Rabu, 15 Desember 2021

Rahasia Hati

 

Bulanku bersembunyi di balik awan yang berarak, aku menatap langit mencari keberadaannya. Secuil hati merindukan kehadirannya. Sepurnama waktu yang terasa lama bagaikan sewindu rasanya. Aku menanti dalam ketidak pastian yang berpanjangan aku masih memegang janji yang telah terikrar tapi apakah yang memberi janji telah lupa akan sumpahnya untuk kembali kepada pungguk yang merindu.

Tok…tok…tok…suara pintu kamarku di ketok. Aku mengalihkan pandangan mata lelahku dari ruang angkasa yang menyembunyikan bulan, aku menghela napas berat menutup jendela kamar, berjalan menuju pintu dan menekan panelnya. Serawut wajah yang begitu menyayangiku terlihat lelah karena dimakan usia.

“Sudah malam, belum ada selera untuk makan.” Tanya Ibu dengan suara yang selalu membuatku tenang tapi tidak untuk saat ini.

Hatiku pilu, betapa aku selalu menyusahkannya dari sejak dalam kandungan sampai umurku menginjak kepala tiga aku selalu membuatnya mencemaskanku. Aku merangkul Ibu mengajaknya berjalan menuju meja makan, aku pastikan Ibu juga belum makan karena beliau selalu menungguku untuk makan malam bersama. Air mataku jatuh ke dalam, aku tidak mau Ibu melihat kesedihanku, hatiku meronta mengutuki diriku yang masih memikirkan dirinya yang entah di mana rimbanya.

Aku meletakkan nasi di piring Ibu, kemudian menyendok nasi untuk diriku sendiri. Kami makan dalam diam, aku berusaha menelan nasi berserta lauknya dengan susah payah.

“Ini semua makanan kesukaanmu, bagaimana rasanya?” suara Ibu memecah kesunyian

“Ibu selalu yang terhebat.” Pujikan sambil menunjukkan senyum palsu untuk membuatnya bahagia.

“Ini tambah sopnya, lama Ibu merebus dagingnya.” Suara Ibu sambil menyodorkan sesendok sop kepiringku.Sekali lagi aku memberikan senyum palsu untuk membuatnya merasa bahagia melihat aku memakan masakannya. Semua yang aku telan bagaikan bara yang mengoyak tenggorokanku.

“Ibu istirahat saja, biar Ais yang mengemasnya” ucapku sambil memindahkan wadah kotor ke wastafel.

Setelah selesai dengan semua wadah kotor, aku berjalan menuju kamar untuk beristirahat. Sebelum sampai ke kamarku aku singgah melihat ibu yang sudah terlebih dahulu masuk ke kamarnya.

“Ibu sudah mau tidur.” Ucapku sambil menjengahkan kepalaku ke dalam kamar Ibu.

Aku melihat Ibu yang sudah bersandar di ujung tempat tidurnya sambil membaca surah Yasin.

“Masuklah ada yang mau Ibu bicarakan.” Minta Ibu kepadaku

Aku melangkah masuk, duduk di ujung kaki Ibu, tanganku langsung memegang kakinya sambil mengurutnya pelan.

“Ada apa Bu?” kataku sambil tersenyum melihat kepadanya.

“Pakcik Burhan menelepon tadi siang, mengundang Ibu dan Ais untuk datang pernikahan Raihan.” Ucapan ibu bagaikan petir yang menyambar dadaku dan membuatku resah. Sebaik mungkin aku menutupinya dari ibu

“Kapan pernikahannya, calonnya orang mana bu?” ada perih yang mendalam ketika aku menanyakannya kepada Ibu.

“Mualaf dari Malaysia tempat Raihan bekerja selama ini.” Jelas Ibu

“Alhamdulillah ya bu Bang Raihan sudah ketemu jodohnya.” Miris aku mengatakannya

“Kamu kapan lagi Aisyah, ada yang kamu tunggu. Bagaimana dengan Lamaran Muhammad.” Ucap Ibu sambil melihat ke manik mataku.

“Masih dipikirkan Bu.” Jawabku singkat.

“Jangan terlalu lama, kasihan Muhammad.” Senyum tipis ibu melihatku

“Sudah Ibu istirahat ya, Ais juga mau istirahat. “ Ucapku sambil meraih tangan Ibu menciumnya dan berlalu dari kamar Ibu.

***

Aku memandang langit kamar, air mataku  mengalir tanpa aku komando ada sakit yang teramat parah di hatiku saat ini. Bang Raihan, memang kami sepupu tapi tidak berarti kami tidak boleh menikah. Karena janjinyalah selama delapan tahun ini aku menanti, dua tahun yang lalu pas liburan lebaran.

Flasback

Lebaran tahun ini, open house di rumah kakak Ibuku, kami sering memanggilnya Pakcik Burhan. Semua keluarga berkumpul di sana. Ibu yang mempunyai tiga orang saudara, hanya ibu yang bungsu dan perempuan. Semenjak kepergian Ayah, aku hanya tinggal berdua dengan Ibu. Untung saja ketiga Pakcikku yang semua notabene hanya mempunyai anak laki – laki sangat sayang kepadaku dan merekalah yang menyekolahkanku selama ini sehingga aku selesai kuliah.

Dari ketiga anak Pakcikku, aku sangat dengan Bang Muhammad anak Pakcik Ismal dan Raihan anak Pakcik Burhan. Beda umur kami hanya terpaut 3 tahun saja, setiap kumpul keluarga  Pakcik Ismaillah yang sering mengatakan akan menjadikan aku menantunya, semua tertawa mendengarkannya. Hanya Bang Muhammad saja yang aku lihat tenang tidak seperti Bang Raihan yang selalu jengah jika mendengar penuturan Pakcik Ismail.

“Aisyah maukan menikah dengan Abang.” Pada suatu kesempatan Bang Raihan mengutarakan isi hatinnya tunggu Abang dua tahun lagi kita menikah. Setelah eman tahun aku menunggu kalimat itu keluar dari mulut Bang Raihan.

Aku tersenyum mendengarnya bagaimana tidak, Bang Raiahan lebih supel dibandingkan dengan Bang Muhammad yang pendiam walaupun aku tahu sedari kecil Bang Muhammad selalu memperhatikanku lebih dari saudara, berbeda dengan Bang Raihan selalu menunjukkan perhatiannya kepadaku. Jika milih tentu pilihanku akan jatuh kepada Bang Raihan tentunya.

***

Dret … dret…dret gawaiku bergerak tak lama aku mendengar suarah gawai tanda ada panggilan masuk, dengan malas aku meraih gawaiku dan melihat nama pemanggil hatiku tambah hancur dibuatnya. Setelah membuatku menunggu selama delapan tahun, Bang Raihan menikah dengan wanita lain. Aku mengabaikan gawaiku dan akhirnya tidak ada lagi nada panggilan masuk. Bunyi notifikasi whatsapp, dengan malas aku membuka aplikasinya

“Aisyah tolong angkat telepon Abang, Abang mohon.” Chat dari bang Raihan

“Asyah tolong, Abang tidak mau membela diri, berikan Abang kesempatan untuk menjelaskannya.” Sekali lagi masuk chat Bang Raihan.

Sekali lagi Bang Raihan menelopon, dengan malas aku akhirnya mengangkatnya

“Assalamualikum Aisyah, Abang khilaf tidak semestinya Abang tidak minum waktu itu, kerana terlalu mabuk Abang merusaknya. Abang tidak mau menjadi laki – laki yang tidak bertanggung jawab. Apalagi Dia sekarang mengandung anak abang.” Hancur sudah duniaku mendengar penuturan Bang Raihan.

“Kenapa Abang minum?” kesalku sambil terisak

“Abang tidak tahu kalau minuman yang diberikan kawan abang beralkohol kami lagi menghadiri pernikanan kawan yang warga china, maafkan abang.” Jelasnya lagi

“Sebenarnya Dia tidak mau minta pertanggung jawaban Abang, tapi sebagai laki – laki Abang harus bertanggung jawab. “ Aku tidak sanggup mendengarnya lagi, aku matikan sambungan telephon dan terus memeluk bantal gulingku dan larut dalam tangis dan dukaku.

***

Mataku nanar melihat Bang Raihan bersanding bukan dengan diriku, aku menahan hati dengan sekuat tenaga. Untuk menutupi luka hatiku, aku membuat diriku sibuk dengan membantu pernikahan Bang Raihan.

“Aisyah, istirahatlah sebentar.” Aku memandang kepada wajah yang suaranya sedang menegurku, wajah Bang Muhammad tersenyum kepadaku.

Tanganku ditariknya untuk duduk pada kursi tamu, Bang Muhamamad duduk di depan kursiku masih menggegam tanganku.

“Aisyah menikahlah dengan Abang.” Ucap nya lembut

Air mataku menitik, bukan karena ajakkannya untuk menikah tapi karena aku menginggat sewaktu Bang Raihan memintaku untuk menikahinya. Sekarang bagaikan dejavu tapi dengan orang yang berbeda, hatiku mengatakan tidak tapi kepalaku mengangguk. Akhirnya aku pasrah dengan keadaan jika ini memang takdirku untuk menikah dengan Bang Muhammad biarkan Bang Raihan menjadi rahasia hatiku selamanya.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...