Senin, 05 Juli 2021

“Ana uHibbuki”

 

Biarkan orang yang kita cintai bahagia dengan yang di cintainya, mencintai bukan berarti memiliki. Jika dia lebih bahagia bersama orang lain jangan paksakan dia bersama kita yang akan membuatnya tidak bahagia. Klise, tidak ada kata itu dalam hidupku, jika mencintai maka aku harus memilikinya.

Sedari tadi aku mengikutinya, langkah kecil dengan sepatu skate putihnya. Tidak seperti gadis – gadis seusainya yang suka mengenakan sepatu highheel untuk menambah tinggi dan katanya membuat mereka menjadi cantik. Cantik kok dari kaki, cantik itu tidak serendah kaki kali.

Jarak yang ditempuh lumayan jauh kira – kira 2 kilo meter, aku hanya mengira – ngira saja. maklum pemain sepak bola aku sudah terbiasa mengelilinginya. Tapi gadis satu ini memang luar biasa setiap hari kerjanya hanya berjalan kaki untuk sampai ke tempat kerjanya. Tidak seperti gadis – gadis lain yang mungkin akan menolak untuk berjalan kaki apalagi sampai ditempat kerja akan membuat keringat membasahi wajah yang sudah tebal dengan riasa tebal untuk mempercantik diri. Tapi bagiku malah seperti topeng yang menutup wajah mereka saja.

Sebenarnya gadis satu ini hampir luput dari pandanganku, jika saja tidak ada peristiwa yang membuatku menjadi tertarik kepadanya.

Hujan deras, aku memacu kencang motor king yang ku kendarai hanya untuk mencepat sampai dan tidak sampai basah kuyup tentunya. Padahal aku tahu berkendaraan jika musim hujan harus lebih hati – hati bukannya memacunya menjadi lebih kencang. Aku kehilangan kesimbangan, pejalan kaki sialan yang sama denganku ingin cepat sampai ketujuan tidak memperhatikan lajunya motor king yang ku kendarai. Mengelak tentu saja aku lakukan daripada aku menabrak pejalan kaki yang akibatnya tentu saja aku yang disalahkan. Walhasil motorku ku rem dan aku menabrak trotoar dan lumayan motor king rusak dan kakiku luka dan mengeluarkan darah.

Tangan mungil dengan cekatan membalut kakiku dan mencoba menghentikan darah yang terus keluar dari luka dikakiku. Entah darimana datangnya gadis ini, tubuhnya terbalu mantel jas hujan, tapi aku tidak melihat ada motor yang terpakir di dekatku sekarang ini. Dia terus saja membantuku setelah mencoba menghentikan darah dari luka kakiku, dia memapahku dan membawa aku berteduh di dekat halte bis yang tidak jauh dari tempat kecelakaan. Setelah aku duduk, dia kembali berlari dibawah hujan berusaha mendirikan motor kingku yang tidak seimbang dengan bentuk tubuhnya yang kecil tapi dia berusaha mendirikan dan menepikan motorku itu.

Dengan susah payah akhirnya motorku sudah berdiri dan aman dari arus lalu lintas, aku melihatnya berlari kembali kearahku. Dengan napas yang ongos – ongosan dia memandangku

“Ada yang bisa dihubungi? saya tidak punya handphone.” Suaranya membuatku terpana, merdu suaranya secantik orangnya.

Aku meraih saku tas selempang yang selalu menemaniku kemana – mana. Mengeluarkan handphone dan memberikan handphoneku kepadanya.

“Kenapa handphonenya diberikan kepadaku?” tanyanya kembali.

“Anda pasti punya nomor keluarga Andakan?” tatapan matanya membuatku tersadar

Kenapa juga aku memberikan handphoneku kepadanya, seharusnya aku menelepon Ayah dan Ibu. Mana dia tahu nomor Ayah dan Ibu, aku memukul jidatku

“:Kepala kamu sakit?” tanya laginya                                                              

Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya mencoba mengalihkan mataku pada layar handphoneku dan mencoba mendail seseorang dari handphoneku. Tidak mungkin Aku menelepon Ayah atau Ibu, bisa – bisa mereka akan terserang jantungnya, anak laki – laki satunya yang menjadi harapan keluarga. Pasti Ibu histeris, pikirku.

Beberapa kali aku mencoba mendail nomor adikku Wina, tapi tidak ada jawaban. Akhirnya aku memandang gadis dihadapanku dengan mengangkat kedua bahunya. Entah dia mengerti dengan isyarat dariku, aku melihat dia duduk disamping.

“Ku temani sampai ada yang akan datang menjempunt anda.” Aku melihat kepadanya sambil tersenyum.

Aku menekan lagi handphoneku sekarang yang aku hubungi adalah bengkel langgananku, tidak butuh waktu lama nada sambung telephone diseberang sana sudah terangka.

“Bang, Aku kecelakan di depan lamu merah jalan Cempaka. Bisa tolong jemput aku dan motorku.

“Siap bos.” Suara dari seberang sana mengiyakan permintaanku dan sambungan handphone terputu.

Butuh waktu 1 jam, Bang Anton datang denga pickupnya, memberhentikan pickupnya tak jauh dari motorku, dengan gagah perkasa Bang Anton menaikan motorku keatas pickupnya bukan diangkat ya, di dorong dengan bantun papan agar motorku bisa naik di atas pickupnya. Setelah selesai dengan kerjanya, Bang Anton mendatangiku sekarang giliranku yang akan dipapah Bang Anton menuju pickupnya.

“Terima kasih sudah membantuku, hampir lupa namaku Akmal. Biar diantar Bang Anton sekalian.” Ucapku kepadanya.

‘Terima kasih, aku bisa jalan kaki. Rumahku sudah tidak jauh lagi.” Aku tetap memaksa

“Hujan biar dianta saja, lagian aku tidak enak membiarkan orang yang telah menolongku.” Ucapku cepat. Aku melihat ekspresi wajahnya mendengarkan ucapanku

“Hm, baiklah jika tidak merepotkan.”

“Bang kita antar dulu, maaf siapa namanya?”

“Balqis.” Jawabnya sambil tersenyum menampakkan lesung pipinya menambah manis wajahnya.

***

Sepekan sudah berlalu tapi bayangannya tidak pernah lepas dari ingatanku, rumah sederhana yang dihuni hanya dia dan Ibunya sangat asri tak kesan tidak bahagia dari sudut manapun. Jauh berbeda dengan rumahku yang mewah tapi tidak mencerminkan bahagia walau seujung kuku.

Akhirnya aku putuskan untuk mencari bayangan yang membuatku betah menatapnya lama, aku memakirkan motor kingku yang sudah siap diperbaiki Bang Aton

“Motornya jangan disakati lagi.” Ujar Bang Anton sewaktu aku mengambilnya tadi.

Tujuanku membawa motor kingku ke rumah yang membuat aku rindu, rindu suasananya dan juga rindu akan sosok gadis yang membuatku berlama – lama memikirkannya.

“Assalamualikum.” Suaraku membahana mengucapkan salam, langkah mendekati pintu terdengar dari dalam.

“Walaikumsalan.” Suara terdengar bersamaan dengan terbukanya pintu didepanku.

Aku memasang senyum yang termanisku, wajah tua yang masih terlihat cantik. Sama cantik dengan putrinya, cantik putrinya lagi aku tertawa dalam hati bagaimana aku bisa membandingkan Anak dan Ibunya.

“Nak Akmal, ayo masuk. Bagaiman sudah baikan kakinya?” aku tersenyum dan masuk ke dalam rumah yang seakan membuat siapa saja yang berada didalamnya terasa nyaman.

“Akmal bawakan buah – buahan Bu.” Kataku sambil menyerahkan sekeranjang buah – buahan yang tadi sempatku beli.

“Kenapa harus susah – susah begini Nak Akma.” Aku melihat wajah tua di depanku sepertinya malu menerima pemberianku yang seharusnya lebih aku memberinya karena anak gadisnya sudah membantuku.

“Maaf bu, hanya ini yang bisa Akmal bawa. Tolong diterima.” Kataku untuk membuat Ibu lebih tenang menerimanya.

“Balqis masih kerja.” Ibu membaca pikiranku, karena dari masuk tadi aku mencari sosok gadis yang mengisi sepekan hariku ini.

“Maaf bu, Balqis bekerja dimana? Masih lama pulangnya?

“Semenjak Ayahnya meninggal, balqis menjadi tulang punggung keluarga. Dari pagi sampai jam 4 nanti dia bekerja di supermarket. Malam dia akan memberikan les matematika untuk beberapa anak SMP yang tinggal sekitar sini. Lumayan untuk menambah biaya dapur kami Nak Akmal.” Cerita ibu terhenti sejenak

“Balqis punya cita – cita mau jadi guru, tapi karena Ayahnya meninggal 2 tahun yang lalu tepat di hari kelulusan SMA-nya Balqis terpaksa mengubur cita – citanya. Karena itu Balqis sangat senang ketika ada anak – anak SMP sekitar sini yang mau les denganya.” Cerita Ibu membuatku terharu.

Balqis jauh berbeda denganku, aku menyia – yiakan kesempatan untuk kuliahku sehingga seharusnya aku sudah wisuda tapi statusku masih juga mahasiswa sekarang. Aku malu dengan Balqis betapa perjuangan hidupnya membuatku menyesal.

Aku melihat jam dipergelangan tanganku masih terlalu lama jika aku harus menunggu Balqis, akhirnya aku pamit dengan Ibu, lebih baik aku menyusul Balqis ditempat kerjanya pikirku.

***

Aku disini, disalah satu pojok jalan. Di depan sana supermarket tempat Balqis bekerja berada Aku memandang dari kejauhan bagaimana Balqis selalu tersenyum melayani orang yang datang berbelanja atau hanya sekedar mampir tapi tidak berbelanja. Aku betah berlama – lama memandannya dari kejauhan.

Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 4, Balqis sudah keluar dari supermarket tempatnya berkerja. Berjalan menjauh dari tempat kerjanya pasti tujuanya pulang kerumah. Aku mengikutinya dari kejauhan. Terus melangkah sekali – sekali aku melihat dia menyapa atau disapa pejalan kaki yang berpas – pasan dengannya. Ramah, kesanku pada Balqis. Ya Allah jauh sekali jalan menuju rumahnya tapi aku melihat Balqis santai saja menjalaninya. Sekali – sekali aku melihat dia menyeka keringat yang turun membasahi dahi dan wajahnya.

Hampir 1 jam di berjalan kaki baru sampai di rumah, aku masih setia mengikutinya dari jarak yang aku pastikan dia tidak akan sadar sudah diikuti.

Hilang dalam pintu rumahnya membuatku penasaran, akhirnya aku turun dari motor kingku berjalan menuju rumah Balqis.

“Assalamualaikum” aku mengucapkan salam

Langkah kaki mendekati pintu, terbuka wajah yang sepekan ini menghiasai hariku

“Walaikumsallam.” Aku berharap dia tersenyum tapi yang ku lihat diwajahnya malah kening yang berkerut.

“Maaf menganggu.” Hanya itu yang bisa kuucapkan

“Ibu baru mengatakan Bang Akmal kemari, kok sekarang disini lagi.” Ucapanya membuatku malu, tapi mau apalagi aku ingin menemuinya.

“Bang Akmal mau ketemu Balqis.” Jujurku padanya

“Ada perlu apa mencari Balqis?” balasnya

“Balqis sopan sedikiti, tamunya bukan diajak masuk.” Suara Ibu terdengar menyusul Balqis ke depan menemuiku.

“Maaf bu, masuk Bang.” Aku melihat wajah imutnya mempersilakan aku masuk, pasti kesal dan berpikir kenapa juga datang orang baru pulang kerja juga, batinku.

Aku masih melihat wajah yang bingung melihat kedatanganku, tapi aku santai saja bahwa aku memberikan senyum termanisku untuk membuatnya tidak lagi mengerutkan dahinya yang cantik itu.

“Ada perlu apa ya Bang, kata Ibu tadi Abang sudah ke sini, ada yang perlu saya bantu. Bukankah kaki Abang sudah sembuh, tu jalannya sudah baik – baik saja. “ Celotehnya seperti tidak sempat bernapas.

“Abang hanya mau berterima kasih saja.” kataku santai

“Kan Abang sudah mengatakannya pada Ibu tadi.” Ucapnya

“Kan beda, tapi sama Ibu. Abang mau mengucapkan terima kasih langsung dengan Balqis.” Aku melihat rawutnya wajahnya berubah

“Sama saja Bang,” ucapnya lagi.

“Ibu tinggal dulu.” Aku hampir melupakan bahwa Ibu ada di antara kami.

Aku memandang Ibu berjalan menuju ke dapur, Balqis mengambil posisi pada kursi lain yang berada di ruang tamu rumahnya.

“Masih ada yang lain, selain mengucapkan terima kasih?” Sungguh gadis yang tidak suka basa basi batinku.

“Ada.” Aku sengaja mengantung kalimatku untuk membuatnya penasaran

“Apa.” jawabnya singkat

“Abang mau mengenal Balqis lebih lanjut.”

“Buat apa?”

“Banyak?”

“Salah satunya apa?”

“Balqis sudah punya pacar.” Prontal Aku bertanya

Aku melihat wajahnya merona merah dan malu, tapi dia masih menjawab pertanyaan dengan santai. Sungguh luar biasa gadis di depanku ini, aku tambah menyukainya.

“Apa perlu saya menjawab pertanyaan Abang, sepertinya itu  adalah masalah pribadi saya yang Balqis rasa Abang tidak perlu tahu.” Jawabnya diplomatis.

“Jika Balqis tidak menjawabnya, Abang akan selalu datang ke sini dan berarti tidak ada yang marah jika Abang datang kesini.” Tantangku

“Sebenarnya Abang mau apa? katanya mau mengucapkan terima kasih. Ingat Bang kita baru kenal jika Abang berpendidikan pasti Abang tahu batasan dalam perkenalan katanya.” Jawabannya membuatku mati kutu, tapi aku tidak mau kalah. Inilah sikapku yang kadang – kadang orang selalu berkata bahwa aku keras kepala.

 “Jika Balqis berwawasan luas, pasti Balqis tahu maksud kedatangan Abang.” Aku malah membalikkan kata – katanya, membuat wajah manis di depanku merah padam. Aku tidak tahu dia marah atau malu, peduli amat yang penting aku sangat menyukainya dan ingin menjadikannya Ibu anak – anakku.

Gadis seperti ini sudah langka, dia akan menjadi ibu yang sangat cocok untuk anak – anakku kelak. Aku masih belum mengalihkan pandanganku dari wajahnya, akhirnya aku melihat Balqis tidak lagi menatap mataku seperti yang dilakukannya tadi.

“Bukankah terlalu cepat Bang?”

“Apanya yang cepat.” Godaku kepada Balqis

Aku melihat Balqis kelimpungan mendengar pertanyaanku

“Maksud Balqis…” melihatnya seperti itu aku bertambah gemas dan ingin terus mempermainkannya tapi aku tidak tega.

“Masalah Hati, tidak ada yang terlalu cepat atau lambat. Yang pasti jika Yang di Atas sudah mentakdirkan kita bersama maka pasti ada jalannya.” Kataku bijaksana

Senyum kecut trepampang jelas diwajanya, aku yakin dia tidak percaya denganku. Tapi aku sangat yakin dengan apa yang aku katakana.

“Abang tidak memaksa Balqis untuk menjawabnya sekarang, tapi berikan Abang kesempatan untuk mengenal Balqis begitu juga sebaliknya. Bagimana setuju? “ Aku masih berusaha menyakinkannya.

“Mari di minum tehnya Nak Akmal.” Saking asyiknya kami berbicara tiba – tiba Ibu sudah ada diantara kami sambil menyuguhkan teh manis semanis Balqis di depanku.

“Terima kasih bu.” Ibu berlalu setelah meletakkan teh untukku meninggalkan aku dan anak gadisnya.

“Bang, sebaiknya Abang pulang dulu dan menenangkan diri.” Aku tersenyum mendengar katanya.

“Bukannya Balqis yang harus menenangkan diri.” Sempat – sempatnya aku membuat rona di jawahnya

“Ok, sama – sama menenangkan diri. Balqis mau istirahat sebentar, nanti malam Balqis masih harus memberi les. Pasti Ibu sudah menceritakannya kepada Abangkan.” Ya ampun gadis ini benar – benar membuatku tambah menyukainya. Dia dewasa melebihi umurnya. Aku melihat raut lelah di wajahnya, jika diikutkan hati aku akan tetap memaksa untuk berlama – lama dirumahnya.

“Masih bolehkan Abang main kesini?”

“Tapi katanya Abang akan datang terus kemari sebelum Balqis menjawab pertanyaan Abang.” Mati Aku senjata makan tuan.

“Lain kali Abang datang lagi.”

“Silakan jika Abang datang dengan baik – baik, tentu Balqis dan Ibu akan menyambutnya dengan baik.” Jawaban yang membuat hatiku berbunga – bunga. Ya ampun aku bagaikan anak ABG saja, batinku.

***

Akhirnya aku disini lagi sudah sepekan pula dari pertama kali aku datang ke rumah Balqis. Rindu yang teramat dalam, tadi aku tidak mau memaksakan diri untuk datang cepat, karena aku harus punya strategi, tidak boleh terlalu ngotot aku takut malah Balqis akan ill fill padaku.

Aku melihat Balqis berjalan menuju rumahnay, aku sengaja menunggu jam pulangnya Balqis dari kerjanya. Setelah Balqis masuk kerumah kira – kira setengah jam baru aku meninggalkan motor king berjalan menuju rumah Balqis.

“Assalamualaikum.” Ucapku untuk memberitahu penghuninya ada tamu

Langkah kaki dari dalam rumah terdengar, pasti seseorang akan membukakan pintu untukku

“Walaikumsallam.” Jawab orang yang di dalam rumah

Pintu terbuka aku melihat wajah Balqis yang polos tanpa polesan apa – apa. pasti dia habis mandi karena aku mencium harum sabun mandinya. Senyum manis kuberikan kepadanya, hari ini aku tidak melihat kerut di dahinya seperti waktu aku datang kemaren.

“Masuk Bang.” Suara merdu Balqis mempersilakan aku masuk. Aku memilih satu kursi untuk aku duduki.

“Balqis masuk sebentar ya.” Aku melihat Balqis meninggalkanku di ruang tamu rumahnya

Tak butuh waktu lama aku melihat Balqis kembali lagi keruang tamu sambil tangannya membawa nampan berisi teh dan goreng pisang. Setelah meletakkannya di atas meja Balqis berucap.

“Diminum tehnya Bang.” Aku tersenyum kepada dan mengambil teh yang disuguhinya dan meminumnya sedikit dan meletakkannya kembali ke atas meja.

Balqis sudah duduk didepanku berbataskan meja tamu, tak ada rasa minder walaupun saat ini dia tidak mengenakan makeup sedikitpun tapi kecantikan tidak sedikitpun berkurang batinku.

Kami hanya saling berpandangan, tidak ada yang membuka suara, jengah dengan pandangan mata kami akhirnya Balqis mengalihkan pandangan matanya tidak lagi menatap mataku. Aku tersenyum melihat rona merah diwajah Balqis.

Akhirnya aku membuka percakapan kami

“Bagaimana Balqis?”

“Apanya yang bagaimana Bang?”

“Jawaban dari Balqis.”

“Memangnya Abang tanya apa?” Balqis mencoba mempermainkanku tapi aku membalasnya berkata

“Kapan kita menikah?” aku melihat wajah bagaikan udang rebus memerah di depanku

“Kapan Abang bertanya tentang pernikahan.” Aku melihat Balqis gelagaban berkata

“Barusan.” Jawabku santai

“Jangan main – main tetang pernikahan Bang tidak baik.” Aku melihat wajah Balqis kesal sewaktu mengatakan itu.

“Abang tidak main – main, Abang serius.”

“Kita tidak saling mengenal dengan baik, Balqis hanya tahu nama Abang saja, yang lain tentang Abang Balqis tidak tahu.” Sekali ini aku melihat keseriusan dalam nada bicara Balqis

“Tanya apa saja tentang Abang, pasti Abang jawab dengan jujur.” Kataku menatap Balqis

“Entahlah, Balqis benar – benar bingung sekarang ini.” Aku tersenyum mendengar penuturannya.

“Bingung, kenapa bingugn?” dengan mimik muka dibuat seolah – oleh pengerti perasaan Balqis saat ini.

“Tu kan, Bang Akmal mulai lagi.” Balqis merajuk, aku tersenyum dibuatnya.

Aku tahu, sebagai seorang gadis yang dewasa karena keadaan, belum tentu dewasa dalam memikirkan tentang pernikahaan. Balqis pasti hanya berfikir bagaimana Dia dan Ibunya bisa melewati hari ini dan besok.

“Kalau begitu Abang yang akan bercerita tentang diri Abang.” Aku meliha kearahnya untuk melihat ekspresi wajahnya. Matanya membulat memasang muka serius, membuatku tertawa dalam hati.

“Abang hanya dua bersaudara, Kamal adik abang mungkin seumuran Balqis sekarang semester 2. Ayah abang orang Melayu pengusaha mebel, Ibu asli Jawa guru di SMA Kartini. Abang sendiri sekarang bekerja pada perusahaan Ayah dan menunggu wisuda saja. belum selesai aku bercerita aku mendengar gumaman Balqis

“Pengusaha pasti orang berada, apa mungkin.” Walaupun dengan suara rendah aku masih bisa mendengarkan apa yang dikatakan Balqis.

“Jangan menilai orang dulu sebelum berkenalan dengannya.” Aku melihat raut wajah Balqis yang malu mendengar perkataanku.

“Orangtua Abang bukan tipe orang yang suka merendahkan orang lain, buktinya abang dan adik abang sudah diajarkan untuk belajar sampai bekerja diperusahaan Ayah sejak kami SMA. Ayah tidak memaksakan kami untuk menjadi penerus perusahaannya. Ayah hanya mengajarkan Abang dan Adik Abang bekerja saja.” aku mengambil napas sebelum melanjutkan ceritaku.

“Dari SMA Abang diajarkan bagaimana bernegosiasi dan mencari rekan bisnis yang tidak mengecewakan sementara Adik Abang yang suka mengotak – atik computer Ayah berikan tugas untuk membuat promosi di Internet bagi perusahaan Ayah. Tapi apakah Balqis tahu jurusan apa yang Abang ambil di kampus?” Tanyaku

Balqis hanya mengelengkan kepalanya dan menunggu aku meneruskan cetitaku.

“Abang mengambil jurusan Sastra Inggris, Abang ingin menjadi dosen.” Kataku mantap sambil menatap mata Balqis untuk melihat responnya.

Hanya senyum simpul yang menampak lesung pipit yang menambah manis wajahnya.

“Abang rasa itu informasi tentang Abang, jika merasa masih kurang silakan Balqis bertanya langsung kepada Abang.” Aku sengaja melawak dengan menunjukkan jari telunjukku ketika mengatakan tanya langsung dengan Abang.

“Bibit, bobot, bebet Abang tidak diragukan. Tapi belum tentu orangtua Abang bisa meneriman Balqis.” Suaranya melemah ketika mengatakan itu serta menundukkan kepalanya membuat aku tidak bisa membaca ekspresi wajahnya.

“Maksudanya?” aku mencari mata Balqis ketika bertanya, tapi Balqis masih menundukkan kepalanya sehingga aku tidak bisa menatap mata indahnya.

“Lihatlah kondisi Balqis Bang?” kata – katanya terjeda menarik napas dalam sebelum dia meneruskan kalimatnya aku sudah mendahuluinya.

“Jangan masalah ekonomi yang menjadi perhitungan Balqis, karena Abang mencari pendamping hidup bukan menjadi materi dan kedudukan dengan memilih seseorang.” Suaraku agak meninggi. Secepat kilat Balqis mengangkat kepalanya melihat intonasi suaraku.

“Maaf Bang, tapi itu kenyataan yang sering terjadi di masyarakat sekarang ini.” Sekali lagi aku harus megakui Balqis dewasa sebelum umurnya dan bijaksana. Ini yang membuatku menetapkan hatiku untuk memilihnya menjadi pendamping hidupku.

“Abang mau bicara sama Ibu, bisa panggilkan Ibu sebentar.” Aku melihat raut terkejut ketika aku mengatakan ingin bicara dengan Ibunya.

“Jangan gegabah Bang, Balqis belum menjawab permintaan Abang.” Dia mencoba menghindar ketika aku mengatakan ingin bicara dengan Ibunya.

“Restu Ibu Balqis dulu yang Abang cari setelah itu Abang akan meminta restu orang tua Abang.” Ucapanku membuat mata Balqis membulat penuh ekspresi yang menurutku lucu.

“Bang.”

“Ibuuu.” Aku memanggil Ibu Balqis.

Aku mendengarkan langkah kaki Ibu menuju ruang depan tempat aku dan Balqis sedang berada.

“Sudah mau pulang nak Akmal?” Tanya Ibu

“Saya mau berbicara dengan Ibu, boleh?” Ibu mengangguk dan duduk dikursi yang masih tersisa diantara kami.

“Maaf bu mungkin saya tidak sopan, tapi Saya bukan anak Abg yang tapi saya sudah bisa bertanggung jawab dengan segala perbuatan Saya.”  Mukadimah kalimat yang tersusun untuk meminta Balqis kepada Ibunya

“Saya hanya minta izin kepada Ibu untuk menta’arof Balqis jika Ibu mengizinkan saya akan datang bersama orangtua saya.” Perkataanku ini sempat membuat Ibu Balqis sedikit terkejut dan memandang kearah Balqis yang dipandang malah menunduk malu.

“Balqis menyerahkan semuanya kepada Ibu, karena itu saya meminta izin dari Ibu.” Aku melanjutkan kata – kataku, sekali lagi aku mendapatkan tatapan bola mata yang membulat penuh. Untuk yang ini memang aku mengarangnya, tapi aku tidak melihat ada pembatahan dari Balqis.

Berarti apapun keputusan Ibu Balqis, aku yakin Balqis akan menerima ta’arupku.

“Balqis bagaimana menurut Balqis?” Ibu malah bertanya kembali kepada Balqis, aku sempat bergetar sambil berdoa dalam hati semoga Balqis menganggukkan kepalanya jika tidak maka duniaku akan hancur. Bukanya aku berharap tanpa mendiskusikannya masalh ini dulu bersama orangtuaku malah aku sudah sholat Istiqarah kepada Allah untuk memantapkan pilihanku walaupun pada awal aku mengatakan kepada Ibuku ada perdebat, aku masih ingat perdebatanku dengan kedua orangtuaku.

 

“Bang memangnya Abang sudah kenal sama gadisnya sampai mau Ayah dan Ibu melamarnya.” Kata Ibuku waktu itu

“Menta’arup anak orang berarti siap untuk menuju jenjang pernikahaan ini bukan hal yang bisa dibuat main – main, Bang.” Ibu masih menyakinkanku

“Ayah, bicaralah Abang belum juga wisuda masa mau menta’arup anak gadis orang.” Ibu meminta bantuan Ayah, jawaban yang diberikan Ayah malah membuatku merasa bersyukur memiliki Ayah sebagai Ayahku

“Bu, jika sudah jodah walaupun kita menentang sekuat tenaga pasti akan bertemu juga. Akmal kan sudah bekerja walaupun di perusahaan Ayah, tapi Ayah sudah melatihnya dari nol bu. Ingat itu? jangan – jangan Ibu tidak rela ada saingan di rumah.” Gurauan Ayah mengena, wajah ibu langsung cemberut.

“Yakinlah Bu, Ibu tetap yang tercantik dan paling disayang. Iyakan Akmal?’ Ayah langsung memujuk ibu ketika melihat wajah Ibu cemberut.

“Bu, semua kreteria yang ada pada Balqis adalah cerminan dari Ibu karena itu Akmal memilihnya. Bukankah Ibu selalu bercerita kepada Akmal bagaimana Ibu bekerja keras membantu usaha Ayah sebelum Ayah sukses. Begitu juga Akmal mau istri Akmal seperti Ibu membantu kesuksesan Akmal, dan itu Akmal rasa Balqis bisa.” Aku masih mencoba membujuk Ibu.

“Ibu…Ibu pikirkan dulu” Kalimat Ibut membuatku spontan membuka mulutku lebar, untung saja tidak ada lalat yang lewat, kalau tidak mulutku pasti dikira lubung untuk bersembunyi.

Ibu meninggalkan Aku dan Ayah, selama  3 hari Ibu mendiamkan Aku.

Baru pagi tadi, sewaktu sarapan Ibu bersuara dan berkata.

“Akmal, jika memang Akmal sudah yakin dengan tekat Akmal untuk menta’arupnya Ibu mau Akmal hari ini juga memintan kepada orangtua, siapa namanya?

“Balqis bu.” Jawabku

“Setelah itu, malam nanti Ayah dan Ibu akan datang meminta Balqis kepada Ibunya.” Aku baru mau membuka mulutku, tapi aku mendengar suara Ibu

“Tidak ada penawaran, jika tidak hari ini Ibu tidak mau datang melamarnya. Titik.” Aku langsung terpaku di tempat dudukku, sarapan nasi goreng yang sudah mau ku suap kemulutku tidak jadi masuk. Dengan santai ibu menuju ke dapur meninggalkan Aku, Ayah dan Adiku dimeja makan.

“Rasain Bang, Nekat lagi. Sekarang Abang lihat Ibu lebih nekat dari Abang.” Suara Adiku membuatku tersadar. Suara Ayah menguatkanku.

“Sudah sana pergi, Ibumu sudah 3 malam ini sholat malam untuk jodohmu, Ayah yakin Balqis dan Ibunya akan menerima.” Itu percakapanku dengan kedua orangtuaku.

Kembali ke percakapan Aku dan Ibunya Balqis,

“Bagaimana bu, atau Akmal minta orangtua Akmal datang sekarang.” Ucapanku membuat Balqis dan Ibunya terkejut.

“Begini saja, sudah hampir magrib Akmal pamit dulu. Setelah bada’ Isya Akmal kembali lagi bersama kedua orangtua Akmal.” Aku meraih tangan Ibu Balqis dan menciumnya, kepada Balqis aku mengucapkan salam. Dan terus meninggalkan rumah Balqis, aku tahu keempat mata mengawasi dengan perasaan yang aku tahu pasti bingung sehingga mereka tidak sempat untuk berkata – kata.

***

 

Ba’da Isya aku dan keluarga sudah siap – siap berangkat menuju rumah Balqis. Aku masih tersenyum mengingat bagaimana tadi sore ketika baru saja tiba di rumah.

“Assalamualaikum,” Suaraku mengema dengan lantang

“Walaikumsallam.” Tidak usah seperti di hutan Akmal Ibu memprotes suaraku yang memang ekstrim kuatnya

“Bu, malam ini bada’ Is’ya kita kerumah orangtua Balqis.” Ibu memandangkanku dengan tersenyum. Siap, mana sudah beli cincinya?

“Cincin? Apa perlu bu?”

“Mau menta’arup anak orang tapi tidak ada tandanya, Ayah lihat anakmu ini.” Suara ibu sempat membuatku panic

Aku melihat Ayah dan Ibu mentertawakan ekspresi bingung wajahku, Azam mangrib sudah terdegar Ayah sudah siap – siap mau ke masjid. Aku seharusnya juga ke masjid rutinitas setiap  magrib bersama Ayah dan Adiku. Tidak mungkin mencari cincin, habis magrib masih ada toko mas yang buka, batinku.

“Sudah sana magrib dulu kemasjid, Ayah dan Adikmu sudah menunggu.” Suara Ibu membuatku tersadar semoga Balqis mau menerima Cincinnya kemudian yang penting Bada’ Isya” aku datang dulu bersama orangtuaku. Tekatku sudah bulat, Balqis ku ta’arup dulu, cincin menyusul kemudian.

***

Perjalanan kerumah Balqis membuatku gelisah.

“Kenapa Bang, Cemas ditolak ta’arupnya.” Suara adikku sontak membuatku maran

“Doakan yang baik – baik dek, perkataan itu doa.” Ucapku dengan wajah kesal. Tangan Ibu langsung mencubit legan adikku yang duduk disebelahnya.

“Maaf bu, Cuma bercanda. Ya Allah semoga semuanya lancar, Amin.” Ayah terkekeh mendengar doa Adikku. Aku tahu Adikku masih mencandaiku.

“Sudah, banyak berdoa aja Bang.” Ibu menengahi.

Aku memberhentikan mobil Ayah, di depan rumah Balqis dan Ibunya. Membukan pintu mobil untuk Ibu dan mengandenganya menuju pintu depan rumah Balqis melewati kebun bunga yang sontak membuat ibu berkata

“Rumahnya asri Yah, lihat bunga tumbuh segar. Enak dipandang mata.” Aku melihat wajah Ibu yang terpesona dengan kebun bunganya Balqis.

“Iih… ibu jadi betah jika harus berlama – lama duduk diantara bunga ini.” Ibu masih berceloteh.

“Assalamualaikun.” Serentak kami mengucapkan salam

“Walaikusallam.” Suara orang dari dalam menyahut salam kami

Pintu terbuka, aku melihat wajah manis Balqis yang membukanya. Seperti bisa jika terkejut Balqis akan membulatkan matanya penuh. Aku tersenyum kepadanya sambil berkata

“Boleh masuk.” Dengan tergagap dia menjawab, silakan masuk Bu, pak

 “Terus Abang tidak boleh masuk ni.” Aku menjahili Balqis

“Silakan masuk semuanya.” Suaranya masih gugup, aku tersenyum melihatnya. Ibu mencubit lenganku yang masih mengandeng tangan ibu

“Usilnya tidak habis – habis, nanti dia marah baru tahu.” Suara ibu mengingatkanku dengan tujuan kami datang kesini. Ya Allah semoga Balqis tidak marah dan mudah – mudahan tidak batinku. Takut juga sih jika sampai rencana ta’arupku gagal.

Kami sudah duduk diruang tamu bersama Ibu Balqis, karena kursinya tidak cukup Aku dan Adikku santai saja duduk di lantai beralaskan tikar.

“Maaf kursinya tidak cukup.” Suara Ibu Balqis

“Tenang saja bu, Anak – anak saya sudah terbiasa duduk dilantai.” Ucap Ibu dan Ayah bersamaan.

“Kompak ni ye” Usil adikku, membuat semua yang berada diruang ini tertawa, aku melihat Balqis menahan tawanya, malah menambah manis wajahnya

“Diliatin terus Bang, nanti bosan.” Adikku mencolek leganku sambil menunjuk Balqis dengan mulut monyongnya.

“Terus saja Usil.” Kataku sambil menjitak kepala Adikku.

“Lihat kakak, Bang Akmal sadis.” Adik sok akrab dengan Balqis, membuat semo rona merah di wajah Balqis. Untung suasana ini membuat Ibu Balqis dan Balqis agak tenang, daripada sewaktu menerima kami tadi ada raut cemas dan minder.

“Maaf bu, Anak – anak kami usil.” Ibuku membuka pembicaraan

“Kami mewakili Anak kami Akmal untuk menta’aruf Anak Ibu.”

“Dan Maafkan jika kesannya mendadak bu, bukannya kami tidak tahu tata karma tapi aku melihat kesungguhan Anak kami Akmal untuk menta’aruf anak Ibu. Kami orangtua sangat mendukung keputusan Anak kami, dan kami percaya dengan pilihan Anak kami. Yang penting secara sariat islam dulu yang kita laksanakan jika ibu setuju kita langsung pernikahaannya dalam waktu 3 bulan baru kita adakan pesta dengan mengundang semua kerabat dan sahabat.” Suara ibu lancar, aku jadi terharu mendengarnya.

