Senin, 07 Februari 2022

Prasangka

 

Gerimis menembus jilbab instan warna maroon yang saat ini sedang aku kenakan, berlari mengikuti langkah kaki menuju sebuah ruko untuk berteduh.

Aku mengibas tetesan air yang menimpa jilbab dan bajuku, dingin terasa menusuk tulang tapi dingin yang mengapai hatiku lebih dalam lagi.

Aku mengingat pemandangan yang baru saja menyesakkan dada, aku tidak mungkin salah mengenali orang. Apalagi orang tersebut sudah lama mengisi relung hati dan menemapati jiwaku.

Setetes air dengan tanpa permisi keluar dari netraku, secepat kilat aku menghapusnya aku tidak mau sampai orang – orang yang sedang berteduh bersamaku melihatnya.

Sejam sudah berlalu hujan seakan tidak mau meninggalkan bumi, gersangnya tanah dalam dua bulan ini seakan ingin dihapus dengan sejam hujan turun. Air bagaikan ditumpahkan dari langit, aku memandang gawaiku, sudahkah dia lupa dengan diriku. Padahal tadi pagi, kami berjanji untuk makan bersama, hari ini tepat dua tahun kami menikah.

Aku memegang perutku yang sudah tidak rata lagi, ada calon bayi anak kami yang tumbuh dengan sehat di dalamnya.

“Nak ambil roti ini.” Lamunanku terganggu, seorang Ibu yang sebaya dengan Ibuku menyodorkan sebungkus roti.

Aku tersenyum malu, sejak setengah jam yang lalu perutku berbunyi meminta diisi, tak terpikirkan olehku ada yang mendengarkannya.

“Terima kasih Bu, saya masih bisa menahan laparnya.” Ucapku malu

“Jangan menolak rezeki, ingat ada nyawa lain yang lebih membutuhkannya.” Aku tersenyum miris, dan mengambil roti yang disodorkan Ibu tadi.

Lamunanku menjauh, mengingat sosok suamiku yang berjanji untuk makan siang bersama. Ada senyum miris, ketika tanpa sengaja aku bertemu dengannya lagi berbual mesra dengan tetangga janda kami sebelum gerimis menjadi hujan lebat, dan aku terkurung oleh hujan lebat ini dibawah ruko.

***

Aku memandang mobil Brio hijau milik suamiku sudah terparkir dengan sempurna di depan rumah. Langkahku memelan, ada rasa enggan untuk masuk, tapi aku sudah terlalu dingin di luar, belum lagi rasa lapar yang aku tahan sejak terkepung hujan.

“Assalamualaikum.” Lirih suaraku karena menahan lapar.

Tidak ada sahutan dari dalam rumah, aku menekan panel pintu depan. Melangkah masuk, ruang tamu sepi, aku terus melangkahkan kaki menuju dapur. Mengambil piring bersih dari rak piring, berjalan menuju meja makan. Untung saja aku sempat menanak nasi dan mengoreng telur serta tahu tempe sebelum keluar rumah tadi siang, mengingat janji suamiku untuk makan di luar.

Netraku membesar ketika membuka tudung makan di atas ruang makan, ada lauk lain selain lauk yang aku masak. Siapa yang memasaknya atau ada yang memberikan kami rendang.

Dengan malas aku mengambil masakan yang aku masak, mengabaikan rendang. Menyuap nasi serta kawan – kawannya aku tidak boleh egois ada nyawa lain yang harus aku pikirkan saat ini.

“Alhamdulillah.” Ucapku setelah menghabiskan satu porsi nasi sehingga sendawaku terdengar.

“Hajar, dari mana?” Ada rasa yang menyelekit di hatiku ketika mendengar suara suamiku saat ini.

“Hajar, Abang menunggumu dari jam Satu siang.” Aku masih membisu, enggan untuk menjawabnya.

Langkah menghampiriku, membuat dadaku sesak. entah kebohonangan apa lagi yang akan dikatakan suamiku saat ini.

Aku meletakkan piring yang telah bersih di tempatnya berjalan menghindar, belum jauh aku melangkah satu tangan memegang leganku.

“Jar, kenapa marah. Abang salah apa? Abang sudah menunggu ditempat yang kita janjikan tapi Hajar tidak datang – datang.” Ucap suamiku memelas.

Aku mengingatkan kejadian tadi siang, maksud hati ingin memberi kejutan kepada suamiku dengan datang lebih awal dari janji kami. Tapi malah aku yang dikejutkan oleh kemesraan suamiku dengan janda tetanggaku.

“Kita ketemu lagi nanti, sebentar lagi istriku datang.” Tergiang ucapan suamiku siang tadi.

Netra kami bertabrakan, secepat kilat aku membuang muka.

“Hajar lelah, mau istirahat.” Ucapku lemah, melepaskan pegangan tangan suamiku dan melangkah menuju kamar kami.

 

Azan asar terdengar, niat untuk membaringkan tubuh lelahku di Rajang aku urungkan, aku melangkah menuju kamar mandi mengambil wudhu dan mempasrahkan segala rasa yang berkecamuk di dalam dada, semoga Allah mengijabah doaku.

Lelah membuatku terlelap dalam keadaan masih mengenakan mukena.

***

“Jar bangun, sudah masuk shalat magrib.” Tepukan halus di pipiku, membuat aku membuka mata.

Lenguhan napasku, serta sesak di dada masih terasa. Aku melihat sekeliling, aku berada di atas ranjang.

“Mandilah dulu, biar badannya segar.” Terdengar lagi suara suamiku

“Kenapa tidur disajadah?”

“Kenapa memindahkan Hajar, biarkan saja Hajar di sajadah.” Ucapku ketus

“Ada yang salah dengan Abang memindahkan Hajar ke tempat tidur.” Ucapan suamiku menaikkan emosiku.

“Tidak perlu perhatian sama Hajar,” emosiku, sambil turun dari tempat tidur dan berlalu menuju kamar mandi sambil meraih handuk yang tersidai di tempatnya.

Aku menutup pintu kamar mandi dengan emosi, menguncinya tak bisa lagi aku menyembunyikan rasa kesalku. Ku tumpahkan semua rasa kesalku dengan menangis sekencangnya sambil membuka shower supaya tangisku tidak terdengar keluar.

“Hajar…hajar…ada apa? apa yang salah?” suara suamiku terdengar di depan pintu kamar mandi, sambil mengetuk pintunya.

Setelah merasa lega, aku keluar dari kamar mandi. berjalan menuju tempat peralatan sholat. Mengenakan mukenah dan mengambil sejadah. Berjalan melewati suamiku yang masih menatapku bingung. Aku memilih untuk sholat di masjid yang tidak berapa jauh dari rumahku. Suara azan bergema, aku semakin melajukan langkahku.

“Hajar kita sholat jamah di rumah saja, di luar hujan.” Tarikan pada lenganku menghentikan langkahku untuk keluar kamar.

Aku mengawaskan pendengaran, ternyata memang hujan. Kalut dan kesal membuatku tidak perasan jika hujan turun.

Langkahku terhenti, aku menuju sudut kamar yang biasa kami gunakan untuk sholat sendiri atau berjamah. Aku tidak menunggu suamiku, mengangkat takbir dan memulai sholatku. Dalam sholat aku menyembunyikan isak yang sudah menyesakkan dadaku.

Mengucapkan salam, pandanganku bertemu dengan sosok suamiku yang masih sholat, aku masih betah duduk di sajadahku. Meringkukkan badan, menyebut asma – Nya  untuk menenangkan hati.

Sentuhan di bahuku membuatku membuka mata, aku mengatur dudukku dan mengibas tangan suamiku yang berada dipundakku saat ini.

“Ada apa Hajar, apa yang terjadi? bicaralah jangan seperti ini, semuanya bisa dibicarakan baik – baik.” Ucap suamiku dengan nada tidak bersalah.

Bukannya menjawab, malah tangisku terdengar, tidak lagi aku menahan suara tangisku, hatiku sungguh sakit, tidak pekanya suamiku, setelah apa yang dilakukannya tadi siang, apakah tidak ada rasa bersalah sedikitpun dihatinya.

Walau sekarang aku merasakan hangatnya pelukan ditubuhku, tapi kenapa hatiku terasa sakit. Aku berusaha melepaskan pelukan suamiku. Tapi aku terlalu lelah akhirnya aku menangis tersedu – sedu dalam pelukannya.

“Selamat hari pernikahan istriku.” berulang kali pucuk kepalaku dihadiahi ciuman darinya.

“Cukup Bang, jangan katakana selamat atas pernikahan yang sudah abang nodai.” Ucapku lantang sambil melepaskan pelukkannya dan menatapnya dengan mata siap memangsanya.

