Selasa, 14 Desember 2021

Madunya Cinta

 

Cantik, manis, macam istilah orang sekarang. Bukan aku mau menyombongkan diri tapi aku hanya mengatakan apa yang orang kata kepadaku mengenai diriku. Kadang aku tersenyum geli , bagaimana tidak, aku tidak pernah merasa cantik apalagi manis.

Jika aku cantik dan manis tentu tidak akan seperti ini nasibku, umurnya lebih tua dariku. Anaknya sudah 2 tapi suamiku lebih memilih dia, ranjangku sepi dan dingin. Aku macam tapi tak mengairahkan, berarti aku tidak ada apa – apanya.

Batinku menjerit tapi suamiku tidak mendengarkannya, dia lebih memilih mendengarkan bisikkah halus dari maduku.

Cinta Ayudiah, umur baru 25 tahun, bos dikantorku tapi kacung dirumahku sendiri. Di kantor aku selalu menyuruh orang mengerjakan apa yang mereka harus kerjakan. Dengan sedikit gaya bos aku memerinta mereka. Tapi dirumahku sendiri, aku bagaikan kacung yang bekerja hanya untuk mencari perhatian suamiku.

Lihat saja, aku baru mendapatkan chat darinya.

“Sore nanti aku pulang.” Kalimat singkat yang dikirim suamiku.

Aku tersenyum, bayangkan baru dikirimi chat aku sudah tersenyum. Aku berdiri dari duduk santaiku. Iya, aku sengaja pulang agak cepat agar dapat mempersiapkan diri untuk kedatangan suamiku, aku harus memasak masakan kesukaanya rumah memang sudah bersih dari pagi, maklum tidak ada anak kecil yang membuat jadi berantakan kembali. Tapi aku belum puas, akhirnya aku menyempatkan diri untuk mengepelnya.

***

Sekarang aku berendam dalam bathtub dengan ramuan rempah supaya diriku tercium harum, muka yang masih ditempeli masker bengkong untuk menambah segar dan putih kulit wajahku.

Aku membersihkan diri, memakai pakaian yang sedikit seksi. Aku menatap tampilanku dicermin sudah menarik, aku tersenyum dalam hati.

Menuju ruang tengah, menunggu sambil melihat siaran TV, satu jam dua jam. Sekarang sudah mau mendekati magrib yang kutunggu belum datang. Iseng tanganku mengambil gawai melihat aplikasi whatsapp. Mataku melihat ada chat dari whatsapp cintaku, aku membukanya. Hanya napas berat yang mengiringi kecewanya hatiku

“Maaf, belum ada waktu untuk pulang.” Pesan singkat tapi membuatku kecewa berpanjangan.

Aku berjalan menuju kamar, azan sudah terdengar. Menganti baju seksiku dengan baju daster dan menuju kamar mandi mengambil wudhu.

***

 “Kasian ya, cantik – cantik tapi sering di tinggal.” Suara tetangga yang mengatai aku

“Masih juga dimasjid sudah mengibah.” Batinku

Untuk mengusir rasa kecewaku, aku meringankan kaki untuk sholat magrib dimasjid, tapi apa yang ku terima. Tetangga mengibah tentang suamiku yang jarang pulang kerumah.

Ku urungkan niat untuk menunggu sholat isya di masjid, hatiku tak kuat mendengar mereka mengatai aku.

Berjalan gontai menuju rumah, perlahan tapi pasti aku melangkah menuju rumahku. Ujung atap rumah sudah kelihatan. Aku melihat mobil suamiku di depannya, aku bergegas dengan cepat melangkahkan kakiku kerumah sambil berfikir. Katanya tadi tidak ada waktu untuk pulang. Senyumku tersunggig dibibir, suamiku pulang.

‘Assalamualaikum.” Aku memberikan salam

“Walaikumsallam.” Suara yang teramat sangat aku rindukan.

Bergegas aku meraih tanganku mencium dan berharap dia akan mencium keningku, tapi ternyata tidak. Aku mengikuti langkahnya duduk diruang tamu, tapi tiba – tiba aku mendengar suara tangis bayi dari arah kamar tamu, aku memandang suamiku yang dipandang hanya diam kemudian berdiri berlalu dari hadapanku menuju kamar tamu. Akhirnya aku mengikuti langkahnya menuju kamar tamu.

Pintu kamar tamu terbuka, nampaklah seseorang di dalamnya dengan dua bocah yang salah satunya menangis dan suaranya terdengar sampai ke ruang tamu.

Langkahku terhenti dipintu masuk kamar tamu, suami terus saja memasuk mengulurkan tangannya untuk meraih anak kecil yang menangis tadi. Dalam dekapannya si kecil berhenti menangis, aku memandang keduanya. Aku bingung tapi tidak ada yang menjawab kebingunganku. Akhirnya aku memilih untuk pergi meninggalkan kamar ini dan terus menuju kekamarku.

Setelah melepas mukena dan meletakkan pada tempatnya, aku menuju jendela kamar yang menghadap taman. Tempat favoritku jika lagi gundah, kulepaskan pandangan mataku melihat bunga – bunga yang kembang disana dan harumnya sampai kekamarku.

Siapa dia? mengapa dia di rumahku? Ada hubungan apa dengan Suamiku? Semua pertanyaan berkecamuk jadi satu tapi aku tidak berani berspekulasi tentang jawabanya.

Desas – desus diluar sudah membuatku pusing tujuh keliling, aku tidak mau berspekulasi akan jawabanya. Biarlah Suamiku yang akan menjelaskannya, satu jam, dua jam, aku menanti akhirnya pada 3 jam setelah aku menunggu, Suamiku masuk kekamar, panel pintu terbuka, sosoknya berjalan menuju jendela tempat aku menatap pemandangan bunga.

Tidak ada rangkulan mesra, hanya berdiri bersebelahan seperti orang yang tidak kenal saja. aku berusaha menahan emosiku. Tetap diam dalam kesendirianku, walaupun aku tahu ada dia suami disebelahku.

“Namanya Indah, istriku.” Kata suamiku, yang berhasil membuat duniaku seakan runtuh tapi aku mencoba tegar.

“Hmmmm.” Hanya itu kata  yang keluar dari mulutku

“Kami sudah menikah 2 tahun yang lalu.” Kata suamiku lagi

“Aku sudah tahu.” Jawabku kelu

“Mulai sekarang dia akan tinggal bersama kita.” Kata – kata yang menurutku terlalu egois diucapkannya.

Memang aku sudah tahu, tapi aku tidak menyangka dia akan membawa maduku kerumah dan tinggal bersama. Mungkin aku akan mengizinkannya untuk menikah, tapi untuk tinggal serumah itu mustahil. Aku menatap sekilas suamiku

“Yakin ingin mengajaknya tinggal disini.” Suara mungkin pelan tapi ada rasa berat yang teramat berat di dalamnya.

Aku tahu saat ini, laki – laki disebelahku tengah memperhatikanku dengan seksama tapi aku tidak mau menoleh sedikit padanya.

“Yakin.” Jawaban yang sungguh merobek hati dan menusuk jantungku.

“Silakan ini bukan rumahku, silakan bawa siapa saja yang menurutmu berhak untuk tinggal di sini.” Setelah mengatakan itu aku berlalu meninggalkannya yang masih berdiri terpaku dan melihat aku berlalu menuju kamar mandi, azan Isya sudah berkumandang.(bersambung)

***

Doa yang dibaca oleh iman sholat isya sudah lama berlalu, semua makmus sudah pada pulang kerumah masing – masing. Aku masih terpaku ditempatku sholat tadi, aku lelah tapi aku tidak ingin pulang, itu bukan rumahku lagi.

“Bu Cinta di tunggu bapak di rumah.” Lamunanku terganggu oleh suara sopir suamiku yang menyusul ke masjid.

Aku berdiri menuju pintu keluar masjid dan mendekati sopir suamiku

“Bilang bapak, saya pulang kerumah orangtua saya.” Setelah mengatakan itu menuju taxi online yang baru saja aku pesan.

“ Bu, nanti bapak marah.” Ucap sopir suamiku

“Pulang saja, katakana apa yang saya katakan.” Setelah itu aku menaiki taxi dan mengatakan alamat kepada sopir taxi.

***

Rumah masa kecilku, tak berubah hanya aku yang berubah. Aku malu untuk pulang tapi kemana lagi aku harus pulang. Aku melangkah ragu, tapi aku tetap melangkah, masih tergiang diteligaku, ketika Ayah mengatakan silakan menikah tapi Ayah tidak akan memberikan restu.

Mungkin ini hukuman bagiku yang tidak mendapatkan restu dari orangtua untuk menikah, menetes airmataku laju bagaikan tidak bisa direm.

“Assalamualaikum.” Salamku terdengar serak karena aku menahan isak

Langkah mendekati pintu depan rumah, suara Ibu menjawab salamku

“Waalaikumsallam.” Wajah ibu yang terlihat lebih tua dari biasanya membuka pintu untukku.

Aku memeluknya erat, kutumpahkan semua beban serta lelah pada tubuh tuanya. aku terisak dalam pelukan eratnya. Tiada kata – kata hanya bimbingan sayangnya membawaku ke kamar masa kecilku.

“Istirahatlah dulu.” Aku memandang wajah ibuku, menganggukkan kepala dan menuju ranjang masa kecilku. Berbaring dan memejamkan mataku, bagaikan disihir aku tertidur lelap setelah beberapa tahun ini aku tidak pernah tidur lelap.

***

Suara azan subuh membangunkan aku dari tidur lelapku setelah hampir 2 tahun aku tidak bisa melelapkan mataku, bisik – bisik tetangga yang mengatakannya menduakan cintaku. Aku membuka mataku melihat suasana kamar yang memberikan kenangan masa kecilku, jika aku bisa memilih dan meminta kepada-Nya, biarkan aku tetap menjadi putrid kecil Ayah Ibuku. Aku tersenum kecut, jika itu bisa maka tidak akan ada sakit yang bersarang dihatiku saat ini. Ketukan dipintu membuatku cepat beranjak dari ranjang menuju pintu.

“Mau sholat berjamaah bersama.” Wajah ibu yang selalu memberikan kesejukan dan kedamaian aku mengangguk bergegas mengambil wudhu dan menuju tempat dimana kami selalu sholat berjamaah.

***

Aku pamit kepada Ayah dan Ibu untuk kekantor, tidak ada pertanyaan ataupun soalan dari kedua orangtuku. Mereka tidak bertanya, tapi aku tahu banyak yang mau mereka tanyakan padaku. Maafkan anakmu ini Ayah…Ibu.

Memasuki lobi kantor aku melihat dia, suamiku berdiri. Melihat kedatanganku, dia langsung mendekatiku

“Kita perlu bicara Cin.” Suaranya sengaja dipelankan

“Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi.” aku menjeda ucapanku

“Itu bukan rumahku, silakan bawa siapa saja yang mau tinggal di dalamnya.” Setelah mengatakan itu aku berlalu menuju lift. Dia mengikutiku memasuki lift, aku hanya memandang sekilas dan kemudian membuang pandanganku ke arah lain.

“Cinta, aku mohon. Dia tidak ada tempat tinggal selain tinggal dengan kita.” Ucapan suamiku membuaku tertawa tertahan

“Memang kemana rumahnya?”

“Aku sudah menikahinya, tidak mungkin dia tinggal dirumah peninggalan suaminnya.” Aku tidak butuh penjelasan suamiku.

“Tinggal saja, aku tidak keberatan. Tapi Aku akan kembali kerumah orangtuaku.” Ucapanku membuat suamiku mengeram dan menarik tangan  sangking kesalnya.

“Kamu itu apa – apaan, kamu istriku kenapa harus tinggal dengan orangtuamu.”Katanya geram

“Istri, sejak janji sumpah setia kau langgar. Aku bukan lagi istrimu.” Aku sengaja mengingatkan dirinya bahwa dia pernah berjanji hanya aku satu – satunya wanita yang akan menjadi istrinya.

Aku melihat kilatan kesal dimatanya, akhirnya lift terbuka di lantai kantorku. Tapi dengan cepat suamiku menekan tombol tutup dan menekan lantai dasar. Aku melihatnya geram berusaha melepaskan diri tapi tenagaku tidak sebanding dengan kekuatan laki – laki yang bergelar suamiku.

Dengan paksa aku dibawa kemobilnya, kami pergi meninggalkan kantorku. Tapi jalan yang kami tuju bukan rumah. Aku hanya menghembus napas lega karena aku tidak sudi untuk melihat dia, yang kata suamiku adalah maduku.

***

Pantai, ternyata dia masih ingat tempat dimana aku selalu menenangkan diri jika gundah datang mengundang. Aku mengeluh dalam hati, kenapa pantai ini akan menjadi akhir semua cerita kami. Dan sekali lagi kau suamiku telah mengambil satu lagi dariku, pantai. Pantai tidak akan menjadi tempat untukku kunjungi jika merasa gundah dan menenangakan, kau telah mencemarkannya dengan kisah madu pahit dalam rumah tangga kita, Tak aku pungkiri selama kita mengarungi bahtera rumah tangga selalu ada saja godaan yang menerpa tapi aku selalu berpegang teguh pada janji kami tidak akan percaya dengan pihak lain, kecuali pasangan kami yang mengakuinya.

Bukannkah dia, suamiku sudah mengakuinya. Maka pantai ini tidak akan bisa membuatku tenang. Aku hanya tersenyum dengan rasa sakit hati yang mendalam, memandang sekilas padanya kemudian pandangan mataku tertuju ke laut dalam yang menenggelamkanku aku karam di dasar launtnya.

“Cinta, Abang tahu abang salah. Tapi cobalah untuk mengalah sedikit saja.” perkataannya yang membuatku menjadi muak, kenapa aku yang harus mengalah kenapa tidak dia yang mengalah dengan tidak menikah lagi.

“Abang mau keturunan tapi.” Aku menjeda kalimatku untuk menarik napas yang menyesakkan dadaku

“Aku juga mau keturunan, aku sabar kenapa Abang tidak sabar.” Aku berusaha menahan emosiku mengucapkannya.

“Tapi Dia sudah memberikan Aku keturunan Cinta.” Sungguh aku teramat luka dengan ucapannya.

“Hanya keturuanan saja yang dipikirkan, pernahkah berfikir aku lebih sakit dengan perkataan mereka yang diluaran sana.” Jawabku singkat

“Sekarang mereka tidak akan berkata lagi, sekarang kita sudah punya keturunan. Anakku sama saja dengan anak kita Cinta.” Berusaha meraih tanganku, cepat aku menarik tanganku

“Aku tidak butuh anak wanita lain menjadi anakkku, sekarang aku sudah memilikinya.” Aku berkata itu sambil menunjuk perutku yang kini berisi, menetes airmataku. Aku berharap memberi kabar ini dalam kondisi yang tidak seperti sekarang ini.

“Kau hamil Cinta?” seakan tak percaya suamiku bertanya

“Siti hajar menunggu lama tapi dengan keikhlasannya maka hamil juga, mungkin ini buah sabar dan ikhlasku. Tapi ke ikhalsanku harus aku bayar mahal, aku ikhlas kalau aku harus mengasuhnya sendiri,” aku melepaskan semua yang menghimpit dadaku.

Aku melihat wajah didepanku yang bingung, tapi aku sudah bulat dengan keputusanku. Karena aku tidak mau dimadu.

“Jangan hukum aku, Cinta.” Suara memelasmu tidak akan mengubah madu yang kau beri menjadi manis

“Aku tidak menghukum, tapi aku hanya mau iklhas saja.” jawabku sambil berdiri

“Aku ikhlas Abang menikah lagi, jadi ikhlaskan aku untuk menjaga anak kita sendiri.” Aku berusaha tetap menahan emosiku, semua sudah terjadi.

“Aku tidak menginginkan madu yang terasa manis buat Abang tapi sangat pahit buatku, dan aku tidak meminta abang meninggalkannya tapi tinggalkan aku dengan menalakku saja.” setelah mengatakan itu aku berjalan meninggalkan pantai dengan laut yang sudah membuatku karam di dalamnya. Pantai tidak lagi menjadi tempat yang membuatku tenang tapi telah menengelamkanku.***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...