Rabu, 27 Mei 2020

Kapan Lelah Akan pergi (Part Akhir)


“ Bisa kamu meminjamkan uang untuk operasi pamanmu, Aisyah”, suara ibu terdengan dari seberang sana.
“ Aisyah tidak punya uang sebanyak itu, ibu.” Jawabku.
“ Pamankan bisa meminta tolong kepada anaknya dan bibi”, lanjutku.
“ Mereka sudah dihubungi tapi mereka tidak punya uangnya, Aisyah. Ibu menjelaskan.
“ Ibu, masak seorang anak tidak bisa memberikan dana untuk operasi ayahnya.”
“ Paman juga punya saudara lain, selain ayah. Kenapa hanya ayah yang selalu menolong paman.” Dengan nada kesal aku menjawab ibu.
“ Bilang saja sama ayah, sekarang Aisyah tidak punya dana untuk membantu paman, dan ingatkan ayah untuk mencari pinjaman, ibu. Ujung – ujung Aisyah juga yang akan melunasi pinjaman ayah.” Aku memohon kepada ibu.
“ Sudah dulu ya bu, Aisyah masih banyak pekerjaan yang masih harus diselesaikan. Aku menutup teleponku setelah mendengar ibu menjawab salamku.
Aku menelepon ibu kembali, setelah beberapa saat aku menutup telepon.
“ Assalamualaikum, Bu. Jangan memberikan uang kiriman bulan Aisyah ataupun adik – adik kepada ayah. Jika ayah bertanya bilang saja Aisyah dan adik – adik belum mengirim uang bulan.
Aku baru dua hari yang lalu mengirim uang bulanan untuk ayah dan ibu, setiap bulan aku dan adik – adik selalu mengirimkan uang kepada ibu.
Kami tidak pernah mengirim kepada ayah, kalau uangnya dikirim kepada ayah, ayah memberikan kepada paman jika paman memerlukannya. 
Ayah selalu mengandalkanku jika paman ingin meminta uang, itu yang selalu membuatku jengkel.
Tapi aku sudah bertekad untuk tidak memberikan uang jika ayah meminta uang untuk kebutuhan paman.
Biarlah sekali ini jika mau ribut besar dengan ayah, iya ribut saja. aku sudah terlalu capek dengan permintaan ayah.
Aku selalu mengalah karena tidak ingin, mengecewakan ayah. Tidak mau disebut sebagai anak durhaka.
Tapi bagaimana dengan anak paman, apakah anak paman tidak durhaka. Jika setiap ada masalah keuangan paman selalu meminta kepada ayah.
Aku memang pernah mendengar pepatah “ Air di cincang  tidak akan putus, seperti tali persaudaran.”
Tapi apakah persaudaran seperti ini yang harus dijaga, aku tidak pernah melihat paman memberikan sesuatu kepada ayah.
Yang selalu terlihat adalah masalah yang selalu diberikan kepada ayah.
Paman sebelum mapan, sudah menikah. Semua pembiayan pernikahan ditanggung ayah, tapi yang anehnya paman kepada kakak istrinya sangat loyal. Setiap lebaran selalu membelikan baju lebaran untuk kakak istrinya dan ponaan istrinya. Sedangkan kepada kami tidak pernah itu dilakukan.
Aku sempat marah besar, sewaktu mengetahui paman menjual vespa ayah hanya karena kesulitan uang untuk membantu keponaan istrinya yang masuk rumah sakit.
Ayah baru saja membelikan vespa itu untukku, supaya mudah untuk pergi bekerja. Karena masalah itulah, aku memilih untuk tinggal di rumah kos-kosan. Supaya lebih dekat dengan tempat kerjaku.

Tapi ayah tidak pernah berubah, selalu saja memberikan pinjman uang kepada paman. Pinjaman yang tidak akan pernah terbayarkan, malah akan menambah pinjaman lain dengan alasan yang bermacam – macam pula.
Sebenarnya jika pinjaman yang diberikan ayah adalah uang ayah mungkin aku tidak marah. Tapi pinjaman yang diberikan kepada paman adalah uang dari kami anak – anaknya untuk membantu perekonomian keluarga.

Ibu selalu memujukku untuk pindah kembali ke rumah, “ Aisyah kan, sekarang sudah punya mobil. Kenapa tidak kembali kerumah saja.” Pinta ibu, aku hanya tersenyum dengan memberikan alasan yang tidak akan membuat ibu kecewa.
“ Ibu, perjalanan dari kantor jauh dari rumah, mobil juga masih nyicil. Lebih  baik uang minyak untuk keperluan ibu dan ayah.”
“ Ais nyicil mobil supaya mudah kalau ayah ibu sakit untuk membawanya kedokter itu saja.” kataku kepada ibu.
“ Inshaalah, jika Ais sudah naik jabatan dan dapat gaji yang lebih besar. Cukup untuk keperluan hidup kita,  Ais akan pulang kerumah bu,” janjiku kepada ibu.


Aku yakin seyakinnya ayah pasti akan marah besar dengar informasi ibu, bahwa aku tidak akan membantu paman sekali ini.
Benar saja kan, ayah meneleponku dengan nada marah ayah berkata “ Aisyah ayah hanya bisa mengharapkan kamu untuk membantu paman. Jika adik – adikmu mampu seperti kamu ayah tidak akan meminta bantunmu,” ku dengar suara ayah marah dari gagang teleponku.
“ Ayah, Ais sudah mengatakan kepada ibu untuk saat ini Ais belum punya uang untuk dipinjamkan kepada paman. Barang yang mau dijual atau digadai juga tidak ada ayah.”
“ Ayah tega untuk menolong paman, Ais yang harus berutang.”
“ Atau ayah mau bulan depan Ais tidak mengirim untuk perluan ayah dan ibu, karena uang  untuk mencicil utang paman.” Kataku geram.
Aku meluahkan semua kekesalanku selama ini kepada Ayah, aku tidak mendengar suara ayah dari seberang telepon sana.
Dalam hati aku menangis inikah yang disebut anak durhaka, ini yang aku takutkan. Akhirnya terjadi juga, hanya karena paman hubungan kami tidak akan pernah aman.
Ya Allah, bukan maksudku untuk menjadi anak durhaka tapi aku harus tegas kepada Ayah.
Air dicincang tak akan putus, apakah ayah lebih baik hilang anak daripada hilang saudara. Aku merintih di dalam hati, tapi ini harus kulakukan demi kebaikan kami sekeluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...