Aduh, Ibu. Sakit kepala. Semua harus dibuat sendiri. Mana masalah kantor, belum lagi sekolah anak - anak yang harus didampingi gara-gara Mr. Covit dan Mrs Corona, cepatlah berlalu, bertamu kok lama sekali. Sudah satu tahun hidupku bagai neraca semua serba mau diperhatikan. Waktu habis hanya untuk orang lain. Kapan untuk diriku? Aku terus mengoceh di hati.
Jadi teringat, saat kecil, semua serba menyenangkan. Ibu ada untuk
semua. Ibu sigap membuat semuanya tuntas.
Padahal tidak ada rice cooker yang meringankan kerja Ibu, Semua serba manual. Memasak,
mencuci dan menyeterika siap tepat waktu. Ibupun masih bisa bersosalisasi. Malam
hari menemani aku belajar bersama adik –
adikku hingga menemani mengantar tidur dengan mendongeng dan bercerita
menjemput mimpi indah kami. Aku dan adikku tumbuh dengan segala kasih sayang. Serasa
tidak ada kekurangan menurutku waktu itu. Di rumah yang sederhana, ada Ibu yang
tangguh mendampingi ayah yang harus ke laut berminggu-minggu. Sebagai pegawai
rendah di BT (kini BC) gaji ayah tak besar, tapi kami merasa berbahagia. Itu,
dulu. Waktu aku masih bertatus anak. Sekarang sudah jadi emak-emak.
Game over, Ibu, aku dengan segala kemudahan sekarang ini masih
belum bisa seperti dirimu. Rumah diurus pembantu, anakku besar bukan karena asuhanku
sehingga mereka lebih suka melawanku dari pada mendengarkan kataku. Game over,
Ibu, aku sudah lupa tugasku sebagai Ibu. (AZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar