Rabu, 12 Januari 2022

Jalan Cintaku

 

Senyum manisnya membuatku jatuh cinta, sesekali dia berlari kearahku. Lucu mau menganggu tapi tidak mau diganggu, netraku terus mengawasinya. Teriakan kecil lucu mengusik kalbuku membuatku semakin cinta kepadanya. Sudah beberapa bulan ini, sejak aku tidak lagi mengajar akibat pandemic melanda, aku salah satu yang terkena dampaknya, di PHK dengan janji jika pandemic berakhir akan diperkerjakan kembali. Hanya doa serta meMakHana tabungan sebaik mungkin untuk mencukupi keperluanku, untung masih ada orangtua yang bisa menjadi sandaran hidup. Menghonor di sekolah swasta yang kecil karena pandemic tahun ini tidak banyak siswa yang mendaftar sehingga ada beberapa dari kami terpaksa berhenti mengajar sementara.

Flashback

“Hana, Mak Long meminta Hana untuk menjaga cucunya. Anak  alharhumah kak intan, daripada menganggur Han.” Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan Mak.

“Kesian kat anak intan tu, baru setahun dah kena tinggal Maknya.” Mak terus saja berceloteh.

“Hana kapan nak menikah?” tiba – tiba Mak mengajukan pertanyaan yang membuatku bingung nak jawab apa.

“Menikah sekarang tak ada pesta, jadi tak sangat menyusahkan.” Mak terus saja berceloteh

“Nikah dengan siapa Mak, Mak ada calon untuk Hana.” Aku terkejut sendiri dengan perkataanku.

“Betul ni Mak yang carikan jodoh.” Akhirnya aku tersenyum masam mendengar perkataan Mak.

***

Sudah lebih tiga bulan aku menjaga si kecil anak almarhum kak intan, baru sekali aku bertemu dengan dudanya kak intan. Orangnya yang terkesan pendiam, entah itu karena baru kehilangan istrinya atau memang seperti itu dirinya.

“Bang Dahlan memang macam tu Hana, sejak meninggal istrinya lebih banyak berdiam diri.” Oceh Mak Long ketika aku mengantar si kecil yang sudah memikat hatiku.

“Mama.” Aku tersenyum geli jika si kecil Dani memanggilku Mama.

Si kecil Dani, baru pandai berjalan dan berbicara setiap hari aku menjadi ibu pengasuh, lumayan ada tambahan pendapatan. Walaupun ada rasa cemas, jika sampai aku di panggil untuk mengajar lagi, siapkah aku berpisah dengan si Dani kecil yang sudah memikat hatiku.

Hujan turun dengan tiba – tiba, aku tidak sedia payung dan entah apa pula payung Mak Long juga lagi di pinjam. Akhirnya aku harus menunggu hujan reda, sambil menunggu hujan aku bermain  bersama Dani kecil. Seakan lupa akan dunia bukan hanya milik kami, aku tertawa dan mengoceh membuat Dani juga mengeluarkan suara lucunya yang membuatku lupa kalau sore sudah berganti malam. Azan magrib berkumandang, terpaksa aku menumpang sholat magrib di rumah Mak Long, selesai menunaikan kewajibanku aku kembali bermHana bersama Dani karena hujan belum menunjukkan akan reda.

 “Hana kita Makan bersama ya.” Ucapan Mak Long membuatku terkejut

“Biar nanti saja Mak Long, Hana Makan di rumah saja.” ucapku cepat

“Temankan Mak Long Makan, semejak almarhum pergi jarang Bang Dahlan kau nak Makan bersama.” Aku sedih mendengar ucapan Mak Long. Macam manapun Mak Long sangat menyayangiku.

Ketika kami hendak memulai Makan, Bang Dahlan keluar dari kamar

“Dahlan mari Makan bersama.” Ucap Mak Long

“Ya Mak.”

Aku dan Mak Long terkejut dengan respon Bang Dahlan yang menurut ketika diajak kami, sekarang kami sudah duduk berempat di meja Makan. Dani yang dari tadi di pangkuanku juga ku suap dengan nasi buburnya.(bersambung)

Tak ada kata – kata yang keluar dari mulut Bang Dahlan, hanya menyiMak suara yang keluar dari mulut Mak Long dan si Dani kecil yang sedang suka – sukanya berbicara.

“Mama turun.” Aku tersenyum dan menurunkan Dani, kebetulan aku juga sudah selesai Makan.

“Mak, kenapa Dani memanggil Mama kepada Hana.” Suara Bang Dahlan membuatku langsung memandang Bang Dahlan, ekspresi tidak sukanya jelas terlihat.

“Budak – budak dahlan biarkan saja.” ucap Mak Long

“Tapi Mak.”

Belum selesai ucapan Bang Dahlan Mak Long bersuara

“Sudahlah Dahlan, kalau Dahlan tak suka Dani memanggil Hana mama. Carikan Dani mama baru secepatnya.”

Muka Bang Dahlan memerah bagaikan udang yang direbus, mendengar Mak Long berucap.

“Mak belum juga kering kubur Lia.” Suara yang mengadung emosi, Bang Dahlan meninggal Makannya yang belum selesai.

Entah alam berpihak kepadaku atau apa yang pasti hujan sudah reda, dengan perasaan yang tidak enak aku minta diri dengan Mak Long.

“Mak Long, Hana pulang dulu.”

“Mama mama mama.” Teriakkan Dani memecah keheningan karena emosi Bang Dahlan, suara tangis Dani yang tidak mau aku pamit pulang.

Langkah berat tiba – tiba sudah berada di sampingku, mengambil kasar Dani dari pelukku dan membawanya ke kamar.

Aku sungguh merasa tidak enak hati, dengan cepat aku meninggalkan rumah Mak Long setelah mencium tangan Mak Long. Rintik hujan ternyata turun, seiring hatiku yang menangis melihat perlakuan Bang Dahlan yang tidak manusiawi kepada Dani.

“Assalamualaikum.” Serak suaraku memberi salam, sebelum masuk ke rumah.

Secepat kilat aku menuju kamar, jangan sampai Mak melihat luka di wajahku, aku kesal dengan sikap Bang Dahlan. Seingatku Bang Dahlan merupakan orang yang easy going, selalu tersenyum dan bersahabat. Walaupun aku tidak terlalu dekat dengan Bang Dahlan, tapi setiap ada acara keluarga Bang Dahlan selalu menjadi pusat perhatian karena pribadinya yang menyenangkan. Atau mungkin karena kehilangan Kak Lia Bang Dahlan berubah, semua berkecamuk dalam pikiranku. Kasihannya si Dani kecil, batinku.

***

Dalam tidurku sepertinya aku mendengar ada yang mengetuk pintu rumah kami, aku mendengar suara langkah ayah yang menuju pintu depan rumah kami, aku memandang sepintas ke arah jam dinding di kamar, jam setengah dua malam. Siapa juga yang bertandang malam buta begini, batinku.

Tok tok tok, ketukan di pintu kamarku sempat membuat terkejut

“Hana Hana Hana bangun.” Suara ayah dari luar kamarku

Aku beranjak dari ranjangku menuju pintu kamar, membuka pintu

“Ada apa Yah.” Sahutku setelah membuka pintu

“Ada dahlan, nak jumpa dengan Hana.” Aku mengernyitkan dahiku, kenapa Bang Dahlan mencariku malam buta begini.

Aku menuju ruang tamu, Bang Dahlan dengan badan yang basah berdiri di depan pintu ruang tamu.

“Ada apa bang, masuk bang.” Pelawaku kepada Bang Dahlan.

 “Dani tak berhenti menangis, badannyapun jadi panas. Hana ikut abang ke rumah.” Ucapnya lesu

“Pergi lah Hana kasian Dani.” Suara Ayah mengejutkan aku, ternyata Ayah berdiri di pintu ruang tengah bersama Mak.

“Hana ambil baju sejuk dulu bang.” Aku setengah berlari ke kamar mengambil baju sejuk dan menganti jilbabku dengan yang lebih panjang untuk mengurangi dingin karena hujan dari malam tadi.

 ***

“Sayang, cup cup cup.” Aku memujuk Dani untuk berhenti menangis

“Mama mama, Papa nakal.” Ucap Dani dengan tangan kecilnya menunjuk ke arah Bang Dahlan.

Aku melihat ekpresi sedih yang mendalam dari Bang Dahlan, aku bisa merasakan ke kalutan dari raut wajahnya.

“Cup cup, diam ya sayang. Kan udah ada kak Hana sekarang.” Terus saja aku memujuk si Dani kecil.

Hampir sejam aku memujuk Dani untuk diam, dan akhirnya Dani kecil tertidur setelah aku memeluknya, aku merasakan badanya yang agak panas.

“Mak Long ada baby fever.” Tanyaku kepada Mak Long.

“Ada sekejap Mak Long ambilkan.”

Aku menempelkan kompres di dahi Dani, sesekali aku melihat Dani mencoba membuka kompres yang aku tempelkan di dahinya dengan cepat aku menghalanginya.

“Abang pergi tidur, biar Hana menjaga Dani malam ni.” Ucapku kepada bang Dahlan yang tidak bergerak dari tempatnya dari aku sampai di kamar Dani tadi dan terus saja memperhatikan interaksi antara aku dan anaknya.

“Maaf, terima kasih Hana.” Setelah mengatakan itu Bang Dahlan meninggalkan aku dan Mak Long yang masih menemani aku.

“Mak Long juga tidurlah, nanti pagi kita gantian jaga Dani Mak Long.” Ucapku setelah melihat beberapa kali Mak Long menguap.

***

Usapan lembut di kepalaku yang tertutup jilbab membuatku terbangun, wajah Mak Long tersenyum memandangku.

“Mak Long, maaf Hana tertidur.” Ucapku malu.

“Kesian anak Mak Long, tak tidur gara – gara Dani.” Dani dah macam anak Hana, Mak Long.

Tanganku  meraba kening Dani, sudah turun panasnya. Napasnyapun sudah teratur sejak dari jam 5 tadi tidak gelisah seperti tadi malam. Pintu kamar terbuka, Bang Dahlan  masuk dengan pakaian yang sudah rapi.

“Bagaimana keadaan Dani, Hana.”

“Alhamdulillah sudah mendingan Bang.” Ucapku

“Hana izin pulang dulu, mau ke sekolah.” ucapku pada Mak Long dan Bang Dahlan.

Belum juga aku keluar dari kamar Dani, suara tangisku terdengar. Secepat kilat aku kembali menghampiri Dani dan mendekapnya dalam gendonganku. Sambil membujuk dan mengusap pelan punggungnya. Aku memandang Mak Long dan Bang Dahlah, bagaimana aku mau ke sekolah jika Dani tidak mau dil epas, batinku. Kedua orang yang aku pandangpun bingung, melihat Dani yang seperti anak koala menempel padaku.

Akhirnya aku memutuskan untuk tidak kesekolah hari ini.

“Bang boleh kirimkan surat Hana ke sekolah.” ucapku

“Ye, abang bikinkan suratnya, nanti Hana tanda tangan, Abang antar ke sekolah.” ucap Bang Dhalan sambil berlalu mengambil kertas dan menulis surat.

***

Aku mengirimkan tugas kepada siswaku menggunakan google formulir yang sudah aku kombinasi sehingga di situ ada pre test, materi, youtube, post test sebagai ganti aku tidak masuk mengajar hari ini.

Menjelang siang, aku mendengar mobil berhenti di depan rumah Mak Long, aku melihat sekilas ke arah jam dinding belum jam makan siang, siapa geragang  yang datang bertamu.

“Assalamualaikum.” Suara salam dari luar.

Mendengar pintu terbuka, berarti bukan tamu, batinku.

Ternyata Bang Dahlan yang pulang, aku masih mengendong Dani yang manja dari tadi pagi mungkin karena panas badannya belum turun benar.

“Sini gantian Abang yang gendong Dani, Hana pasti capek dari tadi mengendong Dani.” Ucap Bang Dahlan sambil mengambil Dani dari gendonganku.

“Hana izin pulang nak ganti baju Bang, dah belenggas badan ni.” Ucapku malu

Belum juga aku meninggalkan kamar Dani, Dani menangis melihat aku meninggalkannya. Akhirnya pandanganku dan Bang Dhalan bertabrakan, aku mengalihkan pandanganku kepada Dani. Mendekatkan diri padanya.

“Mama ganti baju dulu, bau Sayang.” Ucapku menenangkan Dani.

“Dani sama Papa dulu ya, mana pintar Mama.” Bujukku pada Dani.

Akhirnya aku bisa berganti baju, untung saja rumahku dengan rumah Bang Dahlan hanya berjarak dua rumah, sehingga aku bisa kembali ke rumah Bang Dahlan dengan cepat.

“Hana sudah makan?” ucapan Bang Dahlan membuatku tercegat, karena buru – buru aku sampai lupa makan siang. Hanya gelengan kepala yang menjawab pertanyaan Bang Dahlan.

“Makan dulu sama Mak, Mak lagi juga lagi Makan di dapur.” Ujar Bang Dahlan.

Dengan malu aku melangkah menuju dapur.

***

Dani masih saja manja, padahal sudah tidak panas lagi. aku melirik jam dinding sudah lewat pukul dua puluh satu, apakah aku harus menginap lagi, Dani bagaikan anak kanguru yang menempel tidak mau lepas.

Pintu kamar Dani terbuka, sosok Bang Dahlan dipintu dengan raut wajah yang tidak aku mengerti.

“Hana bisa menginap lagi di sini, malam ini?”  wajah Bang Dahlan sedikit cemas ketika mengatakan itu.

“Abang akan minta izin Ayah Hana, jika Hana mau menginap di sini.” Ada rasa bersalah ketika Bang Dahlan mengatakan itu.

 

“Sudah malam jika Hana harus pulang sekarang, tidak enak dengan tetangga juga.” aku hanya mendengarkannya saja tanpa menyela perkataan Bang Dahlan.

“Bagaimana Hana, maukan menginap di sini.” Sekali lagi aku mendengar suara Bang Dahlan.

Akhirnya aku mengangguk, handphoneku berbunyi aku meraihnya untuk menerima panggilan ternyata Ayah yang menelepon

“Assalamualaikum Yah.”

“Walaikumsallam, Hana tidak pulang?” suara Ayah terdengar dari seberang sana

“Boleh Hana menginap di rumah Mak Long Yah. Dani masih rewel.” Jelasku kepada Ayah

“Berarti besok Hana tak ke sekolah lagi?”

“Subuh Hana pulang Yah, besok Hana ke sekolah.”

“Ya, sudah. Salam sama Mak Long dan Abang Dahlan Kau, assalamuakum.” Ucap Ayah menutup percakapan kami.

Tak sadar Mak Long dan Abang Dahlan memperhatikan ketika aku menerima telepon dari Ayah.

***

Waktu berlalu, Dani semakin tidak bisa lepas dariku hal ini tidak lepas dari pantaun Ayah dan Mak Long, sebenarnya aku sedikit cemas dengan ketergantungan Dani terhadap diriku. Sudah berbagai cara aku lakukan untuk menjaga jarak dengan Dani, tapi ujung – ujungnya Dani akan sakit malah aku tambah sulit untuk menjaga jarak kami.

Selentingan mereka berkata sudah sampai di telingaku, ada rasa cemas takut Bang Dahlan murka dengan berita yang beredar. Betul kata Ayah lebih senang menutup mulut tempayan daripada menutup mulut warga, berniat baikpun kadang menjadi tidak baik jika sudah ada campur tangan warga yang memperburuk keadaan.

Aku mulai di senang dengan semua mulut tempayan yang mulai membicarakan perihal aku yang selalu berdekatan dengan Dani, mulailah ada yang mengatakan bahwa aku mengincar Bang Dahlan dengan cara mendekati Dani.

“Nak ke rumah duda ye Hana, jumpa Anak atau Bapaknya.” Sungguh aku terganggu dengan ucapan salah satu tetangga kami yang menyapa ketika aku mau ke warung depan rumah yang kebetulan melewati rumah Mak Long. Malas menanggapi aku berjalan sampai melempar senyum yang pastinya senyum kecut.

***

“Assalamualaikum.” Suara Bang Dahlan terdengar di teligaku.

Sebenarnya aku malas untuk mengangkat panggilan dari Bang Dahlan, sudah dua minggu aku menghindari Dani, sejak mulut tempayan tetangga mengusik ketenanganku.

“Walaikumsallam.” Jawabku singkat

“Dani dirawat, jika tidak menganggu datanglah menjenguk Dani. Assalamualaikum” padat singkat, tapi membuat hatiku merasa sakit.

“Dani sakit.” Batinku melirih ada rasa sesal mendalam dadaku.

Aku memandang jam dinding di dalam kelas masih lama waktu pulang, tapi sungguh hatiku tidak tenang. Selama dua minggu ini aku berusaha meredam rasa rindu kepada Dani tapi mengingat mulut tetangga yang menyakitkan aku menghindar, dan lihatlah anak kecil yang tidak bersalah yang menanggung akibatnya. Tak bisakah aku menyayangi Dani tanp embel – embel ingin mendekati Papanya.

Bunyi bel panjang, mengantar langkahku menuju rumah sakit, walaupun aku tahu jam besuk sudah berlalu. SesampHanaya di rumah sakit aku menelepon Bang Dahlan

“Assalamualikum Bang, Hana di lobi rumah sakit.” Begitu telepon kami tersambung

“Walaikumsallam, sebentar abang susul di lobi.” Ucap Bang Dahlan

***

Nanar netraku melihat infuse yang terpasang di tangan mungil Dani, begitu egonya sampai mengorbankan Dani hanya karena takut menjadi buah bibir tetangga. Tak bisa lagi aku tahan air yang sejak dari tadi ingin keluar. Aku terisak, untung saja hanya aku sendiri yang berada di kamar rawat inap Dani, setelah tadi Bang Dahlan mengizinkan aku untuk menunggu Dani.

“Mama.” Aku tersentak mendengar suara lirih Dani memanggil aku

“Ya sayang, mana yang sakit.” Lirih suaraku menekan isak yang harus aku sembunyikan dari Dani

“Mama kemana, kenapa tidak datang ke rumah.” Dengan mata sayu yang semakin membuatku merasa bersalah.

“Maaf mama sibuk, tapi sekarang Mama ada. Dani cepat sembuh ya.”

 “Mama peluk.” Aku meraih Dani dalam pelukanku

Pintu kamar rawat inap Dani terbuka, aku melihat Bang Dahlan bersama Mak Long, ternyata sudah masuk waktu besok.

“Hana, Dani rindu berat sama Hana. Tapi Mak Long tahu pasti Hana terganggu dengan ucapan tetangga kita karena itu Mak Long tak mengabari Hana, setiap hari selama dua minggu ni Dani bertanyakan Hana dan puncakknya dua hari yang lalu terpaksa kami mengajak Dani ke rumah sakit dan terpaksa di rawat.” Jelas Mak Long panjang lebar.

“Maafkan Hana Mak Long.” Ucapku menyesal.

***

 

Sebulan sudah berlalu, Dani sekarang lebih sering di rumahku daripada di rumahnya. Ini semua karena Dani tidak bisa lepas dari diriku, aku tidak lagi mengambil pusing apa yang dikatakan tetangga dari pada Dani menjadi tumbal dari keusilan mereka terhadap hidup Aku dan Dani.

“Assalamualaikum, Hana ada waktu nanti malam. Ada yang perlu Abang bicarakan dengan Hana.” Aku memandang chat Bang Dahlan yang masuk.

“Tak bisa bicara di rumah saja Bang.” Balas chatku kepada Bang Dani

“Sekali – sekali kita ajak Dani keluar, Abang harap Hana tidak menolak.”

Aku memandang Dani yang bermHana dalam pengawasanku, melihat Dani aktif membuatku merasa bahagia.

“Abang jemput jam berapa.” Akhirnya aku menyetujui ajakan Bang Dahlan.

“Habis magrib Abang jemput Hana dengan Dani.”

***

Di sinilah kami, duduk di salah satu rumah makan yang berada di costal area tempat yang menjadi kerumunan masa untuk menghilangkan lelah setelah seminggu bekerja mencari rezeki. Rumah makan yang terletak di atas laut dengan sejukkan angin malam, mataku tak lepas dari Dani, Dani sedang lasak – lasaknya aku ada rasa cemas ketika Bang Dahlan mengatakan kami akan makan di rumah makan ini. Aku takut Dani tercebur ke laut, tapi Bang Dahlan memastikan kami berdua pasti bisa mengawasi Dani.

Sedari tadi sudut netraku menyadari bagaimana Bang Dahlan memperhatikan interaksi Aku dan Dani, sesekali Bang Dahlan akan meraih Dani jika melihat aku kewalahan dengan ulah Dani yang berusaha mendekati pagar rumah makan yang mengelilinginya.

“Hana, Abang tidak pandai berbasa basi apalagi merayu. Menikahlah dengan Abang.” Pernyataan Bang Dahlan sempat membuat diriku menatap Bang Dahlan intens.

“Ini bukan demi Dani saja, tapi juga demi Abang, Abang akan merasakan hampa jika tidak melihat Hana. Hana tidak saja mengisi hari Dani tapi juga mengisi hari - hari Abang. Seperti ada yang kurang jika tidak melihat Hana sehari saja.” aku melihat senyum malu ketika Bang Dahlan menyatakan isi hatinya.

“Abang tahu ini pasti membutuhkan waktu untuk Hana, jangan hanya pikirkan Abang dan Dani tapi juga pikirkan apa yang Hana inginkan, Abang akan menunggu jawaban Hana.” Jujur perkataan Bang Dahlam mengacaukan pikiranku saat ini.

Untung saja Dani ada di antara kami sehingga aku bisa menyembunyikan situasi canggung di antara kami, apalagi setelah mengatakan itu aku merasakan sikap dan tatapan netra Bang Dahlan begitu berbeda.

***

Ada yang berbeda dengan Bang Dahlan, sekarang bagaikan makan obat dia buatnya sehari tiga kali menelepon menanyakan kabar Dani padahal dulu jangankan menelepon, mengirim chat saja jika terdesak saja. Sekarang ada saja alasan untuk melakukan video call, yang membuatku tambah pusing jika Bang Dahlan menelepon pas jam aku mengajar, sebelum ku angkat akan terus berbunyi, jadi risih sendiri.

Hari ini aku sedikit lega setelah menelepon tadi pagi sebelum aku mengajar tidak ada telepon masuk dari nomor Bang Dahlan. Seperti biasa sebelum pulang aku mengemasi meja kerjaku, menyusunnya rapi, meraih tasku menuju pintu majelis guru.

“Assalamualaikum.” Suara berat menyapaku

“Walaikumsallam.” Jawabku dengan netra membesar.

Bang Dahlan mengendong Dani di depanku, Dani kecil melihatku dengan senyum khasnya sambil berusaha meraihku. Dani kecil kini beralih dalam dekapanku, menciumku seperti sudah lama tidak berjumpa.

“Ada apa sampai datang ke sekolah Bang?” ucapku

“Menjemput Mama, sudah waktu pulangkan?” aku terkejut mendengar ucapan Bang Dahlan.

“Hana bawa motor Bang.” Ucapku lagi

“Mana kuncinya, biar dibawa Udin saja.”

Aku melihat pesuruh sekolah berdiri tidak jauh dari kami, anggukan kepalanya kepadaku membuatku merasa malu, pasrah aku memberikan kunci motorku kepada Bang Dahlan.

Aku duduk di samping Bang Dahlan yang lagi menyetir, mobil Bang Dahlan berjalan membelah jalan menuju entah kemana, yang pasti bukan jalan menuju rumah.(Bersambung)

#TantanganGurusiana

“Mau kemana kita Bang?” ucapku

“Temankan Abang Makan, Abang belum makan siang.”

“Sudah jam dua lebih Abang belum makan?”

“Pas jam makan siang Mak menelepon, Dani rewel dari sejak Hana berangkat sekolah, jadi Abang menjemput dan mengajak Dani bermHana dulu sambil menunggu jam Hana pulang sekolah.” Ucap Bang Dahlan panjang lebar. Tak butuh waktu lama, kami sampai di daerah costal area duduk di salah satu gerai makan yang menyediakan bermacam jenis makan dari makanan lokal seperti gulai asam pedas ikan, kangkung belacan, ikan bakar, tomyam dan banyak lagi. Aku memperhatikan saja ketika Bang Dahlan memesan makanan dengan bermHana bersama Dani yang sesekali mengusap dan mencium wajahku membuatku geli sehingga tertawa. Setelah makan siang yang terlambat, kami pulang ke rumah.

***

Belum selesai aku melipat perlengkapan sholat, ketukan terdengar dari pintu kamar.

“Hana ada Dahlan di depan.” Suara Ayah terdengar

Tidak seperti biasanya Bang Dahlan datang, biasanya setelah Dani tertidur baru aku menelepon Bang Dani untuk menjemputnya.

“Sebentar Yah.” Jawabku sambil meriah jilbab sarung dan memakHanaya serta berjalan membuka pintu dan menuju ruang tamu, sebelumnya aku meletakkan bantal di kiri dan kanan Dani yang baru saja tertidur sebelum aku menunaikan sholat magrib.

“Dani baru tertidur Bang, mau dibawa sekarang.” Ucapku setibanya di ruang tamu.

“Abang nak bicara dengan Ayah dan Hana, boleh?” bukannya menjawab pertanyaanku malah bang Dahlan nak bicara dengan Ayah dan Aku membuatku sedikit merasa bingung.

“Hana panggilkan Ayah sebentar.” Ucapku sambil berjalan menuju tengah. Ayah duduk sambil menonton acara favoritnya.

“Ayah, Bang Dahlan nak bicara dengan Ayah.” Ucapku

“Ada masalah Apa Hana.”

“Hana tidak tahu Yah.” Ucapku sambil mengangkat bahuku tanda tidak tahu.

Aku dan Ayah beriringan berjalan menuju ruang tamu, senyum tersungging di bibir Bang Dahlan ketika melihat Aku dan Ayah tiba di ruang tamu. Aku duduk di kursi sebelah Ayah, di depan Bang Dahlan berbataskan meja tamu.

“Ada apa Dahlah, nampaknya penting sekali sehingga nak berjumpa Ayah tak seperti biasanya datang hanya menjemput Dani saja.” ucap Ayah setelah kami duduk berhadapan.

“Sebelumnya Dahlan minta maaf jika Dahlan salah dalam bertutur kata Pak Ngah.” Suara Bang Dahlan tegas, aku melirik kea rah Bang Dahlan kemudian aku mengalihkan lagi pandanganku ke bawah kakiku yang menjadi objek pandangan setelah duduk di ruang tamu bersama Ayah.

“Dahlan nak minta izin Pak Ngah untuk melamar Hanai menjadi Mama dan Istri Dahlan, jika Pak Ngah berkenan.” Aku langsung memandang Bang Dahlan lekat pandangan kami bertemu, sejenak kami saling tatap, aku bingung dengan perasaanku sendiri akhirnya aku kembali memandangi kakiku

“Kalau Pak Ngah tak ada masalah, yang nak berrumah tangga Dahlan dan Hana. Bagaimana Hana bersedia menjadi Mama Dani dan Istri Dahlan?”

“Kalau Hana setuju, Abang akan meminta Mak melamar Hana secara Adat.” Suara Bang Dahlan lagi.

“Ayah.” Ucapku gugup

“Ayah terserah Hana saja.”

“A Hana.” Ucapku terbata

“Kalau tak mau, tinggal bilang saja, sepertinya Hana tidak setuju Dahlan. Mungkin kalian belum berjodoh.” Tanpa dosa Ayah mengucapnya

“Ayaaah, Hana belum menjawabnya lagi.” ucapku merajuk.

“Lama sangat Hana, biasanya kalau lama berarti tidak setuju. Hari dah malam, perut Ayah dah lapar biasanya habis magrib kita makan, ini dah nak masuk isyak.” Canda Ayah

“Cepat jawab, kalau tak Ayah anggap Hana tak terima pinangan Dahlan.” Sekali lagi Ayah berucap.

“Hana tunggu Mak Long datang meminang Hana.” Ucapku malu dan bergegas meninggalkan Ayah dan Bang Dahlan menuju kamar. Dani tidur dengan senyum yang selalu membuatku merasa bahagia, apakah bahagia ini akan terus menjadi milik kami, bukan hanya ucapan si kecil Dani saja tapi Ayahnya Bang Dahlan juga akan memanggil aku Mama, sungguh ajaib jalan cintaku. Bukan satu tapi aku mendapatkan bonus dari titipan cinta dari yang Maha kuasa untukku.***

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Terbaru

Gapai Cita dalam (Duka) Cinta

  Adik Abah yang dulu tinggal bersama kami sudah lebih sepuluh tahun merantau sejak menamatkan sekolah menegah atas hari ini duduk di ruang ...