Kamis, 16 Desember 2021

Kau Bukan Ibuku

 

Berjalan santai setelah pulang kerja selalu aku lakukan, hanya sekedar untuk mengisi kekosongan hidup yang aku jalani. Aku memakirkan motor butut di tempat parkir taman rekreasi di tengah kotaku, aku tidak mau langsung pulang kerumah hanya untuk melihat kemesraan yang bukan milikku.

“Mia kenapa akhir – akhir selalu pulang telat” komentar ibu sudah sering ku dengar memprotes dengan pulangnya telat aku kerumah.

“Banyak kerjaan di kantor bu.” Alasanku setiap pulang telat.

“Kan ada Nia yang menemami ibu.” Kataku, setiap menyebut nama adikku seperti ada pisau tajam yang mengiris hulu hatiku.

“Nia, semenjak menikah selalu pergi jika suaminya sudah pulang kantor dan malam baru pulang.” Ibu memberikan alasan atas perkataanku.

“Iya, besok tidak telat lagi. Semoga tidak banyak kerja di kantor.” Kataku sambil berlalu ke kamar setelah mencium tangan Ibu..

Hampir satu bulan ini aku menghindar untuk bertemu adiku dan suaminya, entahlah aku masih tidak bisa berfikir dengan jernih bagaiman bang Is sangat tega kepadaku.

“Mia, maafkan abang. Abang tidak bermaksud menyakitimu. Abang tidak berfikir kedekatan kita malah Mia salah artikan.” Bagaikan tertusuk belati yang sangat tajam tepat tengah jantungku mendengar penuturan bang Is. Aku hanya tersenyum miris mendengar perkataan bang Is, bagaimana tidak semua perlakuannya kepadaku orang bodoh saja bisa tahu kalau ia menjebakku dalam lingkaran cinta palsunya.

***

Pelamin dirumahku sebulan yang lalu dengan pegantin perempuannya adalah adik kandungku, begitu menyakitkan sungguh terlalu bang Is.

“Ibu sudah menerima lamaranku untuk Nia.” Dengan mudahnya kata – kata itu keluar dari mulut bang Is seminggu sebelum pernikahanya dengan adikku. Sungguh aku tidak tahu terbuat dari apa hati bang Is. Dan aku juga tidak habis fikir dengan ibu, apakah ibu tidak tahu atau pura – pura tidak tahu. Aku bagaikan tersangka, ya  tersangka.

“Mia kau harus rela jika Is lebih memilih adikmu daripada dirimu.” Teganya ibu berkata demikian ketika mengatakan bahwa ibu sudah menerima lamaran bang Is untuk Nia. Apa aku tidak salah dengar, hampir 1 tahun aku berhubungan dengan bang Is dan ibu tahu itu. Tidak ada kata atau kalimat yang melarang kedekatanku dengan bang Is, begitu teganya ibu kepadaku. Aku tidak bisa menangis sudah terlalu banyak aku menangis karena tidak adilan ibu kepada aku hanya karena Nia. Mungkin aku bukan anak kandung ibu, sering aku berfikir begitu tapi jelas aku dan Nia bukan dari ayah yang sama. Ibu mendapatkan Nia setelah pernikahaannya yang kedua bersama ayah Nia yang kaya raya, sementara ayahku meninggal dunia tanpa meninggalkan apa – apa untukku dan Ibu.

***

Meriahnya pesta pernikahan bang Is dan Nia, diatas kepalsuan tampilan tawaku mungkin hanya aku yang tahu. Aku berlaku layaknya kakak yang baik dengan mengurus semua pernikahaan adikku dengan calon suamiku yang tidak jadi. Tawa bang Is, Nia serta ibu mematikan semua rasa di hati dan hidupku. semenjak saat itu aku selalu memberikan alasan banyak kerja di kantor untuk pulang kerumah setelah aku tahu bang Is dan Nia akan selalu meluangkan waktu mereka di luar rumah setelah sore hari dan kembali kerumah setelah Aku dan Ibu tertidur.

Suaran terahim subuh sudah terdengar, aku mengejapkan mata mengeliatkan badan untuk mengusir kantuk yang masih bersarang di badanku. Haus menyerangku, dengan malas aku keluar dari kamar menuju dapur untuk mengambil air. Belum lagi aku sampai di dapur  dikejutkan dengan suara yang menegurku

“Mia.” Aku terkejut dan mencari suara yang memanggil namaku. Aku melihat bang Is berdiri tak jauh dari pintu kamarku. Apa yang bang Is buat di depan kamarku.

“Mia, bisa kita bicara sebentar?”

Aku tidak mengindahkan kata bang Is, aku terus menuju dapur. Aku mendengar langkah bang Is menuju langkahku ke dapur.

“Mia.” Bukan hanya suaranya saja, tapi kini tangan bang Is juga memegang leganku.

“Jangan sentuh aku.” Aku menepis tangan bang Is dan memandangnya dengan wajah kesal.

“Mia tidak bisakah kita seperti dulu lagi.” Suara bang Is memohon dan memandangku dengan penuh harapan aku mengabulkan permintaannya.

“Maaf, kita hanya bisa sebatas kakak ipar dan adik ipar saja.” aku mengambil air dan langsung menuju kamarku kembali tanpa memperdulikan bang Is yang berusaha mengajakku untuk berbicara.

“Mia, Mia tolong jangan seperti ini. Jangan buat Abang merasa bersalah kepada Mia.” Aku mendengus mendengar perkataan bang Is.

“Tidak salah siapa yang membuat keadaan seperti ini, Mia?” aku bergegas memperlebar langkahku secepat mungkin menuju kamarku dan menutup pintu kamarku dengan keras. Ya Allah cobaan apa ini, hilang hausku. Azan subuh sudah terdengar. Aku memilih mengambil wudhu di kamar mandi di kamarku dan memakai mukenaku dan terus sholat sunat dan sholat subuh.

***

 Sudah beberapa hari ini, aku memperhatikan bang Is berusaha berbicara denganku. Aku tak habis pikir dengan makluk yang bernama Ismail ini. Bisa – bisanya ia berusaha mendekatiku setelah ia menyakiti hatku.

“Mia, jangan mendekati suami adikmu. Kasihan Nia jika dia tahu.” Cangkir yang sudah aku pegang tak jadi aku majukan kemulut untuk meminumnya, aku meletakkanya kembali sambil berkata

“Ibu, jangan menilai dari apa yang Ibu lihat. Aku tidak berusaha mendekati bang Is. Tapi dia yang selalu berusaha mengajakku berbicara. Ibu tenang saja, aku tahu posisiku dimana.”

Aku meninggalkan ibu dengan pandangan mata kesal, selalu menyalahkan aku atas setiap kejadian yang menimpa Nia.

“Mia, cobalah untuk mengerti. Ibu hanya mengingatkanmu bukan menuduhmu.”

“Aku tahu Bu, aku hanya menumpang dirimu ini. Semua milik Nia, ayahku tidak meninggalkan apa – apa untukku sehingga kasih ibupun aku tidak berhak.” Setelah mengatakan itu aku berlari mngambil tas dan meraih kunci motorku berlari keluar rumah.

Hari liburpun aku tidak bisa bersantai di rumah, akhirnya motorku ku larikan ke taman kota tempat dimana aku selalu menumpahkan kekesal yang mengunung dihatiku. Ternyata di sini, di taman kota aku masih tidak bisa tenang, tepat di salah satu sudut taman tanpa aku sengaja mata ini memandang bang Is dan Nia, entah apa yang mereka ributkan. Yang aku tahu mereka tidak lagi sedang memadu kasih, karena jelas aku melihat bang Is menepis tangan adikku yang ingin meraih legan bang Is, raut wajah yang keruh juga terlihat jelas di wajah bang Is.

Sebelum mereka melihatku lebih baik aku pergi dari taman kota, berjalan menuju parkiran dan menghidupkan motorku akhirnya aku memilih pulang.

“ Mia, darimana?” tanpa menghiraukan perkataan Ibu aku langsung menuju kamar dan mengunci pintu. Langkah kaki ibu mendekati kamarku terdengar samar

“Mia, buka pintu!” aku menutup telinga dengan bantal mengindahkan panggilan Ibu. Ya Allah mengapa dia Ibuku seperti ibu tiri yang tidak mengharapkan kehadiranku dalam rumah tangganya aku hanya bisa membatin di dalam hati. Entah kesal terlalu mengetuk pintu dan aku tidak mengindahkannya, langkah kaki ibu ku dengar menjauhi kamarku. Entah Aku terlalu lelah, tanpa ku sadari aku tertidur. Suara azan zhurur membangunkan tidurku, aku merengangkan tangan dan kakiku mengusir kantuk yang masih bersarang di badanku. Entahlah apa aku harus bersyukur atau tidak yang pasti hari ini aku bisa melelapkan mata walaupun aku tahu tidur pagi tidak baik untuk kesehatan.

Perutku teras lapar, tapi aku engan melangkahkan kakiku keluar kamar setelah selesai menunaikan kewajiban sebagai umat beragama. Aku harus memastikan betul tidak ada bang Is atau ibu yang akan menganguku dengan pertanyaan yang membuat hati dan jiwaku terluka. Biasanya pukul 2 siang mereka yang aku malas jumpai akan istirahat di kamar masing – masing. Perlahan aku membuka pintu kamar setelah memastikan tidak ada tanda kehidupan diluar kamarku. Sambil berjalan pelan seperti seorang maling aku melangkahkan kaki menuju pintu keluar untuk mencapai motorku untuk mencari makan di luar.

Entahlah hidupku setelah Nia menikah tidak terurus lagi, hanya untuk makan aku harus menunggu ibu maupun bang Is tidak akan menganggu ketenanganku. Sementara untuk hari kerja makan siangku lumayan bisa aku atur. Belum lagi aku mencapai pintu keluar, tanganku sudah di tarik oleh seseorang, sambil memandang kesal aku melihat orang yang menarik tanganku.

“Lepaskan”. Suaraku meninggi ketika aku melihat bang Is yang memegang tanganku. Bukannya melepas tanganku malah bang Is berusaha menghalangi aku daripada keluar dari rumah.

“Dengarkan Abang, Mia.” Aku masih berusaha untuk keluar dengan mendorong badan bang Is dari menghalangi jalanku.

“Mia, jangan kau sakit hati dan perasaanmu, Abang yang bersalah. Maafkan Abang, Abang akan keluar dari rumah in . Belum juga selesai ucapan bang Is aku mendengar suara ibu

“Apa maksudmu Is, mengapa kau yang harus keluar dari rumah ini.”

“Mia sudah besar, dia akan menyewa rumah sendiri.”

“Bukan begitu Mia.” Ucapan ibu sungguh tak aku duga

“Iya bang, besok Mia akan pindah. Mia sudah membicarakan dengan Ibu.” Kataku menantang kata Ibu.

“Ini rumah Nia dan Is, ibu akan ikut Mia pindah.” Bagai petir aku mendengar perkataan Ibu

“Bu, Mia tidak bisa membawa Ibu.” Tegas aku menolak permintaan Ibu

“Anak durhaka, kau lihat Is untung kau menikahi Nia. Anak macam apa yang tidak mau menjaga Ibunya.” Ibu merendahkanku untuk entah yang kesekian kalinya.

“Bu, bu tinggal bersama Nia saja.” Entah sejak kapan Nia sudah ada di antara kami. Aku hanya mendengus membuang napas berat. Sandiwara apa lagi ini batinku.

Akhirnya aku mengurungkan niatku untuk makan, aku menuju kamar dan membereskan semua pakaian dan semua barang yang aku beli dari hasil kerjaku. Lebih baik aku keluar dari rumah ini sekarang daripada aku harus dihina terus oleh ibu kandungku sendiri. Sibuk aku memasukkan barangku yang akan aku bawa aku mendengar suara ribut dari luar kamar, tapi aku tidak mau memperdulikanya. Setelah selesai aku mengemas semua barang bawaanku, aku melangkah meninggalkan kamar yang sudah lama membuat hati dan jiwaku mati rasa akan kasih sayang seorang ibu. Sesampainya diluar kamar aku mendengar suara bang Is

“Bu sudah cukup ibu membohongi saya dengan kebohongan yang menghancurkan bukan hanya saya tapi kita semua.

“Bang jangan menuduh ibu.” Aku mendengar teriakan Nia

“Aku tidak menuduh tapi ini kenyataannya.”

“Ibu menjebakku mengatakan Mia sakit dan meminta aku untuk datang kerumah, tapi apa kenyataannya aku malah berakhir di kamar tidurmu. Dan yang lebih menyakitkan hati, Mia menuduh aku telah merusak masa depan adikknya. Tanpa aku bisa memberikan penjelasan atas apa yang terjadi. Aku dipaksa untuk menikah denganmu Nia, yang kata ibu kau mengandung anakku. Tapi kenyataannya kau tidak hamilkan.” Suara bang Is bagaikan petir yang menyambar dan membakar tubuh serta hati dan jiwaku.

Aku tidak bisa berkata – kata hanya memandang Ibu dan Nia bergantian apa yang telah mereka lakukan kepada Bang Is yang tak berdosa kepada mereka. Cukup sudah mereka menyiksaku mungkin bisa aku maafkan tapi jika sampai Bang Is juga dijebak ini sungguh diluar nalarku. Pantas saja hari itu aku melihat Bang is dan Nia bertengkar di taman kota.

“Mia, kau tahu bagaimana Abang selalu dihalangi untuk menjelaskan semuanya padamu tapi ibu selalu membuat rencana sehingga kita tidak pernah bisa bertemu dan Abang tidak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Ibu memeras abang jika abang tidak menikah Nia abang akan dilaporkan kepolisi dengan bukti video abang tidur seranjang dengan Nia.

Dan Ibu mengatakan bahwa Mia rela Abang menikah dengan Nia sampai bayi yang dikandung Nia lahir. Sudah 2 minggu Abang memaksa Nia untuk pergi cek up ke dokter kandungan bersama Abang tapi Nia selalu mengatakan akan pergi bersama ibu, itu yang membuat Abang curiga belum lagi Abang merasa Mia selalu menghindari Abang padahal menurut Ibu Mia setuju Abang menikah Nia hanya sampai Nia melahirkan karena untuk menjaga nama baik keluarga. Dan akhirnya semua terbongkar ketika kemaren abang tanpa sengaja menemukan softex di kamar mandi kamar. Mana ada orang hamil tapi datang bulan.” Dengan amarah yang meluap bang Is meluahkan semua isi hatinya.

“ Ya Allah, sedemikiannya Ibu membenci Mia sampai tega merengut semua kebahagian Mia.” Kataku kesal dan berlari menuju keluar rumah. Tak kupedulikan panggilan Bang Is yang aku mau lari dari Ibu dan Nia. Tega, aku fikir hanya Ibu Tiri yang sanggup menyiksa anaknya tak pernah kubayangkan ibu kandungpun ada yang dengan teganya melukai anaknya sendiri. Tak bisa ku tahan air mata yang terus mengalir dari mataku, ku gas motorku untuk menjauh dari Ibu dan semua yang membuatku luka. Entah kemana arah yang akan kutuju hanya motor yang terus ku gas .***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...