Selasa, 01 Desember 2020

Awal Deritaku (part 3)


 Tok ..tok…tok pintu ruangan ku di ketok, Masuk. Pintu terbuka aku melihat office boy kantor disana, sambil mengangguk meminta izin untuk masuk, aku mengangguk member izin untuknya masuk. “ Bu ada bouguet bunga untuk ibu, sambil menyerahkan bouquet bunga kepadaku. Dengan pandangan heran aku bertanya? Untuk saya bouquet bunganya? “ Ya bu, kata pengantar bunga ini untuk ibu.” Aku meraih buoqet bunga yang diberikan office boy sambil mencari kartu nama, siapa yang mengirimi aku bunga?

Kartu nama berwarna biru, bertuliskan kalimat “ Salam kenal dari Indara Pranata, semoga kita bisa secepatnya berjumpa” aku membacanya. Sambil mengingat beberapa hari yang lalu aku pernah berjanji akan memberikan kabar bahawa aku dan Indra akan makan sian bersama. Belum hilang rasa penasaranku, handphoneku berbunyi, “ Assallamualaikum” aku mendengar suara dari seberang sana. Sudah menerima bouquet bunganya, mudah – mudahan bunga yang saya kirim Cahaya suka. Masih suara dari seberang sana yang aku dengar. Lama tidak ada suara yang terdengar, aku masih terdiam akhirnya aku mendengar suara “ maaf jika menganggu jam kerja Cahaya saya hanya menelepon untuk bertanya itu saja”, aku mendengarkan suara nada handphone di putuskan. Astafirullah apa yang aku lakukan? Aku bahkan tidak menjawab, apalagi pertanyaan yang diberikan oleh Indra. Pasti ia mengira aku adalah orang yang sombong.

Aku menekan kipet handphone ku mendail ulang nomer terakhir yang baru saja masuk, nomor Indra sudah terhubung, satu kali, dua kali, tiga kali aku mendengar nada sambung sebelum nada ke empat aku mendengar desahan napas dari seberang sana. “ Maaf, tapi aku hanya terkejut saja mendapatkan bouqet bunga. Terdengar suaraku sedikit gemetar sewaktu mengucapkan kalimat itu, saya harap Indra tidak tersinggung. Suara dari seberang sana membuat hatiku sedikit merasa tidak enak. “ Maaf saya mungkin terlalu memaksakan kehendak saya. Maaf mungkin saya tidak masuk ke dalam criteria yang Cahaya maksudkan, saya tidak akan menganggu Cahaya lagi. Dengan cepat aku bersuara sebelum handphone dari seberang sana di tutup Indra. “ Maaf saya yang salah, kalau Indra tidak keberatan siang ini kita jumpa di restoran Sederhana untuk makan siang. Aku mengambil inisiatif untuk mengajak Indra makan siang, aku ingin menebus kesalahan yang aku buat, karena bukan salah Indra jika ia mnghubungiku karena pada dasarnya aku mendaftar pada biro perjodohan yang sama dengan Indra.

Lama keheningan diantara kami, aku memberanikan diri berkata” jika Indra sibuk kita buat janji lain kali saja. “ “maaf hari ini saya lagi luar kota, dua hari lagi saya baru pulang, jika Cahaya tidak keberatan lusa kita makan siang bersama. Aku mendengarkan penawaran dari Indra. Akhirnya kami sepakat akan makan siang bersama dua hari yang akan datang. Sambil menjawab salam dari Indra aku menutup telephone begitu juga dengan Indra.

Aku hanya tersenyum, mudah – mudahan jodoh yang diminta ibu bisa aku hadirkan secepatnya kehadapan Ibu kataku di dalam hati. (bersambung)

***

 

Pukul sudah menunjukkan angka 11.50 sebentar lagi aku akan menepati janjiku untuk makan siang dengan Indra, sebelum lagi aku berdiri dari kursi tempat dudukku, handphoneku berbunyi, meraihnya dan melihat siapa gerangan yang meneleponku. Ada nama kontak Indra, mungkinkan indra akan membatalkan janji makan siang kami. Kataku di dalam hati, sambil mengeser tombol hijau untuk menerima panggilan dari Indra. Assallamualaikum, aku mendengar suara Indra dari seberang sana belum lagi aku menjawab salamnya aku mendengar suara Indar.” Maaf Cahaya hari ini saya tidak bisa memenuhi janji kita, Ibuku terjatuh dan sudah dibawa kerumah sakit oleh adikku, makanya aku menelepon untuk memberitahu Cahaya sekali lagi Maaf kita tunda dulu makan siang kita. Aku mendengar nada putus dari handphone Indra di seberang sana.

Lemas rasanya badan ini, mungkin Indra bukan jodohku. Tiba – tiba saja fikiran itu datang tanpa aku undang. Cengeng sekali aku, sambil mengeleng – ngelelengkan kepala aku berkata di dalam hati, Ibunya Indra mengalami kecelakan tidak mungkin Indra mengabaikan ibunya.

Menjelang sore sebelum pulang kantor, aku menyempatkan untuk menelopon Indra untuk  menanyakan kabar Ibunya. Nada sambung sudah terdengar, aku mendengar suara helaan napas berat sebelum menjawab salam yang aku ucapkan. “ Walaikum salam.” Maaf menganggu Cahaya hanya ingin bertanya kabar, bagaimana dengan Ibu aku membuka percakapan kami di handphone. Seperti ada helaan napas yang sangat berat di ujung seberang sana. “ Ibu harus dirawat dirumah sakit, Ibu terkena strok ringan aku mendengarkan suara serak Indra di seberang sana. Innalillahi, mudah – mudah Ibu cepat sembuh, Ibu dirawat dimana Indra? Ibu dirawat di Rumah sakit daerah Indra menjelaskan kepadaku. “ Ya sudah kalau begitu, yang kuat ya Indra, kataku sambil menyudahi telephone kami dengan mengucapkan salam.

Ada perasaan yang bercampur aduk di dalam dada ini, antara ingin menjemput jodoh  atau Indra bukan jodohku, perjalan pulang kerumah yang panjang aku terus berkata dengan diri sendiri, akhirnya aku putuskan aku akan menjemput jodohku, semogo Indra orangnya.

***

 

Ku parkirkan mobilku disalah satu sudut di area pakiran rumah sakit, membuka pintu mobil keluar dan menekan kunci mobil sambil berjalan menuju rumah sakit, di depan rumah sakit aku baru tersadar aku tidak menanyakan kamar Ibu dilantai berapa dan nomor berapa? Betapa bodohnya aku, sambil menimbang – nimbang apakah aku harus menelepon Indra untuk menanyakannya atau tidak. Tiba – tiba aku mendengar sapaan seseorang, Cahaya apakah ini benar cahaya? Aku memalingkan wajahku kearah suara yang menyapaku, laki – laki yang lebih tinggi dariku dengan menatapku dengan wajah tidak percaya. “ Aku Indra katanya dengan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Aku dengan sedikit malu dan tak percaya mengulurkan tangan dan berkata “ Iya aku Cahaya, sambil menyambut tangan ini. “

“ maaf aku sudah langcang datang menjenguk Ibu tanda menanyakan dulu kepada Indra.” Kataku sekat di tenggorokan. Indra tersenyum manis sambil, berkata “ Aku senang cahaya mau menjenguk Ibu, ayo kita kelantai atas. Ibu di lantai 5 di kamar 515 kata Indra sambil kami berjalan beriringan menuju lift yang akan mengantar kami ke kamar ibu Indra. Karena sekarang lagi saatnya besok suasana rumah sakit ramai, aku dan Indra hanya diam saja selama di dalam lift. Sesekali aku melihat indra melirikku dengan tersenyum dan aku membalas senyum Indra. Lift terbuka di lantai 5 aku dan Indra segera keluar “ kamar ibu disebelah kanan, “ indra memberitahukanku setelah kami keluar dari lift. Aku mengikuti Indra berjalan menuju kamar ibunya, di dalam hati aku terus berkata – kata, apa yang akan aku lakukan di kamar ibu Indra jika beliau menanyakan tentang ku. Apakah aku salah dengan datang kemari, apa pikiran ibu Indara tentangku nanti, perigi mencari timba alangkah malunya aku jika itu yang difikirkan Ibu Indra.

Aku hampir melewati kamar tempat ibu Indra dirawat, aku terkejut ketika mendengar suara Indra, “ Mau kemana, Ini kamar ibu sambil memegang pegangan pintu kamar dan siap membukanya.” Malu aku jadinya, spontan langkahku berhenti dan berkata

“ Apa yang akan aku katakana jika ibu bertanya tentangku?.” Indra tersenyum manis (menurutku senyum Indra manis berkata dalam hati)

“ Hmm katanya saja teman Indra, bereskan.” Katanya dengan santai. Indra mempersilakan aku masuk dengan membuka pintu kamar ibunya. Aku masuk kedalam, ada 2 pasien disana salah satunya pasti Ibu Indra. Aku berdiri didepan pintu masuk menunggu Indra masuk dan menuntunku kepada Ibunya. Sambil menutup pintu Indra berlalu didepanku.

“ Assalamualaikum, Ibu Indra datang belum semua ucapan Indra aku mendengar suara lemah ibu Indra

“ Calon menantu ibu rupanya, mari sini duduk di samping Ibu.” Aku melihat Ibu Indra melambai lemah kearahku. Aku tidak tahu seperti apa wajahku sekarang, aku juga tidak bisa melihat atau sekedar melirik kepada Indra. Aku hanya diam terpaku ditempat aku berdiri sekarang ini, tanpa aku sadari sentuhan tangan Indra ditanganku menuntun aku berjalan menuju samping tempat duduk dimana Ibu Indra memintaku untuk duduk.   

Aku melihat Ibu Indra berusaha mengapai tanganku, dengan ragu aku meraih tangan tua itu dan mengenggamnya. Aku melihat rasa lega dari sosok tua yang terbaring lemah.

“ Ibu harap, Ibu  masih sempat melihat kalian duduk bersanding dipelamin.” Kata – kata yang membuatku terkejut dan jenggah. Aku melirik kearah Indra yang memasukkan bawaannya yang tadi masih pegangnya kedalam lemari kecil yang berada disamping tempat tidur Ibunya. Aku hanya tersenyum untuk membahagiakan orang yang sakit, aku hanya mengenggam erat tangan Ibu Indra tidak mengatakan apa – apa. Dalam hati aku berkata maaf bu aku tidak tahu mau mengatakan apa. Indra berjalan menuju di mana tempat aku duduk dan berdiri dibelakang kursiku sambil memegang sandaran kursiku. Aku hanya melihat mata tua yang bahagia melihat kearah anaknya yang berdiri di belakangku saat ini. Tatapa mata ibu yang tidak bisa aku artikan maknanya karena aku tidak berani untuk menoleh kebelakang dimana Indra sekarang berdiri.

 

 

Rasanya aku sudah berabad – abad berada di kamar Ibu Indra tanpa mengeluarkan kata – kata seperti orang bisu. Aku hanya mendengar kata – kata Ibu dan Indra. Alhamdulillah aku tidak perlu mencari alasan untuk pergi dari kamar ini,, ketika aku mendengar suara Indra , “ Bu, Indra dan Cahaya harus kembali lagi ke kantor. Besok jika Cahaya tidak sibuk dia akan datang lagi menjenguk Ibu. Sambil menepuk – nepuk tanganku yang masih di genggamnya Ibu Indra berkata “ besok jika tidak sibuk datanglah menjenguk ibu sambil melepaskan genggamnya. Aku meraih tangan tua itu dan menciumnya sambil berkata “ Insyallah bu “sambil tersenyum aku melihat ada cahaya kebahagian dimatanya mendengar jawabanku.

Indra mengeser kursi yang aku duduk untuk membantu aku berdiri dan mengambil posisiku mencium kening tua dan tangan tua itu sambil berkata “ baqda Isya Indra kemari lagi bu.

Pukul sudah menunjukkan angka 1.15 siang ketika aku dan Indra keluar dari kamar Ibunya berarti 1 jam aku berada di kamar Ibunya Indra, sambil berjalan menuju lift aku seperti specless begitu juga Indra. Pintu lift terbuka, aku dan Indra masuk hanya kami yang berada di dalam lift aku mendengar suara Indra. “ Terima kasih sudah membuat Ibu bahagia sambil memandangku lekat dimataku. Aku tersenyum tipis sambil mengalihkan pandangan mata kearah lain menghindar tatapan mata Indra yang tiba – tiba membuatku takut. “ Bolehkah aku mengajak Cahaya makan siang sekarang? Aku belum makan. Tanpa aku sadari kepalaku mengangguk mengiyakan ajakan Indra. Sesampai di lantai satu rumah sakit, keluar dari lift aku baru teringat bahwa aku datang kemari dengan mobilku, bagaimana ini. Belum lagi aku mengeluarkan kata – kata aku mendengar suara Indra “ Kita makan di café depan rumah sakit saja jika Cahaya tidak keberatan karena perutku sudah lapar sekali sambil memandangku meminta persetujuan. Aku hanya tersenyum kearah Indra dan menganggukkan kepala tanda setuju. Kami berjalan beriringan menuju café yang berada diseberang rumah sakit. Sewaktu mau menyeberang jalan Indra meraih tanganku dan memegangnya serta tangannya yang satu lagi memberi tanda kepada mobil dan Honda yang lewat untuk memberikan kami kesempatan untuk menyebrang.

Sesampaikan di seberang jalan Indra melepas tangannya dari tanganku, aku hanya memperhatikan apa yang dilakukan indra sambil berfikir mungkin inilah jodohku ya Allah. Sambil melirik dan tersenyum memandang wajah sekilas, Indra mengajakku duduk di pojok café, suasana kafe tidak begitu ramai mungkin sudah lewat jam makan siang. Indra memesan ayam gerpek dan jus orange sementara aku meminta gado – gado dan jus tomat campur wartel. Sambil menunggu pesanan kami datang Indra membuka percakapan di antara kami.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...