Bulanku bersembunyi di balik awan yang berarak, aku menatap langit mencari keberadaannya. Secuil hati merindukan kehadirannya. Sepurnama waktu yang terasa lama bagaikan sewindu rasanya. Aku menanti dalam ketidak pastian yang berpanjangan aku masih memegang janji yang telah terikrar tapi apakah yang memberi janji telah lupa akan sumpahnya untuk kembali kepada pungguk yang merindu.
Tok…tok…tok…suara pintu kamarku di
ketok. Aku mengalihkan pandangan mata lelahku dari ruang angkasa yang
menyembunyikan bulan, aku menghela napas berat menutup jendela kamar, berjalan
menuju pintu dan menekan panelnya. Serawut wajah yang begitu menyayangiku
terlihat lelah karena dimakan usia.
“Sudah malam, belum ada selera untuk
makan.” Tanya Ibu dengan suara yang selalu membuatku tenang tapi tidak untuk
saat ini.
Hatiku pilu, betapa aku selalu
menyusahkannya dari sejak dalam kandungan sampai umurku menginjak kepala tiga
aku selalu membuatnya mencemaskanku. Aku merangkul Ibu mengajaknya berjalan
menuju meja makan, aku pastikan Ibu juga belum makan karena beliau selalu
menungguku untuk makan malam bersama. Air mataku jatuh ke dalam, aku tidak mau
Ibu melihat kesedihanku, hatiku meronta mengutuki diriku yang masih memikirkan
dirinya yang entah di mana rimbanya.
Aku meletakkan nasi di piring Ibu,
kemudian menyendok nasi untuk diriku sendiri. Kami makan dalam diam, aku
berusaha menelan nasi berserta lauknya dengan susah payah.
“Ini semua makanan kesukaanmu, bagaimana
rasanya?” suara Ibu memecah kesunyian
“Ibu selalu yang terhebat.” Pujikan
sambil menunjukkan senyum palsu untuk membuatnya bahagia.
“Ini tambah sopnya, lama Ibu merebus
dagingnya.” Suara Ibu sambil menyodorkan sesendok sop kepiringku.Sekali lagi
aku memberikan senyum palsu untuk membuatnya merasa bahagia melihat aku memakan
masakannya. Semua yang aku telan bagaikan bara yang mengoyak tenggorokanku.
“Ibu istirahat saja, biar Ais yang
mengemasnya” ucapku sambil memindahkan wadah kotor ke wastafel.
Setelah selesai dengan semua wadah
kotor, aku berjalan menuju kamar untuk beristirahat. Sebelum sampai ke kamarku
aku singgah melihat ibu yang sudah terlebih dahulu masuk ke kamarnya.
“Ibu sudah mau tidur.” Ucapku sambil
menjengahkan kepalaku ke dalam kamar Ibu.
Aku melihat Ibu yang sudah bersandar di
ujung tempat tidurnya sambil membaca surah Yasin.
“Masuklah ada yang mau Ibu bicarakan.”
Minta Ibu kepadaku
Aku melangkah masuk, duduk di ujung kaki
Ibu, tanganku langsung memegang kakinya sambil mengurutnya pelan.
“Ada apa Bu?” kataku sambil tersenyum
melihat kepadanya.
“Pakcik Burhan menelepon tadi siang,
mengundang Ibu dan Ais untuk datang pernikahan Raihan.” Ucapan ibu bagaikan
petir yang menyambar dadaku dan membuatku resah. Sebaik mungkin aku menutupinya
dari ibu
“Kapan pernikahannya, calonnya orang
mana bu?” ada perih yang mendalam ketika aku menanyakannya kepada Ibu.
“Mualaf dari Malaysia tempat Raihan
bekerja selama ini.” Jelas Ibu
“Alhamdulillah ya bu Bang Raihan sudah
ketemu jodohnya.” Miris aku mengatakannya
“Kamu kapan lagi Aisyah, ada yang kamu
tunggu. Bagaimana dengan Lamaran Muhammad.” Ucap Ibu sambil melihat ke manik
mataku.
“Masih dipikirkan Bu.” Jawabku singkat.
“Jangan terlalu lama, kasihan Muhammad.”
Senyum tipis ibu melihatku
“Sudah Ibu istirahat ya, Ais juga mau
istirahat. “ Ucapku sambil meraih tangan Ibu menciumnya dan berlalu dari kamar
Ibu.
***
Aku memandang langit kamar, air
mataku mengalir tanpa aku komando ada
sakit yang teramat parah di hatiku saat ini. Bang Raihan, memang kami sepupu
tapi tidak berarti kami tidak boleh menikah. Karena janjinyalah selama delapan
tahun ini aku menanti, dua tahun yang lalu pas liburan lebaran.
