Jumat, 15 Mei 2020

Mengalah Dengan Hati, Belajar terus Bersabar (Part 1)

Jam sudah menunjukkan dua belas malam, tapi mata ini masih belum mau terpejam.
Sudah dari jam sepuluh tadi aku merebahkan diri di pembaringan mencoba untuk tidur. Tapi mata ini seperti mendapat komando untuk tetap terbuka, selalu saja perkacapan tadi sore yang terbayang dan mengiang – ngiang  di teliga ini.


Sudahlah tak perlu disesali, semua telah terjadi. Yang harus kita lakukan sekarang bagaimana memperbaikinya kata suamiku. Apa yang mau kita perbaiki bang, kalau abang tetap dengan pendirian abang, anak kita akan tetap menjadi seperti sekarang ini.

Perbuatan salah ini, akan terus berulang lagi. Sampai kapan kita harus menutup – nutupi. Biarkanlah bang, tidak ada artinya jika hanya harus mengulang satu kali lagi di kelas yang sama. “Umurnya masih muda lagi, jangan karena kita berdua guru, anak kita harus selalu naik kelas”.

“ Abang ingat waktu di kelas VII, seharusnya dia tidak naik. Hanya karena memadang abang sama – sama kepala sekolah, anak kita dinaikkan. Memang dia tidak mengetahuinya, tapi sampai kapan kita akan selalu membantunya. Sekarang abang mau itu terulang kembali. Kita harus mengakui, anakku memang lemah dalam menerima pelajaran – pelajaran yang diberikan.”

“Kita lihat sendiri, bagaimana anak kita berusaha sekuat tenaga untuk belajar. Abang dan aku tidak pernah lelah untuk membimbingnya. Tapi kita sudah tahu sejak lama, anak kita tidak sama dengan anak – anak lainya. Jangan memaksakan diri lagi bang, aku sudah capek.”

Aku tidak pernah menyalahkan siapa – siapa, tapi suamiku sepertinya tidak bisa menerima bahwa anak kami tidak sepintar aku ataupun suamiku.
Kadang – kadang aku berpikir inilah yang namanya egois, suamiku bukan orang yang tidak percaya akan Tuhan. Semakin berumur aku melihat suamiku semakin mendekatkan diri dengan sang Khaliq.
Tapi untuk hal anakku ini, sepertinya suamiku selalu tidak mau pasrah dengan kehendakk-Nya.

Anakku yang nomor dua ini memang tidak sepandai abangnya, yang kata suamiku turunan dari dirinya. Terus aku bertanya “ jadi si Amir bukan anak abang,” kataku.
Suamiku terdiam, tak lama kemudian berkata “ iya anakku juga tapi seharusnya dia pintar seperti abangnya.”
 “ Ya sudah, Amir anakku, karena dia bodah seperti diriku”. Untuk menghentikan perdebatan yang selalu membuatku harus mengalah daripada nanti kami sampai berhari – hari tidak bertegur sapa.

Suamiku, guru matematika. Berfikir selalu menggunakan logika, katanya dia suamiku. Tapi apakah semua anak harus sama dengan hitungan matematika, satu tambah satu sama dengan dua. Tak pernahkah suamiku berpikir, inilah yang namanya ujian hidup bagi setiap manusia. Tidak selalu mendapatkan apa yang diinginkannya secara tiba – tiba harus ada pengorbanan untuk mendapatkannya.

Aku masih ingat, hampir tiga tahun kami menikah. Aku belum juga menunjukkan tanda – tanda akan hamil. Suamiku sudah sibuk dengan perhitungan matematikanya, sudah tanggal berapa ini. Seharusnya kau sudah datang mens, dengan sabar aku mengatakan “ bang ini baru dua hari, tunggulah seminggu baru kita cek.”
Jika aku sudah datang mens, lain lagi hitungannya. Sudah masa subur, maka, “kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin supaya kamu cepat hamil”, kata suamiku.

Aku selalu mengingatkan “ bang bukan hanya hitungan kesuburan seperti yang dikatakan dokter kandungan, tapi psikologis sesorang juga akan menentukan akan kehamilanya.”
Aku juga sudah tidak sabar untuk punya momongan tapi belum dikasih rezeki sama yang diatas ya sabar saja.” kataku. (Sambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...