Minggu, 09 Januari 2022

Bonus Terindah

 

Lelahku berpanjangan setelah selesai memasukkan semua nilai, aku hanya menunggu hasil Penilaian Akhir Tahun siswa – siswa yang aku ajar. Aku melihat icon bateri yang terpapas, tinggal lima belas persen. Aku mematikan laptopku dan mengambil chagernya, setelah itu aku mengambil buku tulis yang sudah beberapa bulan ini menemaniku untuk menuliskan ide bagi mempermudah proses belajar mengajar.

Tugas mulia kata orang – orang, aku seorang guru ASN di sebuah SMA Negeri yang terletak di Kabupaten Pemekaran. Mengabdi sudah lebih sepuluh tahun, dengan siswa yang sudah tidak terhitung jumlahnya. Kadang aku tersenyum sendiri jika mengingat pola tingkah mereka, yang namanya anak baru gede alias Abege, mereka memberikan banyak cerita. Ada yang menganggap aku teman, ada juga yang menganggap aku kakak tapi yang lebih ekstrim salah satu siswaku menginginkan aku menjadi bundanya.

“Bu Cahaya, bagaimana tugas anak – anak apakah lengkap?” suara Bu Indah memecah kesunyian yang dari tadi melandaku.

Sudah tidak banyak guru di majelis ini, mereka pada sudah pulang karena memang sudah jam pulang. Aku sengaja memilih menyelesaikan tugasku di sekolah daripada di rumah pasti amukan Umi akan terdengar. Maklum umurku yang sudah tidak muda lagi selalu menjadi amukan Umi karena aku katanya terlalu cinta profesiku mengurus anak orang daripada mengurus kehidupanku sendiri.

“Biasalah Bu, ada yang lengkap ada juga yang tidak.” Ucapku membalas pertanyaan Bu Indah.

“Kapan nikahnya Bu Cahaya, tidak bosan hidup sendiri. Sebentar lagi kiamat jangan di tunda – tunda lagi.” aku hanya tersenyum mendengar ocehan Bu Indah yang selalu mengomentari ke jombloanku.

“Belum di izinkan dengan yang di Atas.” Ucapku datar sambil melempar senyum kecil kepada Bu Indah.

Aku kembali menyibukkan diri dengan mencoret – coret membuat pantun yang akan aku jadikan bahan mengajar guna melestarikan sastra lama yang menjadi kebangaan daerah tempat asalku.

Belum juga siap sebait pantun, aku mendengar notifikasi di Androidku, dengan malas aku mengambil handphoneku dan membuka aplikasinya.

Sudah beberapa hari ini aku selalu mendapat terror dari orang tua salah satu siswaku, entah apa yang diinginkannya.

“Assalamualaikum Bu Cahaya, apakah hari ini ada pelajaran tambahan?” keningku berkerut membaca chat darinya.

Ilham  namanya, seorang duda beranak dua, salah satu anakknya adalah siswiku yang cerewetnya lumayan banyak. Bisa sakit jantung serta pusing tujuh keliling jika lagi kumat bawelnya tapi pada dasarnaya anak ini hanya kurang kasih sayang, mungkin karena di rawat Ayah yang membuatnya cerewet luar biasa.

Flashback

Bunyi notifikasi memecah kosentrasiku, aku melirik gawaiku. Sudah jam sepuluh malam tidak mungkin mereka mengantar tugas yang aku berikan. Keningku berkerut, jari lentikku membuka sistem gawai melihat aplikasi whatsappku, tak percaya tapi nyata siswiku yang bernama Lia mengchatku.

“Assalamualaikum Bunda, Lia tidak bisa tidur. Boleh telepon?” lama aku memandang chat dari Lia

“Sudah malam, besok saja jumpa disekolah.” Balasku kepada Lia

“Bunda kejam, Lia lagi bĂȘte.” Tulisnya dengan menambahkan emoticon menangis yang membuatku tersenyum sendiri melihatnya

“Bicara dengan Ayah saja, ungkapkan apa yang menganjal di hati Lia.” Tulisku lagi

“Sudah, tapi Ayah malah marah besar, Lia telephone ya Bunda, please.” Tulis Lia lagi

Seketika aku di kejutkan dengan bunyi handphone, aku melihat layar handphone ku, benar – benar anak satu ini, baru saja aku mengirim kata OK langsung ditelepon.

“Bunda, Ayah jahat.” Suar tangisnya di seberang sana membuat aku menjadi pilu

“Ada apa Lia.” Ucapku

“Ayah tidak mau mengabulkan permintaan Lia, bunda.” Rengetnya lagi.

“Memangnya Lia minta apa sama Ayah?” tanyaku kepada Lia sambil mematikan laptopku.

“Lia meminta Ayah untuk menikah lagi.” Ucapnya tanpa dosa

“Memangnya Ayah sudah punya calon?” tanyaku penasaran

“Belum, bunda tapi Lia punya calon untuk Ayah.” Aku mengelengkan kepala mendengar ucapan Lia.

“Siapa?” tanyaku penasaran

“Bunda. Mau ya bunda jadi Ibu Lia.” Ucapan Lia sontak membuatku terkejut

“Lia.” Spontan aku menyebut namanya dengan nada tinggi

Aku mendengar suara tangis di seberang telephoneku,

“Bunda sama saja dengan Ayah, jahat.” Setelah mengatakan itu sambungan telephone langsung terputus.

Aku coba menelephone Lia, ada rasa cemas jangan sampai anak itu berbuat nekat, batinku. Sudah lebih dari sepuluh kali aku mencoba menghubungi Lia tapi tidak diangkat, akhirnya aku memberanikan diri menelepon Ayahnya Lia.

Nada sambung ke dua, telephoneku diangkat Ayah Lia

“Assalamualaikum, maaf menganggu Pak Ilham malam – malam.” Ucapku sambil menunggu jawabanan.

“Walaikumsallam Bu Cahaya, ada apa ya menelepon malam – malam.”

“Maaf Pak Ilham, barusan saya bertelephonean bersama anak bapak. Tiba – tiba di matikan, saya cemas. Saya sudah berusaha menelephone lagi tapi tidak diangkat. Apakah Bapak boleh melihat anak Bapak.” Ucapku berhati – hati.

 “Sebenarnya ada apa Bu, kenapa ibu terdengar cemas.” Bukannya langsung melihat keadaan anaknya Pak Ilham malah bertanya kepadaku membuat kesal

“Tolong Pak lihat keadaan anak Bapak dulu.” Perintahku kesal

Aku mendengar suara langkah, pasti Pak Ilham menuju kamar anak gadisnya. Tak lama aku menndengar suara ketukan pintu sambil memanggil nama anaknya. Untung saja Pak Ilham tidak mematikan panggilan kami, sehingga aku bisa mendengarkan apa yang dilakukan Pak Ilham. Sudah lebih dari tiga kali Pak Ilham memanggil nama anaknya diberengi dengan ketukan pintu.

Aku berdoa semoga tidak terjadi apa – apa yang membuat aku akan merasa menyesal akhirnya.

Pintu pintu di buka, Alhamdulillah akhirnya pintu dibuka batinku.

“Lia kenapa menangis.” Suara cemas Pak Ilham terdengar olehku.

“Ayah mau apa.” suara Lia terdengar

“Ibu gurumu menelopon, ada apa sebenarnya Lia.” Suara Pak Ilham terdengar

“Bu Cahaya tidak mau menjadi Ibu Lia, Ayah Bu Cahaya jahat.” Kemudian aku mendengar pintu kamar yang di tutup dengan kuat.

Aku benar – benar malu mendengar percakapan mereka, akhirnya aku mematikan telephone secara pihak. Aku memicit pelipisku yang tiba – tiba terasa berat, apa lagi. jangan bilang cobaan menjadi guru termasuk juga cobaan dengan statusku yang masih melajang saat ini.

***

Azan subuh berkumandang dengan kepala berat aku memaksakan diri untuk bangun. Sambil mengambil wudhu aku berdoa semoga semalam hanya mimpi semata tapi bukan kenyataan. Setelah siap aku melangkahkan kaki meninggalkan rumah kontrakkan yang sudah menjadi huniaku. Pisah dari keluarga juga pemicunya karena aku belum mendapatkan pasang hidup sehingga aku menjadi jengah jika ditanya soal jodoh oleh Ayah dan Ibuku.

Langkahku terhenti, di depan gerbang sekolah, aku melihat Pak Ilham berdiri disitu, tapi aku tidak melihat keberadaa Lia anaknya, akhirnya dengan napas berat aku melangkah menuju gerbang. Memjawab salam ketika Pak Ilham terlebih dahulu memberikan salam.

“Boleh kita bicara sebentar Bu Cahaya.” Ucap Pak Ilham sopan

“Boleh, kita bicara di ruang BP saja Pak, saya Absen dulu. Saya rasa Bapak sudah tahu dimana ruangan BP kan PaK.” Ucapku dengan berat.

Senyum Pak Ilham mengiringi kami, aku menuju ruang kantor TU untuk print finger, untung hari ini aku tidak ada jam mengajar pagi, ku ayun langkahku ke ruang BP. Aku melihat Pak Ilham berdiri di depan pintu ruang BP.

“Pagi bu Ana.” Ucapku kepada pemiliki ruang BP yang tidak seiman denganku.

“Pagi juga Bu Cahaya, eh ada tamu. Ada yang perlu di konseling Ya bu Cahaya. Tapi saya tidak bisa lama, karena sudah janji dengan Bu Rita untuk home visit.” Aku tersenyum mendengar ucapan Bu Ana.

“Boleh saya pinjam ruangnya Bu, perkenalkan ini Pak Ilham salah satu orang tua siswa.” Ucapku meminta izin kepada Bu Ana.

“Silakan Bu Cahaya, mari masuk Pak. Anggap seperti rumah sendiri.” Aku tersenyum mendengar ucapan Bu Ana, Bu Ana memang terkenal dengan keramah tamahannya, biasalah guru PB. Setelah membiarkan kami duduk di sofa yang sudah tersedia, aku sungguh mati tidak bisa melihat wajah Pak Ilham, hening tidak ada percakapan di antara kami, sampai kami mendengar suara Bu Ana

“Saya pamit, mau home visit ya Bu Cahaya, mari Pak.” Ucap Bu Ana membuat kami langung memandang ke arah suara, tersenyum sekilas mengantar kepergian Bu Ana.

“Maaf Bu Cahaya, mungkin permintaan Lia membuat Bu Cahaya merasa tidak nyaman. Sebenarnya sudah dua bulan ini Lia meminta saya untuk memberikannya Ibu. Saya tidak menganggapnya serius, hanya menganggap ini sebagai kenakalan remaja, Saya tidak terpikir kalau Lia sampai berani menyampaikan permintaannya kepada Ibu.” Aku hanya mendengarkan perkataan Pak Ilham tanpa berani memandang wajahnya.

“Sekali lagi maaf Bu Cahaya.” Ada ketulusan dalam kata Pak Ilham yang membuatku mengangkat kepala dan memadang Pak Ilham.

Pandangan kami bertemu, aku memberikan senyumku. Menarik napas dalam sebelum mengeluarkan suaraku.

“Memang susah mengurus anak yang baru gede Pak, saya maklum. Mungkin ini hanya keinginan sesaatnya Lia saja.” Ucapku sedatar mungkin, padahal aku menahan kegugupanku saat ini.

“Secepatnya saya akan mencari sekolah baru untuk Lia.” Ucapan Pak Ilham membuatku terkejut.

“Apakah harus sampai pindah sekolah Pak, apalagi sebentar lagi ujian kenaikan kelas. Hanya tinggal setahun saja lagi, sungguh saya tidak apa – apa.” Ucapku panik.

“Apakah ibu tidak terganggu dengan permintaan Lia, sebenarnya saya sudah membawa beberapa teman wanita bahkan saya sempat untuk menikahi adik ipar saya, entah apa istilahanya saya lupa,  dan dipertemukan  kepada Lia, tapi Lia tidak pernah merasa cocok dengan mereka. Setahun yang lalu ketika masuk ke SMA ini, Lia selalu bercerita kepada Saya tentang Bu Cahaya. Mulanya saya menganggap ini hanya sementara karena berada di lingkungan baru tapi akhir – akhir ini Lia mendesak saya untuk menikah lagi, dan yang anehnya harus menikah dengan Bu Cahaya.” Jantungku berdegup kencang aku bagaikan duduk di atas bara membuatku kepanasan yang berkeringat.

“Saya berusaha menjadi Ayah yang bagi anak – anak saya, jika Bu Cahaya mengizinkan biarkan saya mengenal Bu Cahaya.” Deg jantungku bagaikan berhenti mendengarnya.

“Maaf Bu Cahaya hari ini, mohon izin untuk ketidak hadiran Lia. Saya permisi.” Aku memandang kepergian Pak Ilham dengan perasaan tidak menentu.

***

Aku membaringkan tubuhku, ada beban yang berat di pundakku. Selama mengajar tidak pernah aku dibebankan dengan beban seberat ini. Untung saja hari ini aku hanya mengajar dua kelas, dengan susah payah aku berkosentrasi mengajar, aku tidak mau masalah kedatangan Pak Ilham Ayahnya Lia membuatku terganggu.

Aku jadi rindu rumah, seandainya aku dengan dengan Ibu pasti aku bisa mengadukan semuanya. Aku tersenyum sendiri mengingat bagaimana Ibu selalu menanyakan kapan aku akan menikah. Pasti Ibu akan senang jika mendengar ada yang ingin mengenalku.

Lelah pikiran dan badan membuatku memejamkan mata setelah menyeselaikan kewajiban sholat isya.

Entah karena terlalu cepat tidur, atau apa akhirnya aku terbangun di sepertiga malam. Kesempatan ini tidak aku lepaskan, bergegas aku mengambil wudhu dan meminta petunjuk kepadanya.

***

Pagi ini dengan semangat aku mengendari motor maticku menuju sekolah, memakirkannya di parkir guru berjalan menuju gedung, berpas – pasan dengan beberapa siswa menjawab salam mereka.

“Bu Cahaya.” Tanpa melihat orangnya aku sudah bisa menebak siapa yang memanggilku.

Dengan napas yang ngos – ngosan Lia mengamit tanganku

“Assaslamualaikum Bunda sayang.” Suara renyahnya terdengar seiring tangannya melingkari tanganku.

“Walaikumsallam anak cantik.” Ucapku sambil tersenyum melihat tingkah Lia yang manja

“Terima kasih Bunda, semoga Bunda berjodoh dengan Ayah.” Ucapan Lia spontan membuka wajahku bersemu, ada rasa panas dikedua pipiku.

“Lia jangan macam – macam ini sekolah, yang sopan sedikit.” Aku mengingatkan Lia

“Maaf Bunda, Lia akan menjaga rahasia kita.” Setelah mengatakan itu Lia berlari menuju kelasnya sementara aku menuju majelis guru.

***

Dret dret dret panggilan masuk dari Bang Ilham

“Assalamualaikum, sebentar lagi sampai Abang .” Senyum terkulumku mendengar suara Bang Ilham di seberang sana.

“Iya.” Jawabku sambil menganggukkan kepala walaupun aku tahu Bang Ilham tidak melihat aku menganggukkan kepalaku.

“Ayah yang menelephone Bunda.” Suara cempreng Lia di sampingku.

“Itu mobil Ayah Bun,” kali lagi suara cempreng Nia yang terdengar, Kami, aku Lia dan Nia akan kedua Bang Ilham mengarahkan pandangan mata kami ke arah yang ditunjukkan Nia.

Setelah memakirkan mobil, Bang Ilham menuju tempat aku dan Lia duduk, saat ini kami sedang duduk di tempat bersantai yang berada di kotaku.

“Maaf Ayah telat sedikit, ini titipan dari putri – putri kecil Ayah, ini buat Bunda tersayang.” Kami mengambil kantong yang di sodorkan Bang Ilham kepada Kami.

“Untung ada Bunda, Bun jika Ayah lebih mementingkan kerja sebaiknya kita tinggalkan saja Ayah.” Aku tersenyum kecut mendengar penuturan Lia

“Jangan Kak, kasihan Ayah jika kita tinggalkan. Nanti Ayah sama siapa?” ucap si Nia kecil

Aku memandang wajah Bang Ilham yang terlihat kesal dengan kedua putrid kami.

“Mentang – mentang sudah punya Bunda, Ayah tidak di sayang lagi.” ucap Bang Ilham merajuk.

Kami serempak tertawa, aku memandang wajah Bang Ilham, Lia dan Nia bergantian. Ada rasa syukur yang tak terhingga, sambil mengusap perutku yang sudah membuncit. Tak pernah aku bayangkan jika bonus hari guru tahun ini, adalah keluarga kecil hangat dari Illahi. Sudah hampir setahun sejak Bang Ilham mengucapkan ijal qabul atas namaku.***

 

 

 

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...