“Bu, kami bagaikan ketiban bulan ada yang mau menta’arup anak kami yang kurang dari segalanya. Tapi saya tidak bisa memberikan keputusan, yang akan dita’aruplah yang akan menjawabnya.

“Semua mata memandang kea rah dimana Balqis duduk di lantai sama denganku dan adikku hanya saja Balqis duduk diseberang kami.

Yang ditanya malah, berdiri dan masuk kedalam. Aku terpaku memandangnya. Ya Allah jangan – jangan Balqis menolaknya.

“Mati kau Bang, kenapa masuk ke dalam bukannya menjawab.” Pikiran adikku sama dengan pikiranku.

“Lho si manis kok malah masuk ke dalam.” Suara Ibu malah menambah cemasku

“Sebentar bu saya susul.” Suara Ibu Balqis terdengar

“Bang, benar nih Balqisnya sudah abang tanya mau di ta’arup.” Suara ibu membuatku cemas

“Sudah bu, tapi dia mau atau tidak Akmal tidak tahu.” Jawabku lemah

“Bang, Abang ini bagaimana masak belum di jawab sudah suruh Ayah dan Ibu datang.” Kesal Ibu

“Tapi kan, Ibu yang minta?” aku tambah bingung, Ya Allah Balqis kenapa pakai acara masuk ke dalam lagi batinku

“Maksud Ibu, tanya dan dengar jawabanya jika Iya bukan ditanya tapi tidak ada jawaban kita sudah datang.” Sesal Ibu lagi padaku

Aku mengaruk kepalaku, memandang Ayah meminta dukungan

“Abang yang salah,” bukannya mendapatkan pembelaan aku malah di salahkan Ayah.

Adikku hanya memandangku dengan wajahnya yang membuatku tambah takut, langkah kaki mendekati ruang tempat kami berada. Membuat kami mengalihkan semua mata kesana, aku melihat ibu Balqis dan dibelakangnya Balqis membawa mampan berisi teh dan goreng pisang yang masih hangat.

Setelah meletakkan gelas teh dan piring goreng pisang di meja, ibu Balqis langsung berbicara.

“Maaf bu ini saja yang bisa kami suguhkan, silakan dicicipi.”

“Maaf bu, tapi kami menunggu jawaban Balqis.” Kataku tidak sabar

“Bang yang sopan.” Ibu menyela perkataanku

Senyum Ibu Balqis melihat  Aku dan Ibu berdebat, Saya dan Balqis sangat beruntung bisa menjadi bagian dari keluarga ibu yang harmonis. Mohon bimbingan untuk anak kami yang masih belum dewasi ini bu.” Perkataan Ibu Balqis sontak mendapat jawaban Amin dari Ayah dan Ibu, sementara aku masih belum mencerna dengan jelas perkataan Ibu Balqis, setelah adikku memukul kuat punggungku dan mengatakan

“Alhamdulillah Bang, sebentar lagi ada kakak ipar yang sebenar pantas menjadi istriku jika di lihat umurnya. Betulkan Ma?”

“Enak saja, cari sana sendiri. Ini limited editon dan susah carinya.” Setelah aku sadar ternyata ta’arupku diterima.

Aku melihat Ibu mengeluarkan kotak cincin dari dalam tasnya, membuka kotak dan mengeluarkan cincinnya.

“Sini Anak manis, pakai ini sudah dibelikan sama Bang Akmal.” Sambil berkata begitu Ibu melirikku. Dengan gerakan bibirku aku mengucapkan terima kasih kepada Ibu, ternyata Ibu sudah menyiapkan cincin ta’rupku. Dengan malu – malu Balqis maju ke depan Ibu dan mengulurkan tanganya. Ibu memasukkan cincin di jari manis Balqis.

“Alhamdulillah ternyata cancan pas di jari Balqis, berarti jodoh padahal Ibu hanya mengira – gira saja.” kata Ibu .

Sekali lagi rona merah serta senyum manis dengan lesung pipit menghias wajah Balqis sambil melirik kearahku.

“Cie cie yang dilirik, pasti langsung tak bisa tidur  mala mini.” Sekali lontaran kata mengerjai aku dari mulut adikku yang usil Ibu dan Ayah serta Ibunya Balqis spontan tertawa dan semua pada memandangi wajahku yang aku pasti sudah merah padam karena malu. Tanpa ampun aku memukul punggung adikku

“Kamu itu ya coba mulutnya sebentar saja di tutup.” Sambil menatap jengkel

Tawa semuanya bukan berhenti malah sekarang Balqis juga mentertawakan aku, akhirnya aku juga ikut tertawa bersama mereka.

“Kami pamit dulu bu sudah malam, nanti kita akan melanjutkan perbincangan mengenai pernikahan anak kita.” Ayah memohon izin untuk kami pulang. Sambil berdiri aku meminta semua untuk mendengarkan satu kata yang ingin ku ucapkan dan semua harus mendengarkannya.

“Ana uHibbuki Balqis” kataku

“Apa artinya Bang?” Tanya si rese adikku

 “Cari saja sendiri.” Sambil aku memandang kea rah Balqis calon istriku.***

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...