Jumat, 28 Januari 2022

Cinta Sahabatku (3)

 


Bahagia menyelimuti dari pagi sampai ke bel terakhir sekolah tanda sudah usai waktu belajar untuk semua siswa – siswiku, mereka menjadi pelibur lara atas dukaku saat ini.

“Bu Dewi.” Sapaan Bu Nita memecah lamunanku, senyumku memudar aku tahu Bu Nita pasti meminta penjelasan padaku kenapa menghindar dari Ihsan suamiku.

“Maaf Bu Nita, kami akan berpisah, hanya itu yang bisa saya katakana saat ini Bu.” Ucapku lirih

Untung saja bu Nita tidak menuntu lebih penjelasan dariku.

“Semoga masih ada solusinya, sayang masak baru menikah sudah mau berpisah. Ya udah saya pulang dulu sudah dijemput suami.” Ucapan Bu Nita mengoyak habis hatiku yang terluka, walaupun aku tahu bukan itu maksud Bu Nita.

Seperti tadi pagi, langkahku terhenti sebelum mencapai gapura sekolah, hanya saja sekarang aku terkurung di sekolah. jika aku berada di luar pagar mungkin aku bisa menghindar, tapi saat ini aku yang tertinggal disekolah selain penjaga sekolah yang dari tadi sudah menunggu aku pulang untuk menutup sekolah yang menjadi tugasnya sehari – hari.

Aku membutakan netraku terus melangkah menganggap Ihsan tidak ada saja.

“Dewi kita perlu bicara.” Aku terus melangkah tidak menghiraukan suara di teligaku, anggap saja halimun, dongkolku di dada.

Langkahku bertambah laju, langkahku terhenti ketika aku merasakan syar’iku ada yang menarik sehingga kepala mendongak karenanya.

“Mau membunuhku, tidak cukup dengan menyiksaku saja.” teriakku histeris, membalikkan badan dan menatap Ihsan dengan mata membara

Pelan tapi pasti Ihsan meraih tanganku, aku berusaha menghindar tapi tenagaku kalah kuat dengan Ihsan.

“Kita harus bicara, Bunda masuk rumah sakit.” Ucapan Ihsan seketika membuat dadaku berhenti, sesak, apa yang aku lakukan, Bunda maaf, hanya itu yang biasa aku teriakkan saat ini di dada.

Melihatku seperti ini, Ihsan membawaku ke mobilnya.

“Mana motormu Wi.” Ucap Ihsan setelah kami duduk di dalam mobilnya

“Aku jual.” Ucapku lirih sambil merenungi keadaan Bunda.

Bunda pasti tertekan karena aku,  aku tidak memberi kabar selama dua minggu ini, aku merutuki diriku sendiri, seorang guru yang selalu mengajarkan kepada siswanya untuk selalu berani menghadapi masalah, dan akhirnya aku malah lari dari masalahku sendiri.

Mobil Ihsan sudah terparkir sempurna di halaman rumah sakit, aku membuka pintu mobil dan melangkah tepatnya bukan melangkah tapi berlari ingin mendapatkan Bunda. Setelah masuk ke dalam lift lantai rumah sakit, baru aku tersadar belum menanyakan Bunda di kamar berapa.

Menekan tombol untuk membuka pintu, karena tadi aku sudah masuk ke dalam lift. Melangkah keluar menunggu Ihsan, kenapa lama sekali apakah Bundaku tidak penting untuknya sehingga jalanya seperti semut saja, batinku.

Aku memandang geram ke arah Ihsan, akhirnya sampai juga manusai satu ini, batinku dengan tetap memasang muka permusuhan kepada Ihsan.

“Bunda di kamar berapa?” ucapku lantang.

Bukannya menjawab, Ihsan meraih tanganku, menarik aku masuk lift yang ternyata sudah terbuka dibelakang aku berdiri. Aku melepas pegangan tangan Ihsan dengan kasar, membuang muka, ada amarah yang memarah yang tidak bisa aku salurkan. Jika bisa aku memukulnya akan aku pukul sampai Ihsan bisa merasakan sakit yang teramat sangat di hatiku saat melihatnya sekarang.

Aku masih menahan kesal, mengikuti langkah Ihsan yang sepertinya disengaja untuk berlambat – lambat, tapi aku terpaksa mengikutinya, tidak ada jawaban ketika aku bertanya Bunda di rawat dilantai berapa dan ruang berapa.

Akhirnya aku bisa bernapas lega, ketika Ihsan masuk pada kamar melati 2, setelah membuka pintu kamar, aku menerobos masuk tanpa permisi sehingga Ihsan tergeser kesamping dan membentu pintu, tapi aku tidak peduli.

Bunda terbaring dengan mata terpejam, napasnya teratur, berarti Bunda sudah melewati masa kritisnya. Aku mendekati Bunda, tidak berani untuk memegangnya takut Bunda terjaga dari tidur lelapnya, setetes demi setetes airmata  ini jatuh, sekuat tenaga aku menahan isak jangan sampai menganggu Bunda yang masih terlelap.

Pelukan di bahuku, membuat aku terkejut sehingga mengeluarkan suara yang membuat Bunda membuka mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...