Sudah lewat waktunya, tapi kau tidak pulang juga. akhirnya lelah itu menyerang, sepertinya aku memang harus mundur. Inikah akhir dari semuanya, impian kita hancur tak bersisa kepingnya saja bagaikan debu pasir takkan mungkin akan bisa dirakit menjadi piring utuh.
Ku tarik daun jendela, menutupnya, melangkahkan kaki menuju ranjang sepi dari kehadiranmu sejak sepekan ini.
“Al, hanya tiga hari, kenapa juga mau
ikut, nanti malah menyusahkan jika Alisa sakit, ingat kondisi kesehatan Alisa
yang turun sejak itu.” Bukannya memujukku dengan kata manis untuk tidak ikut, tapi suara datar seakan aku tidak ada artinya lagi.
“Bang.” Akhirnya hanya ucapan itu yang
keluar dari bibirku.
Langkah lebar Bang Iqbal meninggalkanku,
ada sejuta tanya sejak tanpa sengaja aku melihat isi chat dari handphone.
“Assalamualaikum Bang, nanti malam
gilirinku, jangan lupa. Si kecil Hani juga rindu dengan Abahnya.” Mengiris
hati, tapi aku tidak mau suuozon, malu dengan jilbab syari’ku, menghibur diri.
Sudah berlalu seminggu aku melihat
kegelisahan Bang Iqbal, aku tahu benar selama aku berpura – pura sakit setelah
membaca chat yang entah dari siapa, tingkah Bang Iqbal jadi mengundang
curigaku. Untung karena sehabis kuretku yang kedua kesehatanku selalu menurunn
sehingga selama aku berpura – pura sakit Bang Iqbal tidak curiga.
Tapi hari ini, setelah sehari aku
memperlihatkan kesehatan karena kasihan melihat dirinya tersiksa aku membuat
sandiriwa baru, merenggek kepadanya untuk ikut dirinya bertugas keluar daerah
yang tidak pernah aku buat selama ini.
Tegas ucapnya menolak permintaanku,
walaupun begitu banyak aku kemukakan alasan tapi Bang Iqbal tetap pada
pendiriannya tidak mengajakku serta. Tatapanku nanar, ada kekecewaan, bukan
kekecewaan tapi lebih tepatnya ada luka mengangga di dadaku saat ini.
***
Seperti biasa, sebelum malam menjemput
siang, Bang Iqbal meneleponku mengatakan dirinya sudah sampai di luar kota.
Mengingatkan untuk berhati – hati menjaga diri, telephone darinya dengan paksa aku alihkan ke VC, sengaja tadi sore
aku mendatangi rumah sakit dan meminjam salah satu kamar rawat inap menanti
telpon dari Bang Iqbal.
Netra Bang Iqbal membesar, setelah aku
memperlihatkan suasana kamar rawat inap dan langsung menutup VC dengan
secepatnya. Secepat kilat telephone berbunyi lagi, tapi aku tidak menjawabnya.
Aku ingin melihat sampai dimana rasa cinta Bang Iqbal yang tertinggal untuk
diriku.
***
Sudah dua hari, sejak VC itu hanya chat
yang dikirim, alasan klise tidak bisa pulang karena proyeknya tidak bisa
ditinggal, hanya membacanya tidak ada niat untuk membalasnya, kubiarkan gelisah
melanda dirinya.
Hanya tinggal sehari, janji Bang Iqbal
untuk kembali tapi tak ada rasa rindu yang tersimpan seperti hari – hari lalu
jika menunggu kepulangan dari dinar luar kota. Bunyi mobil di depan tidak
menarik minatku, paling – paling seperti kemaren adek iparku Hasna yang menjadi
penganti Bang Iqbal melihat kondisiku yang sengaja aku perlihatkan sakit dan
menderita tapi bibirku bisu seribu bahasa tidak mengatakan apa – apa, biarlah
menjadi rahasiaku saja sakit ini kutelan sendiri.
Aku senderkan badan pada dasbor ranjang
seperti biasanya ketika Hasna datang, kunanti pintu kamarku terbuka untuk
memperlihatkan wajah sakitku, tapi lebih sakit lagi hatiku karena perbuatan
Abangnya.
“Al.” suatu itu bukan milik Hasna
Ada rasa nyeri di ujung hatiku, walau
melihat wajah khawatirnya tapi aku tidak menyukainya, bukan menatap mesra
seperti sebelumnya jika dia pulang, aku malah membuang pandangku menatap
jendela kamar yang masih menampakkan garangnya warna matahari karena baru habis
ba’da Asar.
Genggamannya ku lepas, berpura – pura
membenarkan posisiku duduk di dasbor ranjang.
“Maaf sayang, pekerjaan yang sekarang
ini benar – benar tidak bisa Abang tinggalkan.” Mencoba meraih kembali
tangganku. Hanya senyum kecut yang bisa aku hadirkan, ada sakit yang
merajalela, ini bukan pura – pura seperti yang selama beberapa hari ini aku
lakukan.
Walaupun pulang lebih cepat dari
janjinya, tapi aku sudah terlanjur kecewa, bagaimana tidak kecewa, mungkin ini
yang katanya sepandai – pandainya menyembunyikan bangkai baunya tidak akan
tersimpan dengan baik.
Sesak dadaku, ketika kemaren sore aku
cek kesehatan, melewati poli anak sebelum sampai di poli kandungan. Aku melihat
Bang Iqbal memeluk bayi yang sebenarnya mencuri hatiku, sangat cantik, sama
persis dengan wanita yang dengan manja bergelayut ditangan Bang Iqbal yang
mengendong bayi, begitu mesra. Senyumku mengiris hati, mereka lagi mengantar
bayi mereka untuk imunisasi, aku bagaikan detektif mencuri gambar mereka dan
berlalu dengan cepat, dan akhirnya, bukan langkah ke poli kandungan aku malah
melangkah pulang dengan kecewa yang membara.
Belum ada kata yang keluar dari mulut
Bang Iqbal untuk menghabur dustanya, bunyi handphone milik Bang Iqbal memecah
keheningan antara kami, tak senjaga aku melihat nama dilayar handphonenya,
Mira.
Satu kali, dua kali, Bang Iqbal seakan
enggan mengangkatnya, tapi setelah tidak berhenti bunyinya, dengan hembusan
napas berat Bang Iqbal menganggkatnya juga. Aku masih dengan posisi diam enggan
untuk bergerak seakan tubuhku menjadi batu, seandainya permintaanku di
makbulkan aku memilih batukanlah aku sehingga tidak merasa sesakit ini.
Aku menghitung dalam hati, sudah
hitungan ke lima puluh lima, hanya tinggal tinggal lima hitungan pasti Bang Iqbal
akan memberikan alasan untuk meninggalkanku.
“Pergilah Bang, jangan sampai Alisa
menghambat kebahagian Abang.” Ucapku dengan menguatkan diri
“Al, proyek ini sangat berarti buat
Abang, izinkan Abang untuk pergi
sebentar, sebelum is’ya Abang janji akan
pulang.” Ucap Bang Iqbal lemah
“Jangan berjanji, jika akan Abang
ingkari. Ada hati yang terluka jika janji tidak ditepati.” Ucapku sambil
menurunkan badanku dari dasbor ranjang mengambil posisi tidur dengan
memunggungi Bang Iqbal.
“Proyek Mira memang lebih penting dari
janji ijab qabul Abang untuk menuju rumah tangga sakinah dengan Alisa.” Ucapku
perit menahan sakit dengan menahan seribu ton air yang siap menganak pipiku.
Aku yakin saat ini wajah Bang Iqbal
tidak akan sama dengan wajahnya waktu masuk ke kamar tadi, wajah yang pura –
pura merindukanku.
Bagaikan petir datang tiba – tiba, Bang
Iqbal meraih tubuhku dalam pelukkannya, ku lepaskan tangannya, bergeser
menjauhinya, menataup netranya, netra
Bang Iqbal pancarannya yang membuat lukaku tambah mengangga, ada dusta di sana
yang tidak bisa dia sembunyikan lagi dariku.
“Kenapa harus berdusta Bang, jika Abang
memintanya baik – baik, Alisa akan mengizinkannya. Tapi sekarang tidak mungkin
Alisa mengizinkannya. Dan Alisa tidak juga ingin membuat Abang memilih, cukup
sampai di sini kebersamaan kita. Pergilah dan jangan kembali lagi, hanya itu
pinta Alisa, tolong kabulkan.” Setelah mengatakan itu aku turun dari ranjang
berjalan melewati Bang Iqbal yang diam terpaku, tujuanku hanya satu. Meraih
perlengkapan sholatku, menuju masjid karena suara panggilannya sudah bergema,
Ya Allah maafkan aku, dengan terpaksa aku memilih jalan yang kau benci, tapi
aku tidak bisa menerimanya, batinku lirih. Menahan resah takut akan murka-Nya
karena memilih jalan ini ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar