Selasa, 19 Mei 2020

Mengalah Dengan Hati, Belajar terus Bersabar (Part 2)


Setelah menunggu hampir tiga tahun setengah, aku hamil. Selama kehamilah anak pertama aku selalu merasa sehat dan energik. Tidak ada yang namanya sick morning atau muntah – mudah apalagi mengidam. Semuanya seperti biasa saja, sampai – sampai orang yang melihatku jadi binggung sendiri.
“ Nik kamu, tidak merasa lelah dengan kesibukan seperti ini, lihat perutmu itu sudah besar sekali. Aku sewaktu mengandung maunya tiduran saja. berjalan sedikit saja sudah lelah.” Kata teman guruku.


Sampai mau melahirkanpun aku masih, mengajar. Sepulang sekolah, setibanya di rumah azan sholat Ashar terdengar. Aku merasakan sakit yang tak tertahankan, aku memanggil suamiku “ Bang cepat ke sini, sakitnya sudah tak tertahan lagi,” belum sempat aku menganti baju dinas.

Suamiku datang dengan tergopoh-gopoh karena mendengar suaraku, “ ada apa?” Kata suamiku, sudah waktunya aku melahirkan barangkali bang.

Dengan cepat suamiku, memanggil mobil carteran yang selalu mengkal di depan gang rumahku.
Masih dengan hitungan matematika, suami sudah meminta anak kedua kami agar bisa dilahirkan setelah abangnya berumur 3 tahun, supaya tidak jauh jaraknya serta mudah kita untuk mengurusnya kata suamiku. Selalu dengan hitungan matematikanya.

Sementara aku yang selalu memikirkan pengorbanan yang harus dikeluarkan dalam mendidik anak-anak berharap jarak anak kami nanti minimal 5 tahun. Maklum guru ekonomi, aku memikirkan terlalu kecil untuk si abang harus berbagi kasih sayang dengan adeknya. Ini pengalaman aku sendiri yang berjarak 3 tahun dengan adikku. Aku selalu merasa orang tuaku sayangnya hanya pada adikku sehingga aku selalu harus mengalah dalam beberapa hal. Dan ini tidak mau aku ulang kembali dengan anak – anakku.
Aku selalu mengalah di dalam hati, dengan selalu belajar bersabar. Hal ini selalu aku lakukan. Pertama menjadi anak tertua dari keluarga yang selalu mengalah dengan adik – adikku karena orang tuaku selalu mengatakan aku sudah terlebih dahulu merasakan nikmat hidup, sementara adik – adikku baru mau merasakah semuanya sekarang.

Sekarang dalam berrumah tangga, aku selalu harus mengalah dengan suamiku. Karena aku ingin perkawinanku SAMAWA seperti sewaktu memulai hidup berrumah tangga dulu, aku didoakan banyak orang, aku tidak mau doa mereka sia – sia karena aku tidak sabar.

Perkawinan kami berjalan dengan logika suamiku serta sabar yang terus menerus kupelajari sering berjalanannya waktu. Sabar itu terus diuji buatku. Anak kedua kami lahir setelah hampir 5 tahun umur kakaknya. Setiap waktu suamiku selalu bertanya “ kamu memakan pil keluarga berencana (KB) ya , Tik?.
“ Abang ini ada – ada saja, setiap malam abang tidurnya lebih lama dariku, apakah abang pernah melihat aku memakan pil atau apalah sebelum aku tidur.” Lanjutku.

Akhirnya aku hamil, tapi kehamilan ke duaku tidak seperti kehamilan pertamaku. Untuk kehamilan keduaku ini aku sering morning sick dan stamina diriku tidak sekuat sewaktu kehamilan pertamaku.

Aku sudah membaca beberapa artikel bahwa kehamilan dengan masalah muntah serta keluhan – keluhan lain akan cendrung melahirkan anak yang agak kurang kepintarannya. Tapi aku tetap berharap apa yang aku baca tidak benar adanya, karena itu hanya berdasarkan survey saja.

Memang setelah anak keduaku lahir, ada perbedaan besar dari dirinya dengan abangnya. Abangnya umur empat bulan sudah bisa merangkak. Umur Sembilan bulan sudah bisa berjalan. Sedangkan anakku yang nomor dua, merangkat pada umur 6 bulan dan berjalan pada umur setahun dua bulan.

Setiap hal yang menyangkut anak – anak suamiku selalu mengatakan aku sebagai ibu tidak konsisten dalam mendidik anak – anakku. Suamiku selalu berkata aku terlalu lembut dengan anakku yang nomor dua. Anakku yang nomor satu selalu mendapat rangking di kelasnya, sekarang si abang sudah mau selesai kuliah S1 nya. Semetara anakku yang nomor dua akan tidak naik kelas.

Sebagai seorang guru, aku tidak mau anak – anakku mendapatkan fasilitas dalam belajar. bukan berarti anak guru tidak boleh tinggal kelas. Apalagi kasus anakku yang nomor dua, aku masih ingat umur anakkau empat tahun. Anakku menderita deman panas, untung saja tidak kena step, tapi menurut dokter akan ada keterlambatan dalam daya tangkap anakku. Tapi itu tidak mengkhawatirkan menurut dokter, berjalannya waktu aku merasakan memang ada yang kurang dari anakku yang nomor dua. Tapi aku melihat kegigihannya dalam menjalani hidupnya, walaupun selalu rangking terakhir dalam kelasnya dia tidak pernah malu. Justru yang malu itu ayahnya, setiap penerimaan raport suamiku selalu membandingkan anak – anaknya. Kalau sudah begitu aku secepatnya membawa suamiku ke kamar, berkata lembut dengannya.
“ bang jangan samakan Amir dengan abangnya, malah akan membuat Amir semakin jauh dengan abang,” kataku.

Suamiku harus selalu diingatkan dengan kondisi anak kami, karena itu aku harus selalu mengalah di dalam hati dan setiap belajar bersabar untuk menghadapi hidup ini.
Aku selalu mengingat materi yang selalu kuajarkan, semua membutuhkan pengorbanan. Dalam pelajaran ekonomi pengorbanan sekecil – kecilnya dengan harapan akan mendapatkan yang besar. Tapi dalam kehidupan pengorbanan kecil hanya menghasilkan yang kecil pula, sementara pengorbanan besar akan menghasilkan yang besar pula. Itu yang kuterapkan dalam kehidupanku.

Dalam rumah tangga, tidak ada pengorbanan yang kecil. Menyatukan dua pribadi yang berbeda adalah perkara besar. Walaupun katanya ada cinta, hidup bukan hanya butuh kata cinta tapi di dalamnya ada pengorbanan yang disertai sabar dalam menghadapi segala permasalah hidup. Seperti kata pepatah pemikiran ramai orang lebih baik daripada hanya dipikirkan oleh satu orang. Tapi perlu kesepakatan dalam menjalaninya.

Apalagi ada sudut pandang yang berbeda dari dua orang, cinta hanya bisa menyatukan tapi tidak bisa mempertahankan. Untuk mempertahankan sebuah perkawinan dibutuhkan kata mengalah dan bersabar. Perkahwinan bukan untuk saling menyakiti aku selalu mengatakan itu kepada suamiku. Seperti Mengalah Dengan Hati, Belajar terus Bersabar harus selalu menjadi praktik nyata dalam kehidupan perkahwinanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...