Sabtu, 29 Januari 2022

Cinta Sahabatku (4)

 

“Dewi.” Ucap Bunda dengan suara lemahnya

Aku mendekat dan meletakkan kepalaku pada badan Bunda setelah aku duduk di kasur Bunda. “Maafkan Dewi Bunda.” Ucapku dengan segenap hati, ada rasa sesal yang mendalam ketika melihat kondisi Bunda saat ini.

“Wi, ceritakan kepada Bunda, apa yang terjadi antara Dewi dan Ihsan.” Manik mata Bunda meminta kejujuran dariku.

Remasan di pundakku, membuat aku menoleh kepada Ihsan yang sekarang berdiri di dekatku.

“Hanya salah faham Bunda.” Ucap Ihsan cepat sebelum aku sempat mengeluarkan suara dari mulutku.

Sekarang  tangan Ihsan sudah meraih tanganku, seakan memberi isyarat untuk aku tidak mengatakan apa – apa dulu kepada Bunda.

Seakan kami memiliki chemstri sehingga aku hanya diam dan terus memandangi Bunda yang juga memandangi aku.

“Bunda tidur lagi, Ihsan dan Dewi akan menjaga Bunda.” Bagaikan anak kecil Bunda menuruti kalimat yang keluar dari mulut Ihsan dan terlelap tanpa menunggu waktu lagi.

Setelah Bunda terlelap, Ihsan mengiringku untuk menjauhi tempat tidur Bunda dan duduk di sofa yang tersedia di ruang rawat inap Bunda.

“Wi, aku minta maaf, aku terlalu gegabah mengatakan tidak ada cinta di antara kita. Ternyata kehilangan kamu selama dua minggu ini, menyadarkan aku bahwa tidak ada persahabat antara lelaki dan perempuan. Aku takut kehilangan dirimu, aku bagaikan gila mencarimu kemana – mana sampai aku melupakan diriku sendiri.” Hanya dalam satu kali napas Ihsan mencurahkan segala yang ada di hatinya.

Aku memperhatikan penampilan Ihsan, rambutnya sedikit panjang dari biasa, ada bulu halus yang menghiasai atas bibirnya dan dagu belahnya. Mata seperti mata panda, membuatku tersenyum melihat penampilan Ihsan di depanku saat ini.

“Tertawalah sepuasnya Wi, aku memang pantas untuk di ketawakan, egoku terlalu tinggi sehingga melukai hati yang selama ini selalu menemani aku dalam suka dan duka.

Aku terkejut ketika dengan tiba – tiba Ihsan meraih wajahku dan mendaratkan ciuman di pucuk kepala dan mencuri ciuman pertamaku yang membuat muka panas, seperti terbakar.

Aku melepaskan tangkupan tangan Ihsan di wajahku, membawa wajahku jauh dari wajah Ihsan yang saat ini tepat berada di mukaku, netra Ihsan menelisik seluruh wajahku seperti takut aku akan menghilang dibawa angin dan hilang dari hadapanya.

Aku mengeser dudukku menjauhi Ihsan, aku belum sanggup berdekatan dengan Ihsan saat ini.

“Maaf.”

“Jangan meminta maaf, aku yang bersalah. Tolong maafkan Aku  Wi, tolong jangan bilang sesuatu yang membuat kita menyelesali semuanya nanti.” Belum juga menghabisi kalimatku Ihsan sudan memotongnya dengan kembali meraih wajahku dan sekali lagi ciumannya mendarat sempurna dipucuk kepalaku, kali ini secepat kita aku menutup wajahku tidak akan aku biarkan Ihan mencuri cium bibirku lagi.

“Wi.” Suara bunda membuat Ihsan menurunkan tangannya dari wajahku.

Aku mendesah lega, untuk Bunda terbangun, tanpa izin Ihsan aku melangkah mendekati Bunda, sekarang aku meraih kursi dan mendekatkannya dengan tempat tidur bunda. Aku duduk di kursi dengan menghadap Bunda, memegang tangan lemahnya, sesekali aku mencium tangan Bunda  sambil menatap Bunda dengan wajah bersalah.

Aku bisa merasakan Ihsan mendekat dan berdiri di belakangku, tangannya dengan berani diletakkan kiri dan kanan bahuku.

“Bunda Maafkan Ihsan yang belum bisa menjadi suami yang baik buat Dewi sehingga Dewi pergi, tapi Ihsan janji ini tidak akan terulang lagi.” ada sumpah yang terucap dari kata – kata Ihsan yang langsung disambut Ibu dengan senyum manis di bibir tuanya.

Tanpa malu Ihsan mencium kepalaku, membuatku merasa jengah, berusaha melepaskan bahu dari tangan Ihsan tapi sepertinya Ihsan tidak membiarkan aku melepaskan tangannya dari bahuku.

“Bunda berharap rumah tangga kalian baik – baik saja.” setelah mengatakan itu Bunda kembali menutup matanya, terlelap dalam dunia mimpinya dengan senyum tersungging di bibir tuanya.

“Maafkan suamimu yang telah menoreh luka pada malam pertama kita.” Bisik Ihsan di teligaku membuatku bergidik.

Suami, Ihsan mengakui aku sebagai istrinya, batinku ingin tertawa tapi aku tetap menahanya mungkin ini yang namanya dari sahabat menjadi suami. Ternyata sahabat antara wanita dan pria akan berakhir dipelaminan, seperti diriku dan Ihsan.***

 

 

 

     

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...