Jam sudah menunjukkan dua belas malam, tapi
mata ini masih belum mau terpejam.
Sudah dari jam sepuluh tadi aku merebahkan
diri di pembaringan mencoba untuk tidur. Tapi mata ini seperti mendapat komando
untuk tetap terbuka, selalu saja perkacapan tadi sore yang terbayang dan
mengiang – ngiang di teliga ini.
Sudahlah tak perlu disesali, semua telah
terjadi. Yang harus kita lakukan sekarang bagaimana memperbaikinya kata
suamiku. Apa yang mau kita perbaiki bang, kalau abang tetap dengan pendirian
abang, anak kita akan tetap menjadi seperti sekarang ini.
Perbuatan salah ini, akan terus berulang
lagi. Sampai kapan kita harus menutup – nutupi. Biarkanlah bang, tidak ada
artinya jika hanya harus mengulang satu kali lagi di kelas yang sama. “Umurnya
masih muda lagi, jangan karena kita berdua guru, anak kita harus selalu naik
kelas”.
“ Abang ingat waktu di kelas VII, seharusnya
dia tidak naik. Hanya karena memadang abang sama – sama kepala sekolah, anak
kita dinaikkan. Memang dia tidak mengetahuinya, tapi sampai kapan kita akan
selalu membantunya. Sekarang abang mau itu terulang kembali. Kita harus
mengakui, anakku memang lemah dalam menerima pelajaran – pelajaran yang
diberikan.”
“Kita lihat sendiri, bagaimana anak kita
berusaha sekuat tenaga untuk belajar. Abang dan aku tidak pernah lelah untuk
membimbingnya. Tapi kita sudah tahu sejak lama, anak kita tidak sama dengan
anak – anak lainya. Jangan memaksakan diri lagi bang, aku sudah capek.”
Aku tidak pernah menyalahkan siapa – siapa,
tapi suamiku sepertinya tidak bisa menerima bahwa anak kami tidak sepintar aku
ataupun suamiku.
Kadang – kadang aku berpikir inilah yang
namanya egois, suamiku bukan orang yang tidak percaya akan Tuhan. Semakin
berumur aku melihat suamiku semakin mendekatkan diri dengan sang Khaliq.
Tapi untuk hal anakku ini, sepertinya suamiku
selalu tidak mau pasrah dengan kehendakk-Nya.
Anakku yang nomor dua ini memang tidak
sepandai abangnya, yang kata suamiku turunan dari dirinya. Terus aku bertanya “
jadi si Amir bukan anak abang,” kataku.
Suamiku terdiam, tak lama kemudian berkata “
iya anakku juga tapi seharusnya dia pintar seperti abangnya.”
“ Ya
sudah, Amir anakku, karena dia bodah seperti diriku”. Untuk menghentikan
perdebatan yang selalu membuatku harus mengalah daripada nanti kami sampai
berhari – hari tidak bertegur sapa.
Suamiku, guru matematika. Berfikir selalu
menggunakan logika, katanya dia suamiku. Tapi apakah semua anak harus sama
dengan hitungan matematika, satu tambah satu sama dengan dua. Tak pernahkah
suamiku berpikir, inilah yang namanya ujian hidup bagi setiap manusia. Tidak
selalu mendapatkan apa yang diinginkannya secara tiba – tiba harus ada pengorbanan
untuk mendapatkannya.
Aku masih ingat, hampir tiga tahun kami
menikah. Aku belum juga menunjukkan tanda – tanda akan hamil. Suamiku sudah
sibuk dengan perhitungan matematikanya, sudah tanggal berapa ini. Seharusnya
kau sudah datang mens, dengan sabar aku mengatakan “ bang ini baru dua hari,
tunggulah seminggu baru kita cek.”
Jika aku sudah datang mens, lain lagi
hitungannya. Sudah masa subur, maka, “kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin
supaya kamu cepat hamil”, kata suamiku.
Aku selalu mengingatkan “ bang bukan hanya
hitungan kesuburan seperti yang dikatakan dokter kandungan, tapi psikologis
sesorang juga akan menentukan akan kehamilanya.”
Aku juga sudah tidak sabar untuk punya
momongan tapi belum dikasih rezeki sama yang diatas ya sabar saja.” kataku.
(Sambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar