Selasa, 25 Januari 2022

Cinta Sahabatku (2)

 

Dari siang sampai ke malam ini, suara cempreng bunda mengomeli diriku. Ihsan sesekali menimpali dengan mengatakan aku tidak bersalah, hanya ada kesalah pahaman antara kami.

Netraku menatap tajam Ihsan, piciknya dirimu Ihsan, batinku. Kau tidak menginginkan pernikahan ini tapi mempertahankannya, entah demi apa kau melakukannya.

Aku bagaikan pidana yang terhukum dengan pembela Ihsan yang sebenarnya menginginkanku dinyatakan bersalah, ada sesak yang semakin membuatku semakin membencinya melebihi rasa cintaku padanya dulu.

“Sana masuk kamar, minta maaf sama Ihsan, baru menikah sudah buat masalah.” Emosi bunda seakan tidak reda setelah membuat hatiku hancur dengan menimpakan semua kesalahan kepadaku.

Lelah, batinku meratap. Aku menghempaskan tubuh yang sejak sore mendengarkan amukan Bunda karena menyepelekan Ihsan, siapa yang menyepelekan Ihsan bukannya Ihsan yang menyepelekanku.

Clek pintu kamar terbuka, Ihsan masuk dengan santai tanpa rasa bersalah.

“Puas kamu buat Bunda kecewa, Wi aku harus mencari akal untuk menutupi tingkahmu yang kekanak – kanakanan, memujuk Bunda untuk tenang. Bunda menangis karena kamu, untung saja bunda mau mendengarkan alasanku, kalau tidak aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Bunda.” Ihsan berkata seolah – olah aku yang paling bersalah, tanpa melihat siapa yang sebenarnya membuat salah.

“Aku tidak mau munafik seperti dirimu San, kau mau kita berpura – pura padahal kau tahu Aku paling tidak suka kepura – puraan.” Intonasiku meninggi sangking kesalnya.

“Pelankan suaramu Wi, tidak bisakah kita seperti waktu bersahabat saling memahami dan saling berbagi.” Netraku membuat mendengar perkataan Ihsan yang masih saja tidak mau mengalah dan mau seenaknya saja.

“Besok aku akan ikut Nenek pulang kampung.” Ucapku tegas, mengambil selimut dan menutupi semua tubuhkan dan berharap mimpi menjemputku segera.

Aku merasakan pergerakan di ranjang, pasti Ihsan menyusul menjemput mimpinya. Terdengar dengkuran halus Ihsan, aku membuka selimut yang menutup tubuhku, menurunkan kakiku dengan langkah pelan. Aku menuju lemari meraih tas di atasnya, mengambil beberapa pakaian dan memasukkannya, tidak ada yang tertinggal, aku harus pergi, aku tidak mau bermain permainan yang diinginkan Ihsan.

Menunggu semua orang terlelap, sejak sore tadi semua keluarga yang berkumpul pulang setelah tragedy aku meninggalkan rumah dengan menangis serta suara lantang mengatakan ingin bercerai.

Sepi, langkahku perlahan menuju pintu samping. Mengeluarkan motor meticku mendorongya pelan menjauh dari halaman rumah, sudah jauh baru aku menstaternya, berjalan di jalan raya yang masih ramai menuju salah satu hotel untuk menginap malam ini.

***

Lelah tapi aku sudah terbiasa bangun di awal pagi, mengambil wudhu dan mempasrahkan diriku serta nasib pernikahan yang tidak diinginkan Ihsan, lama aku berdoa sampai azan subuh terdengar, masih meratap kepadanya setelah sholat subuhku terlaksana. Karena khusuknya aku tertidur dengan nyaman diatas sejadah dengan selimut mukena yang masih aku kenakan.

Lapar menjemput membuatku terbangun, mengira – ngira jam berapa sekarang ini tapi kepalaku terasa berat, aku meraih air mineral yang sempatku beli sebelum chek – in  tadi malam.

Mengumpulkan nyawa yang masih melayang – layang setelah terkumpul aku melangkah menuju kamar mandi dan membersihkan diri.

Sambil menunggu pesanan makananku datang aku melihat ada ribuan panggilam masuk dari Ihsan dan Bunda, ada juga chat tapi aku malas untuk membukannya.

Aku mencari informasi kos – kosan yang bisa menampungku untuk hidup selanjutnya, aku bukan perempuan lemah yang tidak bisa hidup mandiri. Setelah cuti menikah aku akan bekerja, aku akan menerima tawaran dari kantor untuk pindah tempat tugas, aku mau menenangkan diri jauh dari rumah, bunda yang terpenting jauh dari Ihsan tentunya.

***

Cuti menikahku besok berakhir, sudah dua minggu aku meninggalkan rumah. Aku mengabaikan semua panggilan serta pesan masuk dari Ihsan dan Bunda. Malam sudah mengapai mimpi, aku harus bisa tidur nyenyak untuk mulai hari besok yang menjanjikan bahagia buat diri yang saat ini berduka.

Membuka mata membaca doa bangun tidur, terus melangkah menuju kamar mandi untuk berwudhu menjemput pagi dengan sholat hajatnya sambil menunggu subuh dan berbenah untuk pergi menjemput rezeki pagi ini setelah dua minggu libur.

***

Motor metic teman setia, mengantarkanku ke sekolah tempat aku berbakti, sekolah ini juga yang membuat kami dekat sebagai sahabat sebelum dia mengucapkan ijab Kabul atas namaku. Ya, dia Ihsan bukan lulus keguruan hanya membantu di sekolah tempat aku mengabdi setelah lulus mengikuti ASN dia masih tetap menjadi sahabatku karena kami masih dipertemukan kegiatan Adiwiyata dimana sekolahku mengikutinya dan Ihsan bertugas di dinas yang menangani masalah Adiwiyata.

Langkahku percepat, sudah rindu dengan semua yang berbau sekolah dan siswa – siswi, harapanku mereka bisa menjadi pengobat luka yang terus berdarah.

“Pagi Ibu sayang.” Koor beberapa siswa – siswi yang kebetulan berpas – pasan denganku.

Panggilan sayang kepadaku bukan tanpa sebab, karena aku yang selalu mengatakan sayang kepada mereka ketika mengajar ataupun berjumpa diluar kelas, tapi aku yakin mereka tahu maksud kata sayang yang aku ucapkan kepada mereka, karena bukan karena rasa yang berbeda tentunya.

Langkahku terhenti, ada sosok yang saat ini sangat tidak ingin aku lihat. jika aku berbalik arah berarti aku akan bolos, izin apa lagi yang aku minta dari kepsek sedangkan hari ini aku baru saja masuk. Akhirnya aku memutuskan untuk menunggu sampai Ihsan berlalu tidak mungkin dia akan berlama menungguku di depan gerbang sekolah.

Tinggal lima menit lagi bel tanda masuk sekolah, pasti guru piket sebentar lagi menutup pintu untuk mencegah mereka yang datang terlambat masuk, disiplin harus ditegakkan. Ihsan masih berdiri situ bagaikan tuga gajah mada saja. akhirnya aku mengirim pesan pada salah satu guru piket untuk mengusir Ihsan, tentu banyak tanya, dan akhirnya aku berjanji akan cerita masalahku dengan Ihsan jika Bu Nita bisa membuat Ihsan pergi meninggalkan gapura sekolah.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...