Sabtu, 31 Oktober 2020

Merpati Tua tidak Sepasang


Berjalan menyusuri jalan menuju tempat pemberhentian bus yang tidak jauh dari rumah. Sudah hampir beberapa pekan ini aku terpaksa berjalan kaki untuk pergi ke sekolah. Suamiku yang dulu berjanji akan setia mengantar dan menjemput aku pulang dari sekolah sepertinya tidak lagi menepati janjinya. Bukan hanya tidak menepati janjinya untuk mengantar dan menjemput diriku tapi juga sudah hampir sepekan pula ia tidak pulang kerumah.

Kami sama – sama pegawai negeri tapi suamiku sudah 3 tahun pensiun dari kedinasan, tapi bukan berarti ia, suamiku berhenti bekerja. Sebentar lagi aku juga akan pensiun , entahlah janji untuk menunggu dan merawat cucu – cucu kami tidak bisa Ia tepati.

“ Bu, aku mendapat tawaran untuk bergabung bersama teman yang mendirikan perusahaan.” Itu kata suamiku baru beberapa bulan saja ia pensiun.

Aku sempat protes,” katanya mau istirahat, mau berkebun dan mengelola tanah yang tidak sampai sehektar.” Kataku ketika suami menyampaikan alasan untuk bekerja lagi.

“ Aku hanya ingin mengisi masa pensiunku dengan hal – hal yang positif saja, kerjanya juga tidak tiap hari paling jika ada rapat atau apalah.” Suamiku menyakinkan ku untuk member izin ia bekerja lagi.

Aku tidak mau dibilang sebagai istri yang mengukung kebebasan suami, apalagi cerita teman – teman orang pensiun jika hanya duduk dirumah akan membuat stress. Akhirnya aku mengizinkan suamiku untuk ikut berbisnis dengan temannya. Waktu berjalan hanya 3 bulan suamiku menepati janjinya bekerja sambilan saja.

Bulan ke empat, suamiku sudah seperti orang kantoran saja, sudah ada jam berangkat dan jam pulangnya. Setahun berlalu, akhirnya aku merasakan bahwa suamiku lebih sering di luar rumah daripada berada dirumah. Dan yang lebih parahnya lagi, jam terbang suamiku melebihi jam terbang sewaktu ia menjadi pegawai negeri.

Jika aku menuntut janji suamiku tentang masalah keberadaannya dirumah dan janji untuk mengurus tanah kami yang tidak sampai sehektar, jawaban yang kuterima sangat menyakitkan. “Aku bukan tipe pekerja yang harus mencangkul dan tangan berlumpur dengan tanah dan lumpur. Setiap aku mengingatkanya pasti terjadi pertengkaran kecil yang mewarnai rumah tangga kami.

Cucu sudah banyak, untung anak – anak tidak tinggal dengan kami kalau tidak mereka akan mendengar ribut – ribut kami yang sudah tua pasti akan sangat memalukan. Tapi suamiku cuek saja. Seperti hari ini, setelah tadi malam baru pulang setelah seminggu tak ada dirumah, pagi ini setelah sholat subuh suamiku mengulang kembali tidurnya dengan alasan masih mengatuk. Aku tidak mau ribut, setelah menyelesaikan tugas sebagai Istri aku hanya pamit dengan memandang punggung suamiku yang membelakangi pintu kamar tidur kami.

Gontai langkangkahku, menyusuri jalan menuju halte bis bukan tidak mampu naik Taxi tapi aku lebih memilih naik bis. Bis dengan pemandangan yang beraneka ragam lebih lama di jalannya membuat hatiku menjadi sedikit terhibur setelah lelah bekerja di dapur. Hari masih pagi jam menunjukkan pukul 06.15 sebelum jam 07.00 aku sudah sampai disekolah. Aku memandang sepasang suami istri yang aku perkiraan umur mereka sudah lebih dari 60 tahun kedua masih terlihat mesra, percakapan mereka tanpa sengaja aku dengar 
" Pak, semenjak dokter melarang bapak bawa mobil, lebih baik mobil kita jual saja. Toh kita selalu menggunakan kendaraan umum untuk mengisi hari - hari kita." kata sang Istri.

" Bu, mobil akan bermanfaat jika ada tetangga yang membutuhkannya. masa liburan tiba kita tidak perlu repot - repot rental mobil jika anak cucu berkunjung." 

aku tersenyum mendengar percakapan mereka, jadi teringat janji aku dan suamiku sewaktu kami baru menikah. Tapi sekarang hanya tinggal janji belum lama juga suamiku pensiun tapi ia sudah lupa dengan janjinya. Lihat saja pagi ini dia dengan teganya memilih tidur daripada mengantarkan aku kesekolah. aku harap bisa seperti mereka, masih setia sampai ajal menjemput kami.

Pemandangan yang sangat mengiris hati, melihat sang suami memegang tangan istrinya sewaktu mau turun dari bis karena sudah tiba pada tujuan. Lama aku memandang mereka berjalan bergandengan tangan sampai jauh aku memperhatikan mereka sehingga bis harus membelok untuk sampai kesekolahku, aku berdoa semoga mereka tetap kekal selamanya sampai maut memisahkan atau mungkin mereka akan mati dalam jarak yang tidak saling menyakitkan bagi yang ditinggalkan.

Pemandangan di gerbang sekolah selalu membuatku melupakan sejenak segala masalah yang menurutku tidak perlu terjadi jika suamiku mau diajak berdiskusi dan berkomunikasi. Ya sudah hampir 1 tahun ini kami jarang berdiskusi, komunikasi kamipun tidak selancar dulu lagi. selalu saja terjadi pertengkaran diujung - ujung komunikasi kami, dan selalunya aku yang mengalah karena tidak mau ribut. 

" Pagi bu, naik bis lagi. Bapak lagi keluar kota ya bu." akhir - akhir ini sapa yang sebenarnya membuatku tidak nyaman makin sering di tanyakan oleh siswa - siswaku. Aku tahu mereka tidak bermaksud apa - apa. Apalagi siswa yang sudah duduk di kelas XII mereka selalu melihatku diantar dan dijemput suamiku setiap hari, tapi akhir - akhir ini aku lebih sering pergi dan pulang naik bis atau jika hari hujan aku akan naik taxi.

Banyak teman sekolah yang mau mengantarkan aku pulang, tapi aku lebih memilih untuk naik bis atau Taxi jika tidak bisa lagi baru aku mau menerima ajakan mereka untuk mengantarku pulang. Melihat kecerian anak didikku membuat senyumku yang akhir - akhir sulit terukir dibibirku jika aku berada dirumah. Tak ada yang bisa membuatku tersenyum bahkan tertawa dirumah sekarang yang ada hanya rumah yang kosong dan hanya terdengar tawa dan canda jika anak dan cucu datang bertandang.

Masa liburan sebentar lagi, aku berharap anak dan cucu akan datang sehingga aku tidak merasa kesepian. Sebenarnya sudah dua tahun sejak 3 tahun lalu suamiku pensiun kami tidak pernah lagi pergi berlibur. Sudah beberapa kali aku mengajak suamiku berlibur tapi ada saja alasan yang diberikannya, 

" Ma, aku baru memulai bisnis dengan sahabatku tidak bisa aku mengambil libur dan membiarkan bisnisku hancur, seharusnya kamu mendukung aku. Banyak teman - temanku yang stress setelah mereka pensiun karena tidak tahu mengerjakan apa, aku tidak mau seperti mereka cobalah untuk mengerti aku." kata klise yang selalu diberikan oleh suamiku jika aku mengajaknya pergi berlibur. Akhirnya aku sering kesepian dirumah.

Aku hanya bisa menghela napas berat jika mengingat selama ini aku sangat tergantung kepada suamiku, ya sudah lama aku tidak lagi coba untuk memakai motor dan mengemudi mobil. Semenjak kecelakan yang merenggut anak ketiga kami yang berada dalam kandunganku, ya aku tidak bisa mengemudi motor dan mobil. setiap aku memegang stang motor dan stir mobil belum jauh berjalan tubuhku akan langsung berkeringat dengan derasnya apalagi sudah mendengar klason dari mobil yang ada di jalan raya dengan spontan aku akan mengegas motor atau menginjak gas mobil dan akhirnya sudah 15 tahun aku sangat tergantung dengan suamiku. 

Kadang - kadang aku mengutuki diriku sendiri, tapi mungkin yang dinamakan trauma aku tidak tahu. Majelis guru masih sepi baru aku dan beberapa guru yang datang. Masih ada 10 menit sebelum pukul 7. aku mempersiapkan segala sesuatu untuk keperluanku masuk kelas berjalan lambat menuju kelas di ujung sekolah yang aku ajar. Sudah menjadi kebiasaanku semenjak mengajar untuk selalu berdiri di depan kelas sewaktu bel tanda masuk berbunyi. Dan anak  didikku sudah hapal dengan kebiasaanku sehingga mereka tidak pernah mau tertambal jika pada pelajaranku.

***

Hujan dari pukul 13.30 tadi, yang hanya gerimis dan akhirnya sekarang di ikuti dengan petir dan geledek yang ngeri mendengarkan. Aku sudah 3 kali menelepon suamiku tapi tidak ada jawaban, tidak mungkin sudah pukul 15 sore suamiku belum bangun juga dari Tidurnya. Pukul  9.15 tadi waktu istirahat suamiku juga tidak mengangkat ketika ku teleponn. Taxi yang ku tumpangi sudah memasuki pekarangan rumahku, mobil masih ada di garasi. Tetapi mengapa pintu garasi terbuka? berlari kecil aku menuju teras rumah setelah membayar ongkos taxi sambil berkata simpan saja kembaliannya pak.

Pintu depan tidak terkunci, aku mengucapkan salam tapi tidak ada jawaban dari dalam rumah. Aku terus menuju kamar setelah melihat diruang tengah suamiku tidak ada. Sesampainya di kamar aku mendengarkan suara suamiku berbicara pada seseorang sambil tertawa - tawa, aku membuka pintu kamar mendapati suamiku berdiri didepan jendela kamar kami membelakangi aku. Tawa yang sudah jarang terdengar di rumah kami, dengan siapakah suamiku tertawa aku berjalan menuju kearah suami dan memegang pinggangya sambil mengucapkan salam. Suamiku terkejut sampai telepon yang digengamnya terjatuh. Dengan gugup suamiku menjawab salamku, sambil berkata mengejutkan saja sambil menunduk dan mengambil hpnya yang untungya jatuh di atas tumpukan baju kotor yang mungkin sengaja suamiku letakkan. Baju kotor yang tadi malam aku lihat dipakainya sewaktu pulang kerumah. berjalan menjauhiku menuju kamar mandi, sebelum masuk kamar mandi aku melihat suamiku meletakkan handphonenya di nakas yang berada di sebelah pintu kamar mandi. Siapa yang menelepon suamiku sehingga ia tidak mau aku mendengarkannya.

Azan Ashar sudah terdengar aku menunggu suamiku keluar kamar mandi. lama sekali akhirnya aku mengetuk pintu kamar mandi sambil berkata 
" Sudah azan pa, jangan lama - lama di kamar mandi. Ibu mau ambil wudhu. " Aku tidak mendengar sahutan dari dalam kamar mangi. Hanya pintu yang terbuka " Menganggu saja, tidak boleh melihat orang senang". aku terkejut mendengar penuturan suamiku.

" Udah ambil wudhu pa, kita sholat sama - sama"

" Kamu sholat aja duluan, Aku ada janji nanti sholat di luar saja." kata suamiku sambil mengambil baju dalam lemari pakaian dan berdandan serta memakai parfum. Hal yang selama ini tidak pernah dilakukan oleh suamiku. Berlalu meninggalkanku tanpa mengucapkan salam dan mengecup kening seperti kebiasannya selama ini. Memang sih, sudah hampir 2 bulan kebiasaan itu hanya aku yang mengingatkannya. Aku masih berdiri terpaku di tempatku, suara mobil yang membuat aku terjaga dari lamunanku.

" Astafirullaah." aku melangkahkan kaki menuju kamar mandi, sebelum runtuh pertahananku lebih baik aku mengambil wudhu dan meminta petunjuk kepada-Nya semoga aku menemukan titik terang dari segala masalah rumah tanggaku. Hujan masih turun dengan lebat, kemana perginya suamiku di hujan lebat begini, masih mengenakan mukena aku terlelap dalam tidurku. Bunyi handphone mengejutkan aku, ada nomor tidak ku kenal terlihat di layar handphoneku. Siapa yang menelepon di jam segini, sebentar lagi azan magrib akan berkumandang. 

" Halo, Assalamualaikum sama siapa ini?"

" Maaf, benar ini nomor Ibu Liza? kami dari rumah sakit bu, apakah benar bapak Umar suami Ibu? Aku terkejut mendengar suara dari seberang sana.

" Ibu silakan datang kerumah sakit sekarang, keadaan bapak kritis setelah mengalami kecelakan. 

" Iya saya akan kesana segera"

Belum sempat aku membuka mukena, terdengar suara azan magrib, membuka atasan mukena berjalan menuju kamar mandi untuk wudhu. Biarlah aku sholat magrib dulu sebelum kerumah sakit pikirku. 

***

Perjalan menuju rumah sakit memakan waktu 45 menit, setelah membayar ongkos Taxi aku bergegas menuju resipsionis rumah sakit.

" Mbak, Pak Umar yang mengalami kecelakaan tadi sore di kamar berapa?'

" Pak Umar masih di ruang ICU bu, ibu lewat sana saja belok kiri."

bergegas aku menuju ruang ICU, ada beberapa orang yang berdiri di depan ICU. Maaf saya istrinya Pak Umar kataku kepada seorang perawat yang sedang berbicara di depan ruang ICU. Beberapa mata langsung menatapku, salah satu dari mereka malah balik bertanya kepadaku

" Benar ibu istrinya pak Umar, maaf bu Pak Umar dan Isteri keduanya masih dalam kritis di dalam. Yang menjawab pertanyaanku adalah serorang dokter setelah Ia mengenalkan dirinya sambil memberikan beberapa informasi mengenai keadaan suamiku dan wanita yang katanya istri kedua suamiku.

" Bu...Ibu kenapa papa sampai kecelakaan?" suara anak sulungku memecah keheningan setelah lama aku tidak dapat berkata - kata setelah mendengar penjelasan dari dokter. Ya aku sempat menelepon anak sulungku tentang kecelakan yang menimpa papanya dan minta Dia untuk menelepon dan memberitahukan adiknya. 

" Bu adek di luar kota lagi ada tugas dari kantornya, setelah sampai di dekatku si sulung memelukku.

" Ibu yang sabar, apa kata dokter tentang kondisi papa?"

Belum sempat aku menjawab, ada dua orang yang tak ku kenal tergopoh - gopoh mendekat kearah kami sambil berkata. 

" Bagaimana keadaan anak saya, mana dokternya? aku melihat kedua ini sangat panik. Dokter yang memberikan informasi kepadaku tentang keadaan suamiku memberikan informasi yang sama kepada kedua orang yang baru saja datang. Aku hanya bisa memandang kedua orang itu dengan pandangan aneh dan butuh penjelasan.

" Ibu siapa? terdengar suara anak sulungku bertanya kepada kedua orang yang baru saja bertanya kepada dokter.

" Kamu yang siapa? anak saya dan suaminya yang berada di dalam ruang ICU itu

"  Maaf yang berada dalam ruang ICU itu adalah papa saya, anakku terlihat tidak senang dengan kedua orang yang baru datang itu.

" Oh, berarti kamu anaknya Umar. Kenalkan saya ini Kakek dan Nenekku, Anakku sekarang menjadi Ibumu.

" Maaf, ini ibu saya. " Kata anakku sambil merangkul bahuku. aku tidak bisa berkata apa - apa.

Kedua orang tadi terlihat sangat terkejut dengan perkataan anakku

" Maaf, bukankah istri pak Umar sudah meninggal 8 bulan yang lalu, mereka saling berpandangan tidak mengerti apa yang terjadi. 

" Ibu saya masih sehat, enak saja mengatakan Ibu saya meninggal." aku mendengar nada tinggi dalam suara anak sulungku. 

" Sudah, papa masih diruang ICU. Ibu tidak apa - apa, kita tunggu perkembangan papamu jangan buat keributan di rumah sakit tidak enak dengan pasien yang lain."

" Bapak.. Ibu... duduk kita tunggu perkembangan suami saya dan anak Ibu." 

Anakku merasa tidak senang dengan apa yang aku lakukan.

" Ibu ini apa - apaan, siapa mereka mengapa mereka mengatakan hal yang tidak masuk akal." Aku hanya meletakkan jariku di mulutku meminta anak sulungku untuk diam. Tak terdengar lagi suara anakku, masih memeluk diriku. Aku dan anakku serta dua orang yang mengaku orang tua dari istri kedua suamiku menanti dokter yang memeriksa keadaan Suamiku di dalam sana.

Pintu ICU terbuka, dokter yang tadi mengabarkan keadaan suamiku datang menghampiriku dan berkata

" Alhamdulillah suami ibu bisa diselamatkan hanya saja kaki kanannya harus kami amputasi, sementara madu ibu tidak kami selamatkan," pekik suara orang tua yang mengaku orang tua maduku terdengar begitu dokter mengabarkan keadaan suamiku dan anaknya. Aku hanya terdiam mendengar kabar itu, 

" Alhamdulillah papa tidak apa - apa bu." 

Aku melangkah menuju perempuan yang mengaku ibu madu, merangkul dan menenangkannya. berulang kali aku menghapus air mata yang membasahi pipi tua itu. Aku menyesal atas nasib yang menimpa anaknya. 

***

Sudah sebulan suamiku di rumah sakit, hari ini suamiku sudah diperbolehkan pulang oleh rumah sakit. Selama dirumah sakit aku melaksanakan kewajiban sebagai istri untuk merawat suamiku orang tua maduku beberapa kali datang dan menjenguk suamiku, aku tidak berniat untuk bertanya. Tidak ada komunikasi antara suamiku dan akau, terlihat beberapa kali suamiku ingin mengatakan sesuatu tapi ada saja yang membuatnya tidak jadi mengatakan karena ada saja yang datang untuk menjenguk suamiku.

" Papa mau pulang kemana? hari ini papa sudah diizinkan untuk pulang. " sambil memasukkan semua bawaan suamiku ke dalam tas.

" Kok mama bertanya, tentu saja pulang kerumah kita."

" Rumah siapa? tidak ada rumah kita? telepon saja mertua papa, mama rasa sudah cukup pengabdian mama terhadap papa. Sekarang papa sudah jauh lebih baik, aku tidak akan melarang papa untuk pulang kerumah papa yang baru.

" Ma, papa tahu papa salah. Berikan papa kesempatan untuk menjelaskan, kita pulang kerumah kita ya." pinta suamiku.

" Maaf, mama masih belum bisa menerima papa untuk pulang kerumah yang papa sebut sebagai rumah kita. Jika papa mau pulang kesana, maka mama tidak akan ikut dengan papa." kataku tegas.

" Papa tahu papa salah, Papa khilaf Ma. Papa sudah kena karmanya, Nia tidak bersalah. Papa tidak mau menyalahkan siapa - siapa. Papa yang salah pergaulan, Papa pikir Papa bisa seperti teman Papa punya istri dua. Ternyata Papa tidak adil dengan Mama, Papa lupa dengan usia. Uang membutakan Papa, Papa pikir uang banyak tidak ada salahnya Papa beristri lagi. Maafkan Papa karena mengatakan Mama sudah meninggal. Mungkin karma buat Papa ternyata yang meninggal malah istri kedua papa. Papa menyesal setelah melihat selama 1 bulan ini tanpa bertanya Mama merawat Papa dengan Ikhalas, Papa malu dengan Mama. Maafkan Papa... Ma, jangan hukum Papa dengan cara meninggalkan Papa... Ma. Suamiku terus berbicara tapi tidak sedikitpun hatiku tersentuh dengan kata - katanya.

Pintu kamar terbuka, aku tersenyum kearah dua orang yang masuk. Mereka adalah mertua suamku,
" Walaikumsallam aku menjawab salam yang diucapkan mereka."

" Bapak, Ibu.. Bang Umar sudah siap. Ini barang - barang bang Umar, saya sudah mengurus semuanya di kasir Bapak dan Ibu bisa membawa Bang Umar sekarang. Saya permisi dulu" aku tidak memperdulikan panggilan bang Umar, aku menutup pintu kamar dan terus melangkah. Merpati ini telah patah sayapnya, dia tidak lagi menunggu janji merpati pasangannya untuk kembali. Merpati ini akan terbang tinggi sendiri untuk menghilangkan luka yang teramat dalam dihatinya. (AZ) 


 

 

 

1 komentar:

  1. ceritanya seru bunda, merpati tak sepasang lagi
    ditunggu cerita selanjutnya ya..

    BalasHapus

Postingan Terbaru

Membuka Minda dengan Mengikuti Sinkronisasi Pemetaan Pendidik

 Undangan dari chat WA dari Ka. TU Ibu Melda Ponggoh untuk mengikuti sinkronisasi Perhitungan dan Pemetaan Pendidik pada Jenjang Menengah da...