Setelah menunggu hampir tiga tahun setengah,
aku hamil. Selama kehamilah anak pertama aku selalu merasa sehat dan energik.
Tidak ada yang namanya sick morning atau muntah – mudah apalagi mengidam.
Semuanya seperti biasa saja, sampai – sampai orang yang melihatku jadi binggung
sendiri.
“ Nik kamu, tidak merasa lelah dengan
kesibukan seperti ini, lihat perutmu itu sudah besar sekali. Aku sewaktu
mengandung maunya tiduran saja. berjalan sedikit saja sudah lelah.” Kata teman
guruku.
Sampai mau melahirkanpun aku masih, mengajar.
Sepulang sekolah, setibanya di rumah azan sholat Ashar terdengar. Aku merasakan
sakit yang tak tertahankan, aku memanggil suamiku “ Bang cepat ke sini,
sakitnya sudah tak tertahan lagi,” belum sempat aku menganti baju dinas.
Suamiku datang dengan tergopoh-gopoh karena
mendengar suaraku, “ ada apa?” Kata suamiku, sudah waktunya aku melahirkan
barangkali bang.
Dengan cepat suamiku, memanggil mobil
carteran yang selalu mengkal di depan gang rumahku.
Masih dengan hitungan matematika, suami sudah
meminta anak kedua kami agar bisa dilahirkan setelah abangnya berumur 3 tahun,
supaya tidak jauh jaraknya serta mudah kita untuk mengurusnya kata suamiku.
Selalu dengan hitungan matematikanya.
Sementara aku yang selalu memikirkan
pengorbanan yang harus dikeluarkan dalam mendidik anak-anak berharap jarak anak
kami nanti minimal 5 tahun. Maklum guru ekonomi, aku memikirkan terlalu kecil
untuk si abang harus berbagi kasih sayang dengan adeknya. Ini pengalaman aku
sendiri yang berjarak 3 tahun dengan adikku. Aku selalu merasa orang tuaku
sayangnya hanya pada adikku sehingga aku selalu harus mengalah dalam beberapa
hal. Dan ini tidak mau aku ulang kembali dengan anak – anakku.
Aku selalu mengalah di dalam hati, dengan
selalu belajar bersabar. Hal ini selalu aku lakukan. Pertama menjadi anak
tertua dari keluarga yang selalu mengalah dengan adik – adikku karena orang
tuaku selalu mengatakan aku sudah terlebih dahulu merasakan nikmat hidup,
sementara adik – adikku baru mau merasakah semuanya sekarang.
Sekarang dalam berrumah tangga, aku selalu
harus mengalah dengan suamiku. Karena aku ingin perkawinanku SAMAWA seperti
sewaktu memulai hidup berrumah tangga dulu, aku didoakan banyak orang, aku
tidak mau doa mereka sia – sia karena aku tidak sabar.
Perkawinan kami berjalan dengan logika
suamiku serta sabar yang terus menerus kupelajari sering berjalanannya waktu.
Sabar itu terus diuji buatku. Anak kedua kami lahir setelah hampir 5 tahun umur
kakaknya. Setiap waktu suamiku selalu bertanya “ kamu memakan pil keluarga
berencana (KB) ya , Tik?.
“ Abang ini ada – ada saja, setiap malam
abang tidurnya lebih lama dariku, apakah abang pernah melihat aku memakan pil
atau apalah sebelum aku tidur.” Lanjutku.
Akhirnya aku hamil, tapi kehamilan ke duaku
tidak seperti kehamilan pertamaku. Untuk kehamilan keduaku ini aku sering
morning sick dan stamina diriku tidak sekuat sewaktu kehamilan pertamaku.
Aku sudah membaca beberapa artikel bahwa
kehamilan dengan masalah muntah serta keluhan – keluhan lain akan cendrung
melahirkan anak yang agak kurang kepintarannya. Tapi aku tetap berharap apa
yang aku baca tidak benar adanya, karena itu hanya berdasarkan survey saja.
Memang setelah anak keduaku lahir, ada
perbedaan besar dari dirinya dengan abangnya. Abangnya umur empat bulan sudah
bisa merangkak. Umur Sembilan bulan sudah bisa berjalan. Sedangkan anakku yang
nomor dua, merangkat pada umur 6 bulan dan berjalan pada umur setahun dua
bulan.
Setiap hal yang menyangkut anak – anak
suamiku selalu mengatakan aku sebagai ibu tidak konsisten dalam mendidik anak –
anakku. Suamiku selalu berkata aku terlalu lembut dengan anakku yang nomor dua.
Anakku yang nomor satu selalu mendapat rangking di kelasnya, sekarang si abang
sudah mau selesai kuliah S1 nya. Semetara anakku yang nomor dua akan tidak naik
kelas.
Sebagai seorang guru, aku tidak mau anak –
anakku mendapatkan fasilitas dalam belajar. bukan berarti anak guru tidak boleh
tinggal kelas. Apalagi kasus anakku yang nomor dua, aku masih ingat umur
anakkau empat tahun. Anakku menderita deman panas, untung saja tidak kena step,
tapi menurut dokter akan ada keterlambatan dalam daya tangkap anakku. Tapi itu
tidak mengkhawatirkan menurut dokter, berjalannya waktu aku merasakan memang
ada yang kurang dari anakku yang nomor dua. Tapi aku melihat kegigihannya dalam
menjalani hidupnya, walaupun selalu rangking terakhir dalam kelasnya dia tidak
pernah malu. Justru yang malu itu ayahnya, setiap penerimaan raport suamiku
selalu membandingkan anak – anaknya. Kalau sudah begitu aku secepatnya membawa
suamiku ke kamar, berkata lembut dengannya.
“ bang jangan samakan Amir dengan abangnya,
malah akan membuat Amir semakin jauh dengan abang,” kataku.
Suamiku harus selalu diingatkan dengan
kondisi anak kami, karena itu aku harus selalu mengalah di dalam hati dan
setiap belajar bersabar untuk menghadapi hidup ini.
Aku selalu mengingat materi yang selalu kuajarkan,
semua membutuhkan pengorbanan. Dalam pelajaran ekonomi pengorbanan sekecil –
kecilnya dengan harapan akan mendapatkan yang besar. Tapi dalam kehidupan
pengorbanan kecil hanya menghasilkan yang kecil pula, sementara pengorbanan
besar akan menghasilkan yang besar pula. Itu yang kuterapkan dalam kehidupanku.
Dalam rumah tangga, tidak ada pengorbanan
yang kecil. Menyatukan dua pribadi yang berbeda adalah perkara besar. Walaupun
katanya ada cinta, hidup bukan hanya butuh kata cinta tapi di dalamnya ada
pengorbanan yang disertai sabar dalam menghadapi segala permasalah hidup.
Seperti kata pepatah pemikiran ramai orang lebih baik daripada hanya dipikirkan
oleh satu orang. Tapi perlu kesepakatan dalam menjalaninya.
Apalagi ada sudut pandang yang berbeda dari
dua orang, cinta hanya bisa menyatukan tapi tidak bisa mempertahankan. Untuk mempertahankan
sebuah perkawinan dibutuhkan kata mengalah dan bersabar. Perkahwinan bukan
untuk saling menyakiti aku selalu mengatakan itu kepada suamiku. Seperti
Mengalah Dengan Hati, Belajar terus Bersabar harus selalu menjadi praktik nyata
dalam kehidupan perkahwinanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar