku untuk memberitahu penghuninya ada tamu
Langkah kaki dari dalam rumah terdengar, pasti seseorang akan membukakan
pintu untukku
“Walaikumsallam.” Jawab orang yang di dalam rumah
Pintu terbuka aku melihat wajah Balqis yang polos tanpa polesan apa –
apa. pasti dia habis mandi karena aku mencium harum sabun mandinya. Senyum
manis kuberikan kepadanya, hari ini aku tidak melihat kerut di dahinya seperti
waktu aku datang kemaren.
“Masuk Bang.” Suara merdu Balqis mempersilakan aku masuk. Aku memilih
satu kursi untuk aku duduki.
“Balqis masuk sebentar ya.” Aku melihat Balqis meninggalkanku di ruang
tamu rumahnya
Tak butuh waktu lama aku melihat Balqis kembali lagi keruang tamu sambil
tangannya membawa nampan berisi teh dan goreng pisang. Setelah meletakkannya di
atas meja Balqis berucap.
“Diminum tehnya Bang.” Aku tersenyum kepada dan mengambil teh yang
disuguhinya dan meminumnya sedikit dan meletakkannya kembali ke atas meja.
Balqis sudah duduk didepanku berbataskan meja tamu, tak ada rasa minder
walaupun saat ini dia tidak mengenakan makeup sedikitpun tapi kecantikan tidak
sedikitpun berkurang batinku.
Kami hanya saling berpandangan, tidak ada yang membuka suara, jengah
dengan pandangan mata kami akhirnya Balqis mengalihkan pandangan matanya tidak
lagi menatap mataku. Aku tersenyum melihat rona merah diwajah Balqis.
Akhirnya aku membuka percakapan kami
“Bagaimana Balqis?”
“Apanya yang bagaimana Bang?”
“Jawaban dari Balqis.”
“Memangnya Abang tanya apa?” Balqis mencoba mempermainkanku tapi aku
membalasnya berkata
“Kapan kita menikah?” aku melihat wajah bagaikan udang rebus memerah di
depanku
“Kapan Abang bertanya tentang pernikahan.” Aku melihat Balqis gelagaban
berkata
“Barusan.” Jawabku santai
“Jangan main – main tetang pernikahan Bang tidak baik.” Aku melihat wajah
Balqis kesal sewaktu mengatakan itu.
“Abang tidak main – main, Abang serius.”
“Kita tidak saling mengenal dengan baik, Balqis hanya tahu nama Abang
saja, yang lain tentang Abang Balqis tidak tahu.” Sekali ini aku melihat
keseriusan dalam nada bicara Balqis
“Tanya apa saja tentang Abang, pasti Abang jawab dengan jujur.” Kataku
menatap Balqis
“Entahlah, Balqis benar – benar bingung sekarang ini.” Aku tersenyum
mendengar penuturannya.
“Bingung, kenapa bingugn?” dengan mimik muka dibuat seolah – oleh
pengerti perasaan Balqis saat ini.
“Tu kan, Bang Akmal mulai lagi.” Balqis merajuk, aku tersenyum dibuatnya.
Aku tahu, sebagai seorang gadis yang dewasa karena keadaan, belum tentu
dewasa dalam memikirkan tentang pernikahaan. Balqis pasti hanya berfikir
bagaimana Dia dan Ibunya bisa melewati hari ini dan besok.
“Kalau begitu Abang yang akan bercerita tentang diri Abang.” Aku meliha
kearahnya untuk melihat ekspresi wajahnya. Matanya membulat memasang muka
serius, membuatku tertawa dalam hati.
“Abang hanya dua bersaudara, Kamal adik abang mungkin seumuran Balqis
sekarang semester 2. Ayah abang orang Melayu pengusaha mebel, Ibu asli Jawa
guru di SMA Kartini. Abang sendiri sekarang bekerja pada perusahaan Ayah dan
menunggu wisuda saja. belum selesai aku bercerita aku mendengar gumaman Balqis
“Pengusaha pasti orang berada, apa mungkin.” Walaupun dengan suara rendah
aku masih bisa mendengarkan apa yang dikatakan Balqis.
“Jangan menilai orang dulu sebelum berkenalan dengannya.” Aku melihat
raut wajah Balqis yang malu mendengar perkataanku.
“Orangtua Abang bukan tipe orang yang suka merendahkan orang lain,
buktinya abang dan adik abang sudah diajarkan untuk belajar sampai bekerja
diperusahaan Ayah sejak kami SMA. Ayah tidak memaksakan kami untuk menjadi
penerus perusahaannya. Ayah hanya mengajarkan Abang dan Adik Abang bekerja
saja.” aku mengambil napas sebelum melanjutkan ceritaku.
“Dari SMA Abang diajarkan bagaimana bernegosiasi dan mencari rekan bisnis
yang tidak mengecewakan sementara Adik Abang yang suka mengotak – atik computer
Ayah berikan tugas untuk membuat promosi di Internet bagi perusahaan Ayah. Tapi
apakah Balqis tahu jurusan apa yang Abang ambil di kampus?” Tanyaku
Balqis hanya mengelengkan kepalanya dan menunggu aku meneruskan cetitaku.
“Abang mengambil jurusan Sastra Inggris, Abang ingin menjadi dosen.”
Kataku mantap sambil menatap mata Balqis untuk melihat responnya.
Hanya senyum simpul yang menampak lesung pipit yang menambah manis
wajahnya.
“Abang rasa itu informasi tentang Abang, jika merasa masih kurang silakan
Balqis bertanya langsung kepada Abang.” Aku sengaja melawak dengan menunjukkan
jari telunjukku ketika mengatakan tanya langsung dengan Abang.
“Bibit, bobot, bebet Abang tidak diragukan. Tapi belum tentu orangtua
Abang bisa meneriman Balqis.” Suaranya melemah ketika mengatakan itu serta
menundukkan kepalanya membuat aku tidak bisa membaca ekspresi wajahnya.
“Maksudanya?” aku mencari mata Balqis ketika bertanya, tapi Balqis masih
menundukkan kepalanya sehingga aku tidak bisa menatap mata indahnya.
“Lihatlah kondisi Balqis Bang?” kata – katanya terjeda menarik napas
dalam sebelum dia meneruskan kalimatnya aku sudah mendahuluinya.
“Jangan masalah ekonomi yang menjadi perhitungan Balqis, karena Abang
mencari pendamping hidup bukan menjadi materi dan kedudukan dengan memilih
seseorang.” Suaraku agak meninggi. Secepat kilat Balqis mengangkat kepalanya
melihat intonasi suaraku.
“Maaf Bang, tapi itu kenyataan yang sering terjadi di masyarakat sekarang
ini.” Sekali lagi aku harus megakui Balqis dewasa sebelum umurnya dan
bijaksana. Ini yang membuatku menetapkan hatiku untuk memilihnya menjadi
pendamping hidupku.
“Abang mau bicara sama Ibu, bisa panggilkan Ibu sebentar.” Aku melihat
raut terkejut ketika aku mengatakan ingin bicara dengan Ibunya.
“Jangan gegabah Bang, Balqis belum menjawab permintaan Abang.” Dia
mencoba menghindar ketika aku mengatakan ingin bicara dengan Ibunya.
“Restu Ibu Balqis dulu yang Abang cari setelah itu Abang akan meminta
restu orang tua Abang.” Ucapanku membuat mata Balqis membulat penuh ekspresi
yang menurutku lucu.
“Bang.”
“Ibuuu.” Aku memanggil Ibu Balqis.
Aku mendengarkan langkah kaki Ibu menuju ruang depan tempat aku dan
Balqis sedang berada.
“Sudah mau pulang nak Akmal?” Tanya Ibu
“Saya mau berbicara dengan Ibu, boleh?” Ibu mengangguk dan duduk dikursi
yang masih tersisa diantara kami.
“Maaf bu mungkin saya tidak sopan, tapi Saya bukan anak Abg yang tapi
saya sudah bisa bertanggung jawab dengan segala perbuatan Saya.” Mukadimah kalimat yang tersusun untuk meminta
Balqis kepada Ibunya
“Saya hanya minta izin kepada Ibu untuk menta’arof Balqis jika Ibu
mengizinkan saya akan datang bersama orangtua saya.” Perkataanku ini sempat
membuat Ibu Balqis sedikit terkejut dan memandang kearah Balqis yang dipandang
malah menunduk malu.
“Balqis menyerahkan semuanya kepada Ibu, karena itu saya meminta izin
dari Ibu.” Aku melanjutkan kata – kataku, sekali lagi aku mendapatkan tatapan
bola mata yang membulat penuh. Untuk yang ini memang aku mengarangnya, tapi aku
tidak melihat ada pembatahan dari Balqis.
Berarti apapun keputusan Ibu Balqis, aku yakin Balqis akan menerima ta’arupku.
“Balqis bagaimana menurut Balqis?” Ibu malah bertanya kembali kepada
Balqis, aku sempat bergetar sambil berdoa dalam hati semoga Balqis
menganggukkan kepalanya jika tidak maka duniaku akan hancur. Bukanya aku
berharap tanpa mendiskusikannya masalh ini dulu bersama orangtuaku malah aku
sudah sholat Istiqarah kepada Allah untuk memantapkan pilihanku walaupun pada
awal aku mengatakan kepada Ibuku ada perdebat, aku masih ingat perdebatanku
dengan kedua orangtuaku.
“Bang memangnya Abang sudah kenal sama gadisnya sampai mau Ayah dan Ibu
melamarnya.” Kata Ibuku waktu itu
“Menta’arup anak orang berarti siap untuk menuju jenjang pernikahaan ini
bukan hal yang bisa dibuat main – main, Bang.” Ibu masih menyakinkanku
“Ayah, bicaralah Abang belum juga wisuda masa mau menta’arup anak gadis
orang.” Ibu meminta bantuan Ayah, jawaban yang diberikan Ayah malah membuatku
merasa bersyukur memiliki Ayah sebagai Ayahku
“Bu, jika sudah jodah walaupun kita menentang sekuat tenaga pasti akan
bertemu juga. Akmal kan sudah bekerja walaupun di perusahaan Ayah, tapi Ayah
sudah melatihnya dari nol bu. Ingat itu? jangan – jangan Ibu tidak rela ada
saingan di rumah.” Gurauan Ayah mengena, wajah ibu langsung cemberut.
“Yakinlah Bu, Ibu tetap yang tercantik dan paling disayang. Iyakan
Akmal?’ Ayah langsung memujuk ibu ketika melihat wajah Ibu cemberut.
“Bu, semua kreteria yang ada pada Balqis adalah cerminan dari Ibu karena
itu Akmal memilihnya. Bukankah Ibu selalu bercerita kepada Akmal bagaimana Ibu
bekerja keras membantu usaha Ayah sebelum Ayah sukses. Begitu juga Akmal mau
istri Akmal seperti Ibu membantu kesuksesan Akmal, dan itu Akmal rasa Balqis
bisa.” Aku masih mencoba membujuk Ibu.
“Ibu…Ibu pikirkan dulu” Kalimat Ibut membuatku spontan membuka mulutku
lebar, untung saja tidak ada lalat yang lewat, kalau tidak mulutku pasti dikira
lubung untuk bersembunyi.
Ibu meninggalkan Aku dan Ayah, selama
3 hari Ibu mendiamkan Aku.
Baru pagi tadi, sewaktu sarapan Ibu bersuara dan berkata.
“Akmal, jika memang Akmal sudah yakin dengan tekat Akmal untuk
menta’arupnya Ibu mau Akmal hari ini juga memintan kepada orangtua, siapa
namanya?
“Balqis bu.” Jawabku
“Setelah itu, malam nanti Ayah dan Ibu akan datang meminta Balqis kepada
Ibunya.” Aku baru mau membuka mulutku, tapi aku mendengar suara Ibu
“Tidak ada penawaran, jika tidak hari ini Ibu tidak mau datang
melamarnya. Titik.” Aku langsung terpaku di tempat dudukku, sarapan nasi goreng
yang sudah mau ku suap kemulutku tidak jadi masuk. Dengan santai ibu menuju ke
dapur meninggalkan Aku, Ayah dan Adiku dimeja makan.
“Rasain Bang, Nekat lagi. Sekarang Abang lihat Ibu lebih nekat dari
Abang.” Suara Adiku membuatku tersadar. Suara Ayah menguatkanku.
“Sudah sana pergi, Ibumu sudah 3 malam ini sholat malam untuk jodohmu,
Ayah yakin Balqis dan Ibunya akan menerima.” Itu percakapanku dengan kedua
orangtuaku.
Kembali ke percakapan Aku dan Ibunya Balqis,
“Bagaimana bu, atau Akmal minta orangtua Akmal datang sekarang.” Ucapanku
membuat Balqis dan Ibunya terkejut.
“Begini saja, sudah hampir magrib Akmal pamit dulu. Setelah bada’ Isya
Akmal kembali lagi bersama kedua orangtua Akmal.” Aku meraih tangan Ibu Balqis
dan menciumnya, kepada Balqis aku mengucapkan salam. Dan terus meninggalkan rumah
Balqis, aku tahu keempat mata mengawasi dengan perasaan yang aku tahu pasti
bingung sehingga mereka tidak sempat untuk berkata – kata.
***
Ba’da Isya aku dan keluarga sudah siap – siap berangkat menuju rumah
Balqis. Aku masih tersenyum mengingat bagaimana tadi sore ketika baru saja tiba
di rumah.
“Assalamualaikum,” Suaraku mengema dengan lantang
“Walaikumsallam.” Tidak usah seperti di hutan Akmal Ibu memprotes suaraku
yang memang ekstrim kuatnya
“Bu, malam ini bada’ Is’ya kita kerumah orangtua Balqis.” Ibu
memandangkanku dengan tersenyum. Siap, mana sudah beli cincinya?
“Cincin? Apa perlu bu?”
“Mau menta’arup anak orang tapi tidak ada tandanya, Ayah lihat anakmu
ini.” Suara ibu sempat membuatku panic
Aku melihat Ayah dan Ibu mentertawakan ekspresi bingung wajahku, Azam
mangrib sudah terdegar Ayah sudah siap – siap mau ke masjid. Aku seharusnya
juga ke masjid rutinitas setiap magrib
bersama Ayah dan Adiku. Tidak mungkin mencari cincin, habis magrib masih ada
toko mas yang buka, batinku.
“Sudah sana magrib dulu kemasjid, Ayah dan Adikmu sudah menunggu.” Suara
Ibu membuatku tersadar semoga Balqis mau menerima Cincinnya kemudian yang
penting Bada’ Isya” aku datang dulu bersama orangtuaku. Tekatku sudah bulat,
Balqis ku ta’arup dulu, cincin menyusul kemudian.
***
Perjalanan kerumah Balqis membuatku gelisah.
“Kenapa Bang, Cemas ditolak ta’arupnya.” Suara adikku sontak membuatku
maran
“Doakan yang baik – baik dek, perkataan itu doa.” Ucapku dengan wajah
kesal. Tangan Ibu langsung mencubit legan adikku yang duduk disebelahnya.
“Maaf bu, Cuma bercanda. Ya Allah semoga semuanya lancar, Amin.” Ayah
terkekeh mendengar doa Adikku. Aku tahu Adikku masih mencandaiku.
“Sudah, banyak berdoa aja Bang.” Ibu menengahi.
Aku memberhentikan mobil Ayah, di depan rumah Balqis dan Ibunya. Membukan
pintu mobil untuk Ibu dan mengandenganya menuju pintu depan rumah Balqis
melewati kebun bunga yang sontak membuat ibu berkata
“Rumahnya asri Yah, lihat bunga tumbuh segar. Enak dipandang mata.” Aku
melihat wajah Ibu yang terpesona dengan kebun bunganya Balqis.
“Iih… ibu jadi betah jika harus berlama – lama duduk diantara bunga ini.”
Ibu masih berceloteh.
“Assalamualaikun.” Serentak kami mengucapkan salam
“Walaikusallam.” Suara orang dari dalam menyahut salam kami
Pintu terbuka, aku melihat wajah manis Balqis yang membukanya. Seperti
bisa jika terkejut Balqis akan membulatkan matanya penuh. Aku tersenyum
kepadanya sambil berkata
“Boleh masuk.” Dengan tergagap dia menjawab, silakan masuk Bu, pak
“Terus Abang tidak boleh masuk
ni.” Aku menjahili Balqis
“Silakan masuk semuanya.” Suaranya masih gugup, aku tersenyum melihatnya.
Ibu mencubit lenganku yang masih mengandeng tangan ibu
“Usilnya tidak habis – habis, nanti dia marah baru tahu.” Suara ibu
mengingatkanku dengan tujuan kami datang kesini. Ya Allah semoga Balqis tidak
marah dan mudah – mudahan tidak batinku. Takut juga sih jika sampai rencana
ta’arupku gagal.
Kami sudah duduk diruang tamu bersama Ibu Balqis, karena kursinya tidak
cukup Aku dan Adikku santai saja duduk di lantai beralaskan tikar.
“Maaf kursinya tidak cukup.” Suara Ibu Balqis
“Tenang saja bu, Anak – anak saya sudah terbiasa duduk dilantai.” Ucap
Ibu dan Ayah bersamaan.
“Kompak ni ye” Usil adikku, membuat semua yang berada diruang ini
tertawa, aku melihat Balqis menahan tawanya, malah menambah manis wajahnya
“Diliatin terus Bang, nanti bosan.” Adikku mencolek leganku sambil
menunjuk Balqis dengan mulut monyongnya.
“Terus saja Usil.” Kataku sambil menjitak kepala Adikku.
“Lihat kakak, Bang Akmal sadis.” Adik sok akrab dengan Balqis, membuat
semo rona merah di wajah Balqis. Untung suasana ini membuat Ibu Balqis dan
Balqis agak tenang, daripada sewaktu menerima kami tadi ada raut cemas dan
minder.
“Maaf bu, Anak – anak kami usil.” Ibuku membuka pembicaraan
“Kami mewakili Anak kami Akmal untuk menta’aruf Anak Ibu.”
“Dan Maafkan jika kesannya mendadak bu, bukannya kami tidak tahu tata
karma tapi aku melihat kesungguhan Anak kami Akmal untuk menta’aruf anak Ibu.
Kami orangtua sangat mendukung keputusan Anak kami, dan kami percaya dengan
pilihan Anak kami. Yang penting secara sariat islam dulu yang kita laksanakan
jika ibu setuju kita langsung pernikahaannya dalam waktu 3 bulan baru kita
adakan pesta dengan mengundang semua kerabat dan sahabat.” Suara ibu lancar,
aku jadi terharu mendengarnya.
“Bu, kami bagaikan ketiban bulan ada yang mau menta’arup anak kami yang
kurang dari segalanya. Tapi saya tidak bisa memberikan keputusan, yang akan
dita’aruplah yang akan menjawabnya.
“Semua mata memandang kea rah dimana Balqis duduk di lantai sama denganku
dan adikku hanya saja Balqis duduk diseberang kami.
Yang ditanya malah, berdiri dan masuk kedalam. Aku terpaku memandangnya.
Ya Allah jangan – jangan Balqis menolaknya.
“Mati kau Bang, kenapa masuk ke dalam bukannya menjawab.” Pikiran adikku
sama dengan pikiranku.
“Lho si manis kok malah masuk ke dalam.” Suara Ibu malah menambah cemasku
“Sebentar bu saya susul.” Suara Ibu Balqis terdengar
“Bang, benar nih Balqisnya sudah abang tanya mau di ta’arup.” Suara ibu
membuatku cemas
“Sudah bu, tapi dia mau atau tidak Akmal tidak tahu.” Jawabku lemah
“Bang, Abang ini bagaimana masak belum di jawab sudah suruh Ayah dan Ibu
datang.” Kesal Ibu
“Tapi kan, Ibu yang minta?” aku tambah bingung, Ya Allah Balqis kenapa
pakai acara masuk ke dalam lagi batinku
“Maksud Ibu, tanya dan dengar jawabanya jika Iya bukan ditanya tapi tidak
ada jawaban kita sudah datang.” Sesal Ibu lagi padaku
Aku mengaruk kepalaku, memandang Ayah meminta dukungan
“Abang yang salah,” bukannya mendapatkan pembelaan aku malah di salahkan
Ayah.
Adikku hanya memandangku dengan wajahnya yang membuatku tambah takut,
langkah kaki mendekati ruang tempat kami berada. Membuat kami mengalihkan semua
mata kesana, aku melihat ibu Balqis dan dibelakangnya Balqis membawa mampan
berisi teh dan goreng pisang yang masih hangat.
Setelah meletakkan gelas teh dan piring goreng pisang di meja, ibu Balqis
langsung berbicara.
“Maaf bu ini saja yang bisa kami suguhkan, silakan dicicipi.”
“Maaf bu, tapi kami menunggu jawaban Balqis.” Kataku tidak sabar
“Bang yang sopan.” Ibu menyela perkataanku
Senyum Ibu Balqis melihat Aku dan
Ibu berdebat, Saya dan Balqis sangat beruntung bisa menjadi bagian dari
keluarga ibu yang harmonis. Mohon bimbingan untuk anak kami yang masih belum
dewasi ini bu.” Perkataan Ibu Balqis sontak mendapat jawaban Amin dari Ayah dan
Ibu, sementara aku masih belum mencerna dengan jelas perkataan Ibu Balqis,
setelah adikku memukul kuat punggungku dan mengatakan
“Alhamdulillah Bang, sebentar lagi ada kakak ipar yang sebenar pantas
menjadi istriku jika di lihat umurnya. Betulkan Ma?”
“Enak saja, cari sana sendiri. Ini limited editon dan susah carinya.”
Setelah aku sadar ternyata ta’arupku diterima.
Aku melihat Ibu mengeluarkan kotak cincin dari dalam tasnya, membuka
kotak dan mengeluarkan cincinnya.
“Sini Anak manis, pakai ini sudah dibelikan sama Bang Akmal.” Sambil
berkata begitu Ibu melirikku. Dengan gerakan bibirku aku mengucapkan terima
kasih kepada Ibu, ternyata Ibu sudah menyiapkan cincin ta’rupku. Dengan malu –
malu Balqis maju ke depan Ibu dan mengulurkan tanganya. Ibu memasukkan cincin
di jari manis Balqis.
“Alhamdulillah ternyata cancan pas di jari Balqis, berarti jodoh padahal
Ibu hanya mengira – gira saja.” kata Ibu .
Sekali lagi rona merah serta senyum manis dengan lesung pipit menghias
wajah Balqis sambil melirik kearahku.
“Cie cie yang dilirik, pasti langsung tak bisa tidur mala mini.” Sekali lontaran kata mengerjai
aku dari mulut adikku yang usil Ibu dan Ayah serta Ibunya Balqis spontan
tertawa dan semua pada memandangi wajahku yang aku pasti sudah merah padam
karena malu. Tanpa ampun aku memukul punggung adikku
“Kamu itu ya coba mulutnya sebentar saja di tutup.” Sambil menatap
jengkel
Tawa semuanya bukan berhenti malah sekarang Balqis juga mentertawakan
aku, akhirnya aku juga ikut tertawa bersama mereka.
“Kami pamit dulu bu sudah malam, nanti kita akan melanjutkan perbincangan
mengenai pernikahan anak kita.” Ayah memohon izin untuk kami pulang. Sambil
berdiri aku meminta semua untuk mendengarkan satu kata yang ingin ku ucapkan
dan semua harus mendengarkannya.
“Ana uHibbuki Balqis” kataku
“Apa artinya Bang?” Tanya si rese adikku
“Cari saja sendiri.” Sambil aku
memandang kea rah Balqis calon istriku.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar