Dari siang sampai ke malam ini, suara cempreng bunda mengomeli diriku. Ihsan sesekali menimpali dengan mengatakan aku tidak bersalah, hanya ada kesalah pahaman antara kami.
Netraku menatap tajam Ihsan, piciknya
dirimu Ihsan, batinku. Kau tidak menginginkan pernikahan ini tapi
mempertahankannya, entah demi apa kau melakukannya.
Aku bagaikan pidana yang terhukum dengan pembela Ihsan yang sebenarnya menginginkanku dinyatakan bersalah, ada sesak yang semakin membuatku semakin membencinya melebihi rasa cintaku padanya dulu.
“Sana masuk kamar, minta maaf sama
Ihsan, baru menikah sudah buat masalah.” Emosi bunda seakan tidak reda setelah
membuat hatiku hancur dengan menimpakan semua kesalahan kepadaku.
Lelah, batinku meratap. Aku
menghempaskan tubuh yang sejak sore mendengarkan amukan Bunda karena
menyepelekan Ihsan, siapa yang menyepelekan Ihsan bukannya Ihsan yang
menyepelekanku.
Clek pintu kamar terbuka, Ihsan masuk
dengan santai tanpa rasa bersalah.
“Puas kamu buat Bunda kecewa, Wi aku
harus mencari akal untuk menutupi tingkahmu yang kekanak – kanakanan, memujuk
Bunda untuk tenang. Bunda menangis karena kamu, untung saja bunda mau
mendengarkan alasanku, kalau tidak aku tidak tahu apa yang terjadi dengan
Bunda.” Ihsan berkata seolah – olah aku yang paling bersalah, tanpa melihat
siapa yang sebenarnya membuat salah.
“Aku tidak mau munafik seperti dirimu
San, kau mau kita berpura – pura padahal kau tahu Aku paling tidak suka kepura
– puraan.” Intonasiku meninggi sangking kesalnya.
“Pelankan suaramu Wi, tidak bisakah kita
seperti waktu bersahabat saling memahami dan saling berbagi.” Netraku membuat
mendengar perkataan Ihsan yang masih saja tidak mau mengalah dan mau seenaknya
saja.
“Besok aku akan ikut Nenek pulang
kampung.” Ucapku tegas, mengambil selimut dan menutupi semua tubuhkan dan
berharap mimpi menjemputku segera.
Aku merasakan pergerakan di ranjang,
pasti Ihsan menyusul menjemput mimpinya. Terdengar dengkuran halus Ihsan, aku
membuka selimut yang menutup tubuhku, menurunkan kakiku dengan langkah pelan.
Aku menuju lemari meraih tas di atasnya, mengambil beberapa pakaian dan
memasukkannya, tidak ada yang tertinggal, aku harus pergi, aku tidak mau
bermain permainan yang diinginkan Ihsan.
Menunggu semua orang terlelap, sejak
sore tadi semua keluarga yang berkumpul pulang setelah tragedy aku meninggalkan
rumah dengan menangis serta suara lantang mengatakan ingin bercerai.
Sepi, langkahku perlahan menuju pintu
samping. Mengeluarkan motor meticku mendorongya pelan menjauh dari halaman
rumah, sudah jauh baru aku menstaternya, berjalan di jalan raya yang masih
ramai menuju salah satu hotel untuk menginap malam ini.
***
Lelah tapi aku sudah terbiasa bangun di
awal pagi, mengambil wudhu dan mempasrahkan diriku serta nasib pernikahan yang
tidak diinginkan Ihsan, lama aku berdoa sampai azan subuh terdengar, masih
meratap kepadanya setelah sholat subuhku terlaksana. Karena khusuknya aku
tertidur dengan nyaman diatas sejadah dengan selimut mukena yang masih aku
kenakan.
Lapar menjemput membuatku terbangun,
mengira – ngira jam berapa sekarang ini tapi kepalaku terasa berat, aku meraih
air mineral yang sempatku beli sebelum chek – in tadi malam.
Mengumpulkan nyawa yang masih melayang –
layang setelah terkumpul aku melangkah menuju kamar mandi dan membersihkan
diri.
Sambil menunggu pesanan makananku datang
aku melihat ada ribuan panggilam masuk dari Ihsan dan Bunda, ada juga chat tapi
aku malas untuk membukannya.
Aku mencari informasi kos – kosan yang
bisa menampungku untuk hidup selanjutnya, aku bukan perempuan lemah yang tidak
bisa hidup mandiri. Setelah cuti menikah aku akan bekerja, aku akan menerima
tawaran dari kantor untuk pindah tempat tugas, aku mau menenangkan diri jauh dari
rumah, bunda yang terpenting jauh dari Ihsan tentunya.
***
Cuti menikahku besok berakhir, sudah dua
minggu aku meninggalkan rumah. Aku mengabaikan semua panggilan serta pesan
masuk dari Ihsan dan Bunda. Malam sudah mengapai mimpi, aku harus bisa tidur
nyenyak untuk mulai hari besok yang menjanjikan bahagia buat diri yang saat ini
berduka.
Membuka mata membaca doa bangun tidur,
terus melangkah menuju kamar mandi untuk berwudhu menjemput pagi dengan sholat
hajatnya sambil menunggu subuh dan berbenah untuk pergi menjemput rezeki pagi
ini setelah dua minggu libur.
***
Motor metic teman setia, mengantarkanku
ke sekolah tempat aku berbakti, sekolah ini juga yang membuat kami dekat
sebagai sahabat sebelum dia mengucapkan ijab Kabul atas namaku. Ya, dia Ihsan
bukan lulus keguruan hanya membantu di sekolah tempat aku mengabdi setelah
lulus mengikuti ASN dia masih tetap menjadi sahabatku karena kami masih
dipertemukan kegiatan Adiwiyata dimana sekolahku mengikutinya dan Ihsan
bertugas di dinas yang menangani masalah Adiwiyata.
Langkahku percepat, sudah rindu dengan
semua yang berbau sekolah dan siswa – siswi, harapanku mereka bisa menjadi
pengobat luka yang terus berdarah.
“Pagi Ibu sayang.” Koor beberapa siswa –
siswi yang kebetulan berpas – pasan denganku.
Panggilan sayang kepadaku bukan tanpa
sebab, karena aku yang selalu mengatakan sayang kepada mereka ketika mengajar
ataupun berjumpa diluar kelas, tapi aku yakin mereka tahu maksud kata sayang
yang aku ucapkan kepada mereka, karena bukan karena rasa yang berbeda tentunya.
Langkahku terhenti, ada sosok yang saat
ini sangat tidak ingin aku lihat. jika aku berbalik arah berarti aku akan
bolos, izin apa lagi yang aku minta dari kepsek sedangkan hari ini aku baru
saja masuk. Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu sampai Ihsan berlalu tidak
mungkin dia akan berlama menungguku di depan gerbang sekolah.
Tinggal lima menit lagi bel tanda masuk
sekolah, pasti guru piket sebentar lagi menutup pintu untuk mencegah mereka
yang datang terlambat masuk, disiplin harus ditegakkan. Ihsan masih berdiri
situ bagaikan tuga gajah mada saja. akhirnya aku mengirim pesan pada salah satu
guru piket untuk mengusir Ihsan, tentu banyak tanya, dan akhirnya aku berjanji
akan cerita masalahku dengan Ihsan jika Bu Nita bisa membuat Ihsan pergi
meninggalkan gapura sekolah.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar