Minggu, 30 Januari 2022

Secawan Resah

 

Sudah lewat waktunya, tapi kau tidak pulang juga. akhirnya lelah itu menyerang, sepertinya aku memang harus mundur. Inikah akhir dari semuanya, impian kita hancur tak bersisa kepingnya saja bagaikan debu pasir takkan mungkin akan bisa dirakit menjadi piring utuh.

Ku  tarik daun jendela, menutupnya, melangkahkan kaki menuju ranjang sepi dari kehadiranmu sejak sepekan ini.

“Al, hanya tiga hari, kenapa juga mau ikut, nanti malah menyusahkan jika Alisa sakit, ingat kondisi kesehatan Alisa yang turun sejak itu.”  Bukannya  memujukku dengan kata manis untuk tidak ikut, tapi suara datar seakan aku tidak ada artinya lagi.

“Bang.” Akhirnya hanya ucapan itu yang keluar dari bibirku.

Langkah lebar Bang Iqbal meninggalkanku, ada sejuta tanya sejak tanpa sengaja aku melihat isi chat dari handphone.

“Assalamualaikum Bang, nanti malam gilirinku, jangan lupa. Si kecil Hani juga rindu dengan Abahnya.” Mengiris hati, tapi aku tidak mau suuozon, malu dengan jilbab syari’ku, menghibur diri.

Sudah berlalu seminggu aku melihat kegelisahan Bang Iqbal, aku tahu benar selama aku berpura – pura sakit setelah membaca chat yang entah dari siapa, tingkah Bang Iqbal jadi mengundang curigaku. Untung karena sehabis kuretku yang kedua kesehatanku selalu menurunn sehingga selama aku berpura – pura sakit Bang Iqbal tidak curiga.

Tapi hari ini, setelah sehari aku memperlihatkan kesehatan karena kasihan melihat dirinya tersiksa aku membuat sandiriwa baru, merenggek kepadanya untuk ikut dirinya bertugas keluar daerah yang tidak pernah aku buat selama ini.

Tegas ucapnya menolak permintaanku, walaupun begitu banyak aku kemukakan alasan tapi Bang Iqbal tetap pada pendiriannya tidak mengajakku serta. Tatapanku nanar, ada kekecewaan, bukan kekecewaan tapi lebih tepatnya ada luka mengangga di dadaku saat ini.

***

Seperti biasa, sebelum malam menjemput siang, Bang Iqbal meneleponku mengatakan dirinya sudah sampai di luar kota. Mengingatkan untuk berhati – hati menjaga diri, telephone darinya  dengan paksa aku alihkan ke VC, sengaja tadi sore aku mendatangi rumah sakit dan meminjam salah satu kamar rawat inap menanti telpon dari Bang Iqbal.

Netra Bang Iqbal membesar, setelah aku memperlihatkan suasana kamar rawat inap dan langsung menutup VC dengan secepatnya. Secepat kilat telephone berbunyi lagi, tapi aku tidak menjawabnya. Aku ingin melihat sampai dimana rasa cinta Bang Iqbal yang tertinggal untuk diriku.

***

Sudah dua hari, sejak VC itu hanya chat yang dikirim, alasan klise tidak bisa pulang karena proyeknya tidak bisa ditinggal, hanya membacanya tidak ada niat untuk membalasnya, kubiarkan gelisah melanda dirinya.

Hanya tinggal sehari, janji Bang Iqbal untuk kembali tapi tak ada rasa rindu yang tersimpan seperti hari – hari lalu jika menunggu kepulangan dari dinar luar kota. Bunyi mobil di depan tidak menarik minatku, paling – paling seperti kemaren adek iparku Hasna yang menjadi penganti Bang Iqbal melihat kondisiku yang sengaja aku perlihatkan sakit dan menderita tapi bibirku bisu seribu bahasa tidak mengatakan apa – apa, biarlah menjadi rahasiaku saja sakit ini kutelan sendiri.

Aku senderkan badan pada dasbor ranjang seperti biasanya ketika Hasna datang, kunanti pintu kamarku terbuka untuk memperlihatkan wajah sakitku, tapi lebih sakit lagi hatiku karena perbuatan Abangnya.

“Al.” suatu itu bukan milik Hasna

Ada rasa nyeri di ujung hatiku, walau melihat wajah khawatirnya tapi aku tidak menyukainya, bukan menatap mesra seperti sebelumnya jika dia pulang, aku malah membuang pandangku menatap jendela kamar yang masih menampakkan garangnya warna matahari karena baru habis ba’da Asar.

Genggamannya ku lepas, berpura – pura membenarkan posisiku duduk di dasbor ranjang.

“Maaf sayang, pekerjaan yang sekarang ini benar – benar tidak bisa Abang tinggalkan.” Mencoba meraih kembali tangganku. Hanya senyum kecut yang bisa aku hadirkan, ada sakit yang merajalela, ini bukan pura – pura seperti yang selama beberapa hari ini aku lakukan.

Walaupun pulang lebih cepat dari janjinya, tapi aku sudah terlanjur kecewa, bagaimana tidak kecewa, mungkin ini yang katanya sepandai – pandainya menyembunyikan bangkai baunya tidak akan tersimpan dengan baik.

Sesak dadaku, ketika kemaren sore aku cek kesehatan, melewati poli anak sebelum sampai di poli kandungan. Aku melihat Bang Iqbal memeluk bayi yang sebenarnya mencuri hatiku, sangat cantik, sama persis dengan wanita yang dengan manja bergelayut ditangan Bang Iqbal yang mengendong bayi, begitu mesra. Senyumku mengiris hati, mereka lagi mengantar bayi mereka untuk imunisasi, aku bagaikan detektif mencuri gambar mereka dan berlalu dengan cepat, dan akhirnya, bukan langkah ke poli kandungan aku malah melangkah pulang dengan kecewa yang membara.

Belum ada kata yang keluar dari mulut Bang Iqbal untuk menghabur dustanya, bunyi handphone milik Bang Iqbal memecah keheningan antara kami, tak senjaga aku melihat nama dilayar handphonenya, Mira.

Satu kali, dua kali, Bang Iqbal seakan enggan mengangkatnya, tapi setelah tidak berhenti bunyinya, dengan hembusan napas berat Bang Iqbal menganggkatnya juga. Aku masih dengan posisi diam enggan untuk bergerak seakan tubuhku menjadi batu, seandainya permintaanku di makbulkan aku memilih batukanlah aku sehingga tidak merasa sesakit ini.

Aku menghitung dalam hati, sudah hitungan ke lima puluh lima, hanya tinggal tinggal lima hitungan pasti Bang Iqbal akan memberikan alasan untuk meninggalkanku.

“Pergilah Bang, jangan sampai Alisa menghambat kebahagian Abang.” Ucapku dengan menguatkan diri

“Al, proyek ini sangat berarti buat Abang, izinkan Abang untuk  pergi sebentar,  sebelum is’ya Abang janji akan pulang.” Ucap Bang Iqbal lemah

“Jangan berjanji, jika akan Abang ingkari. Ada hati yang terluka jika janji tidak ditepati.” Ucapku sambil menurunkan badanku dari dasbor ranjang mengambil posisi tidur dengan memunggungi Bang Iqbal.

“Proyek Mira memang lebih penting dari janji ijab qabul Abang untuk menuju rumah tangga sakinah dengan Alisa.” Ucapku perit menahan sakit dengan menahan seribu ton air yang siap menganak pipiku.

Aku yakin saat ini wajah Bang Iqbal tidak akan sama dengan wajahnya waktu masuk ke kamar tadi, wajah yang pura – pura merindukanku.

Bagaikan petir datang tiba – tiba, Bang Iqbal meraih tubuhku dalam pelukkannya, ku lepaskan tangannya, bergeser menjauhinya, menataup netranya,  netra Bang Iqbal pancarannya yang membuat lukaku tambah mengangga, ada dusta di sana yang tidak bisa dia sembunyikan lagi dariku.

“Kenapa harus berdusta Bang, jika Abang memintanya baik – baik, Alisa akan mengizinkannya. Tapi sekarang tidak mungkin Alisa mengizinkannya. Dan Alisa tidak juga ingin membuat Abang memilih, cukup sampai di sini kebersamaan kita. Pergilah dan jangan kembali lagi, hanya itu pinta Alisa, tolong kabulkan.” Setelah mengatakan itu aku turun dari ranjang berjalan melewati Bang Iqbal yang diam terpaku, tujuanku hanya satu. Meraih perlengkapan sholatku, menuju masjid karena suara panggilannya sudah bergema, Ya Allah maafkan aku, dengan terpaksa aku memilih jalan yang kau benci, tapi aku tidak bisa menerimanya, batinku lirih. Menahan resah takut akan murka-Nya karena memilih jalan ini ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...