Kamis, 09 Desember 2021

Aku Cinta Kamu, Suamiku.

 

Prang…prang…prang, selalu begitu jika amarah pasti barang yang menjadi sasaran empuknya. Aku hanya bisa mengeluh dan mengurut dada saja. entah berapa banyak barang pecah belah yang tidak bernasib baik, entah yang lama atau yang baru selalu menjadi incaran amarahnya yang kadang – kadang aku tidak mengerti kenapa selalu saja begitu.

Malam ini lebih terasa dingin, aku merapatkan sweter yang kupakai. Sudah sejak senja kepala dan hidungku sangat menyiksa. Sebentar – sebentar aku bersin dan mengeluarkan cairan dari hidungku yang cukup membuatku kesusahan untuk bernapas. Sudah pukul setengah tujuh, sebentar lagi pasti dia akan pulang, aku sudah siap – siap untuk mendengarkan amarahnya. Beberapa barang pecah belah sudahku simpan yang ada semua barang dari milamin ataupun plastik.

Panel pintu sudah terbuka, aku melihat sosok laki – laki yang bergelar suami buatku, menghampiriku dan menjulurkan tanganyanya. Menyentuh dahiku dan membelai lembut pucuk kepalaku. Aku masih memejamkan mataku, berdoa dalam hati semoga amarahnya tidak datang. Sudah dua hari aku merasakan sesuatu yang tidak baik dengan badanku, setiap aku berdiri pasti ada kabut hitam didepanku dan akhirnya aku tidak sadarkan diri.

Hari ini aku tidak bisa apa – apa, kemaren aku mendengar suara amarahnya karena tidak ada makanan yang tersedia sewaktu dia pulang kerja. Sumpah serapah keluar dari mulutnya tapi bagaimana lagi aku tidak bisa duduk apalagi untuk berdiri dan melakukan pekerjaan rutinku mengurus rumah ini.

Langkah menjauhiku membuatku merasa aman, aku masih memejamkan mataku tidak berani untuk membukanya. Sampai aku mendengar suara pintu kamar tertutup kembali. Aku membuka mataku sedikit, aman pikirku. Akhirnya aku memaksakan mataku untuk tidur, biarlah hari ini aku tenang. Dan akhirnya aku sampai ke alam bawah sadarku bermain dengan mimpi.

***

Suara azan subuh tidak membagunkanku membangunkanku, sangat lama aku tertidur. Biasanya pukul sebelas malam aku baru bisa tidur, dan  pukul 3 subuh aku sudah terbangun mengerjakan pekerjaan rutin sebagai ibu rumah tangga. Aku melihat jam dinding, sudah pukul tujuh pagi. Aku  mencium aroma yang sudah lama tidak aku cium. Anganku melintasi waktu.

Flasback

“Ku terima nikah dan kawinnya Aisyah binti Amiruddin dengan emas kawin seperangkat alat sholat dan sebentuk cincin emas dibayar tunai.” Mantap suara Bang Is melafaskan ijab Kabul pernikahan kami. Itu 3 tahun yang lalu. Aku tersenyum malu mendengar beberapa sahabat baikku yang mengodaku waktu itu.

Sepurnama  setelah kami menikah, aku sudah pindah kerumah bang Is. Tepatnya rumah peninggalan orangtuanya, sahabatku mengatakan aku beruntung tidak punya mertua sehingga terlepas dari siksanya ibu mertua.

Aku yang baru saja 6 bulan lulus SMA sudah harus menjadi seorang istri, tapi itu bukan mauku. Ya, beda umur kami 10 tahun aku baru masuk 19 tahun sementara bang Is sudah 29 tahun. Aku tidak menolak menikah dengannya karena aku tidak mau membebani Ayah yang harus menjaga aku dan adikku setelah 3 tahun yang lalu Ibu dipanggil oleh yang Maha Kuasa.

Bang Is, tetangga kami, aku sudah mengenalnya sejak aku masih gadis kecil. Semua yang ada padanya mungkin membuat semua perempuan akan berfikir aku sangat beruntung menjadi istrinya. Bagaimana tidak, dalam umur yang masih muda sudah punya karier yang mapan.

Di awal pernikahan kami, aku lebih banyak belajar darinya bagaimana menjadi seorang isteri. Bagaimana tidak, aku selalu bangun setelah aku mencium bau harum dari dapur karena Bang is sedang memasak makan pagi untuk kami, dengan malu aku akan keluar kamar setelah sholat subuh. Dengan rambut yang masih basah, aku tutup dengan handuk untuk menyembunyikan maluku.

 “Maap Bang, Ais terlambat.” Ucapku malu

Memandangku dengan pandangan yang membuatku tambah malu

“Sudah sholat subuh?” tanyanya dan fokus pada masakkan yang sedang disiapkannya.

“Sudah.” Jawabku malu

“Maaf, tidak sholat berjamah. Abang kasian mau bangunkan Ais.” Ucapnya membuatku bertambah malu.

“Biar Ais yang selesaikan bang.” Ucapku

“Hmm.” Sambil menyerahkan senduk untuk mengaduk nasi goreng. Aku melihat sudah ada telur mata sapi dan tahu, tempe yang sudah tersedia di meja makan. Air yang sebentar lagi mendidih.

Dua tahun aku bagaikan ratu dalam rumah tanggaku, semua pekerjaanku selalu dibantu oleh Bang Is.

***

Satu tahun ini, bagaikan neraka. Entahlah aku tidak tahu kemana perginya sosok yang menjadi idaman setiap wanita itu pergi. Aku saja sampai lupa sejak kapan mulainya barang pecah belah akan melayang jika amarahnya datang. Seperti seminggu yang lalu aku tidak tahu salahku apa, tidak mungkin karena aku terlambat menyiapkan kopi dan nasi goreng untuk sarapanya, pikirku. Tapi kenyataannya memang aku telat menyediakannya, sungguh tidak masuk akal.

Tiga hari yang lalu, gelas kopi melayang begitu saja. katanya baunya tidak enak, yang aneh – aneh saja. Dua hari yang lalu sebelum badanku meriang aku masih ingat bagaimana piring makan jatuh dengan suara yang keras, alasanya terlepas dari tangannya karena licin. Belum lagi mukanya yang dalam sepekan ini sungguh muak aku melihatnya. Tidak ada manis – manisnya, yang ada hanya cemberut bagaikan makan buah mangga muda yang pasti sangat masam rasanya.

***

Aku menghampirinya, bau harum masakkannya membuat aku berselera, padahal sudah 2 hari ini aku tidak makan, entahlah seperti ada yang tidak beres dengan badanku ini. Dengan takut aku mendekatinya, ingin menyapa tapi aku takut.

“Sudah bangun, masih pusing?” tiba – tiba saja Bang Is berbalik dan memandangku dengan tangan memegang sudip ditangannya.

“Mukanya kenapa?” ucapnya lagi

Aku memegang wajahku dengan kedua tanganku, bukan mukaku yang bermasalah tapi jantungku yang takut bang Is marah lagi seperti beberapa hari ini sering terjadi.

Bang Is berjalan menuju kearahku, menarik kepalaku. Mendaratkan ciuman dipucuk kepalaku dan kembali lagi ke pengorengan yang tadi ditinggalkannya sebentar. Aku terpana dengan yang dilakukannya.  

“Duduk, jangan terlalu lama berdiri nanti pitam lagi.” ujarnya lembut.

Bagaikan tersihir aku mengikuti perintahnya, duduk manis di depan meja makan. Aku memperhatikan semua gerak – gerik Bang Is. Tara, akhirnya dimeja makan sudah terhidang nasi goreng kampung, telor dadar, telur mata sapi, irisan tomat dan timun. Juga ada tempe tahu yang digoreng pakai tepung. Segelas susu dan satu cangkir kopi, aku mengenyitkan dahiku siapa yang minum susu, pikirku.

Bang Is mengeser kursi didepanku, duduk dan melihat tepat ke wajahku.

“Tidak lapar.? Tanyanya

Aku memandang ke arah Bang Is,

“Susunya buat siapa.? Tanyaku lugu

“Buat Ais.” Jawabnya sambil tersenyum penuh makna

“Sejak kapan Ais harus minum susu?” Tanyaku kepadanya

“Sejak hari ini.? Jawabnya masih dengan senyum yang menghiasi bibirnya

“Abang tidak sakitkan?” Tanyaku bingung.

“Tidak ada yang sakit di antara kita berdua.” Sambil berkata itu Bang Is berdiri dan berjalan menuju arah tempat duduku. Mengelus pucuk kepalaku dan kemudian mengecupnya lembut.

“Terima kasih.” Ucapnya sambil membelai wajahku

Aku mendongakkan kepalaku memandang Bang Is

“Ais yang seharusnya mengucapkan terima kasih karena Abang tidak marah dengan Ais.” Ucapku takut – takut

Aku melihat wajah Bang Is masih tersenyum dan netranya berbinar

“Sebentar lagi Ais akan jadi Ibu dan Abang menjadi Ayah.” Ucapnya membuatku terkejut.

Ah ternyata selama beberapa pekan ini, Bang Is yang mengidam sementera aku yang hamil. Aku tertawa dalam hati. Aku memeluk pingang Bang Is, sambil berucap dalam hati

“Aku cinta Kamu, Suamiku.” Setetes airmata menetes disudut mataku. Dengan cepat Bang Is menghapusnya sekarang giliran mataku yang mendapat ciuman penuh cinta dari Bang Is.***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...