“Hajar ada apa?” ucapnya dengan suara yang lembut

“Tidak usah berpura – pura lagi, sudah cukup semua, yang Hajar saksikan siang tadi di restoran. Silakan abang menjumpainya malam ini, seperti janji abang siang tadi kepadanya.” Mataku berapi – api,  suaraku yang mengelegar seperti petir menyapu langit di kala hujan turun.

“Hajar, jangan berpikir yang macam – macam. Pantas saja abang merasa ada yang memperhatikan abang siang tadi, kenapa langsung pergi. Seharusnya Hajar sapa saja Abang dengan Nia, bukannya pergi sehingga tidak terjadi kesalah faham seperti ini.” Masih lembut nada suara suamiku.

“Abang memesan cincin ini.” Suamiku menunjukkan kotak bledru berwarna merah, didalamnya ada cincin yang sangat indah.

“Nia, menawarkan gelang bersama kalung yang satu set dengan cincin yang abang pesan, hanya itu jangan berburuk sangka dengan janda.” Ucap suamiku sambil meraih tanganku dan menarik badanku ke dalam pelukannya.

Pikiranku melayang, benar Nia bekerja di toko mas, tapi kenapa harus mengantarnya ke restoran. Apa suamiku tidak bisa mengambilnya di toko, batinku masih tidak percaya.

“Pesanan Abang tertukar, sehingga toko mengirim Nia untuk mengantar pesanan Abang, karena itu Nia ada di restroan tempat kita berjanji akan makan siang.” Aku tersedu – sedu mendengar penjelasan suamiku.

“Bumil satu ini terlalu perasa, jangan berpikir yang macam – macam. Kasihan sama bayi yang di dalam perutmu Hajar. Jangan terlalu lama marahnya, nanti Hajar sendiri yang sakit, kalau tidak percaya kita bisa pergi ke rumah Nia sekarang, biar semuanya jelas dan tidak membuat Hajar berprasangka buruk.” Bertambah isakku.

 “Kita kerumah Nia saja, biar lega.” Ajak suamiku.

Aku malu dengan diriku sendiri, jika dipikir – pikir sejak hamil aku selalu emosian, untung saja suamiku termasuk orang yang sabar, sesabar namanya. Aku menjauhkan wajahku dari dada bidang suamiku, menatapnya dengan wajah bersalah.

“Maaf aku terlalu terbawa emosi Bang.” Ucapku malu

“Abang maklum, bumil memang selalu cemburu tapi abang senang, berarti Hajar sayang sama Abang.” Ucapan suamiku bagai segelas air di gurun pasir menyejukkan jiwa dan ragaku.

.“Maaf.” Ucapku malu

“Sudah sana siap – siap kita makan malam di luar.” Aku memandang malu suamiku, dibantu suamiku untuk berdiri dan kami siap – siap untuk makan malam di luar.

***

Kami sedang asik menikmati makan malan yang sudah tersedia, sesekali  pandangan netra kami bertemu aku melihat cinta yang besar di mata suamiku.

“Bukannya Itu Nia, bang.” Ucapku sambil menunjuk ke arah Nia yang tidak jauh berada dari tempat kami makan. Nia bersama seorang lelaki yang memandang penuh cinta kepadanya.

Mungkin karena diperhatikan oleh kami, seperti ada kontak batin Niapun memandang kearahku dan Bang Sabar. Nia menganggukan kepalanya kepada Kami, dengan senyum yang jelas terlihat diwajahnya.

Ada rasa penasaran di hatiku, siapa lelaki yang bersama Nia.

“Sudah jangan berpikir yang macam – macam. Fokus sama makan malam kita saja.” ucapan suamiku membuatku malu.

“Selamat hari pernikahan ya Kak, semoga selalu bahagia.” Aku mengarahkan pandangan kedatangnya suara, ternyata Nia sudah berada di sampingku.

“Doaka Nia juga bisa seperti Kakak dan Abang, kenalkan ini calon suami Nia.” Ucapan Nia membuat senyumku mengembang.

Kami memandang kedua sejoli meninggalkan kami, aku tersenyum sambil mengingat perkataan Nia sebelum meninggalkan restoran tadi.

“Kasihan lho Kak, tadi siang Abang sudah lama menunggu Kakak di restoran. Bang Sabar cemas sewaktu hujan turun dengan lebat, tapi Kakak belum juga muncul. Semoga calon Nia akan sama besarnya cinta seperti Abang Sabar yang mencintai Kakak.”***

  

2 komentar:

  1. hmmmm lelaki idaman yg sabarnya lagi di uji eeeaaakkkk
    lanjutkan nyak baye ����

    BalasHapus

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...