Flasback
Lebaran
tahun ini, open house di rumah kakak Ibuku, kami sering memanggilnya Pakcik
Burhan. Semua keluarga berkumpul di sana. Ibu yang mempunyai tiga orang
saudara, hanya ibu yang bungsu dan perempuan. Semenjak kepergian Ayah, aku
hanya tinggal berdua dengan Ibu. Untung saja ketiga Pakcikku yang semua
notabene hanya mempunyai anak laki – laki sangat sayang kepadaku dan merekalah
yang menyekolahkanku selama ini sehingga aku selesai kuliah.
Dari
ketiga anak Pakcikku, aku sangat dengan Bang Muhammad anak Pakcik Ismal dan
Raihan anak Pakcik Burhan. Beda umur kami hanya terpaut 3 tahun saja, setiap
kumpul keluarga Pakcik Ismaillah yang
sering mengatakan akan menjadikan aku menantunya, semua tertawa
mendengarkannya. Hanya Bang Muhammad saja yang aku lihat tenang tidak seperti
Bang Raihan yang selalu jengah jika mendengar penuturan Pakcik Ismail.
“Aisyah
maukan menikah dengan Abang.” Pada suatu kesempatan Bang Raihan mengutarakan
isi hatinnya tunggu Abang dua tahun lagi kita menikah. Setelah eman tahun aku
menunggu kalimat itu keluar dari mulut Bang Raihan.
Aku
tersenyum mendengarnya bagaimana tidak, Bang Raiahan lebih supel dibandingkan
dengan Bang Muhammad yang pendiam walaupun aku tahu sedari kecil Bang Muhammad
selalu memperhatikanku lebih dari saudara, berbeda dengan Bang Raihan selalu
menunjukkan perhatiannya kepadaku. Jika milih tentu pilihanku akan jatuh kepada
Bang Raihan tentunya.
***
Dret … dret…dret gawaiku bergerak tak
lama aku mendengar suarah gawai tanda ada panggilan masuk, dengan malas aku
meraih gawaiku dan melihat nama pemanggil hatiku tambah hancur dibuatnya.
Setelah membuatku menunggu selama delapan tahun, Bang Raihan menikah dengan
wanita lain. Aku mengabaikan gawaiku dan akhirnya tidak ada lagi nada panggilan
masuk. Bunyi notifikasi whatsapp, dengan malas aku membuka aplikasinya
“Aisyah tolong angkat telepon Abang,
Abang mohon.” Chat dari bang Raihan
“Asyah tolong, Abang tidak mau membela
diri, berikan Abang kesempatan untuk menjelaskannya.” Sekali lagi masuk chat
Bang Raihan.
Sekali lagi Bang Raihan menelopon,
dengan malas aku akhirnya mengangkatnya
“Assalamualikum Aisyah, Abang khilaf
tidak semestinya Abang tidak minum waktu itu, kerana terlalu mabuk Abang
merusaknya. Abang tidak mau menjadi laki – laki yang tidak bertanggung jawab.
Apalagi Dia sekarang mengandung anak abang.” Hancur sudah duniaku mendengar
penuturan Bang Raihan.
“Kenapa Abang minum?” kesalku sambil
terisak
“Abang tidak tahu kalau minuman yang
diberikan kawan abang beralkohol kami lagi menghadiri pernikanan kawan yang
warga china, maafkan abang.” Jelasnya lagi
“Sebenarnya Dia tidak mau minta
pertanggung jawaban Abang, tapi sebagai laki – laki Abang harus bertanggung
jawab. “ Aku tidak sanggup mendengarnya lagi, aku matikan sambungan telephon
dan terus memeluk bantal gulingku dan larut dalam tangis dan dukaku.
***
Mataku nanar melihat Bang Raihan
bersanding bukan dengan diriku, aku menahan hati dengan sekuat tenaga. Untuk
menutupi luka hatiku, aku membuat diriku sibuk dengan membantu pernikahan Bang
Raihan.
“Aisyah, istirahatlah sebentar.” Aku
memandang kepada wajah yang suaranya sedang menegurku, wajah Bang Muhammad
tersenyum kepadaku.
Tanganku ditariknya untuk duduk pada
kursi tamu, Bang Muhamamad duduk di depan kursiku masih menggegam tanganku.
“Aisyah menikahlah dengan Abang.” Ucap
nya lembut
Air mataku menitik, bukan karena
ajakkannya untuk menikah tapi karena aku menginggat sewaktu Bang Raihan
memintaku untuk menikahinya. Sekarang bagaikan dejavu tapi dengan orang yang
berbeda, hatiku mengatakan tidak tapi kepalaku mengangguk. Akhirnya aku pasrah
dengan keadaan jika ini memang takdirku untuk menikah dengan Bang Muhammad
biarkan Bang Raihan menjadi rahasia hatiku selamanya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar